🥥12. Penyamaran?
"Loh? Antarkan dia pulang, ya, Arcas?" ucap seorang wanita berambut Dora yang merupakan guru pembimbing OSIS sembari menunjuk wajah Nebula yang mencium tas merah mudanya.
"Adikmu selebgram?" tanyanya lagi.
"Yuk, Cas! Gue balik dulu!"
"Cabut dulu, Bro!"
"Ibu juga balik," balasnya sembari menepuk bahu Arcas pelan. "Jangan ditinggal, loh, adiknya."
Arcas mengangguk seraya membetulkan tasnya yang ia topang di bahu kiri. "Iya, Bu."
Usai memastikan bahwa semua orang sudah pergi dari sana, Arcas akhirnya maju beberapa langkah—hingga berdiri tepat di samping Nebula yang masih belum sadar akan apa yang terjadi sekarang.
Mengangkat telunjuknya ke udara, lantas dengan cepat Arcas pun menusuk pipi Nebula pelan. Berharap perempuan itu sesegera mungkin membuka mata walau ternyata realita tak sebaik itu.
"Nebula, bangun."
Tidak ada reaksi, sang gadis nyatanya masih setia 'tuk menelusup lebih dalam ke alam mimpi hingga Arcas yang masih setia berdiri di sebelahnya itu pun mengembuskan napas kasar seraya menggelengkan kepala pelan.
"Woi!" teriaknya sembari menghantam telapak tangannya di atas kursi depan ruang rapat—tempat Nebula mendaratkan kepala.
"Anjir!" Astaga, hampir saja jantungnya copot kalau ia tidak segera mengangkat kepalanya.
"Lebay!"
Nebula yang masih sibuk mengusap dadanya sambil mengatur napas pun membelalakkan mata lebar. Arcas pikir, ia tidak terkejut saat dirinya hampir ditelan oleh dinosaurus kuning neon? Untung saja, itu cuman mimpi walau wujud makhluk yang ia lihat sekarang jauh lebih menyeramkan.
"Kak Arcas mah ... lo tau nggak gue habis diterkam dinosaurus kuning neon?!"
"Udah dikunyah?" tanya Arcas datar. "Nggak usah coba ngelawak karena nggak lucu."
Jleb!
Entah ada apa dan kenapa, tapi yang jelas Nebula tak lagi bisa berkata-kata. Untuk sekedar memicingkan mata sembari mendaratkan pukulan pun dirinya tak sanggup. Ada masalah apa, sih? Asal Arcas tahu, ia sama sekali tak berusaha 'tuk melawak atau bagaimana, tapi yang jelas, ini memang terjadi dalam mimpinya.
"Nggak usah nangis."
Ya Tuhan, tolong ... kalau bukan karena perjanjian mereka, tak akan pernah sudi Nebula diam dan menjadi gadis lemah yang tak bisa berkata apa-apa saat ditindas oleh lawan jenisnya sendiri.
"Mau balik nggak?" tanyanya ketus.
Nebula yang masih membeku sembari bersender di atas ranselnya pun menarik telapak tangannya. Menatap arloji putih susu yang melingkar di sana, lantas mendongak dan bangkit secepat mungkin.
"Lo mau suruh gue bobo di sekolah apa gimana, sih?! Ini udah lewat maghrib, Kak!" protes Nebula tak terima.
"Baru selesai. Cepet gue anter, sekalian belajar Inggris."
Nebula mengangguk pelan. "Bentar."
Segera mengambil hoodie putih polosnya dari dalam tas, lantas menenggelamkan tubuhnya di balik jaket kebesarannya itu. Selalu dan tak 'kan pernah ia tinggalkan apabila harus menemani Arcas naik motor. Soalnya itu pakaian terakhir yang ditinggalkan oleh sang mama—biar Nebula merasa dilindungi dari surga dan tidak diapa-apakan sama Arcas.
Entah apa yang merasuki pikiran ketua OSIS aneh itu sekarang, tapi lelaki itu juga mengeluarkan jaket abu-abu polosnya dari dalam tas miliknya.
"Bawain."
"Anjir terus gunanya tas lo apaan, Kak?"
"Hm? Apa?" Sudut bibir lelaki itu terangkat sinis, seolah tahu dengan apa yang bisa ia lakukan agar gadis di hadapannya ini segera menutup mulut.
"Ih, mau gue buangin ke tong?!"
Tanpa mempedulikan apa yang Nebula ucap, tapi lelaki itu langsung berjalan ke belakang tubuh gadisnya. Menarik kedua lengan cewek yang entah sejak kapan sudah mencepol rambutnya secara paksa.
"Pelanan dikit jadi cowok!"
"Berisik!" balas Arcas yang langsung menarik masuk lengan gadisnya ke dalam jaket. "Dah, pake tuh! Biar nggak ilang!"
"Kak! Gue bukan anak kecil yang bisa masuk angin kalo pake baju ketipisan!" Kedua matanya sontak memicing walau hal itu nyatanya sama sekali tak memberikan dampak apa pun bagi cowok aneh yang sedang berjalan ke hadapannya sekarang.
"Lo sakit, gue yang repot. Udah malem anginnya nggak bagus."
"Terus lo?"
"Ada bomber di motor."
"Lah, terus gunanya lo bawa dua jaket?"
"Biar lo nggak masuk angin."
"Gue nggak mau kayak orang bego, Kak!"
"Bawel."
Baiklah, siap! Di sini posisinya malah jadi terbalik, cewek selalu salah, dan memang ini yang terjadi di masyarakat. Para lelaki terus menyalahkan perempuan seolah mereka egois, padahal faktanya jelas berbeda.
"Najis!"
"Diem bisa?! Gue tinggal tau rasa lo!"
Mengembuskan napasnya kasar, lantas gadis itu mengangguk sembari mengerucutkan bibirnya lima centi. Dasar menyebalkan!
"Biar diem," balasnya sambil menarik salah satu tali jaket yang menggantung di udara, lantas menaruhnya tepat di atas bibir Nebula. Anggap saja itu gembok, biar cewek itu sadar sedang berhadapan dengan siapa dan berhenti berbicara.
Dalam sekali embusan napas, tali yang semula menggantung di atas bibirnya pun terbang dari sana. "Awas lo, ya, Kak! Gue viralin beneran baru tau rasa!"
🥚🥚🥚
"Laper, nggak?"
"Ya jelaslah! Lo pikir, gue nggak capek nunggu seharian sampe ketiduran? Ini aja udah mau jam tujuh! You mau kikil (kill) I?!" teriak Nebula dari balik kaca helm hitam polos yang dibawakan oleh Arcas.
"Siapa tau lo nggak punya lambung."
"Lo! Lo beneran mau bunuh gue?!"
Lagi dan lagi, keheningan kembali mencuri suasana saat itu. Arcas tak menjawab, lebih tepatnya karena malas berhadapan dengan sosok iblis betina yang entah mengapa diturunkan oleh Tuhan ke bumi.
Baiklah, mungkin ini cara terbaik untuk mengatasi semuanya. Demi mendapatkan jalan tengah agar semua tak lagi merasa terbebani. Hingga Arcas yang masih fokus menatap lurus ke depan pun sontak membuat Nebula yang masih terduduk diam terpaksa meneteskan air mata.
Entah dia sadar atau tidak, yang jelas Nebula sudah lupa caranya bernapas sejak lelaki itu menarik gas motornya sekuat mungkin tanpa meminta izin—hingga tubuhnya pun terasa ditarik dan ingin dijatuhkan oleh angin yang tengah menemani malamnya itu.
"KAK!!!! WOI, BUKAN GINI CARANYA KALAU MAU BUNUH GUE!"
Tak ada jawaban, bahkan lelaki itu tampaknya masih senang berakting sebagai pengendara motor GP walau bukan di arena balap liar.
Sontak, demi melindungi dirinya sendiri, Nebula pun langsung memeluk Arcas sekuat mungkin. Menutupi matanya di balik jaket bomber milik sang tutor—menumpahkan segala isak dan kepasrahan apabila detik itu juga ia akan menyusul mendiang ibunya.
"Kak, tolong ... gue masih sayang ayah, belom mau mati."
Perlahan, jarum yang semula berada di angka 180 km/jam itu pun mulai bergerak mundur sampai tertahan di angka 50 km/jam.
Menghela napas lega, lantas dengan cepat gadis itu menarik tangannya dari pinggang Arcas sembari mengusap air matanya yang sudah ikut terbang beraama angin malam.
"Lo gila, ya?!"
"Gue pikir lo beneran mau mati," balasnya santai.
"Ya ... gue bantuin," lanjutnya sembari menurunkan kecepatan motor dan bergerak menepi—menghampiri seorang penjual nasi goreng gerobak di pinggir jalan.
"Terus lo mau ngapain bawa gue ke tempat mas-mas? Jangan-jangan dia penculik yang lo sewa, ya?!" teriak Nebula. Astaga, bagaimana kalau itu benar-benar terjadi? Iya, sudah jelas kalau selama ini Arcas menaruh dendam, dan apakah ini menjadi salah satu cara yang dilakukan untuk melenyapkan gadis itu?
Sumpah, sebuah rasa sesak seketika bergerak di area pernapasan Nebula sekarang. Membayangkan bagaimana dirinya nanti ditempeli oleh kain berisi obat bius, terus tubuhnya jadi potongan sosis di atas nasi goreng?!
"Aaaaa ... nggak mau! Kak, tolong batalin rencana lo!"
"Hah?"
"Kak ...." Percayalah, kali ini dirinya sedang tidak berbohong, bahkan kalian dapat menyaksikan sendiri jikalau dirinya sudah terdiam kaku di atas motor yang sudah diturunkan standarnya.
Dengan penuh hati-hati sang gadis melirik ke arah pria berambut gondrong yang sibuk memainkan spatula di atas wajan berisi keluarga beras matang berkecap itu. Menarik napas sedalam mungkin seraya memejamkan mata, membayangkan bagaimana jika dirinya berlari, lalu dari belakang ia ditangkap, kemudian ditembak menggunakan pistol atau ditusuk pakai jarum suntik berisi cairan obat tidur.
"Kak, tolong ... maafin gue. Gue nggak mau mati," lirihnya seraya mencengkram lengan Arcas sekuat mungkin. Lelaki bermanik coklat yang sudah berdiri di samping motornya pun kini ikut membeku. Melirik aneh Nebula sampai tak sadar jika sepasang bibirnya siap dimasuki seekor lalat.
"Lo gila?" ucapnya sambil melepaskan helm.
Gadis yang sedang ditanya malah sibuk menggigit bibir sampai tak sadar jikalau dagunya bergerak naik dan turun.
"Oh, pantes."
"Janji dulu kalau gue bakalan aman sama lo, terus nggak akan diculik atau dibunuh!" lirih Nebula. Jari kelingkingnya ia angkat di udara, tepat di hadapan wajah Arcas.
Namun, seorang lelaki yang sedang ia ajak bicara itu justru berbalik—melangkah ke arah penjual nasi goreng lantas berkata, "Bang, nasi goreng 2, semuanya nggak pedes biar pikiran cewek di atas motor balik normal."
"Kayak pernah liat yang di atas motor," ucap sang penjual nasi goreng sembari menunjuk ke arah Nebula.
Ya ampun, ngapain pria itu pakai acara tunjuk-tunjuk? Jangan-jangan pikirannya tadi itu merupakan firasat dari yang maha kuasa. Astaga, tapi gimana cara larinya?!
Perlahan tapi pasti, pria berkulit sawo matang yang sudah mematikan kompor itu pun bergerak menghampiri Nebula.
Astagfirullah, Tuhan, tolong, saya beneran janji nggak akan jadi cewek songong lagi. Sumpah, tapi selamatin nyawa saya.
Ke-kenapa pria itu semakin mendekat? Jangan-jangan ia dapat merasakan bahwa jantung Nebula sudah berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya, bahkan bola mata gadis itu juga terbelalak saat sang penjual sudah berdiri di sebelahnya.
1 ....
2 ....
Ya Tuhan, ini enggak lucu kalau harus lompat dari motor dan lari sekuat tenaga.
"Mbak Nebula?"
Dari mana dia tau nama gue? tanya Nebula pada diri sendiri seolah lupa siapa status yang ia genggam sekarang.
"Jangan deket-deket! Saya belom mau mati! Tolong! Jangan bunuh saya!" lirih sang gadis yang sudah memeluk dadanya erat.
Arcas? Tidak usah kalian berharap bahwa ada seorang superhero. Cowok titisan dinosaurus lilac
itu masih sibuk berdiri tanpa mempedulikan apa yang siap terjadi selanjutnya.
"Kak Arcas ... tolongin." Suara yang begitu lirih nyatanya tak mampu mendarat dengan selamat di telinga Arcas, bahkan dengan santainya pula lelaki itu sibuk menahan tawa.
"Duh, maaf Mbak. Mimpi apa ini saya semalem? Bisa ketemu sama selebgram? Anak saya suka banget, loh, nontonin Mbak-nya. Terus suka minta beliin es krim varian terbaru kalau lagi diiklanin sama Mbak-nya," jelas pria dengan nada bicara khas Surabaya itu.
"Loh, ya ampun, jadi anak Bapak salah satu Bul-Bul?!"
Pria berkaos merah itu mengangguk pelan. "Yuk, Mbak duduk di kursi aja. Masa pake helm terus?"
Nebula mengangguk, lantas berjalan menghampiri Arcas yang masih setia berdiri di samping gerobak. "Maafin saya, ya, Pak."
"Makanya, nggak usah lo ngejudge orang. Reputasi lo jelek duluan, 'kan?" Sudut bibir lelaki itu sontak terangkat.
"Duduk dulu Mbak sama Mas-nya."
Keduanya pun mengangguk dan menuruti perintah sang pedagang.
"Lain kali, nggak usah bikin malu gue, Karmayanti."
Dasar titisan dinosaurus telur dadar! Memangnga Arcas pikir, Nebula senang berpikir aneh seperti tadi? Coba saja rasakan sendiri kalau memang hanya tahu caranya menge-judge orang lain!
Benar-benar menyebalkan! Bahkan berkat cowok itu pula, sekarang Nebula sampai malas menatap wajahnya. Gadis itu terus membuang muka sembari melipat kedua tangan di depan dada.
Tak lagi peduli dengan bagaimana hukum aksi-reaksi yang pastinya akan ditunjukkan oleh sang penjual nasi goreng, tapi yang jelas, apabila ada seseorang yang bertanya, maka dengan santainya Nebula akan menjawab bahwa ini semua adalah salah Arcas.
"Selamat makan, Mas, Mbak seleb," ucap sang penjual nasi goreng ramah.
Arcas mengangguk. "Makasih, Bang."
Nebula? Oh tentu gadis itu masih melakukan hal yang sama. Ia tidak menoleh, bahkan masih sibuk membeku sembari menelan air liurnya yang tak kuasa menahan aroma dari beras matang cokelat goreng itu.
"Cepetan makan, kalau nggak, gue tinggal."
Astaga! Baiklah, demi belajar bahasa Inggris, gadis itu akhirnya rela menoleh dan menyuap tiap nasi goreng yang sudah memanggilnya sedari tadi.
Ya ampun, sudah lama kali rasanya ia tak makan nasi goreng pinggir jalan seperti ini, di dekat rumah tak ada yang jual soalnya.
"Btw, gue nggak mau liat lo mikir yang aneh-aneh lagi," ucap Arcas sambil meneguk segelas teh tawar hangat yang baru saja diantar oleh penjual.
"Pikiran gue normal, nggak aneh," sahut Nebula yang langsung memasukkan sesendok nasi sambil menariknya kasar.
"Negative thinking ke semua orang yang baru lo temuin itu normal?"
"Ish, panas." Dasar, Arcas! Berkat cowok itu, ia jadi lupa meniup nasi gorengnya sebelum memasukkan ke dalam mulut.
"Lo bawel amat, sih, Kak? Kalau lagi makan tuh diem!"
"Asal lo tau ya, semakin lo mikir negatif, yang dateng ke diri lo juga bakal negatif."
"Nggak denger." Dengan cepat Nebula menutup kedua telinganya.
"Lagian overthinking itu cuman seni yang dibuat sama otak. Itu semua nggak akan kejadian, itu yang bakal bunuh lo suatu saat nanti."
"Percaya aja, apa yang udah ditakdirkan Tuhan itu pasti yang terbaik buat anaknya. Nggak mungkin dia kasih ujian melebihi batas kesanggupan. Lo nggak usah sok jadi cenayang buat ramal apa yang terjadi di masa depan, apalagi isinya negatif semua. Lo mau nyaingin Tuhan pake overthinking?"
Ya Tuhan, kenapa habis makan nasi goreng, mulut Arcas mendadak tak bisa disaring? Lelaki itu pikir, Nebula jadi tidak merasa bersalah atas dirinya sendiri? Asal Arcas tahu, sekarang gadis ini juga tengah menahan sesak sampai lupa caranya mengunyah dan menutup telinga.
Kedua jari yang awalnya ia sematkan pun perlahan turun. Sorot matanya malah berganti menatap ke arah Arcas yang sudah membersihkan seluruh butiran nasi di piring.
"Lagian kalau dalam pembuatan proposal, kita nggak boleh overthinking sama hasilnya. Kecuali lo udah yakin bakal dimaki-maki sama kepsek."
"Hidup lo kayaknya nggak pernah jauh dari proposal, ya. Sampe bosen gue dengernya."
Bosen nggak baca 2133 kata?🤣
Btw, kalian suka relate nggak sih sama overthinkingnya Nebul? Jujur kalau aku sendiri, hm relate banget KWKWK. Apa mungkin aku sama Nebul ya yang aneh?🤣
Btw lagi, ada nggak yang setiap malem tuh overthinking n insecure, lalu sampe nangis sendiri? Hmm ... I know how you feel sih, tapi kayak gitu harus dilawan walau rasanya horror. Bakal capek duluan dan ngerasa hidup tuh nggak ada arti.
Tapi ada satu cara yang sebenernya bisa kamu lakuin, pasrah. Iya, pas sebelum bobo, atau lagi deres-deresnya si overthinking itu, kamu doa. Cerita aja sama Tuhan, lalu sambil nangis gitu. Lega banget tau rasanya, kek berasa dipeluk gitu dan dibilangin, "Hey ... tenang aja, everything gonna be okay. Kamu itu strong, cuman pikiranmu aja yang suka mengarang indah kayak lagi ngerjain mtk pas ujian dan nggak paham sama sekali."
Sip, jadi makin panjang. See you next week guis, lop u so much
Semangat yaaaaa buat siapa pun kamu dan bagaimanapun kondisimu sekarang🍓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro