Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sahabat Pertama

Deka berjalan dengan seragam di tubuh kecilnya, tas cokelat di punggungnya, dan topi di kepalanya. Hari itu matahari sangat terik, dan kakinya yang mungil harus berjalan setidaknya satu kilometer untuk sampai rumah, melewati perumahan, sawah, dan barulah masuk ke perkampungan.

Di tengah perjalanan, Deka mendengar sesuatu yang familier, tapi tak bisa dipedulikan. Dicarinya asal suara, dan seekor anak kucing tengah bersembunyi di bawah gerobak. Warnanya bukan hitam, atau cokelat, atau abu-abu, tapi agak mirip seperti itu. Dan anak tujuh tahun itu tidak tahu bagaimana menyebutnya, karena tidak ada dalam warna krayon dalam tasnya. Meski begitu, kucing kampung dengan warna ini pun bisa kau temukan di mana pun—bahkan di luar negeri, mungkin.

Deka berjongkok, sedikit membungkuk, memerhatikan si anak kucing yang meringkuk. Tubuhnya sangat kecil—mungkin sekepalan tangan—dan kurus. Dia mengeong mungkin mencari ibunya, tapi dengan keadaan seperti ini, mungkin si anak kucing sudah tidak makan berhari-hari. Kasihan sekali. Tapi ...

"Emak bakal marah enggak, ya?"

Deka menggali memori tentang dirinya yang menangis sambil guling-gulingan di lantai karena tak dapat izin memelihara kucing. Alhasil, sapu lidi yang biasa Mama pakai untuk menyapu jalan gang di depan rumah melayang-layang ke arahnya. Masalahnya ..., Kalau dibiarin anak kucingnya bisa mati.

Jadi ... Bodolah! Yang penting bawa pulang dulu.

Dan ide brilian anak itu sebatas meletakkan si anak kucing di dalam kardus, dan menggunakan uang jajan ibunya untuk membeli susu saset dan sebatang sosis. Setidaknya kucing itu bisa minum dan makan dulu. Omong-omong, ibu Deka pergi ke pemakanan setelah membeli bunga tujuh rupa, jadi untuk sementara aman.

Sayangnya, justru di saat ibunya pulang, Deka malah tertidur dengan anak kucing di sebelahnya. Sontak, ibunya marah besar.

"Dekaaa!"

Deka pun terbangun dan nyaris melompat dari tidurnya. Ibunya sudah ada di hadapannya, berkacak pinggang, melotot.

"Ini apa-apaan? Jelasin!" telunjuk Ibu menunjuk si anak kucing yang masih tertidur lelap—mungkin karena kekenyangan.

"I-itu, Mak. Aku nemu di jalan, sendirian, kurus, kepanasan. Kasihan."

"Bawa balik! Nanti ibunya cariin!"

"Dia sendirian, Mak! Masa enggak paham? Kayaknya dia udah di jalanan berhari-hari, makanya kurus banget, kan?"

Si Ibu terdiam.

"Seenggaknya tunggu dia agak gede dulu, Mak. Biar bisa cari makan."

Si Ibu masih diam.

"Please, Mak. Please! Kali ini aja. Kasian, Black."

"Black? Itu nama kucingnya?"

Deka mengangguk takut-takut.

"Bawa kardus, pulangin ke tempat yang kamu nemu tadi. Biar dicari ibunya!"

"Mak," rengek Deka.

"Sekarang!"

"EMAAAK!" jerit Deka dan kembali menangis berguling-guling.

***

Deka, mau tak mau, setelah meraung dua jam dan berteriak-teriak, "Mak jahat! Emak tega! Emak lampir! Pokoknya kalo kucingnya mati salah Emak!"

Akhirnya muncullah benjol di kepala Deka, sehingga dengan berat hati dibawanya kembali kucing yang sempat dipungutnya ke dalam kardus, meletakkan di dekat gerobak tempat di mana ia menemukan Black, dengan semangkuk kecil susu dan dua buah sosis.

"Hah! Kayaknya sampai sini perjumpaan kita. Aku khawatir aku nggak bisa ketemu lagi."

Meski berkata begitu, Deka tak kunjung pergi bahkan sampai orang-orang menghidupkan saklar lampu. Udara menjadi dingin. Orang-orang yang tadi berlalu lalang dan melihatnya dengan penasaran pun menghilang satu per satu.

Akhirnya, diambilnya dan dipangkunya lagi Black. Ia benar-benar tidak tega. Tapi, sampai kapan terus begini? Deka bahkan tidak tahu jam berapa sekarang. Bagaimana jika ketika ia pulang pintu rumah sudah ditutup dan dikunci? Apa ia harus tidur di luar sendirian? Tapi jika ia tinggalkan Black maka anak kucing kurus itu juga akan sendirian, kan? Deka mengembuskan napas kasar.

Di saat-saat yang hening itu, muncul seluet di kejauhan. Awalnya, Deka ketakutan, tapi akhirnya sadar bahwa itu Emaknya yang mirip setan.

"Mak!" bentak Deka sambil berdiri. "Kenapa sih pake baju putih sambil maskeran? Deka kan pikir Bu Kunti!"

"Terus kamu sendiri kenapa enggak pulang? Belum sholat Maghrib, kan?" tanya Emak galak seraya berkacak pinggang.

Alih-alih menjawab, Deka malah melihat Black di gendongannya. Jelas, anak itu tidak tega.

Emak mengambil napas panjang, memegang dahinya yang terasa pusing. "Ya udah, bawa deh tuh anak kucing ke rumah," ujarnya pasrah.

"Beneran, Mak?"

Emak menangguk.

"Makasih, Mak. Deka sayaaang Emak!" Kemudian membuat simbol cinta dengan jempol dan telunjuknya.

"Dih!"

Sejak saat itu Deka dan Black layaknya amplop dan perangko. Ketika Deka tidur, maka Black akan tidur di sampingnya. Saat Deka makan, anak itu sebelumnya sudah menyiapkan nasi yang dicampur ikan, ketika Deka main Black pun membuntuti. Tapi ketika sekolah, anak kucing itu akan duduk atau tertidur di depan pintu rumah, menanti.

Dan, ada beberapa hal yang membuat Emak perlahan-lahan membuka hatinya kepada Black juga. Pertama, Black tidak pernah ketahuan kapan atau di mana pipis atau eeknya. Kedua, setiap pagi, Black akan mengendus dan menjilati kuping Deka supaya anak itu bangun dan memberinya makan. Jelas, ini menguntungkan Emak yang sudah keterlaluan kesal harus melakukan hal itu setiap pagi. Ketiga, Black yang semakin gemuk pun kadar keimutannya bertambah setiap hari. Jadi, Emak yang awalnya berniat membuang Black ketika Deka sekolah pun melupakan niatannya.

Hari-hari bersama Black terasa begitu menyenangkan bagi keluarga itu, karena Emak da Bapak pun dari awal tidak keberatan—karena kucingnya masih satu. Sampai akhirnya ...

"Mak, Deka pulaaang!"

Emak melihat kucing baru di gendongannya, sama seperti yang Black lihat juga.

"Mak, aku nemu kucing di jalan. Kasihan. Kurus, sakit. Kalo dibiarin nanti bisa mati."

Emak menepuk kepala. Sedangkan Black terduduk dengan hati hancur. Biasanya, ketika pulang sekolah, anak itu akan menggendong dan menciumnya. Kali ini tidak. Bukan hanya itu, si kucing baru bahkan jauh lebih diperlihatkan, dan Black malah merasa seperti tidak kelihatan. Deka egois. Jahat!

Deka sendiri tidak tahu perasaan Black, meski mereka sudah hidup bersama sudah lebih daripada satu tahun. Black sudah besar. Dia sudah menjadi kucing yang sehat dan tampan, sedangkan kucing baru yang ia bawa bahkan keadaannya lebih miris daripada ketika Black ditemukan. Jelas, kucing ini sakit. Ketika Deka memberinya makan saja, ia hanya mau makan sedikit. Ini membuat Deka khawatir dan melupakan Black untuk sementara waktu hingga ... untuk kali pertama di dalam hidupnya Black tidak lagi membangunkannya.

"Mak, Black mana?" tanya Deka suatu pagi.

"Enggak tahu. Dari bangun Mama enggak liat tuh."

Deka mencarinya ke sepenjuru rumah, tapi tidak ketemu. Sayangnya dia harus sekolah. Berharap Black akan muncul ketika ia pulang di depan pintu, mengeong, meminta dielus dan digendong. Tapi, dia tidak ada.

Malam itu, Deka duduk merenung dalam ruangan gelap sambil jaga lilin karena mati lampu dan angin berembus lumayan kencang. Membayangkan hari-hari manis dengan Black, sahabat pertamanya, yang tak mungkin terulang. Deka berharap, setidaknya Black mengerti perasaannya dan memberinya kesempatan satu kali lagi. Bahkan sampai saat ini, ketika Deka sudah berumur dua puluh lima, dia masih merindukannya. Tapi Deka tahu bahwa itu semua hanya keinginan yang sia-sia.

"Black, aku kangen kamu."

Selesai

Sebagai catatan gambahan, Black ini nyata, dan nama kepanjangannya adalah Cat Black Sweet. Tolong jangan ketawa, karena nama macam apa yang bisa dikasih anak SD umur tujuh atau delapan tahun? Tapi dia lebih sering dipanggil manis.

Btw, sebenarnya aku pun udah lupa gimana caranya aku bisa pelihara Black. Tapi ketika aku nulis ini, aku baru sadar kalo Black itu sahabat pertamaku, dan ingatan-ingatan manis itu enggak pernah hilang. Bahkan, sejak melihara Black, aku terus melihara kucing sampai sekarang. Tapi, Black nggak pernah tergantikan. Aku bener-bener masih kangen dia sampe sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro