Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32 | BIRTHDAY DINNER

"Ada kiriman tadi pagi buat mbak Elsa. Udah saya taruh di meja. Oh, iya. Selamat ulang tahun ya, bu dokter!"

Elsa mengangguk sambil menggumamkan terima kasih. Ia langsung masuk ke dalam ruangannya. Hari ini tidak banyak janji dengan pasien. Jadi dia bisa belajar sambil meneruskan untuk menulis jurnal kesehatan sampai siang.

Masuk ke dalam ruang praktek, ia mendadak penasaran dengan kiriman sebuah kotak beludru hitam di atas meja. Di atasnya tertulis logo Tiffany & Co. Sebuah brand perhiasan terkenal.

Siapa yang repot-repot mengirim kado perhiasan untuk Elsa?

Dia langsung mengeluarkan hp dari dalam tas untuk menghubungi Galang.

"Halo, Lang. Lo ngirimin gue kado?" Tanya Elsa begitu panggilannya diangkat. Ia meletakkan tas jinjing di atas meja seraya memandangi kotak beludru itu.

"Ngapain gue kasih elo kado? Kan gue juga ulang tahun."

"Terus siapa, dong?" Elsa mendapati sebuah kartu ucapan dengan inisial 'G'. "Inisialnya G, masa bukan elo?"

"Mungkin Gie. Lo dapet apa emang?"

Elsa membuka kotak beludru itu. Sebuah pekikan tercekat di tenggorokan. Lidahnya mendadak kelu saat melihat satu set perhiasan custom dengan berlian-berlian kecil sebagai hiasannya. "Ini sih jelas Gie yang ngirim." Ujar Elsa begitu suaranya kembali. "Gue dikirimin satu set perhiasan berlian, Lang. Habis berapa milyar, nih?" Elsa geleng-geleng kepala. Tak habis pikir dengan kejutan ulang tahun ini. Ia mengeluarkan sertifikat perhiasan yang ditulis atas namanya sendiri.

Galang terkekeh di seberang telepon. "Semoga lo suka, deh."

"Terus elo sendiri dapet apa??" Elsa benar-benar penasaran. Kalau adik ipar saja diberi perhiasan mahal, apalagi suaminya?

"Nggak tau. Dia kayaknya lupa kalo gue juga ulang tahun hari ini." Tak ada nada kecewa dari suara Galang. Cowok itu memang tidak pernah hobi merayakan ulang tahun. Mengingatkan umur jadi makin pendek, katanya.

"Wah, kayaknya lo mau disurprise-in."

Galang terkekeh. "Pesawat papa sama bunda jam berapa nyampe sini?"

"Jam empat. Lo ato gue yang jemput?"

"Gue aja."

"Jadi lo inepin di hotel?"

"Iya. Papa sama bunda nggak mau tinggal sama kita. Biar adil, nginep di hotel aja katanya. Gie udah reservasi di Sheraton. Kan deket sama mall. Biar bunda bisa jalan-jalan. Reservasi restorannya gimana?"

"Gue udah pesan tempat, kok. Yang seruangan gede buat keluarga. Privat. Menunya juga udah dipilihin sama bini lo."

"Lo jadi pesan tempat yang kemarin? Lo kan nggak suka masakan Cina."

"Beberapa menu masih doyan kok gue."

"Yaudah, ketemu di sana jam berapa?"

"Jam tujuh. Biar gue aja yang jemput papa sama bunda dari hotel ke restorannya."

"Oke, deh. Ketemu di sana."

"Yuhuu. Bye."

"Bye."

***

Gie duduk gelisah di kursi. Galang yang sedang duduk di sebelahnya masih asik mengobrol dengan papa. Menyadari ketidaknyamanan Gie, tangan Galang terulur untuk menggenggam tangan sang istri. Tangan Gie balik menggenggam tangan Galang, mengharapkan support atas jantungnya yang berdegup tak beraturan.

"Sudah hampir lima belas menit. Mereka nggak datang." Gumam Gie.

Makanan baru saja dibawa masuk oleh para pelayan setelah sebelumnya mereka dihidangkan teh dan makanan pembuka. Bebek panggang, ikan goreng tepung dengan bentuk menyerupai sayap, serta sayur-mayur dan sup diletakkan di sekeliling meja putar. Makanan di meja mereka berlimpah.

Lima kursi di samping Gie masih kosong. Keluarga Galang terlihat tidak cemas sama sekali.

"Mereka nggak akan datang." Ulang Gie lebih keras.

Galang menoleh untuk memandang cewek yang sedang gelisah itu. Kemudian ia tersenyum sebelum memandangi orangtuanya bergantian. "Gie nanya, kalo keluarga Tan nggak dateng gimana?"

Gie mendelik pada suaminya. Nggak perlu diomongin juga, kali!

Papa tertawa. "Ya nggak apa-apa. Wajar kalo mereka sibuk. Kita masih bisa merayakan ulangtahun Galang sama Elsa berlima aja."

"Denger sendiri, kan?" Bisik Galang pada Gie.

Keluarga ini terlalu santai.

"Ngomong-ngomong Gie, makasih banyak kadonya!" Elsa mengangkat cangkir berisi teh.

Mendengar itu, mood Gie jadi agak mendingan. Ia memaksakan sebuah senyum pada Elsa.

Tak berapa lama, mendadak pintu kayu ruangan mereka digeser dari luar oleh pelayan. Seisi ruangan mendadak hening saat Opa Atmodjo diapit Helena dan Oma masuk ke dalam. Opa Atmodjo berjalan pelan sambil dipegangi kedua wanita itu. Tante Yvonne mengekor di belakang mereka. Papa, bunda, dan Elsa langsung berdiri untuk menyambut. Galang sendiri dengan sigap menarik kursi untuk Opa Atmodjo duduk. Hanya Gie yang terpaku di tempat.

"Tolong siapkan kue ini, ya." Yvonne Tan menyerahkan sebuah kotak berisi kue pada pelayan di belakangnya.

"Maaf kami datang terlambat. Macet banget tadi." Ujar Helena Tan sambil menyunggingkan senyum minta maaf.

"Nggak apa-apa. Kita juga baru datang." Bunda balas tersenyum.

"Dua menit lagi, kalian telat lima belas menit." Sahut Gie datar. Galang meremas pelan pundak Gie, memberi isyarat agar tidak menimbulkan tensi berlebih. Gie segera mengendalikan dirinya. Keluarga Tan duduk di kursi masing-masing. Hanya tersisa satu kursi yang kosong. "Papi mana?" Lanjut Gie saat menyadari Chandra Cheong tidak terlihat.

"Oh, mami lupa ngabarin kamu. Mami dan papi lagi ngurus perceraian. Opa baru mami kasih tau kalo papi sering selingkuh di belakang kita." Helena menjelaskan dengan santai sambil meletakkan lap di atas pangkuan.

Anggota keluarga Galang saling berpandangan dengan tidak nyaman. Mereka bingung dengan pembicaraan keluarga Tan yang dinilai terlalu blak-blakan.

Di luar dugaan, Gie malah mengangguk. Raut wajahnya masih tidak tertebak. "Memang sudah waktunya." Hanya Galang yang bisa mendengar gumaman itu. Ia menepuk-nepuk pelan punggung tangan Gie dari bawah meja.

"Apa kabar, pak Atmodjo?" Sapa Papa ramah.

Opa Atmodjo memperhatikan Derry Anthaka lamat-lamat, sedang mengingat-ingat. "Derry?" Opa bertanya balik dengan nada memastikan.

Papa tertawa. Ia bangkit dari kursinya untuk menghampiri Opa Atmodjo yang juga ikut bangkit berdiri. Dua laki-laki beda usia itu berpelukan erat. Opa Atmodjo-pun tidak bisa menyembunyikan senyum dari wajah rentanya yang pucat.

"Terakhir kita ketemu dua tahun yang lalu, kan? Ulangtahun perusahaannya Tommy Industry!" Meski ringkih, Opa Atmodjo masih bisa menepuk-nepuk punggung pria yang memeluknya. Papa tertawa sambil mengangguk sesekali.

"Pak Atmodjo makin kurus. Sehat-sehat saja, toh?"

"Ya, beginilah. Makin tua. Ayo duduk, saya nggak tahan berdiri lama-lama."

Papa Galang tertawa lagi sebelum kembali ke kursinya. Galang dan Elsa bertukar senyum puas melihat keakraban mereka. Saudara kembar itupun tidak menyangka kalau Opa Atmodjo masih mengingat Papa mereka.

"Gie tidak pernah cerita tentang keluarga suaminya." Opa Atmodjo melirik Gie yang sedang menyesap teh hijau dari cangkir keramik. Gerakannya anggun dan tenang. "Justru Gallagher yang datang menemui kami seorang diri." Giliran Galang yang dilirik. Cowok itu hanya menawarkan sebuah senyum simpul.

Seorang pelayan masuk ke ruangan mereka sambil membawa sebuah kue dengan hiasan buah-buahan.

"Kami sengaja bawa kue karena tau sekarang hari ulangtahun Gallagher dan Elsa."

Gie tersenyum tipis. Tentu saja Mami lebih dulu mencari tahu tentang suami dan iparnya. Jadi dia tidak terkejut. Gie mewarisi ke-kepo-an yang sama.

Kue besar itu diletakkan di tengah-tengah meja, kontras dengan makanan utama lain yang lebih dulu terhidang.

"Nggak usah pake lilin nggak apa-apa, ya? Saya alergi sama asap." Timpal Oma.

Mungkin dikira asapnya lilin mirip asap penyemprotan nyamuk. Keluarga Galang mengangguk mengerti.

"Nggak papa, oma. Habis ini juga kuenya dimakan. Terima kasih sudah repot-repot." Sahut Elsa.

Helena Tan bangkit dari kursi sambil membawa empat kantong hitam elegan. Ia memberikan kantong itu pada masing-masing anggota keluarga Galang. "Isinya nggak banyak, kok. Cuma parfum aja. Saya sengaja pilih sambil menebak-nebak kepribadian kalian. Semoga suka, ya?"

Mami Gie nampak lebih ceria malam ini. Lebih ceria daripada selama seumur hidup Gie mengenalnya. Mungkin itu efek dari perceraian dengan Chandra Cheong.

Ironis. Pikir Gie.

Acara makan bersama kedua keluarga itu berlangsung tenang. Kedua keluarga nampak langsung bisa mengobrol dengan akrab. Opa Atmodjo juga kelihatan santai saat berbicara dengan Papa dan Bunda. Sikapnya sama seperti saat mengobrol dengan rekan bisnis.

"Apa kabar, Gie?" Di antara obrolan kedua keluarga, tante Yvonne bertanya dengan suara pelan di sebelah Gie.

"Baik. Gie nggak pernah merasa seanxious ini." Jawab Gie.

Yvonne tersenyum tipis. "Kamu berhasil. Dulu aku nggak bisa meyakinkan Opamu untuk menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri. I'm so proud of you."

Gie mengangguk. "Tante Yvonne kurang nekat sedikit." Cewek itu mengangkat kepala dari piringnya. "Semuanya setuju sama pernikahan Gie?"

Tantenya itu mendengus kecil. "Kalo nggak setuju emang kalian bisa cerai?"

Gie tidak menjawab.

"Pernikahan kalian sudah terjadi. Kalo kami terus-terusan menghalangi kalian, bisa-bisa Opa kamu keduluan meninggal karena jantung. Dokter bilang, Opa nggak boleh banyak pikiran. Harus senang setiap saat. Mengikhlaskan kamu dianggap sebagai salah satu bentuk penyembuhannya." Yvonne menyenggol lengan sang keponakan. "Baik-baik sama Opa. Orangtua terlalu gengsi untuk memulai lebih dulu."

Gie terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Ia terus memandangi Opa Atmodjo yang kelihatan lebih kurus dan pucat dari terakhir kali mereka bertemu. Jauh di lubuk hati Gie, ia merasa sedih dengan kondisi kesehatan Opa. Tapi mau bagaimana lagi, tiap mereka bertemu selalu saja ada hal yang memicu pertengkaran. Gie jadi was-was untuk sekedar menjenguk Opa.

"Nanti Gie main ke rumah buat minum teh sama opa dan oma."

"Kamu emang udah lama nggak pernah nuang teh untuk mereka." Timpal Yvonne.

Gie menunduk. Raut penyesalan tergambar jelas di wajahnya.

Helena menepuk tangannya sekali meminta perhatian semua orang. "Satu hal yang paling saya tunggu untuk dibicarakan malam ini adalah rencana resepsi Gie dan Gallagher."

"Betul, betul. Kita harus merencanakannya sesegera mungkin!" Bunda nampak bersemangat.

Galang menoleh ke arah Gie yang sedang menunduk dengan tatapan kosong. Ia langsung menyentuh lengan Gie. "Kenapa, sayang?"

Gie mengangkat wajah, lalu buru-buru tersenyum. "Nothing. Cuma agak bingung."

Galang mengusap punggung tangan Gie, tiba-tiba jadi sebal sendiri karena jarak duduk mereka agak jauh. Pengaturan meja di restoran Cina memang membuat pasangan baru seperti mereka jadi tidak bisa leluasa untuk bersentuhan.

"Kalian setuju?" Tatapan semua orang tertuju pada Galang dan Gie, membuat keduanya saling berpandangan bingung.

"Setuju apa, ya?" Ulang Galang tidak mengerti. Dia terlalu fokus pada Gie sampai tidak mengikuti perkembangan obrolan tentang resepsi.

"Resepsi pernikahan kalian di Surabaya aja. Opa kan nggak bisa bepergian jauh. Gimana? Kalian setuju?" Elsa berbaik hati untuk mengulang pertanyaan.

Galang memandang Gie, meminta pendapat. Gie balik menatapnya, lalu beralih menatap Opa yang duduk di sebelah Mami. "Gie sama Galang setuju aja apa kata keluarga."

Para wanita di sana mengangguk puas. Mereka mulai melanjutkan diskusi tentang pesta resepsi lagi. Topiknya sudah beda, mau yang tradisional atau internasional. Oma ingin yang tradisional seperti kultur asli keluarga Tan. Helena tidak setuju karena keluarga Galang bukan berasal dari etnis yang sama dengan mereka. Bunda coba melerai dengan menawarkan opsi campuran. Elsa sibuk menonton diskusi seru itu. Sementara Opa dan Papa Galang mengobrol tentang golf. Kelihatannya mereka janjian akan main golf dalam waktu dekat.

***

Saat Gie menunggu Galang yang sedang membayar makanan mereka, rombongan Opa berhenti di depannya.

"Kalau banyak waktu, pulang ke rumah. Kunjungi opa." Ujar Opa Atmodjo dengan nada dingin. "Anak durhaka. Mau nunggu opamu mati dulu baru mau pulang?" Lanjutnya.

Gie menghela napas berat. Tanpa banyak bicara, ia beringsut maju untuk memeluk tubuh ringkih Opa, membuat orang tua itu terkejut.

"Gie juga kangen sama opa. Nanti Gie sama Galang pasti main ke rumah, kok. Opa jangan buru-buru mati dulu. Kan belum nimang cicit dari Gie." Kata Gie di balik punggung opa.

Yvonne dan oma mengulum senyum.

Opa Atmodjo balik memeluk cucunya. "Malu dilihat orang."

Gie dan Opa Atmodjo kompak melepas pelukan singkat mereka. Cucunya itu memandangi opa yang kelihatan sedang menghindari tatapannya.

"Kali ini, kami hargai keputusan kamu. Pintu kami selalu terbuka lebar, kalau-kalau kamu merasa menyesal menikah dengan Gallagher." Kali ini giliran Oma yang memeluk Gie.

"Makasih, oma. Kedatangan kalian malam ini berarti besar buat Gie." Balas Gie.

Giliran Mami yang memeluk anak tunggalnya. "Anak mami sudah dewasa sekarang." Helena memandangi Gie lekat-lekat sebelum memeluk Gie erat. "Selamat atas pernikahanmu." Lanjut Mami sambil mencium kepala Gie.

"Makasih, mi."

Yvonne merogoh isi tas jinjingnya lalu mengeluarkan sebuah dompet. Itu dompet Gie. Ia mengembalikan dompet itu pada sang keponakan. "Kamu hebat juga bisa bertahan selama ini tanpa kartu."

Gie menerima dompet itu dan langsung memasukkannya ke dalam tas. "Ada Galang."

"Semoga dia nggak bangkrut punya istri kayak kamu."

Gie hanya bisa mendengus sebal.

***

Gie bersikeras untuk mengambil alih kemudi. Jadilah Galang duduk di kursi penumpang sambil mendengarkan lagu yang diputar dari radio dalam volume rendah.

"Kok kamu nggak nanya masalah papi sama mami Gie yang cerai tiba-tiba?" Tanya Gie penasaran.

"Aku rasa kamu nggak mau bahas itu."

"Oh."

Melihat respon Gie, mau tak mau Galang jadi penasaran juga. "Kok kamu biasa aja nanggepinnya?"

Gie mengedikkan bahu. "Papi udah lama selingkuh dari mami. Kehadirannya juga nggak berdampak besar buat Gie. Selama ini yang benar-benar berpengaruh buat hidup Gie cuma opa, oma, mami, dan tante Yvonne. Sekarang ditambah kamu." Jawabnya santai.

"Kamu nggak merasa kehilangan sosok papi kamu?"

Gie terdiam cukup lama. "Kehilangan. Tapi kalo perceraian mereka bikin mami bahagia, why not? Gie dukung aja. Toh papi nggak kehilangan banyak. Opa udah kasih beberapa perusahaan buat papi kelola. Termasuk stasiun TV. Lagian, bukan berarti kami berpisah selamanya. Gie masih bisa ketemu papi kalo Gie mau."

Galang menggaruk pelipisnya. "Bukan itu yang aku maksud." Ia membetulkan duduknya. "Secara emosional kalian nggak dekat?"

Gie menggeleng singkat. "Papi nggak pernah berusaha buat dekat sama Gie."

Cowok itu memperhatikan Gie lekat-lekat dari kursi samping. "Keluarga kamu unik."

Gie hanya tersenyum simpul. "Kalo kita punya anak nanti, Gie nggak akan membiarkan dia tumbuh jadi seperti Gie. Dia harus berlimpah kasih sayang."

Galang mengangguk setuju. "Kita mau kemana? Ini bukan jalan pulang." Ia memandang jalanan yang sedang mereka lewati.

"Oh, Gie belum ngasih tau, ya? Gie mau ajak kamu liat kado ulangtahun." Gie mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum misterius.

"Kado?"

"Iya, kan Gie belum ngasih kamu kado."

Perasaan Galang tidak enak. "Sayang, hadiahnya jangan mahal-mahal."

Gie tidak menjawab.

"Aku serius. Daripada dipake ngasih aku kado, mending duitnya ditabung." Galang mendadak berubah pikiran. Menabung? Gie kan nggak perlu nabung!

Gie masih enggan merespon.

Cewek itu tetap diam sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah hanggar besar milik salah satu maskapai yang lokasinya dekat bandara. Perasaan Galang makin tidak enak saat Gie menyuruh mereka turun dari mobil.

Mereka disambut oleh seorang laki-laki berpakaian jumpsuit abu-abu. Laki-laki itu bersalaman dengan Gie dan Galang sebelum memimpin jalan menuju hanggar.

Begitu hanggar di depan mereka dibuka, Galang hanya bisa terpaku memandangi sebuah pesawat jet pribadi keluaran Embraer. Di ekor pesawatnya terdapat tulisan Phenom 300 yang tercetak tebal. Pesawat ini terkenal mewah, dan harganya mencapai sepuluh juta dollar. Galang bisa mengendarainya seorang diri tanpa co-pilot.

"Selamat ulang tahun." Gie memperhatikan ekspresi Galang dengan hati cemas.

Galang menatap pesawat itu dan Gie bergantian. Satu tangan Galang terangkat untuk mengusap leher. Hidungnya berkerut tak nyaman. Gie hafal dengan gestur itu.

"Nggak semahal yang kamu kira, kok. Ditambah kita bisa nyewain pesawat ini kalo lagi nggak dipake." Tambah Gie buru-buru.

Galang menghela napas. Ia berbalik untuk menghadap Gie. "Tahun depan kamu berencana ngasih kado apalagi?" Ia meraih tangan kanan Gie untuk mengecup punggung tangan cewek itu sekilas. Gie sulit membaca ekspresi Galang, jadi ia putuskan untuk menjawab dengan jujur.

"Belum tau. Tergantung kamu pengennya apa."

"Masa kamu mau ngasih aku kado kayak begini tiap tahun? Maksudku, harganya..." Galang buru-buru menggeleng. Ia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat tanpa membuat istrinya sedih atau tersinggung. Galang menarik tubuh Gie lebih dekat. "Kalo disuruh milih, aku suka kado yang lebih sederhana daripada ini. Misalnya, kamu yang pake lingerie tembus pandang di atas tempat tidur, lagi nungguin aku." Lanjutnya dengan suara rendah setengah berbisik.

"Eh?" Gie mengernyit. Ia memandang pesawat jet pribadi tak jauh dari mereka berdiri. "But you can have me everyday." Gie mengangkat kepala untuk menatap Galang tak mengerti.

"Itu dia. Dapetin kamu aja udah jadi kado terindahku tahun ini." Galang mencium bibir Gie lambat-lambat. "Jadi nggak perlu dikasih pesawat juga." Lanjut cowok itu.

"Terus gimana? Masa dijual lagi? Gie suka yang ini." Gie menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi kecewa.

"Udah terlanjur dibeli. Disewain aja. Kita bisa pake kapan-kapan kalo kamu mau."

"Kamu nggak suka ya kadonya?" Kedua ujung bibir Gie menekuk ke bawah.

"Bukan nggak suka. Aku cuma ngerasa ini terlalu berlebihan."

Gie menghela napas. "Maaf kalo Gie udah bikin kamu nggak nyaman."

Galang membawa tubuh Gie dalam pelukannya. "Kenapa minta maaf? Aku berterima kasih karena kamu sempat nyariin aku kado tepat waktu. Beli pesawat kan nggak mudah."

"Kalo Gie yang beli sih gampang aja." Gie balik memeluk Galang. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Galang yang bidang.

***

Galang meraih hp di atas nakas dengan satu tangan. Matanya masih setengah terpejam. Namun berhubung telinga Galang sensitif, jadi dia langsung terbangun saat mendengar notifikasi pesan masuk ke hpnya. Sudah jam satu malam.

Siapa orang yang mengiriminya pesan selarut ini?

Begitu membuka pesan yang baru masuk, Galang mendesah pelan. Harusnya ia tahu.

From: Lea
Selamat ulang tahun. Malam ini aku mikirin kamu terus. Mungkin untuk malam-malam berikutnya setiap tanggal 21 Agustus juga gitu. I love you.

Galang mematikan hpnya sebelum Gie ikut terbangun. Ia merasa mereka harus membahas ini cepat atau lambat sebelum Gie tahu dari orang lain. Tidak ingin menahan ngantuk lebih lama lagi, ia melanjutkan tidur sambil memeluk Gie.

***

Hai, haiii....
Selamat bagi yang udah baca sampe sini!

mechanic&lover udah mau berakhir~~~~

Seperti biasa, share dong tentang part-part mana yang paling kalian suka!

Pengen tau banget apa kalian menikmati ceritanya ato enggak.

Ditunggu komennya ya reader tercintaaahhhh....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro