Part 13 - Segenggam Hati yang Rapuh
Besok adalah hari dimana pernikahan Papa Medina dan wanita lain digelar besar-besaran oleh Papa Medina. Rasa sakit dan remuk redam mencuat di hati Medina pasalnya Papanya menggelar pesta pernikahan lebih mewah dibanding dulu waktu Papanya menikah dengan Mamanya.
Bukan apa-apa, tapi Medina lebih bersyukur tak menghadiri pernikahan Papanya karena jadwal keberangkatan ke Madinah sama persis dengan hari persiapan pernikahan Papanya. Hampir setiap menit Sang papa menghubunginya untuk hadir tapi Medina tak mengangkat sambungan telepon itu.
"Hari ini adalah hari dimana rasa sakitnya Mama juga merupakan rasa sakitku. Papa menikah dengan orang lain yang sama sekali tidak aku kenal. Papa udah pernah janji sama Mama kalau Mama adalah cinta terakhir dia, tapi nyatanya itu cuma bualan semata," cuitnya saat Medina menatap kaca bus yang ia tumpangi saat ini.
Medina dan para rombongan jamaah umrah saat ini tengah melewati setengah perjalanan dari bandara Jeddah ke Madinah. Pun juga Medina, Medina duduk tepat di samping Sera yang duduk di sebelahnya. Dia memilih duduk dengan Medina karena untuk menemani Medina sedangkan suaminya duduk di kursi lain.
Hampir dua jam bus itu melewati jalan sepanjang jazirah Arab yang menghubungkan Kota Jeddah dan Kota Madinah. Umrah kedua ini agak beda bagi Medina, pasalnya waktu awal pertama dia umroh dia bersama dengan kedua orang tuanya. Tapi saat ini, disini dia sendirian tanpa kedua orang tuanya.
"Medina?" panggil Sera saat menawari sebuah camilan untuk Medina karena sedari tadi Medina hanya mengisi perutnya dengan air saja, jarang sekali makan.
"Makan dulu nanti setelah ini kita ke Masjid buat sholat subuh bareng," serunya memerintahkan Medina untuk mengambil camilan kurma tersebut.
Medina hanya mengangguk tanpa mengambil satu biji kurma di tangannya, "Iya," jawabnya seraya menatap Sera.
"Ini berapa jam lagi, Ser?" tanyanya pada Sera. Maklum, dia agak lupa selisih jam antara Jazirah Arab dan jam Indonesia.
"Tiga jam lagi kok udah sampai, sabar aja nanti juga sampai," jawab Sera seraya tangannya mengapit dua biji kurma untuk ia makan sebagai pengganjal perutnya sebelum sampai ke hotel.
"Oke," sahut Medina mengangguk-anggukan kepala sembari menghitung kemungkinan waktu pernikahan Papanya digelar di Indonesia.
Saat Medina ingin memejamkan dua kelopak matanya, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan sebuah panggilan masuk dari Papanya. Sejujurnya Medina lelah diteror Papanya dengan panggilan-panggilan itu. Tapi untuk kali ini, ia harus berterus terang pada Papanya, "Papa?"
"Hallo? Kenapa kamu malah kabur dari Papa? Papa bilang kamu harus di rumah untuk hadir di pernikahan Papa. Tapi nyatanya apa? Kamu malah pergi kabur dari Papa. Mana Medina yang katanya anak yang berbakti? Ternyata kamu sama Mama kamu sama-sama nggak ada gunanya," omel Papanya pada Medina.
Medina kira Medina bisa tenang ada di Jarizah Arab, ternyata Papanya terus menghubunginya di awal Medina menginjakkan kaki di Madinah. Sampai kapan ini berhenti? Kata-kata Papanya itu sangat menusuk hatinya bahkan sampai dia tak di Indonesia pun Papanya masih menghubunginya dan mencarinya terus untuk tetap hadir di acara pernikahan itu.
"Enak banget kamu malah jalan-jalan ke luar negeri padahal Papa minta sama kamu untuk tetap tinggal di rumah," omelnya lagi pada Medina.
Dulu Papanya tak seperti itu. Dulu Papanya sangat menghargai apapun yang Medina lakukan. Dulu Papanya lebih khusu' beribadah dibanding Medina yang imannya naik turun. Tapi usai kepergian Mama Medina, iman Papanya berangsur hilang. Sampai sholat pun sering dia tinggalkan.
"Biadab kamu Medina! Papa udah bilang ke rekan kerja Papa bahwa kamu akan hadir ke acara pernikahan Papa. Tapi kamu malah asik di luar negeri foya-foya," umpat Papanya.
Mendengar tuduhan Papanya yang sangat menyakitkan itu, Medina memilih untuk angkat suara, "Terus kenapa kalo Medina nggak mau hadir di acara pernikahan Papa besok pagi? Papa kecewa? Lebih kecewa mana Medina sama Papa? Lebih kecewa mana?" balasnya pelan tanpa mengganggu jamaah lain yang ada di dalam bus itu.
"Papa lama-lama egois sama Medina. Ya udah terserah Medina, mau Medina disini jalan-jalan atau apa terserah Medina. Medina disini mau menenangkan pikiran Medina. Jadi tolong jangan pancing emosi Medina pakai kata-kata Papa yang menyakitkan itu," seru Medina seraya menahan agar buliran bening yang ada di kelopak matanya jatuh tanpa aba-aba.
Papanya itu masih bersikeras agar Medina hadir di pernikahannya besok pagi. Mana mungkin? Medina sudah memutuskan untuk tak hadir dan lebih memilih berangkat umroh untuk menenangkan pikirannya yang kalangkabut, "Papa menikah juga untuk kebaikan kamu, kamu harus tahu itu. Kenapa menyetujui hal itu sulit bagi kamu? Kalau Papa tua Papa juga butuh sosok pendamping buat jaga Papa. Kamu juga nggak mungkin mau rawat Papa. Kamu nurut sama Papa kenapa susah?"
Hampir saja Medina tak terbakar emosi dengan apa yang baru saja Papanya katakan. Mungkin jika Medina tak bisa mengontrol emosinya, dia akan kehilangan segenggam pahala beribadah ke tanah suci.
Akhirnya Medina memilih untuk berpikir sejenak sebelum membalas ucapan Papanya. Nadanya ia atur lembut meskipun ada bumbu amarah yang ia simpan dalam hatinya, "Papa gampang banget menyimpulkan apa yang Papa lihat tanpa minta pendapat Medina terlebih dahulu. Anak satu-satunya Papa itu Medina. Dan Medina juga berhak minta pendapat Papa karena Papa satu-satunya orang tua Medina sekarang, tapi nyatanya opini Medina nggak berarti bagi Papa karena ada orang baru," jelas Medina.
Sera ingin menenangkan Medina tapi ia tak berhak juga ikut campur meskipun masih ada aliran darah antara dirinya dengan keluarga Medina, "Terus Medina harus percaya ke siapa? Udah cukup. Medina nggak mau memperpanjang urusan ini. Keputusan Papa itu terserah Papa, Medina nggak akan ikut campur. Medina mau fokus disini," tegas Medina pada Sang Papa agar Papanya tak menggangu ibadahnya lagi.
"Medina, Papa belum selesai—"
Ucapan Papanya sontak terpotong ketika Medina memutus sambungan telepon itu. Tak peduli, Medina tak peduli dengan acara pernikahan Papanya. Berkali-kali dia beristigfar agar diampuni dosanya, ingin berbakti pada orang tuanya, tapi rasanya sangat sakit harus menerima apa yang menjadi keputusan Papanya.
Medina tampak mengedarkan pandangannya lagi untuk menatap padang pasir sepanjang jalan menuju Kota Madinah. Melalui kaca jendela ia menikmati pemandangan remang-remang hamparan pasir yang ada di sana. Di tengah-tengah ia berkecamuk dengan pikirannya sendiri, pendengarannya tak sengaja menangkap percakapan sambungan telepon dari ponsel Sera.
"Hallo, Sera lagi perjalanan ke Madinah, Mas Rafi! Mas Rafi udah dimana sekarang? Di hotel atau lagi di tempat Mas Amran? Atau lagi nunggu jodoh sambil ibadah? Ma Syaa Allah, pengen cepet-cepet lihat Mas Rafi nikah tapi kok lama banget ya keburu Sera tua," seru Sera yang tak sengaja didengar Medina.
Setiap kali sama Sera, nggak pernah putus membicarakan laki-laki itu terus. Sebenernya laki-laki itu siapanya Sera sih? Bosen dengernya. Batin Medina seraya menghela napas beratnya.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro