Enam Jam Kilas Balik
Selama perjalanan pulang ke rumah aku terus sesenggukan. Aku merasa bodoh karena menangis sebegininya, tapi di waktu ini aku melihat Angga sebagai sosok teman baikku bukan mantan pacarku. Pak Romi sampai bingung harus menenangkanku bagaimana caranya.
Pak Romi menjadi pendengar setiaku selama tiga jam perjalanan ini.
"Pak Romi pernah gak sih ditinggalin sama temen gitu? Rasanya tuh sakit banget, tau!"
Aku mengambil tisu yang tersedia di mobil untuk mengelap air mata sekaligus cairan bening yang keluar dari kedua lubang hidungku. Ini nih yang namanya pilek karena menangis itu lebih menyiksa dari pilek sesungguhnya. Hidungku mampet.
"Aku tuh anggep Angga bukan cuma pacar. Aku gak suka ih sama title pacar yang nempel di jidat aku! Angga tuh temen aku kenapa sih dia jahat banget baru bilang kalau pergi hari ini?"
Biar kuingat dulu, sebenarnya aku juga salah sih. Angga dulu pernah memberitahuku bulan apa dia akan berangkat, tapi kan tetap saja Angga harusnya mengingatkanku!
Harus ya? Ya masa bodo deh, mau dia anggap aku cuma mantan yang dibuang setelah putus aku gak peduli. Bagi aku Angga itu teman pokoknya pakai titik, tidak pakai penolakan segala.
"Iya Neng iya Pak Romi ngerti."
"Enggak! Pak Romi tuh gak ngerti!
Iya, semuanya tidak akan ada yang mengerti bagaimana rumitnya hubunganku dengan Angga. Kisah cinta anak SMA yang menye-menye itu bukan gambaran cerita kami selama hampir lima bulan pacaran.
Angga seperti ruang kosong yang dengan nyamannya dapat kusinggahi setiap waktu. Angga mendengar keluh kesahku seperti sosok kakak yang hilang beberapa tahun lalu. Angga merangkul pundakku hanya sekadar menghangatkan dinginnya hatiku ketika panik dan bergetar hebat.
Satu bulan kami mengenal sejak ketidak betulan yang terjadi baik di tempat bimbel kami maupun fakta unik bahwa ternyata kami sekolah di tempat yang sama.
Jujur, aku tidak pernah melihat Angga selama dua tahun lebih sekolah di tempat yang sama dengan Angga. Wajar saja, kami tidak pernah disatukan di kelas yang sama. Hanya teman bimbel yang kebetulan sedekat itu.
Sampai saat aku masih bersamanya, aku tidak pernah menganggap Angga sebuah takdir yang sengaja dipertemukan untukku. Angga adalah ketidakbetulan yang sebenarnya terjadi dalam hidupku.
Nyatanya, semakin lama kami semakin dekat, semakin jauh juga kurasakan diriku berpijak. Ruang kosong yang kuanalogikan sebagai kekasihku sendiri membuatku membentuk sekat tebal yang memisahkan kenyataan dan keinginan yang kupercaya adanya.
Dalam benakku hanya ada Angga yang sebegitu perhatiannya padaku dan Angga yang sehangat itu padaku. Angga yang memaksa kehendakku untuk percaya bahwa aku memang ada untuknya. Namun di setiap waktu yang kuhadapi dengan kehadiran Angga, justru aku tidak bisa merasakan apakah aku benar-benar nyata jatuh pada Angga.
Aku takut.
Aku takut ketika seseorang berjalan ke dalam hidupku. Angga datang dengan baiknya ke dalam hidupku, hangatnya Angga seolah menyirami seluruh pikiran kelamku. Aku takut ketika Angga pergi, kebaikannya begitu sirna juga seiring langkahnya menghilang untuk berjalan ke arahku.
Semua itu yang kualami selama kurang lebih enam bulan mengenal Angga.
Bodohnya, siklus hidupku memang seremeh jatuh-menolak untuk percaya-menyadari-menyesal.
Ketika Angga menelfonku di perjalanan siang tadi, ketika dengan paniknya aku berteriak untuk Angga tetap menunggu sebentar, aku baru menyadari kalau Angga bukan sekadar kisah sekilas yang ketika dekat akan semakin jauh langkahku berpijak di dunia.
He makes me know how to stand for myself, after all this time. Angga memilih untuk tidak mendekat ke arahku mungkin karena Angga tidak ingin aku sekacau yang aku bayangkan. Ketakutanku yang diam-diam Angga pahami membuatku berpikir dua kali untuk kembali menyalahkan Angga dan seribu perhatiannya untukku.
Ternyata, sejak dulu pun aku memang sudah jatuh pada Angga. Rasa jengkelku karena Angga terlalu perhatian hanyalah manifestasi dari ketakutanku akan dunia yang fana. Aku tidak mau menjadi lemah dan terus bersandar pada Angga yang notabenenya hanya seorang kekasih di hidupku.
Kekasih bisa berakhir, that's the truth. You got nothing special when it comes only for love. Maka dari itu aku memilih menjadikan Angga seorang teman.
Teman hidupku.
"Neng, jangan bengong atuh. Mending kejer nangis kaya tadi, takut Neng kesurupan saya teh."
Ngga, kenapa kamu selalu simpen perhatian kamu diem-diem?
"Enggak Pak, tenang. Audrey cuma mikir kenapa Angga masih sebaik itu sama Audrey yang selemah ini."
Kamu tahu aku takut untuk jatuh cinta sama kamu, tapi kamu masih berusaha untuk kasih perhatian lebih untukku.
"Udah udah, Bapak teh sebenernya gak ngerti masalah Neng sama Mas Angga. Tapi Bapak ngerti kok gimana rasanya ditinggalin temen yang rasanya sedeket nadi."
Aku udah kasih harapan palsu buat kamu ya, Ngga? Pura-pura senyum dan ketawa di depan kamu padahal aku diem-diem takut untuk ngaku kalau aku suka kamu juga.
Aku memilih diam dan mengisi otakku dengan semua penyesalanku tentang Angga. Pak Romi benar, karena kami sudah seolah sedekat nadi. Rasanya aku semakin takut untuk dikhianati oleh orang yang paling dekat denganku selain keluargaku.
Keputusanku selama ini justru untuk lebih dulu mengkhianati Angga sebelum aku yang dikhianati. Setidaknya akan mengurangi rasa sakitku ketika memang itu terjadi.
Ternyata, penyesalan jauh lebih menyakitkan daripada antipati untuk merasakan hal yang sama.
Aku, Audrey Natasha, bukannya gak tau gimana caranya untuk suka sama kamu, Ngga. Aku cuma takut untuk ngelakuin hal gila itu.
Terhitung, Angga yang pertama buat aku sehangat ini ketika hujan mengguyur hariku. Lalu Angga, menyediakan ruang kosong yang bisa kupakai untuk berkeluh kesah sebanyak yang aku mau. Padahal aku menutup rapat ruang hatiku untuk Angga.
"Pak Romi mau denger cerita aku gak? Aku ketemu sama Angga di tempat les—"
Tanpa menunggu jawaban dari Pak Romi, aku mengelap air mataku yang terakhir siang ini. Dengan panjang lebar selama tiga jam perjalanan dan tiga jam di rumah Pak Romi mendengarkan kisahku dengan Angga.
Tentang bagaimana rumitnya hubungan yang kami punya. Terakhir, Pak Romi hanya tersenyum seperti yang ayah lakukan kalau aku tengah bercerita mengenai hariku di sekolah.
Kemudian dengan sentilan yang pas, Pak Romi mengatakan kalau kami hanya tengah dilanda masa-masa puber.
"Kalian masih terlalu muda. Nanti kalau kamu udah lebih dewasa, Audrey ketemu lagi sama Mas Angga, pasti kisahnya bisa berubah kok. Dewasakan hati kamu, Tuhan gak akan pernah misahin teman terbaik yang Audrey punya. Oke?"
Memang Angga masih mau bertemu denganku?
Tidak, aku tidak menuntut pertanyaan lagi pada Pak Romi. Aku hanya tersenyum dan mengangguk berusaha menerima apapun yang akan terjadi detik setelah ini.
Yea, we will meet again soon. But you will no longer meet the childish side of me, Ngga. I'll be wiser, i'll take care of myself better.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro