Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Medical Robih Hood - 21

Sehun mengerjapkan mata, pandangannya yang memburam perlahan mulai terfokus kembali. "Dokter Sehun?" Sebuah suara membuat Sehun menoleh, di sampingnya ada perawat ruang rawat inap yang ia tidak tahu namanya, hanya wajahnya saja yang cukup familiar di otaknya.

"Ya?" jawab Sehun pelan dan serak, nyaris tak terdengar.

"Saya akan panggil dokter Eko dulu dok," balas sang perawat sembari beranjak meninggalkan ruangan.

Sehun mendudukkan tubuhnya secara perlahan dan bersandar ke kepala ranjang. Kepalanya terasa sangat berat dan juga pusing. Ia mencoba meraih sisa-sisa ingatan sebelum kehilangan kesadaran.

Sehun mengumpat pelan, mempertanyakan kebodohan dirinya yang terlihat lemah di depan Lisa. Bisa-bisanya ia pingsan di hadapan Lisa di saat dirinya bersikap sok pahlawan dengan membiarkan Lisa beristirahat dan ia yang menangani sisa pasien sendirian.

Terdengar pintu terbuka. "Sehun? Kamu sudah sadar?" Kemudian suara dokter Eko menyapa indera pendengarannya. Sehun hanya tersenyum dan mengangguk kikuk sebagai balasan.

Dokter Eko mendekat dan menepuk pundak Sehun. "Mohon maaf gara-gara rumah sakit kami kekurangan tenaga medis, kamu sampai harus forsir diri dan tumbang seperti ini Sehun."

Sehun menggeleng pelan. "Bukan masalah besar, saya senang bisa membantu," balasnya parau.

"Lisa sudah berbicara dengan saya mengenai pemotongan masa pengabdian kamu." Sehun menyimak setiap kata yang keluar dari bibir dokter Eko dalam diam. "Saya rasa itu keputusan yang cukup baik dan bijak setelah melihat semua kerja keras kamu selama ini."

"Mulai sekarang kamu dibebas tugaskan dari rumah sakit ini Oh Sehun," putus dokter Eko.

Sehun merasa gamang, sejujurnya ia merasa lega karena jam tidurnya tak akan lagi terganggu. Tapi mengapa ia tidak merasa bahagia seperti yang ia ekspektasikan sebelumnya?

"Terima kasih dokter Eko." Pada akhirnya hanya kalimat itu lah yang dapat ia sampaikan. "Sekaran saya izin untuk beristirahat di rumah."

***

Sorn sedang menunggu di depan rumah sakit, ia mulai kesal karena beberapa taksi online menolak pesanan mereka karena mereka membawa jumlah barang yang cukup banyak. Setelah kecelakaan semalam mobil suaminya dibawa ke bengkel untuk memastikan kondisinya baik dan aman untuk digunakan pulang kembali ke kampung halaman mereka.

"Gimana Pa?" tanya Sorn yang mulai lelah, hampir dua puluh menit mereka menunggu namun tidak ada satu pengemudi pun yang menerima pesanan mereka.

"Di-cancel karena mereka nggak mau bawa lebih dari empat orang."

"Tapi kan Adrian masih kecil Pa, bisa dipangku, kok dihitung sih?" sungut Sorn kesal. Anak pertamanya hanya berusia tiga tahun, kenapa masih dihitung sebagai penumpang dewasa.

"Kita cari taksi konvensional aja, bawaan kita juga cukup banyak soalnya." Deka memilih untuk tak ambil pusing dan mencari solusi lain.

Sorn mengangguk mengiyakan usulan suaminya. "Dari tadi sih aku belum lihat taksi lewat Pa. Tapi sebentar biar aku coba tanya ke satpam dulu," ujarnya sambil beranjak menghampiri satpam yang sedang membantu memberikan petunjuk arah kepada pasien yang baru saja datang.

"Pak, kok nggak ada taksi lewat-lewat ya dari tadi?" tanya Sorn setelah sang satpam selesai memberi arahan pada pasien yang baru saja datang.

"Jam segini memang jarang taksi lewat, Bu. Kalau pun ada agak jauh ke jalan utama provinsi sana," jelasnya sambil menunjuk ke utara rumah sakit.

Sorn menghela napas panjang dan menoleh ke arah sang suami yang memperhatikan percakapannya dengan satpam tadi. "Gimana ini Pa? Apa kita minta tolong Lisa aja?"

Deka menggeleng, menolak usulan Sorn. "Nggak usah, kasihan adikmu, tadi dia kan bilang mau istirahat, kita sabar aja nunggu," jawabnya diplomatis.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pria yang menghampiri mereka. Dari jas putih yang tersampir di lengannya Sorn tahu bahwa pria itu salah satu dokter di rumah sakit ini, dan alangkah terkejutnya ia saat melihat name tag yang tergantung di sana.

"Oh Sehun?" gumam Sorn tanpa sadar tatkala melihat nama yang sering menjadi topik pembicaraan adiknya akhir-akhir ini tertera di sana. Ia cukup terkejut dengan sapaan ramah yang didapatnya dari sosok yang menurut cerita Lisa bersifat sangat minus itu.

Sehun tersenyum sedikit kikuk "Benar. Ada yang bisa saya bantu?" ulangnya lagi.

"Kami sedang kesulitan mencari taksi," jelas Deka, suami Sorn.

"Kerabat Lisa Prapinya?" tanya Sehun memastikan, membuat kedua alis Sorn tertaut. "Ah, tadi kebetulan sekilas saya mendengar kalian menyebut nama Lisa."

Deka membenarkan. "Iya, benar. Saya kakak ipar Lisa, dan ini kakaknya," ujarnya sambil menunjuk Sorn yang masih sibuk memindai Sehun dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dibandingkan dokter gila, laki-laki dihadapannya lebih layak disebut dengan dokter tampan. Parasnya yang di atas rata-rata membuat Sorn tak berkedip. Bagaimana bisa Lisa melabeli sosok ini sebagai dokter gila?

"Kebetulan saya tahu tempat tinggal Lisa dan membawa kendaraan juga. Bagaimana kalau saya antar saja?" tawar Sehun setelahnya.

Sorn dan Deka saling menatap, sedikit bingung dengan bantuan yang Sehun tawarkan. Keduanya lalu tersenyum kikuk. "Ah, rekan kerja Lisa ya?" Deka berbasa-basi, untuk mencairkan keadaan.

"Iya, saya rekan kerja Lisa, kebetulan kami jaga ruang IGD bersama-sama." Sehun membenarkan. "Kalau begitu gimana? saya antar? Kebetulan saya membawa kendaraan yang cukup besar untuk mengantar kalian semua."

Selanjutnya anggukkan dan ucapan terima kasih dari Deka membuat Sehun mengerti bahwa mereka menerima uluran tangannya.

***

Sorn tak pernah menyangka bahwa ia akan diantar oleh seorang pewaris pemilik jaringan rumah sakit terbesar di negaranya dengan mobil mewahnya. Terlebih ditambah dengan tambahan perlakuan sedikit manis seperti membantu ibu mertuanya turun dan naik mobil dengan hati-hati, dan membantu mengangkat barang-barang mereka yang cukup banyak.

"Terima kasih Sehun atas bantuannya," ucap Sorn tulus. Ia membiarkan anak, suami dan kedua mertuanya untuk lebih dulu masuk ke dalam rumah sehingga ia dapat mengobrol bersama Oh Sehun lebih lama. Hatinya mengatakan ada yang harus ia cari tahu lebih jauh tentang sosok di hadapannya. Karena sikap laki-laki ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang selama ini ia dengar dari cerita-cerita Lisa.

"sama-sama," jawab Sehun.

"Sejak kapan kamu kenal sama Lisa?" Sorn mulai membuka percakapan.

"Sejak kuliah dulu, kami satu angkatan."

"Menurut kamu Lisa orangnya gimana?"

Sehun ragu untuk menjawab, jadi ia hanya menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Meskipun terkesan ramah, aura Sorn terasa sangat kuat sehingga ia merasa terintimidasi saat ini. Sorot matanya seolah mengebor isi kepala Sehun hingga membuatnya menjadi salah tingkah, ia sampai kikuk menghadapinya.

"Keras kepala," ungkap Sorn dengan senyuman. "Iya kan?"

Sehun membenarkan dalam hati, darah lebih kental dari air, tentu saja sang kakak pasti mengetahui dengan baik bagaimana sosok sang adik.

"Sejak kecil Lisa selalu berpegang teguh dengan prinsipnya, apa yang dianggapnya benar, maka akan dia pertahankan sampai akhir."

Sorn ingat bagaimana adiknya yang satu itu bersikukuh untuk mempertahankan kucing liar yang datang ke teras rumah mereka untuk dipelihara meski kondisi kucing itu jauh dari kata baik. Kulitnya yang melepuh akibat tersiram air panas membuatnya terlihat mengenaskan. Lisa bahkan sampai membongkar celengannya untuk membawa kucing itu ke dokter hewan, sayangnya kucing itu tidak selamat. Namun Ia tak pernah sekalipun menyesali hal itu meski ibu mereka memarahinya dan berkata bahwa yang dilakukannya hanya sia-sia. Lisa bilang ia justru merasa puas karena telah melakukan hal yang benar untuk kucing tersebut.

"Di dunia yang kejam ini, menjadi idealis hanya akan menyusahkannya. Sebetulnya ia punya potensi yang sangat besar, sayangnya dia malah terjebak di rumah sakit pinggiran kota yang serba kekurangan itu," ujar Sehun panjang lebar. Entah mengapa ia ingin mengungkapkan hal ini pada kakak Lisa.

"Menurut kamu apa yang bisa Lisa lakukan untuk meningkatkan potensinya?"

"Ia bisa menjadi salah satu dokter spesialis terbaik di rumah sakit besar, setidaknya tidak hanya bekerja di rumah sakit sekarang. Ia bisa mengambil pekerjaan tambahan di rumah sakit lain, bukan hanya menjadi dokter penanggung jawab IGD yang sebetulnya bisa saja dilakukan oleh seorang dokter umum."

"Kami pernah membicarakan hal ini sebelumnya, tapi masuk ke rumah sakit besar itu tidak mudah jika kamu tidak memiliki koneksi yang kuat bukan?"

Sehun mengangguk, membenarkan. "Memang, dan koneksi itu pun perlu dicari, tidak datang sendiri. Kita tidak boleh hanya berdiam diri menunggu ditawarkan. Lisa sudah mengenal banyak dokter di kota ini, namun ia malah memilih untuk memulai karirnya di rumah sakit kecil pinggiran kota seperti itu. Kenapa dia tidak menghubungi kolega saat berkuliah dulu? Ia memiliki banyak kesempatan sebetulnya, namun tidak memanfaatkannya dengan baik."

"Bagaimana kalau kita sebut itu sebagai sebuah pengabdian untuk masyarakat kalangan bawah?" timpal Sorn lugas. Kalimat yang dilontarkan Sehun memang ada benarnya, tapi watak sang adik yang terlalu keras tentu tidak akan berpikir ke arah sana. Sedangkan tujuan Lisa menjadi dokter adalah untuk mengabdikan dirinya membantu masyarakat menengah ke bawah yang umumnya tidak dijangkau rumah sakit besar yang Sehun maksud.

Sehun menahan tawa, membuat Sorn mengerutkan alis. "Maaf," ujarnya sambil meredakan tawa. "Selama masih mengharapkan imbalan baik itu dalam bentuk uang, insentif, atau apa pun, itu tidak dapat disebut pengabdian."

Sorn merasa tertohok dengan kalimat yang Sehun utarakan, memang keluarganya masih membutuhkan uang dari Lisa yang berperan sebagai penyangga perekonomian keluarga. Namun di sisi lain ia juga dapat memahami apa yang Sehun maksud. Cara penyampaian Sehun yang kurang tepat dapat memicu emosi orang-orang yang mudah tersinggung seperti adiknya. Wajar saja jika Lisa menyematkan gelar dokter gila padanya.

"Bukankah dalam kehidupan ada take and give? Lisa telah memberikan pelayanan terbaiknya dalam koridor 'pengabdian' yang ia tuju, gaji yang ia terima tentunya imbalan yang pantas."

"Ya, dan take and give itu perlu berimbang satu sama lain jikalau masih menitiberatkan pemasukan dana. Kalau terlalu banyak give dan mengabaikan take, jangankan untuk menopang keluarga, Lisa bahkan tidak akan bisa menopang dirinya sendiri dan terjatuh pada akhirnya."

Sehun tidak menghakimi Lisa yang memiliki prinsip demikian, pada dasarnya ia juga memiliki panggilan jiwa yang sama untuk membantu orang yang membutuhkan. Yang Sehun maksudkan ialah Lisa harus melebarkan sayapnya lebih jauh sebelum membantu lebih banyak orang, seperti yang dilakukan olehnya.

"Kamu takut Lisa terjatuh?" tanya Sorn dengan kerlingan jahil.

"Ng⸺nggak gitu maksudnya." Sehun tergagap salah tingkah, membuat Sorn mengulum senyuman.

"Sebetulnya apa pun yang kamu lakukan, selama itu niatnya baik dan tidak merugikan pihak mana pun sejatinya semuanya akan baik-baik saja. Perihal take and give, setiap orang punya standar tersendiri." Sorn memberikan nasihat dan menepuk pundak Sehun. "Kalian sama-sama keras kepala, makanya sesekali coba lah bertukar kacamata."

"Bertukar kacamata?" Sehun kebingungan dengan kiasan yang Sorn lontarkan.

"Sebuah ungkapan untuk bertukar sudut pandang, sering-sering lah berbicara satu sama lain, maka kalian akan lebih saling memahami."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro