Medical Robin Hood - 22
Sorn masuk ke rumah setelah percakapan panjangnya dengan Sehun. Anak itu tidak seburuk yang ia dengar dari cerita Lisa. Seperti halnya sang adik, Sehun memiliki pandangan tersendiri akan cara menjalani hidup Harus Sorn akui bahwa anak itu sebetulnya cukup baik terlepas dari pemilihan kalimat yang kadang kala kurang tepat.
"Halo Nak, lama banget kita nggak ketemu." Sebuah pelukan hangat dari sang nenek menyambutnya, disusul sang ibu dan anggota keluarga yang lain.
"Deka bilang kamu lagi isi lagi?" tanya ibu memastikan. Sorn mengiyakan, membuat atmosfer kebahagiaan mengudara di sekitar mereka. "Udah berapa bulan?"
"Baru jalan empat Bu,"
"Tadi Deka cerita soal kejadian semalam, kami panik pas denger kalian kecelakaan, tapi pas Ayahmu mau ke sana suamimu malah ngelarang soalnya keadaan rumah sakitnya cukup ramai dan ricuh juga," jelas Ibu.
"Kandunganmu nggak apa-apa kan tapi?" tanya nenek.
"Enggak Nek, semalam kami langsung periksa dan semuanya baik-baik aja." Jawaban Sorn menghadirkan kelegaan yang luar biasa di benak keluarganya.
"Adikmu mana Sorn? Kok nggak pulang bareng? Tadi yang antar katanya temennya Lisa? Siapa?" tanya Bibi Jingga yang baru bergabung dengan mereka.
"Oh Sehun," jawab Sorn jujur yang membuat alis anggota keluarganya menyerit.
"Oh Sehun si pewaris Royal Raffles itu? Ada apa ya? Kok dia mau antar-antar kamu?" tanya Ibu kebingungan.
"Tadi kami cari taksi untuk pulang, taksi online nggak ada yang mau terima dan taksi konvensional nggak ada yang lewat. Jadi dia nawarin bantuan," tutur Sorn menjelaskan. "Oh iya, Lisa nggak akan pulang hari ini, dia bilang masih mau ngawasin pasien-pasien kecelakaan yang dia tangani."
"Yakin tuh si Sehun itu nggak ada maunya? Kok mau-maunya dia antar kamu gitu?" Bibi Jingga keheranan.
Sorn mendelik. "Bukannya keluarga kita yang ada maunya sama dia?"
Bibir Bibi Jingga mencebik, cukup tersinggung dengan sindiran yang dilontarkan oleh Sorn. "Lisa kok kerja diforsir banget ya? Masa nggak pulang? Nanti gimana kalau udah nikah? Masa suaminya ditinggal-tinggal terus?" ujarnya mencoba mengubah topik.
"Taehyung juga dokter Bi, seharusnya dia paham resiko pekerjaan Lisa dan dukung dia. Lagian ya udah nggak jaman sekarang yang namanya perempuan cuma duduk di rumah nungguin suami pulang kerja, dan kalau kerja harus sampai duluan di rumah dibandingkan suaminya. Kalau kerjanya jadi dokter kayak Lisa yang harus masuk malem gimana?" cecar Sorn.
"Ya makanya diusahakan perempuan tuh jangan kerja malem, kan Lisa bisa izin sama bosnya atau nolak."
"Zaman sekarang yang kerja malam nggak cuma pelacur loh, dokter, artis, pemain film, dan masih banyak profesi lainnya juga keluar malem buat kerja. Lagian emang rumah sakitnya punya keluarga kita? Seorang dokter itu udah disumpah untuk mengabdikan hidupnya untuk kesehatan masyarakat, nggak bisa seenaknya pilih-pilih jam kerja. Emang orang sakit ada jadwalnya apa?" cerocos Sorn panjang lebar dengan emosi. Ucapan Bibi Jingga seolah menyiram bensin pada jiwanya yang sedang berkobar.
Ibu menghampiri Sorn dan mengelus pundaknya dengan pelan. "Kamu jangan gitu sama bibi Jingga."
"Loh gitu gimana? Omonganku kan nggak salah." Sorn bersikukuh.
"Nadanya itu lho Nduk," tegur Ibu.
"Ah, pengaruh hormon hamil kayaknya," elak Sorn. "Aku mau istirahat dulu Bu," tuturnya kemudian untuk menghindari perdebatan lebih jauh yang bisa membuat kepalanya pening. Meninggalkan anggota keluarganya yang terdiam membisu akibat mencerna kata-kata frontal yang keluar dari bibirnya.
***
Hari menjelang sore, setelah mengistirahatkan diri dan mandi di rumah sakit Lisa memutuskan untuk melakukan perputaran bangsal untuk meninjau perbaikan kondisi pasien. Pada umumnya kondisi pasien dengan luka ringan sudah mulai membaik, namun pada pasien-pasien dengan luka berat belum terlihat kemajuan yang berarti.
"Masih ada yang di IGD nggak? Atau sudah pulang semua?" tanya Lisa pada perawat jaga.
"Beberapa yang lukanya cukup berat masih diobservasi di IGD sampai ada kamar kosong dok, sampai saat ini kamar perawatan full, cuma satu pasien yang masuk ke kamar VIP setelah dokter Sehun pulang. Rumah sakit lain juga belum menerima rujukan karena mereka pun kebanjiran pasien akibat kecelakaan."
"Ah, begitu." Lisa memahami, kecelakaan beruntun yang parah dan memakan banyak korban jelas membutuhkan banyak fasilitas kesehatan, wajar saja jika kamar di rumah sakit lain pun tak tersedia.
"Oh iya dok, tadi saya dimintai tolong sama dokter Eko untuk menyampaikan pesan ke dokter untuk menemui beliau di ruangannya."
"Kenapa dokter Eko nggak menghubungi saya langsung?"
"Mungkin biar dokter istirahat dulu dengan baik, soalnya tadi beliau juga menyampaikan untuk tidak mengganggu dokter yang beristirahat."
Lisa mengangguk paham. Batinnya kemudian bertanya-tanya mengapa dokter Eko tidak menghubunginya melalui telepon saja. Langkahnya kemudian membawa dirinya menuju ke ruangan dokter Eko. Nahas, saat ia sampai ke sana beliau sedang tidak ada di tempat. Setelahnya ia pun mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi dokter Eko, namun panggilannya tak kunjung diangkat.
Bingung karena tak ada lagi tujuan, Lisa kemudian berinisiatif untuk menyambangi IGD, kebetulan saat perputaran bangsal ia tak melihat Laynard di ruang perawatan, kemungkinan besar ia adalah salah satu pasien yang masih tertahan di IGD. Dan benar saja firasatnya, ia menemukan Laynard masih terbaring di ranjang IGD tanpa seorang wali pun yang mendampingi.
"Laynard?" sapa Lisa. "Lo belum masuk ruang perawatan juga?"
Bukannya menjawab, Laynard malah balik bertanya. "Loh, lo nggak pulang? Lanjut jaga emang?"
"Sengaja nginep di sini, buat pantau pasien kecelakaan semalem," jawab Lisa.
Laynard menggeleng takjub. "Dedikasi yang luar biasa loh itu, nggak semua dokter mau ngelakuin apa yang lo lakuin sekarang."
Lisa hanya tertawa hambar, pujian itu kerap kali didengar olehnya, baginya ini bukanlah suatu hal besar, melainkan hanya sebagai bentuk pengaplikasian darmabakti dari sumpah yang sudah ia ucapkan saat upacara kelulusan.
"Sendirian aja? Nggak ada yang jemput atau nemenin lo Lay? Lo udah hubungi keluarga belum?" tanya Lisa bingung, pasalnya tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di sekitar Laynard.
Laynard menggeleng. "Hape gue rusak, pas kecelakaan lagi gue taruh di atas dashboard soalnya." Kemudian ia menunjuk ponselnya yang mati total dengan layar yang rusak parah.
"Nih pake hape gue aja kalau gitu," ujar Lisa sambil mengulurkan ponselnya. Laynard menggeleng dan menahan tangan Lisa yang ingin memberikan ponsel padanya.
"Nggak perlu Lis, gue nggak punya keluarga juga," timpal Laynard yang membuat Lisa meringis. Ia tidak pernah mengetahui seluk beluk dan latar belakang keluarga Laynard karena saat berkuliah dulu mereka sama sekali tidak dekat. Hanya sekadar teman sekelas yang mengerjakan tugas kelompok atau berdiskusi bersama dan sesekali berpapasan di lorong kampus.
"Sori Lay gue nggak tau." Lisa mengigit bibir, sekarang ia merasa tak enak hati.
"It's okay, dunia nggak perlu tau juga kalau gue nggak punya keluarga. Cukup gue aja."
Lisa merenung, di dunia ini setiap manusia memang diuji oleh berbagai macam hal. Dalam segi keluarga mungkin Lisa lebih beruntung daripada Laynard, ia masih memiliki keluarga yang cukup lengkap, dan ia harus mensyukuri hal itu. Sifat dan sikap keluarganya yang terkadang membuatnya sakit kepala hanyalah tambahan bumbu yang menguji kehidupannya agar terasa lebih sedap. Setidaknya mereka masih bersama dengan Lisa, hingga tidak perlu ada rindu yang tertahan.
Suara batuk yang begitu kencang mendistraksi pembicaraan mereka. Laynard kemudian membukan sebagian horden miliknya yang memisahkannya dengan ranjang sebelah. Di sana ada seorang pria berjanggut tebal yang terbatuk hebat hingga mengeluarkan darah.
Lisa dengan sigap mengambil beberapa lembar tisu dan memberikannya pada pria paruh baya itu. "Pak, anda baik-baik saja?" tanyanya sambil memastikan keadaan pasien.
Pria paruh baya itu tidak dapat menjawab pertanyaannya, ia terus terbatuk dan darah yang dikeluarkannya terlihat semakin banyak.
Alis Laynard berkerut. "Dia salah satu pasien kecelakaan semalam loh Lis."
Setelah batuknya sedikit mereda Lisa membaringkan pasien tersebut dan memeriksa keadaannya. "Sus, tolong stetoskop," pinta Lisa. Seorang perawat perempuan menghampirinya dan memberikan alat yang Lisa butuhkan. "Tolong cek tanda vitalnya juga ya," tambahnya.
Laynard memperhatikan dengan seksama bagaimana Lisa menekan bagian dada dan mendengarkan suara pernapasan pasien.
"Trauma tulang rusuk?" tanya Laynard sembari memperhatikan penanganan yang Lisa berikan.
Lisa menggeleng. "Tidak ada nyeri tekan, tapi nafas memendek. Dan suara pernapasan begini belum pernah gue denger sebelumnya," jelas Lisa. Karena masih tidak yakin dengan dengan pendengarannya ia pun mengulang pemeriksaannya, namun hasilnya masih sama, bunyi di paru-paru pria paruh baya ini terdengar sangat asing. Lisa kemudian memasangkan selang oksigen pada pasien tersebut sebagai alat bantu. Dan napasnya sudah lebih teratur meski suara pernapasannya masih tidak terdengar normal.
"Bagaimana tanda vitalnya Sus?" tanya Lisa.
"Tekanan darah rendah dok, nadi lemah, pernapasan per menit di bawah rata-rata, dan pasien juga demam," jelas perawat.
"Mungkin TB?" ujar Laynard spontan yang membuat Lisa mengumpat dalam hati. TB atau yang umumnya dikenal sebagai penyakit tuberculosis merupakan penyakit menular yang cukup meresahkan. Jika terkena penyakit ini maka pasien harus mengkonsumsi obat secara terus menerus selama enam bulan sampai satu tahun berturut-turut tanpa putus. Cara penyebarannya pun melalui uap air udara pernapasan seperti batuk atau bersin seperti yang baru saja terjadi di hadapannya.
"Mungkin, tapi pasien ini tak mengalami nyeri di area dada," timpal Lisa heran. "Sus, tolong bawakan saya masker, untuk pasien di sebelah saya juga," ujarnya sembari menunjuk Laynard. "Kamu juga tolong pakai masker ya." Perawat itu kemudian langsung mengikuti titah Lisa dan mengambil barang-barang yang dipinta.
"Mau mantoux test?" usul Laynard. Mantoux test adalah tes yang dilakukan untuk menentukan seseorang terinfeksi kuman TB. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil zat cairan pada kulit lengan hingga terbentuk benjolan di permukaan kulit, jika benjolan tersebut ukurannya bertambah besar dan terlihat ada peradangan maka test tersebut dinyatakan positif.
"Butuh waktu dua sampai tiga hari untuk mengetahui hasilnya, tapi nggak ada salahnya untuk dicoba," balas Lisa.
"Ada ruang isolasi? Pasien ini baiknya dipisahkan dari yang lain."
Lisa pun memikirkan hal yang sama seperti Laynard katakan, namun sayangnya rumah sakit mereka tidak memiliki fasilitas itu.
Perawat yang Lisa beri titah kembali, dan membawakan Lisa masker. Setelah memakai untuk dirinya, Lisa membantu Laynard untuk memakainya. Dengan kaki dan tangan yang terluka Laynard belum dapat bergerak banyak.
"Suster, bisa tolong hubungi rumah sakit terdekat dan tanyakan mengenai apa ruang isolasi milik mereka tersedia atau tidak? Jangan lupa jelaskan ke mereka kondisi pasien yang mau kita rujuk."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro