Empat Kata Yang Tidak Sempat Kukatakan
Memang benar kata orang, Ujian Nasional itu bikin mumet! Mana ditambah jadi tiga kali ujian di tahunku. Kata Angga sih nyantai aja, yang dites sama aja kan pelajarannya?
Ya gimana ya? Kalau Angga butuh usaha lima puluh persen untuk paham materi dalam dua jam mata pelajaran, aku mungkin butuh delapan puluh persen. Dua puluh persen yang kugunakan hanya untuk bengong dan meratapi papan tulis.
Sayangnya itu bukan realitanya, sejujurnya lebih dari lima puluh persen kugunakan untuk mencoret isi buku dengan catatan super rapih tapi tidak ada yang masuk ke otak.
Ah kembali ke topik, jadi sebenarnya hari ini adalah hari ke-empat setelah Angga pergi. Masalahnya bukan itu, tapi aku tadi pagi baru saja mendapat olahraga jantung karena pembicaraan Ujian Nasional yang dimulai oleh Ibuku sendiri.
Ini sudah bulan September, sudah lewat sekali, kan? Tapi sekolahku baru mengurus semua berkas seperti SKHUN dan Ijazah di awal bulan Agustus. Coba bayangkan, sekitar tanggal 5 aku harus sudah menjalankan OSPEK. Belum lagi membeli tiket pesawat dan mencari tempat tinggal di sana. Cap 3 jari di depan mata tapi besok aku harus sudah meninggalkan kota ini.
Mana berkas yang kupunya hanya surat keterangan lulus dengan nilai UN yang alakadarnya. Belum lagi menyiapkan berkas lainnya.
Sebenarnya aku masa bodo dengan Ijazah dan tetek bengeknya. Toh bisa diurus nanti. Sayangnya, Ibuku itu super ribet. Aku harus pagi-pagi datang ke sekolah hanya untuk cap 3 jari yang bahkan berkas itu pun baru bisa diambil dua minggu setelahnya.
Mana dibangunkan dengan alarm super kencang, dimarahi untuk segera mandi, dipaksa ikut Ayah berangkat pagi-pagi biar katanya tidak kena macet angkutan umum.
Tapi ini terlalu pagi! Masih jam enam lebih lima menit dan aku sudah ada di sekolah. Masalahnya, sekolah dan rumahku itu jaraknya bisa dibilang cukup dekat.
Yah jadi intinya masalah SKHUN ini membuatku mengingat masa-masa Ujian Nasional yang menyedihkan. Sudah belajar mati-matian sampai liat pembahasan soal ajaib yang bahkan gak ada di buku sakti sejuta umat turun temurun itu, tetap saja gak bisa mengerjakan soalnya!
Mana nilai matematikaku hanya mentok mendapat predikat lulus. Untung masih lulus, jadi Audrey harus bersyukur.
Pagi-pagi aku sudah di sekolah. Melihat adik-adik kelas berlalu lalang mempersiapkan upacara.
Kenapa aku gak langsung mengurus ijazah saat datang? Alasannya karena aku diminta untuk menunggu sampai jam delapan pagi.
Ibu yang mengurus ijazah kami belum datang sepagi ini.
Benar, kan? Mama kadang harus ikut datang ke sekolah biar tau gimana rasanya nunggu.
Iya nunggu, Audrey udah biasa nunggu kaya gini. Nunggu Angga juga udah keseringan sampe muak.
Tuh kan, baru saja diomongin. Sekarang mataku menatap sosok Angga yang baru turun dari motornya. Biar aku tebak, mamanya pun sepemikiran dengan mamaku.
Aku sih masa bodo. Aku lebih memilih untuk menghabiskan susu cokelat yang tadi kubeli di kantin.
Kulihat Angga berjalan ke arah kantin juga dan membeli sesuatu. Angga bahkan tidak melirik ke arahku sedikit pun. Padahal dulu setiap pagi, yang dia lakukan kalau menemukanku di kantin itu adalah menjahiliku dengan mengambil kotak susu di tanganku dan membiarkan aku mencoba meraih dari tangannya yang sangat tinggi ke atas.
Yah, semuanya pasti berubah.
"Loh ada Mas Angga juga toh, kirain Mbak Audreynya sendiri."
Apaan sih???
Samar-samar kudengar suara ibu kantin. Benar-benar pagi yang menjengkelkan. Bukan hal aneh lagi bagi ibu kantin langgananku dan Angga, beliau memang sudah tahu bagaimana hebohnya kami kalau sudah menginjakkan kaki di kantin.
Angga sedikit tertawa canggung sambil menyerahkan selembar uang lima ribu. "Enggak bu, saya dateng sendiri. Audrey juga dateng sebelum saya."
Kalau kalian tanya apa mataku menatap Angga saat ini, jawabannya ya. Mataku gak bisa diam dan penasaran setelah mendengar namaku diseret-seret.
Sebelum Angga berbalik badan dan memergokiku memerhatikannya, aku lebih dulu membuang muka kemudian diam-diam lagi memerhatikan punggungnya yang menghilang.
Angga seolah berjalan tanpa beban, tanpa peduli ada aku atau tidak di tempat yang sama, atau bahkan Angga memang sudah benar-benar tidak mau berurusan lagi denganku.
"Woy Ngga! Lu udah ketemu Bu Niki?"
Sampai detik ini pun aku masih memerhatikan Angga yang tengah berbicara dengan Revo, teman sekelasnya dulu. Revo juga mengenalku sebenarnya, tapi aku berusaha menutupi keberadaanku atau laki-laki itu akan bawel menanyakan kenapa Angga dan Audrey terpisah begini?
Hubunganku dan Angga yang kandas tentunya tidak akan Angga ceritakan kepada temannya. Angga tipe orang yang malas untuk cerita apalagi kalau hanya masalah begini.
Aku tidak mendengar apa yang Angga ucapkan. Justru suara Revo memang sangat keras terdengar di telingaku. Aku memilih untuk diam di tempat dan menunggu mereka pergi.
"Flight lo jam satu siang ini kan? Hubungin coba Bu Nikinya biar punya lu cepetan diurus."
Flight? Jam satu? Angga beneran pindah hari ini?
Entah setan apa yang merasukiku, setelah mendengar penuturan Revo kini kakiku melangkah ke arah mereka.
Masa bodo. Aku cuma mau tau banyak informasi. Angga memang sebelumnya mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri, tapi Angga tidak pernah cerita kapan dia berangkat. Bahkan ketika kami masih pacaran pun Angga tidak mengungkitnya sedikit pun.
"Eh Revo," sapaku seraya memukul pundak Revo pelan. Aku hanya tersenyum canggung. Masa bodo dengan tatapan Angga di sebelahku. Revo juga temanku, kan? Apa salahnya menyapa?
"Loh lo sejak kapan di sini, Drey? Ah elah nyet, gak ada abisnya ye si Angga jailin lo. Jangan ditinggal dong mau pergi juga siang ini masa ceweknya ditinggalin di belakang." Revo tertawa pelan, yah sayang sekali Revo teman terdekat Angga pun tidak tahu hubungan kami sudah kandas.
Aku tidak membalas ucapan Revo, biarkan Angga yang membalasnya.
"Apa sih lo, Vo. Udah ah gua mau ke ruang Bu Niki."
Loh kok?
Harusnya kamu bilang gitu kalo kita udah putus, Ngga.
"Lo berantem sama Angga? Apa dia galau mau pisah sama lo?" Revo membisikkan kalimat itu padaku. Sedangkan Angga sedang berlenggang meninggalkan aku dan Revo.
Laki-laki itu bahkan tidak menatap mataku atau setidaknya menyadari keberadaanku. Atau Angga memang sengaja begitu.
"Gue udah putus sama Angga."
"HAH GILA LO?"
Harusnya lo tanyain itu ke temen lo, Revo.
"Ya enggak lah, gila apaan sih. Ya pasti bakal berakhir kok entah berakhir karena harus pisah atau karena ditakdirkan bersama. Intinya yang kedua gak mungkin terjadi buat gua sama Angga." Aku hanya tersenyum pada akhirnya. Membiarkan Revo kebingungan dan menyimpan pertanyaannya untuk Angga nanti.
"Gua gak nyangka sih, Drey. Soalnya minggu lalu Angga bilang kalo hari ini dia mau confess sesuatu sama lo. Taunya udah putus aja."
Confess?
"Angga mau bilang apa sama gue emangnya?"
"Yah masa gue yang bilang. Intinya sih empat kata itu yang gak pernah sempet dia ucapin selama kalian pacaran. He said that he really wish you're the one he will see after 4 years in UK."
Aku gak tau harus jatuh ke tanah atau berusaha tegar karena sejujurnya lututku terasa begitu lemas mendengar jawaban Revo.
Ngga, kenapa aku jahat banget sama kamu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro