Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 | THE BOSS

Malam ini dua bab.

Selamat membaca ^^

***

Saat menyadari Galang tidur di sebelahnya, Gie langsung menindih tubuh Galang untuk memeluk cowok itu erat-erat. Galang sampai terlonjak kaget karena paru-parunya tiba-tiba terhimpit.

"Ugh, pagi juga sayang." Sambil menahan sesak napas, Galang mencium puncak kepala Gie. Toh sudah waktunya mereka bangun. Hari telah beranjak siang. "Gie, aku susah napas." Galang menepuk punggung Gie pelan ketika menyadari Gie tidak juga beranjak dari tubuhnya.

Gie mengangkat kepala, wajah bangun tidurnya berubah muram saat melihat ada yang ganjil dari wajah Galang. "Kenapa mukamu bengkak sebelah? Siapa yang mukul?"

"Dielus dikit juga sembuh." Untuk membuktikan ucapannya, Galang membawa telapak tangan Gie yang halus untuk mengusap kulit pipinya yang bengkak.

"Kamu tau siapa nama dia?" Gie menarik tangannya untuk coba meraih hp di atas nakas. Gerakannya lebih dulu ditahan Galang. Cowok itu tahu kalau Gie akan menelepon entah siapa lalu membuat orang yang habis membuat wajahnya bengkak dipecat atau mendapat hukuman setimpal.

"Udah diberesin tante Yvonne." Jawab Galang sambil memegangi pergelangan tangan Gie.

Kedua alis cewek itu masih menyatu, pertanda kalau dia belum puas. "Apa yang terjadi kemarin? Kenapa tante Yvonne ikut campur?"

"Tante kamu dateng waktu aku diinterogasi. Dia juga nyabut laporan dan aku dibebasin. That's all."

"Kok tante Yvonne berani sama opa?" Gie benar-benar heran. Meskipun tante Yvonne sering membantunya, tantenya itu tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan sikap kontra terhadap Opa Atmodjo.

"Opa kamu yang nyuruh buat nyabut laporan."

Dahi Gie berkerut. "Kok bisa?"

"Aku mau cerita sesuatu tapi kamu jangan marah, ya?"

Gie diam sebentar, otaknya berputar untuk mengaitkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. "Kamu ketemu opa."

Galang tidak terkejut Gie dapat menebak. Jadi ia mengangguk.

"Kamu bikin kesepakatan sama opa." Tebak Gie lagi.

"Umm..." Galang berpikir sejenak. "Bukan kesepakatan juga sih. Ancaman lebih tepatnya."

Kedua mata Gie membulat.

Galang melanjutkan, "Aku bilang bakal ngasih tau temen-temen jurnalisku buat ngeberitain penangkapan kemarin. Biar saham Tan Group terjun bebas. Mereka nggak mau ambil resiko itu, jadi opa kamu nyuruh tante Yvonne buat nyabut laporan." Ia merapikan rambut Gie yang berantakan karena habis bangun tidur. "Aku juga ngundang keluarga kamu buat makan malam bersama minggu depan. Papa sama bunda ke Surabaya."

"Itu kan acara ulangtahun kamu sama Elsa. Kok ngundang keluarga Gie? Nanti kalo ujung-ujungnya berantem gimana?"

"Kita usahakan bukan pihak kita yang mulai duluan."

Gie baru akan protes ketika bibirnya dibungkam oleh Galang. Cowok itu memindah posisi tubuh mereka hingga sekarang Gie berada di bawah tubuhnya. Galang suka memandangi wajah Gie. Bahkan dengan mata bengkak habis menangis semalaman begini, dia tetap jadi yang tercantik.

"Pipi kamu harus dikompres pake es." Ujar Gie dengan kedua ujung bibir menekuk ke bawah.

Galang bergumam setuju. Ia meninggalkan kecupan-kecupan kecil seringan bulu di atas kulit Gie. Kepala Gie masih berkabut, terlalu penuh sesak dengan pikiran hingga tak bisa merasakan sentuhan dari Galang. Cowok itu jelas tahu apa yang ada di pikiran sang istri. Ketika sesuatu terjadi di luar skenarionya, maka cewek itu akan sibuk berpikir 'kenapa', 'bagaimana', 'apa', dan 'kapan'. Seakan seluruh dunia ini seharusnya berjalan di bawah kendali Gie seorang.

Tangan kanan Galang menyusuri betis Gie dan terus naik ke atas sampai menyibak gaun tidur berbahan sutra yang sedang Gie kenakan. Telapak tangan Galang yang kasar terasa amat kontras dengan permukaan kulit Gie yang halus. Ia mencium bibir Gie dalam-dalam, menyerap seluruh beban pikiran Gie lewat bibirnya. Kedua mata Gie terpejam. Lidah Galang menyapu bibir bawah Gie dengan gerakan sensual, menggodanya untuk terbuka. Bersamaan dengan itu, jemari Galang juga bergerak naik ke paha bagian dalam Gie, gerakannya pelan dan pasti. Seperti sedang menjanjikan sesuatu. Sebuah desahan lolos dari kedua bibir Gie saat jari-jari Galang menggoda tubuh bagian bawah Gie lewat celana dalam yang ia kenakan. Cowok itu menelan suara-suara kecil yang ditimbulkan oleh perempuan yang dipujanya. Dia suka respon Gie. Dia suka tubuh Gie yang sensitif di bawah sentuhannya.

Gie melingkarkan kedua lengan ke leher suaminya, menyisir rambut bagian belakang Galang dengan jari-jari. Kedua tangan Gie sesekali turun untuk menyusuri lengan dan punggung Galang yang padat oleh otot. Ia mendesiskan persetujuan saat Galang menarik celananya sampai kaki. Dia tidak keberatan melakukan morning quickie di atas tempat tidur. Dia memang membutuhkannya. Mereka berdua membutuhkannya.

***

Galang sedang memasak sambil meletakkan kompres es di pipinya yang kelihatan makin bengkak. Selang beberapa lama, istrinya turun.

Gie berjinjit agar bisa mencium pipi Galang. Suaminya itu terlihat paling seksi kalau sudah pakai apron dan memasak di dapur. Kedua tangannya lincah menggoyangkan wajan agar masakan tercampur rata. Bukannya menerima kecupan selamat pagi dari Gie, Galang malah mencondongkan tubuh ke samping, membuat bibir Gie gagal menyentuh pipinya. Gie tidak kehabisan akal. Ia menarik tali apron Galang lalu memaksanya berbalik untuk bertatap muka dengan Gie. Cewek itu memeluk leher Galang dan melompat agar bisa bergelayutan di tubuh tegap sang suami.

Galang tertawa. Ia menahan tubuh Gia agar tidak merosot hingga membuat kompres es terjatuh ke lantai. Kedua kaki Gie sudah melingkar kuat di sekeliling pinggangnya. Galang mendudukkan Gie di atas conter top, lalu mengecup bibirnya yang masih nampak bengkak akibat ciuman pagi tadi.

"Gie pinjem mobil kamu, boleh?"

Galang mengernyit. "Ngapain pake ijin? Kamu tau dimana kuncinya." Ia mengecup pipi Gie.

"Siapa tau hari ini kamu butuh."

"Emang mau kemana?" Bibir Galang sudah turun untuk menciumi rahang Gie.

"Gie mau shopping biar nggak suntuk."

Sebuah tawa kecil lolos dari bibir Galang. Ia memandangi Gie lekat-lekat. "Belanja di Bursa Efek?"

Gie mengangguk. "Ada sepuluh perusahaan yang lagi sale sekarang. Gie pengen beli empat perusahaan yang udah Gie incer lama banget. Syukur-syukur bisa dapet semua."

Galang manggut-manggut. "Hobi shopping kamu bukannya ngabisin duit malah ngedobelin duit."

Gie tersenyum kecil. Manis sekali. "Nggak rugi kan punya istri kayak Gie? Udah cantik, pinter nyari duit lagi." Ia mengedipkan mata. Komentarnya itu dihadiahi sebuah ciuman dari Galang. Tepat di bibir.

"Nggak mau dianter aja?" Tawar Galang.

Gie menggeleng. "Kamu dibutuhin di bengkel. Pastiin barang-barang yang disita kemarin balik ke gudang dalam kondisi lengkap, ya?"

Galang mengangguk. "Siap, bu bos!"

"Masakan kamu gosong, tuh." Dagu Gie menunjuk wajan di belakang Galang, membuat cowok itu langsung melepaskan diri darinya untuk mengurus masakan yang memang hampir gosong kalau saja tidak segera diaduk. Gie melompat turun dari counter top. "Masak yang enak ya, Chef?" Ia menepuk bokong Galang sekali sebelum naik ke lantai tiga untuk mandi.

***

Salah satu alasan kenapa selama ini Galang ogah merekrut karyawan cewek adalah supaya montir-montirnya tidak salah fokus seperti sekarang. Hari ini Mareta, -asisten Gie di bengkel- sedang melakukan briefing pada lima orang staff perempuan yang akan bertugas sebagai front liners. Menjadi resepsionis dan customer care. Mereka adalah fresh graduate universitas swasta di dekat-dekat sini. Cantik-cantik dan pasti cerdas-cerdas.

Galang berdeham saat ia turun ke lantai satu dan mendapati semua montirnya sedang memandangi lima orang karyawan baru tanpa berkedip. Saking gagal fokusnya, Kriting sampai mengelap wajah Bowo dengan kanebo, mengira kalau yang sedang ia bersihkan adalah velg mobil di pangkuan.

Di lain pihak, lima karyawan baru yang masih segar-segar itu justru gagal fokus karena melihat Galang yang baru turun. Sesekali mereka curi pandang dan salah tingkah sendiri. Karena terganggu dengan tingkah mereka, akhirnya Mareta memanggil Galang untuk memperkenalkan sang bos. Mareta ingin mereka jadi tahu diri setelah mengenali bos mereka sendiri.

"Semoga kalian suka kerja di sini." Galang langsung berpamitan setelah mengenalkan dirinya, tak betah lama-lama jadi pusat perhatian karyawannya sendiri.

Di antara lima karyawan baru itu, ada satu sosok yang paling menarik perhatian karena kemolekan tubuh dan wajahnya.

"Itu yang namanya Irene? Geulis pisan!" Ujar Charli sambil mendecakkan lidah, lagi-lagi tanpa berkedip.

"Kalo pemandangannya begini tiap hari, betah sampe tua aku kerja di sini." Timpal Dani.

Irene dan teman-temannya diajak berkeliling oleh Mareta. Para montir langsung memperbaiki pakaian dan rambut mereka, bersiap dikenalkan.

"Ntar abis makan siang ada kiriman dateng. Barang-barang yang disita kemarin dibalikin. Lo pegang daftarnya kan, Dan?" Tanya Galang pada Dani yang sedang mengedipkan mata dengan genit ke arah Irene. "Dani!" Panggil Galang lagi.

"Eh iya, bos. Ada kok ada!" Meski gelagapan, dengan cepat Dani bisa menguasai diri dan kembali fokus pada cewek-cewek cantik di depannya.

Cewek-cewek itu?

Mereka justru sibuk senyum-senyum dan tebar pesona pada Galang.

Di satu sisi, Galang sebenarnya bersyukur dengan kehadiran karyawan-karyawan baru ini karena kedatangan mereka mengalihkan pikiran para karyawan lain tentang insiden kemarin. Di sisi lain, separuh karyawan berjenis kelamin laki-laki di bengkel ini jadi mendadak bego.

"Bos kita kan masih muda. Dipanggilnya 'Pak' ato 'Mas'?" Tanya Irene dengan nada manis yang dibuat-buat. Ia sadar kalau Galang bisa mendengarnya juga.

"Panggil 'Pak'." Jawab Mareta lugas.

"Pak Galang mukanya kenapa kok merah sebelah?" Tanya Irene lagi sambil terkikik geli karena mengira Galang sedang malu-malu kucing dengannya. Padahal pipi Galang memang merah sebelah sejak kemarin.

Galang hanya tersenyum kecil, enggan menjawab. Ia mengulurkan tangan pada Dani, menagih daftar barang sitaan yang diklaim Dani 'ada' tadi. Tanpa mengalihkan pandangan dari Irene, Dani menyerahkan dua lembar kertas pada Galang. Bosnya itu langsung memeriksa satu-satu barang yang tertulis di sana.

Rubicon putih berhenti di depan bengkel. Galang hanya melirik sekilas karena tahu Gie yang mengendarainya. Dollar melompat turun lebih dulu ketika pintu mobil dibuka. Anjing kecil itu berlari dengan semangat ke arah Galang. Melihat Dollar berputar-putar di kakinya minta perhatian, akhirnya Galang mengangkat anjing itu ke pelukan.

"Imut banget anjingnya!" Irene dan teman-temannya memekik tertahan karena melihat Dollar digendong oleh Galang. Intuisi Dollar kuat, jadi dia menyalak senang saat dipuji begitu.

Galang tersenyum ke arah Gie yang baru keluar dari mobil membawa beberapa kotak pizza. "Surabaya kok makin panas aja, sih!" Gerutu Gie ke diri sendiri. Meski sudah mengenakan gaun panjang gaya bohemian berbahan dingin, Gie tetap merasa kepanasan. Gaun itu berbelahan kaki tinggi, memamerkan salah satu pahanya yang putih mulus. Ia memilih sepasang boots coklat setinggi betis sebagai alas kaki. Kedua mata Gie terlindung oleh kacamata coklat berbingkai edgy, serasi dengan warna gaun dan tas kulit di tangan.

Galang memperhatikan penampilan Gie dari kepala sampai kaki. Ia membuat catatan dalam hati untuk mengajak Gie membicarakan pilihan baju saat bekerja di bengkel. Istrinya ini tidak sadar kalau tubuhnya di atas rata-rata. Galang hanya tidak mau laki-laki lain memandangi istrinya lalu berfantasi aneh-aneh.

"Pizza tiga kotak buat cemilan. Cukup nggak?" Tanya Gie sebelum mengecup pipi merah Galang sekilas, membuat karyawan-karyawan baru yang kebetulan sedang melihat mereka keheranan sekaligus kesal.

Datang-datang main sosor aja! Pikir mereka serempak.

"Cukupppp!" Suara Dani terdengar paling kencang. Ia bangkit berdiri lalu mengambil alih kotak-kotak pizza dari tangan Gie.

"Gie langsung naik. Panas!" Gie mengipasi lehernya yang berkeringat dengan tangan, lalu pergi menuju tangga. Begitu melihat paha Gie terpampang setiap ia memanjat anak tangga, Galang langsung pergi menyusul istrinya. Pembicaraan tentang baju kerja betul-betul mendesak.

"Cewek itu siapa, mbak?" Irene menunjuk Gie.

Mareta mengangkat alis. "Bu Regie. Bos kalian juga."

Irene dan teman-temannya ber'ohh' meski dalam hati mereka masih menyimpan kedongkolan. "Ada hubungan apa sama pak Galang?" Irene menyuarakan rasa penasarannya.

"Istrinya. Jadi kalian jaga sikap mulai detik ini, ya?" Jawaban Mareta membuat cewek-cewek itu langsung kicep.

***

"Kamu nggak ada baju lain yang bisa dipake buat kerja di bengkel?" Tanya Galang saat menutup pintu ruangan kerja mereka.

Gie berdiri di bawah air conditioner, menikmati sensasi dingin yang menerpa tubuhnya yang agak berkeringat. "Kenapa sama baju Gie?" Cewek itu malah balik bertanya.

Galang menurunkan Dollar ke lantai. Ia menghampiri Gie, lalu memutar tubuhnya. Cewek itu meletakkan kedua tangan di pinggang sambil menaikkan kedua alis tinggi-tinggi. Galang memang sering berkomentar tentang penampilan Gie sebelum ini, tapi tidak pernah sampai memaksa untuk memilih baju lain.

Suaminya itu menarik kain di sekeliling kaki Gie hingga belahan gaunnya tertutup. "Ini, lho! Niat pake baju ato enggak, sih? Kayak kurang bahan aja!" Omel Galang dengan dahi berkerut tak suka. "Di bengkel banyak cowok!"

"Kan enak, dingin." Gie ikut mengernyit karena alasan absurd Galang. "I like it this way!" Ia mengibaskan tangan Galang dari gaunnya.

"Besok-besok aku aja yang beliin kamu baju!"

"Nggak mau! Nanti kamu pilihin baju tertutup dari kepala sampe kaki. Gerah!"

"Justru emang itu tujuannya baju! Buat nutupin badan kamu!"

"Ini bukan winter, sayang. Surabaya itu panas." Gie coba bernegosiasi dengan nada sehalus yang dia bisa.

"Banyak baju tertutup yang adem. Ini juga udah bagus, tapi yang ngejahit nggak niat sampe bawahannya digunting segini banyak."

"Ini bukan digunting! Udah modelnya begini!"

"Kalo kamu nggak mau buang baju itu, biar aku yang buang."

"Sembarangan! Ini limited edition!"

"Motifnya kayak daster begitu, di pasar juga banyak!"

"Daster???" Gie mendelik mendengar baju yang dibelinya di Paris disebut mirip daster. Ia memegangi pelipisnya. "What the hell is wrong with you?"

"Aku cuma nggak suka kamu pake baju terbuka kemana-mana. Boleh pake, tapi kalo pas di rumah aja. Pas cuma ada aku yang liat."

Bahu Gie merosot. Ekspresinya kini melunak. Oh, ternyata Galang cemburu gara-gara baju. Ngomong kek daritadi!

"Oke, oke. Besok Gie nggak pake baju yang kayak gini lagi. Kamu mau Gie pake baju formal kantoran yang ngebosenin itu, kan? Besok Gie pesan baju banyak-banyak sesuai yang kamu mau. Puas?"

Galang mengangguk. Kedua matanya masih memandangi bawahan Gie dengan alis menyatu. "Itu bawahannya dikasih peniti, ya?"

Gie gemas bukan main.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro