Delapan Sore, Sembilan Malam
Masa orientasi mahasiswa baru bagiku itu hanya secuil beban dari keluh kesahku selama empat bulan di sini. Lebih melelahkan itu kalau aku harus mengingat masa-masa mengikuti ujian masuk PTN.
Apalagi menjalaninya, sesaat aku rasa kepalaku benar-benar akan pecah sore itu kalau tidak ada telfon masuk dari Angga dan memintaku untuk bertemu.
Sayangnya, sore itu bukan hanya kepalaku saja yang pecah. Air yang membendung di mataku serta merta meledak dengan deras. Angga mungkin tidak tahu, tapi aku jelas ingat bagaimana aku harus menundukkan kepalaku dalam-dalam karena tak sanggup lagi melihat punggungnya yang akan menghilang.
Sebenarnya, aku masih gak habis pikir dengan diriku sendiri. Angga seenaknya memutuskan hubungan kami lalu dia bersikap tak acuh, kami sama-sama mengembalikan barang masing-masing, kemudian sekarang Angga bersikap seperti kami tidak pernah bertengkar hebat sebelumnya.
Padahal harusnya aku yang lebih dulu memutuskan hubungan kami, bukan Angga. Bagaimana tidak? Di saat aku membutuhkan Angga, laki-laki itu malah sengaja menghindariku. Pesan tidak dibalas, telfon tidak diangkat, di tempat bimbel juga tidak mungkin ada keberadaannya mengingat Angga sudah mendapat beasiswa sebelum tes PTN diselenggarakan.
Angga benar-benar hilang, tidak hanya dari pandanganku, tapi juga Angga tidak lagi mengisi ruang kosong yang menganga lebar ia tinggali.
Sore itu harusnya aku memberi kabar baik pada Angga. Banyak cerita yang mau aku utarakan, bagaimana depresinya aku melihat tanda merah berkali-kali atau bagaimana lelahnya aku mencari informasi tes yang masih tersedia. Angga tidak ada saat itu, saat dimana aku justru butuh seseorang di sisiku. Angga seolah memberi jarak di antara kami yang aku sendiri tidak tahu maksud dan tujuannya.
Angga, kamu inget? Aku pernah janji untuk bungkam total seluruh keluh kesahku kecuali pada Mama, Ayah, Pak Romi, dan kamu.
Ayahku sibuk, Ngga. Mamaku akan sedih melihat kacaunya aku karena ujian PTN yang melelahkan hati dan pikiran. Sedangkan Pak Romi, aku pikir ini bukan topik yang tepat untuk dibacarakan dengan beliau.
Temanku? Ah jangan ditanya. Kalau kuceritakan pada Revo mana mungkin, aku tidak sedekat itu. Ian? Aku tahu kamu cemburu.
Dan sekarang sepertinya aku tahu. Kamu yang sebegitu bencinya melihat aku dan Ian tengah berbincang sore itu, ketika semua tawa yang tak pernah aku tunjukkan di depanmu beberapa waktu terakhir. Aku tahu kamu marah karena hal itu.
Ya Tuhan tidak ada habisnya memang membicarakan Angga!
Kalau aku membuat buku saat ini dengan ceritaku tentang Angga, mungkin aku sudah mencapai bab delapan dan mungkin akan terus berlanjut. Mungkin.
Yah, mungkin juga aku harus segera membenarkan isi pikiranku dengan hal-hal yang lebih bermutu, mengerjakan laporan praktikum contohnya.
Kopi yang sudah kubekukan dari dalam freezer bahkan sudah mencair, selama itu aku hanya menatap kosong layar laptop dengan pikiran penuh.
Ketika aku hendak beralih kembali pada laporanku, ponselku berdering tidak sabaran.
Menyebalkan.
Kulihat layar ponselku dan nama Ian terpampang jelas di sana. Ini pertama kalinya Ian menghubungiku lagi setelah kejadian sore itu. Kejadian yang membuatku harus berakhir semengenaskan ini hanya karena seorang laki-laki.
Kuangkat segera sebelum nada dering berhenti dan sambungan terputus. Aku tidak langsung mengeluarkan suara, yang aku dengar hanya deru napas Ian yang memburu dari pembatas kotak digital itu.
Jelas aku panik, bagaimanapun anehnya suasana hubunganku dengan Ian, tetap saja hal seperti ini otomatis membuat jantungku seolah terpacu dua kali kerja normalnya.
"Ian? Lo-"
"AUDREY, YOU NEED TO HEAR ME, OKAY?"
Apasih?!
"YA LO KENAPA, IAN? YANG JELAS DONG!" Aku reflek berteriak membalas Ian di sebrang sana. Laki-laki itu berteriak seolah kotak suaranya hanya diperuntukkan hal yang terdengar segawat ini.
"Gue di depan kosan lo, turun sini ada tamu ganteng juga."
Demu Tuhan aku ingin menjambak Ian sampai botak!!
Masih dengan balutan piyama serta jaket sebagai penghangat, aku turun menuju ruang tamu di bawah. Tidak akan kubiarkan Ian masuk karena jam sudah menunjukkan angka sembilan. Sebenarnya sudah batas waktu berkunjung tamu pria, kosanku sangat disiplin aturan. Namun tidak dengan penghuninya.
Yah contohnya saja aku saat ini malah duduk di teras depan bersama Ian dan cokelat panas yang ia bawakan.
"Lo ngapain ke sini sih?"
"Udah lama gak ketemu, semenjak lo putus."
Ah aku muak lama-lama dengan bahasan ini. Tidak seharusnya Ian menghampiriku dengan kalimat pembuka sebrengsek ini.
"Drey." Ian memecahkan keheningan yang sengaja aku ciptakan. Aku tidak tahu kenapa rasanya secanggung ini bertatap wajah dengan Ian.
Ada jeda agak lama sebelum akhirnya Ian memaksaku menatap wajahnya dengan suaranya yang kembali pecah merasuk ke dalam gendang telingaku. Tidak ada basa-basi seperti bagaimana kabar dan lain sebagainya, Ian bukan orang yang seperti itu.
"Bulan lalu gue ketemu sama Angga." Begitu ucapan yang Ian lontarkan, yang membuat aku membeku sejenak.
"Udah lama, ya? Udah berapa lama kita kuliah di sini?"
Ah benar, aku dan Ian kuliah di tempat yang sama, hanya beda fakultas dan yang jelas aku tidak pernah bertemu Ian di kota ini sebelumnya. Kecuali sekarang.
"Empat bulan? Abis UTS kemarin lo liburan gitu?"
Ian tadi bilang ketemu Angga, kan? Tidak mungkin jika Angga yang pulang ke Indonesia.
"Enggak liburan sih, cuma jemput Bunda aja ke Bandara. Kemarin kan Bunda yang anter Angga pindahan terus Bunda netap gitu deh dua bulan di sana," jelas Ian sembari tangannya menusukkan sedotan pada minuman yang ia bawa dan memberikannya padaku.
"Bunda?"
Aku tidak tahu kalau Ian memanggil Ibunya dengan sebutan Bunda. Namun rasanya sebutan Bunda itu sangat familiar di telingaku.
"Iya Bunda gue, Drey. Kok heran banget kayanya."
"Bunda lo yang anter Angga waktu itu?"
Ian mengangguk sebagai jawaban.
Pantas. Aku rasa Angga tidak pernah memanggil Mamanya dengan sebutan Bunda dan pendengaranku tidak buruk untuk mendengar yang memanggil Angga saat itu di bandara Angga sebut, "Bun".
"Lo tau kan kalo gue sama Angga sepupuan?"
"Tau kok."
Yah ini fakta lucunya. Ian temanku sejak kecil ini adalah sepupu Angga, mantan pacarku. Anehnya lagi, aku bahkan tidak begitu dekat dengan Bunda yang Ian sebut, aku justru lebih dekat dengan Mamanya Angga.
Ian dan aku tinggal di perumahan yang sama sejak SD sampai SMA, tapi tidak sekalipun Mamaku pernah bertegur sapa dengan Bundanya Ian. Aku juga tidak tahu dan tidak mau tahu, yang jelas sejak dulu aku sering bermain ke rumah Ian yang kosong dan menemani anak itu yang ketakutan di dalam rumah besarnya.
"Gue baru tau lo sepupu Angga dari Revo, dua hari lalu," lanjutku menambahkan jawabanku sebelumnya.
"Dan lo juga baru tau gitu kalo Angga udah punya tunangan?"
Oh? Ini berita besar, kah?
"Lo becanda?"
"Gue kira Revo sebocor itu."
Well, i think i'm insane.
Tanggal delapan ini tepatnya jam sembilan malam, aku dan Ian membuka lagi kenangan sore itu. Persetan dengan kabar yang Ian bawa, aku rasa aku butuh lebih banyak penjelasan dari Angga.
"Ian? Kalo gue tanya Angga, apa wajar?"
Ian hanya mengehela napas, menatapku penuh dengan keraguan. Tidak mengangguk ataupun menggeleng. Ian juga tidak menjawab satu kata pun.
"Gue gak ngerti maksud lo apa ya, Ian. Ya tapi gimana bisa mantan pacar gue tiba-tiba punya tunangan setelah empat bulan putus dari gue?"
"Lo gak inget kenapa kita putus, Drey?"
Ian membuatku mati kata. Lebih tepatnya Ian kembali menambahkan jawabannya, seperti sebuah titik di akhir kalimat, aku tidak bisa mengelak atau minta diberi penjelasan atas pertanyaannya.
Angin malam ini terasa begitu dingin meskipun musim kemarau tengah melanda kota yang kutinggali saat ini. Jaket tipisku terasa percuma, kalah telak dengan udara yang menusuk. Juga dengan kenyataan pahit yang memaksa otakku untuk tetap pongah. Nyatanya sejak Ian menuturkan nama Angga pun jalan pikirku sudah kacau.
Aku masih diam. Kejadian bertahun-tahun lamanya kembali menabrak ruang memoriku. Aku tidak terpikir sampai di sana.
Ian masih menatap ke arah lain selain aku. Aku yakin Ian pun tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Aku ingat. Aku ingat Ian dan aku sempat menjalin hubungan. Ian dan kenangan yang sudah kukubur dalam karena seminggu setelahnya Ian mengatakan sejujurnya kenapa kami harus berpisah.
Ian dijodohkan.
Ian dan aku tidak mungkin ada dalam ikatan yang sama.
Begitu juga dengan Angga.
"Gue sama Angga sepupuan, Drey. Bunda gue adik satu-satunya Bokap Angga, karena Bunda gak bisa nerusin bisnis ini ya jadinya gue atau Angga."
Retaknya hati Audrey Natasha, kenapa harus Angga dengan kasus yang sama yang justru datang di saat itu? Kenapa aku harus jatuh di lubang yang sama?
"Atau?"
Aneh, kan? Maksudnya atau itu apa?
"Lo tau gue gak sepinter Angga yang bisa lanjut beasiswa sekolah bisnis ke luar. Mungkin Angga yang lebih berpeluang untuk dijodohin, dari sekarang aja gue bisa tau siapa yang bakal nerusin bisnis keluarga ini."
Aku memilih untuk diam. Mencerna pernyataan demi pernyataan yang Ian katakan padaku malam ini.
Pandangan Ian masih lurus pada jalanan komplek di depan yang terbatasi pagar hitam seratus meter.
"Gue sama Angga dijodohin sama cewek yang sama. Lo pernah ketemu dia, Drey. Angga selama ini selalu nolak perjodohan ini. Sedangkan gue? Gue mau gak mau harus putusin hubungan kita karena gue bukan Angga yang punya sesuatu untuk dibanggakan, gue cuma bisa nurut sama Bunda."
"Ian, gue gak ngerti. Kenapa lo yang perjuangin cewek itu tapi kenapa harus Angga yang dijodohin? Kenapa bukan lo?!" Aku sedikit berteriak. Seolah-seolah sebuah pertempuran terjadi di antara keduanya, wanita dan harta, itu kan? Ian bahkan sudah menyerah padaku sejak lama tapi kenapa harus Angga?
"Drey, gue gak mau perjuangin cewek itu. Gue juga mau perjuangin lo. Bukan cuma Angga."
Pada akhirnya aku yang terdiam. Ucapan Ian barusan justru membuat tenggorokanku tercekat.
"Angga rebut lo dari gue, apa gue bisa diem aja sekarang? Tapi gue rasa lo bahkan berharap gue yang dijodohin bukan Angga. Supaya lo bisa balik sama Angga lagi." Ian tertawa pelan setelahnya. Bukan, bukan tawa yang biasa Ian tunjukkan padaku. Matanya sendu, dan aku yang membuatnya begini.
"Enggak, bukan gitu maksud gue—"
"Gak usah dijelasin, Drey. Emang salah gue ninggalin lo gitu aja karena gue pengecut. Tapi boleh kan kalau gue minta kesempatan kedua sama lo?"
Kini Ian berbalik ke arahku. Matanya benar-benar tepat menatap bola mataku. Senyuman kecil terulas di wajahnya, seolah meminta izin untuk kembali meruntuhkan memori yang sudah lama kutimbun dengan nama Angga. Tapi semuanya udah berubah, kan?
Jujur, aku bahkan gak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan laki-laki di hadapanku saat ini. Mau Angga ataupun Ian yang berjuang pun, tidak ada bedanya.
"Ian, tapi lo ataupun Angga bisa kapan aja pergi dan gue jelas tau apa alasan di baliknya. Perasaan gue bukan kotak undian dan gue bukan hadiah undian yang bisa dengan pasrah dikasih sama salah satu pemenang di antara kalian."
Kupikir Ian akan melunturkan senyumnya setelah mendengar jawabanku. Laki-laki itu malah semakin melebarkan kedua ujung bibirnya.
"Lo bukan hadiah undian yang gue mainin sama Angga, gue akan buktiin ke Bunda kalau gue bisa berdiri sendiri tanpa harta keluarga. Gue gak peduli sama siapa penerus bisnis itu gua cuma mau lo, Audrey."
Tapi semuanya udah berubah, Ian. Hubungan kita udah berakhir bertahun-tahun lalu.
"Dan faktanya gue yang lebih dulu buat lo jatuh, bukan Angga."
"Tapi lo gak bisa sesuka hati pergi terus dateng lagi ketika ada celah di antara hubungan gue dan Angga. Lo bukan orang baru di hidup gue, lo bukan musuh bagi Angga, lebih baik kita bertiga gak usah berhubungan sama sekali. Gue cape."
Aku berdiri setelah melontarkan kalimat panjang teraebut. Bahkan aku meninggalkan Ian terlebih dulu tanpa menyuruhnya pulang. Aku masuk ke dalam dan membiarkan diam menyelimuti Ian di luar sana.
Ian juga tidak lagi mengeluarkan suara. Sebelumnya dapat kulihat wajah syok Ian, tapi aku tidak peduli. Kututup rapat pintu cokelat yang membatasi ruang antara aku dan Ian.
Di sisi jendela bisa kulihat Ian masih duduk di bangku tanpa pergerakan sedikit pun. Aku terduduk di sofa di balik kaca bening yang menyekat antara ruang yang membungkusku dengan angin malam yang menusuk Ian di luar sana. Ada banyak ribuan rentetan kejadian yang saat ini melumpuhkan kerja otakku.
Aku pikir malam itu terlalu panjang untukku yang ingin segera mengakhirinya dan meninggalkan tidur, bisa saja mimpi indahku terhapus begitu saja ketika besok aku kembali dengan kenyataan pahit. Di tanggal delapan pukul sembilan malam ini kejadian sore itu seakan menjadi titik balik kisah kami bertiga. Aku dan mereka hancur, Angga pergi karena rasa cemburunya pada Ian. Kemudian malam ini Ian datang karena Angga yang setelahnya pergi.
Hubunganku dengan Angga sudah berakhir. Sebagaimana hubunganku dengan Ian beberapa tahun lalu. Kurasa tidak seharusnya lagi ada hubungan di antara kami bertiga. Angga, aku, dan Ian, kami seharusnya berpisah di jalan yang berbeda.
Gue bukan halte buat lo berdua singgah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro