🍝6. Masih Bagus Nggak Diviralin
Usai melangkah keluar dari ruang guru, rasanya tak ada lagi yang bisa Nebula harapkan. Mengusap pelipisnya secara perlahan, lantas menghela napas kasar sembari berputar posisi menuju kantin.
Pagi yang mungkin ia harapkan bisa menjadi sumber ketenangan justru berubah menjadi awal dari segala kehancuran.
Kata ayah, Miss. Sunshine pasti mau membantu. Tapi ... kenapa rasanya terlalu sulit untuk memperjuangkan sesuatu yang tak ia inginkan juga sebenarnya?
Gadis itu terus melangkah tanpa niat untuk melihat ke depan. Terus nengayunkan kaki secara malas sambil menatap keramik koridor sekolah yang bisa ia lihat sudah menampilkan beberapa langkah dari murid-murid lain.
Baiklah, ia butuh es krim sekarang walau waktu masih terlalu pagi untuk menyantap sesuatu yang manis dan dingin. Biar saja susu cokelat panas yang sudah dipesankan oleh Halona dan Asya di kantin justru menjadi santapan mereka berdua di jam istirahat nanti. Siapa tahu saja mereka malas pergi karena lelah mengantre.
"The choice is yours, Nebula. Kalau mau tidak naik kelas karena nilai D, dan reputasimu di depan publik hancur, silakan. Saya, sih, nggak ada urusan."
"Lagian saya juga tau, kok, kalau di pelajaran lain nilaimu juga nggak bagus-bagus amat walau paling parahnya di Bahasa Inggris. Cuman di kurikulum yang sekarang, nikai sikap itu paling penting."
Astaga, kepala Nebula sudah mau meledak rasanya apabila mendengar kalimat-kalimat menyebalkan dari Miss. Sunshine. Entah guru itu memang sengaja mau mengancam karena dendam pribadi atau bagaimana.
Hingga tanpa sadar sembari memejamkan mata kuat-kuat, sepatu gadis itu pun diayunkan ke belakang seolah membayangkan jikalau Miss. Sunshine ada di belakang sana.
#bruk!
Bentar, ia tidak salah berbuat lagi, 'kan? Orang niatnya cuman menghuyungkan kaki ke udara, lalu balas dendam lewat imajinasi, tapi kenapa seperti ada sesuatu yang keras saat kakinya mendarat?
Kedua bola mata Nebula seketika terbelalak saat sebuah telapak tangan sudah mendarat di atas puncak kepalanya. Ya ampun siapa pula yang berdiri di belakangnya sekarang? Masa kepala sekolah? Ya Allah, belum siap dirinya untuk berdiri di depan tiang bendera sampai pulang sekolah.
Tunggu ... sepertinya ini bukan tangan pria yang sudah lanjut usia, soalnya saat beberapa bagian jari manusia misterius itu mengenai pelipis yang sempat menyisakan jarak antar anak rambut, tangannya tidak kasar.
"Lo siapa? Berani banget megang-megang kepala gue?! Hah? Lo tau, 'kan, kalau gue ini selebgram? Bisa viral lo!" teriaknya dengan tatapan lurus ke depan. Untung saja bagian koridor mulai sepi, kalau sampai ada penghuni, bisa mampus kalau dirinya direkam oleh haters.
Tak sedikit pun suara menjawab pertanyaan Nebula barusan, bahkan puncak kepalanya justru ditekan cukup kuat. Lagi dan lagi, Nebula semakin berteriak dalam hati agar kondisi bisa dilewati dengan cepat. Jangan-jangan yang ada di belakangnya ini merupakan seorang psikopat berdarah dingin?! Bisa jadi pria ini adalah orang yang suka menghancurkan bagian kepala orang lain?!
"Singkirin tangan lo cepetan! Mau gue teriak, nih, biar para guru keluar?" Tak dapat dipungkiri, beberapa tetes keringat mulai membasahi sekujur wajah gadis berusia 16 tahun itu. Napasnya masih tercekat saat menyadari tak satu pun orang atau mungkin satpam yang enggan melintas.
"Lebay."
Nebula segera berlari menuju kantin saat sekatan lelaki tak dikenal itu lepas. Baik, ia sudah tidak punya waktu untuk berpikir, apalagi menoleh untuk mencari tahu siapa berani-beraninya berbuat aneh. Lebih baik mencari aman dan mengajak kedua sahabatnya untuk selalu pergi bersama daripada sendirian di dalam marahahaya.
"Seleb alay."
🍨🍨🍨
"Halo, Kak Arcas. Selamat siang, kenalin nama aku Asya Rain dari kelas X IPS 3," ucap Asya sembari mengulurkan tangan pada Arcas yang masih sibuk meneliti area mading. Melirik tiap tempelan satu per satu sembari menunjuk beberapa kertas yang masih menggantung di sana.
Lelaki itu masih setia 'tuk bergeming tanpa mempedulikan siapa yang tengah berbicara di sebelahnya. Daripada meladeni makhluk sebangsa jin macam Nebula, Arcas justru melangkah pergi dari sana.
Ia yakin bahkan dengan sangat kalau manusia tadi mungkin merupakan salah seorang penguntit yang disuruh oleh Nebula untuk memintainya bantuan agar mau mengajari bahasa Inggris.
"Kak!" Teriakan Asya lagi-lagi hanya berujung menggema di udara. Memang ... nasib Nebula sedang kurang baik. Ya sudahlah, kalau kayak gitu, ia akan tetap meminta pada sahabatnya untuk ditraktir batagor depan sekolah karena sudah mempermalukan diri sendiri di depan Arcas.
Dari sudut tangga naik Nebula menghela napas kasar. Ya ampun, sulit kali ia mendapatkan seorang tutor. Padahal niatnya untuk belajar. Mana tadi ancaman semakin bertambah level pula.
Sementara Halona yang masih setia berdiri di sebelah Nebula justru terdiam sembari memainkan layar ponselnya. Tampaknya gadis berkucir satu itu mulai tak peduli dengan usaha Nebula dalam merayu Arcas.
Baiklah, demi menyelamatkan misi penting, dengan terpaksa Nebula berlari mengejar Arcas sekencang mungkin sampai beberapa murid yang melintas pun terpaksa menghentikan langkah di hadapan Halona.
"Nebula kenapa, Ona?"
"Nggak tau." Gadis itu mengangkat kedua bahu dengan wajah tidak berdosa. Baru beberapa detik kemudian dirinya pun sadar akan kehilangan sang sahabat yang sudah tak terlihat lagi wujudnya.
Saat kedua bola mata gadis itu terbelalak bersama mulut yang terbuka lebar, sebuah ucapan pun perlahan mendarat di area pendengaran gadis bermanik hitam itu. "Ya ampun, sahabat sendiri nggak diperhatiin."
"Loh, tadi emang Nebula ke mana arahnya?"
Tiga orang siswi yang semula bertanya pun menunjuk lurus ke depan—area mading. "Kok jadi kita yang kasih info?"
"Emang Nebula mau ngapain, sih, lomba lari sama hantu?"
"Ah, udah kalian jangan suudzon."
🧴🧴🧴
Baik, demi bisa naik kelas dan memperbaiki nilai rapor yang begitu buruk, Nebula berjanji 'tuk menurunkan segala jenis gengsi walau Asya malah menghilang seperti ditelan rerumputan hitam.
Mata gadis itu terus mengawasi langkah Arcas tanpa mempedulikan siapa yang sedang berdiri di dekatnya. Perlahan namun pasti, ia terus berjalan di belakang punggung si Ketua OSIS berwajah lima hingga akhirnya mereka sampai di area taman.
Tak membutuhkan waktu lama bagi jantung Nebula untuk berdebar. Astaga, buat apa pula cowok itu pake menoleh segala? Memangnya ia pikir, Nebula tidak bisa terserang penyakit jantung? Jujur saja, ia sedikit merasa bersalah karena sudah memukul Arcas kemarin. Tapi sepertinya cowok itu juga baik-baik saja.
Hingga tanpa sadar segaris senyum justru terukir dengan indah dari bibir Nebula saat mengingat apa yang sudah ia lakukan kemarin.
"Lo mau ngapain ngikutin gue?" tanyanya dengan wajah datar.
Menghela napas kasar, lantas dengan cepat Nebula melingkarkan tangannya di area pinggang Arcas sekuat mungkin. Menenggelamkan kepala di balik jas biru dongkernya, kemudian berkata, "Kak, lo harus tolongin gue. Gue beneran minta maaf sama yang kemaren."
"Maaf, gue sibuk dan lepasin tangan lo."
"Nggak akan gue lepas sampe lo ngomong 'iya'."
Perlahan Nebula menggosok-gosokkan rambutnya ke punggung Arcas agar cowok itu tertawa. Lagi pula, selama ia berpapasan, tak pernah sekali pun segaris senyum diukir dari lelaki aneh itu.
"Anjir, lo mau ngapain?!" Dengan sekuat tenaga Arcas menarik tangan Nebula yang masih setia menetapbdi area pinggangnya untuk segera pergi. Namun, bukannya keindahan yang cowok itu dapatkan, sebuah capitan kecil dari kedua jari gadis di belakangnya kembali membuat Arcas berteriak.
"Anjing! Gue bilang gue sibuk, nggak punya waktu buat ngurusin lo. Paham, Nebula?"
Seraya melepaskan pelukannya, gadis itu pun berkata, "Lo tuh egois, ya! Nggak pernah mau share-share ilmu for I!"
Arcas berputar posisi. Membalik badan hingga kini tatapannya bertemu dengan manik cokelat milik Nebula. "Mau lo apa, sih? Dari sekian banyak tutor yang ada, kenapa harus gue?"
"Orang disuruhnya sama lo! Lo pikir gue suka? Ya ... jelaslah terpaksa!"
"Alesan."
"Masa lo harus gue sogok es krim kayak adek gue, sih? Ya ampun, Kak. Ini gue minta tolong, bahkan pake banget. Demi planet neptunus, uranus, venus, pluto, mars, jupiter, bumi, dan ... oke gue lupa lanjutannya."
"Gue tuh udah nurunin niat, ya, buat enggak viralin lo ke fans! Tapi di mana rasa bales budi lo!"
Sebentar ... sepertinya ada yang salah dengan ucapan Nebula hingga beberapa guratan perlahan muncul di dahi Arcas. Lelaki itu sontak menaruh jari telunjuknya di kening Nebula. Berharap gadisnya bisa berpikir dengan jernih dan tahu siapa yang paling membutuhkan di sini.
Dengan tak terima pula akhirnya Nebula menepis jari sang Ketua OSIS. "Lo mau ngapain nyentuh gue?!"
"Lo yang butuh, kenapa gue yang ribet, sih?!"
"Please-lah, masa gue harus sujud lagi depan lo?"
Menghela napas sekasar mungkin sembari memejamkan mata kuat-kuat, Arcas pun berkata, "Oke! Fine, tapi pake satu syarat dan lo nggak boleh nolak."
Ada yang hafal sama nama-nama planet kayak Nebula gitu? Jadi nostalgia gitu nggak sih pas SD, kalau sama guruku dibikin singkatan jadi Mama Veni Jadi Pergi Bawa Udang dan Nangka ... apalagi ya? Lupa😂
By the way, kalian gimana hari ini? Capek nggak sekolahnya/kuliahnya? Huum ... sama. Kita berjuang dulu ya, walau rasanya terpaksa. Tapi kalau kata Raditya Dika, demi bikin orang tua kita senyum :)
Ada yang nggak lolos SNMPTN? It's okay, itu bukan berarti masa depanmu suram. Masih banyak jalan menuru roma, Sayang. Yang terpenting, setelah lulus kuliah nanti, kamu tau harus ngapain dan mau jadi apa. Karena banyak dari mereka yang terlalu fokus sama pelajaran/organisasi, tapi lupa sama goals hidup dan berujung kerja di situ-situ aja.
Tapi balik lagi, hidup itu pilihan. Terserah kalian mau dibawa ke mana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro