Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima Langkah Perpisahan

Sebelumnya niatku pagi ini setelah mengurus ijazah adalah membeli perlengkapan ospek supaya bisa cepat dikerjakan tugasnya. Sayangnya itu tidak terjadi dan aku malah kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk.

Pikiranku benar-benar buyar. Aku memang tidak masalah dengan hubunganku dan Angga yang sudah berakhir. Namun, yang jadi masalah justru aku tidak bisa melihat Angga di saat terakhir dia akan benar-benar pergi.

Yah sebenarnya empat tahun dari sekarang pun Angga pasti akan kembali lagi. But will he still remember me? Atau dia bahkan akan membuangku jauh-jauh dari ingatannya?

Aku gak pernah tahu apa yang ada di pikiran Angga. Meskipun di sini justru posisinya aku yang mengkhianati Angga, tapi entah kenapa harus aku yang merasakan sakit lebih banyak daripada Angga.

Aku ragu-ragu melangkah menuju kamar Mama. Mungkin Mama punya saran yang lebih baik dibanding aku berdiam diri di kamar dan memikirkan sampai botak apakah harus menyusul Angga atau mengucapkan salam perpisahan via chat.

Setelah sampai di depan pintu, kubuka pintunya sedikit. Kudapati Mama tengah menonton televisi, acara sinetron india. Ah sudah biasa.

Kulangkahkan kakiku pelan-pelan sampai bokongku mendarat di atas ranjang, di sebelah Mama yang sedang sibuk menghayati filmnya.

"Mah, aku boleh izin keluar gak?" Suaraku sedikit pelan. Tenang, Mamaku masih mendengarnya.

"Kemana? Tadi katanya mau beli perlengkapan ospeknya malem aja sama Ayah." Mamaku menghentikan fokusnya di televisi. Mungkin memang ekpresiku yang mudah ditebak, entah kenapa Mama langsung menyebutkan nama Angga.

Yah kalau dibilang Angga memang sudah dekat sama Mama, dan sebaliknya.

"Ketemu Angga, ya?"

Aku mengangguk. Merasa bodoh sebenarnya. Memang Angga mau ketemu aku?

"Iya bener juga, Mama lupa. Kan Angga flight siang ini."

Kok Mama tahu? Aku enggak?

"Itu tadi Mamanya Angga minta doa di grup ortu WA."

Aku mengangguk paham. Ternyata begitu. Dasar ibu-ibu, ya. Sampai punya grup segala.

"Kamu mau ketemu dia apa mau sekalian anter dia ke bandara? Kayanya Pak Romi free deh siang ini, bisa anter kamu ke sana."

Aku dengan semangat mengangguk dan berlari keluar. Menemui Pak Romi tentunya yang langsung disetujui Pak Romi untuk berangkat setengah jam lagi. Jarak bandara dari rumahku itu bisa memakan waktu dua jam, makanya harus buru-buru karena ini sudah jam sepuluh. Mungkin pesawat Angga sekitar jam satu? Aku sendiri tidak berani bertanya, jadi dengan bermodal kepo sama Revo yang akhirnya hanya dibalas pesawat apa yang Angga naiki.

Revo bilang Angga cuma kasih tau siang ini naik pesawat apa dan kemana.

Setelah tiga puluh menit kugunakan untuk membenahi diri- i mean, a little touch up won't hurt anybody-aku langsung pamit dan meminta Pak Romi untuk segera jalan. Takut saja macet, kan?

Pak Romi itu supir Ayahku. Aku bahkan sudah diantar jemput sekolah sejak TK dengan beliau. Pak Romi bahkan sudah mengenal Angga juga.

Aku memilih untuk duduk di depan. Kalau kata Mama sih, duduk di belakang berasa sopir banget. Pak Romi kan sudah seperti keluarga.

"Neng Audrey tumben cantik banget."

Mobil sudah jalan keluar komplek dan beruntungnya jalanan kota tidak begitu macet. Mungkin dua jam cukup untuk sampai sana.

"Apa sih, Pak? Aku tuh emang udah cantik biasanya juga." Aku tertawa pelan seraya mengganti-ganti saluran radio. Entah kenapa pagi ini tidak ada saluran yang menarik.

"Iya emang Neng Audrey mah cantik makanya Mas Angga suka."

Udah enggak kayanya, Pak.

Aku hanya tertawa canggung mendengar penuturan Pak Romi. Masalah saluran radio pun akhirnya aku memutuskan menggunakan bluetooth dari ponselku untuk menyetel lagu.

"Pak, aku buka google maps nih jalan yang biasa kita lewatin macet banget. Aku taruh di sini aja ya, Pak Romi tinggal ikutin instruksinya."

Aku menaruh ponselku di tempat dimana seharusnya berada. Pak Romi hanya mengangguk paham dan mengikuti permintaanku.

Pokoknya aku tidak mau telat. Setidaknya aku harus memukul kepala Angga terlebih dahulu sebelum dia pergi. Seenaknya dia tidak cerita apa-apa kemudian dia pergi tanpa pamit.

Memangnya kalau mantan harus segera dilupakan, gitu? Angga tuh kadang childish banget. Aku juga bingung kenapa Angga semarah itu di hari dimana kami putus.

Padahal waktu itu aku hanya tidak sengaja sedang menemani teman les kami dulu melihat majalah di toko buku. Itu pun kami tidak janjian, kami tidak sengaja berpapasan dan akhirnya memutuskan untuk jalan bersama.

Menangnya salah?

Aku bahkan tidak habis pikir kenapa Angga sampai memutuskan hubungan kami sore itu. Aku selalu berpikir mungkin Angga tidak memiliki perasaan yang cukup spesial untukku. Maka dari itu aku juga menutup rapat kemungkinan yang akan terjadi kalau aku jatuh.

Nyatanya, Angga memperlakukanku seburuk ini setelah kami berakhir.

Mungkin Angga memang tidak pernah menyukaiku. Meski aku memang terlampau jahat pada Angga, tapi Angga pun membalasnya dengan hal yang sama.

Aku memang tidak pernah jujur tentang keberadaanku pada Angga. Maksudku, karena aku benar-benar tahu bagaimana cemburunya Angga kalau aku berinteraksi dengan laki-laki lain, aku jadi enggan bicara jujur ketika aku sedang melakukan hal yang membuat Angga cemburu.

Angga juga tidak berhak sepenuhnya atas hidupku, kan?

Aku tidak benar-benar menyukai Angga juga, jadi bukan masalah besar sebuah judul untuk hubungan kami itu. Lebih tepatnya mungkin aku tidak terlalu menaruh harapan bahwa Angga akan selalu ada di sisiku.

Meskipun kadang sakit juga mengetahui Angga yang saat ini bernapas di detik yang sama denganku tidak sehangat Angga yang dulu memanggil namaku di depan pagar rumah setiap pagi.

"Neng, ada telfon nih."

Ah sudah, tidak akan ada habisnya membahas Angga.

Pikiranku kini berfokus pada suara Pak Romi. Aku tidak menoleh ke arahnya, mataku masih fokus memilih lagu pada mp3 player di tanganku. Sebenarnya karena tadi kami memutuskan menggunakan maps, otomatis bluetooth ponselku itu terhubung menjadi layar tampilan maps bukan lagunya.

"Angkat aja pak, nanti suaranya kehubung langsung kok. Aku males pegang hp," kataku ogah-ogahan.

Aku bisa menebak, telfonku paling hanya dari Revo. Karena setelah bertanya mengenai Angga tadi aku tidak membalas Revo lagi. Habisnya, pesan terakhir Revo hanya menuntutku untuk cerita masalahku dengan Angga.

"Nomornya gak ada dari kontak tapi."

Benar kan? Aku tidak menyimpan nomor Revo juga. Pasti dia, tuh.

"Iya pak daripada Pak Romi yang penasaran, angkat aja. Kalo aku males jawab Pak Romi yang jawab aja, ya."

Aku sudah siap memakinya kalau Revo bawel. Pak Romi akhirnya mengikuti kataku dan mengangkat langsung telfonnya. Suara di seberang sana langsung terhubung begitu saja di speaker mobil.

Teman, inilah fungsi tekonologi kalau kamu urgent telfon orang tapi masih mau sedikit safety.

"Halo? Drey? Ini aku."

Tapi sebentar, sejak kapan suara Revo jadi sedalam ini? Bukannya laki-laki berkepala kecil itu suaranya melebihi suara lumba-lumba? Nyaring dan nyaris merusak image coolnya.

"Lah ini Mas Angga, toh?"

"Hah? Apa Pak? Siapa? Audrey budeg lagi pake headset."

Angga ngapain nelfon aku?

"Drey, kamu denger kan? Aku gak pernah sempet bilang ini sama kamu, tapi bentar lagi aku mau check-in. Ini aku di bandara, maaf baru kasih tau kalau aku bakal pergi sekarang. Good by-"

"GAK! STOP JANGAN CHECK IN DULU PLEASE, I SWEAR TO GOD I'LL BE THERE IN TEN MINUTES, NGGA."

"O-oh- okey."

Tutt

Pak Romi dengan panik mematikan sambungan telfon dan melirikku dengan lemas. Serius kah ini sepuluh menit sampai bandara? Aku juga tidak yakin.

"Mbak-"

"Udah buruan Pak! Ini hidup dan mati tau gak?"

Untungnya jalanan lancar jaya dan Pak Romi dengan segera menyetir di atas rata-rata kecepatan normal.

Sebenarnya memang sebentar lagi kami akan segera sampai, but it takes 20 minutes, seharusnya. Dan dalam sejarah terbaru hidup Audrey, gemetar di tubuhku terasa lebih mengguncang dibanding biasanya. Aku memang punya gejala tremor, bukan masalah besar.

But it get worse when i'm in a hurry or something that can pump my heart faster like this.

Aku benar-benar kalut. Bukan, bukan karena aku sebegitu menyayangi mantan pacarku sampai ini terjadi. Aku tidak selebay itu. Little did everyone know, Angga orang yang buat aku berdiri di kakiku sendiri saat ini. Not everyone else, not even my mom.

Bukan salahku kan sebegini kalutnya?

Bahkan sampai dua belas menit setelah sampai di bandara dengan segera aku berlari mencari sosok Angga. Aku tidak tahu Angga berada di gate mana, setidaknya aku tahu Angga memggunakan maskapai apa jadi aku tahu persis di terminal mana Pak Romi harus berhenti.

Pak Romi dengan was was memerhatikan langkahku. Aku terus memutar badan, berlari kesana kemari, tapi Angga tidak ada.

Ini sudah lebih tujuh menit dari waktu yang kujanjikan. Did he already leave?

"Pak Romi bantuin Audrey cari dong!" Aku berteriak tak sabar. Seumur hidup aku bahkan tidak pernah berteriak pada beliau.

"Iya aduh Neng, jangan muter muter gitu nanti kalau jatuh gimana ketabrak orang?"

Pak Romi benar, bandara sangat ramai. Aku mencari di setiap gate tapi tidak menemukan sosok Angga. Dengan sisa tenaga yang ada aku memutuskan untuk terduduk di salah satu bangku yang tersedia.

Mungkin Angga juga sudah pergi sejak tadi, Angga juga tidak peduli mau bertemu denganku terlebih dahulu atau tidak sebelum dia pergi. Mungkin saja dia menelfonku karena keterpaksaan orang sekitar yang menyuruhnya.

Mungkin-

"Audrey!"

Tadi suara Angga?

"Pak Romi! Aku halusinasi, ya?" Aku memukul lengan Pak Romi yang duduk di sebelahku. Beliau nampak kaget sebelum berdiri dan berjalan menjauh dariku.

Apa lagi sih? Mau kemana?

"Audrey, ini aku."

Am i still alive?

Aku mendongakkan wajahku dan ketika itu juga aku melihat Angga berdiri sekiranya jarak lima langkah dari tempatku duduk. Angga tersenyum ke arahku, tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Begitu pun dengan aku yang otomatis menjadi patung di tempatku duduk.

"Angga ayo check in, kamu ngapain aja sih?"

"Ah iya Bun, sebentar."

Percakapan itu lolos masuk ke telingaku. Terakhir kali Angga hanya berdiam diri tidak beranjak mendekat selangkah pun, bibirnya masih melengkungkan senyum dan ia bergumam sesuatu. Sebelum akhirnya Angga benar-benar pergi. Lima langkah terakhir kami terasa jauh lebih dekat dibanding rangkulan hangat Angga yang dulu sempat ada dalam pundak kosongku.

He said good bye to me, but it was never be good to me.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro