1.8 MAY - Perhaps Love
Holaaaaa, masihkah ada yang nyimpan cerita ini di perpustakaannya? Atau udah dihapus karena nggak ada hilal update selama hampir setahun? 🤣🤣🤣
Selamat datang kembali di lapaknya si Bastard Kyle dan Stupid Dayne. Selamat menikmati ketidakjelasan hubungan mereka.
Happy reading ~
📌📌📌
Selama menjalin hubungan dengan Ken, Lisa tidak pernah sekalipun bertemu Samantha secara langsung, tapi tahu seperti apa rupa dari istri sang kekasih dan hari ini akan jadi pertama kalinya Lisa bertemu dengan Samantha.
Lisa tidak bisa benar-benar gugup saat akan bertemu dengan Samantha, yang ada dia malah penasaran kenapa wanita itu mengajaknya bertemu setelah mengetahui hubungannya dan Ken jauh sebelum ini.
Wanita yang sudah resmi menjadi istri dari Sehun itu menunggu kedatangan Samantha sambil memainkan ponselnya. Lisa tidak akan menghakimi Samantha karena datang terlambat, meski wanita itulah yang mengajaknya untuk bertemu.
"Maaf aku terlambat."
Suara itu menginterupsi Lisa dari kegiatannya. Melepaskan fokusnya dari ponsel, Lisa mendapati Samantha yang berdiri di depannya. Wanita itu hanya mengangguk dengan wajah dinginnya dan membiarkan Samantha mengambil duduk.
"Aku terlambat karena harus mengurus keperluan suami dan anakku." Samantha berceloteh seraya mengambil tisu dari dalam tasnya, kemudian menatap lawan bicaranya. "Kau pasti tidak tahu seperti apa kesibukan seorang istri, 'kan?"
Harus Lisa apakan keberanian wanita di depannya ini? Haruskah Lisa menunjukkan rasa kagumnya karena Samantha yang dilihatnya saat ini bukanlah Samantha yang sering kali Ken ceritakan padanya? Di mana Ken mengatakan kalau Samantha adalah wanita lemah dan cengeng, juga tidak berani melawan orang lain.
"Tidak hanya wanita bersuami saja yang sibuk, wanita karier sepertiku juga tidak kalah sibuknya darimu," balas Lisa tidak mau kalah.
"Sibuk bercinta dengan suami orang maksudmu?" Samantha menyerang Lisa dengan senyum di wajahnya.
Lisa mencoba untuk menanggapi sindiran Samantha dengan tenang, meski sebenarnya gatal sekali ingin menampar istri sah dari kekasihnya itu.
"Baiklah, aku kalah," Lisa mengakui kekalahannya dengan senyum yang dipaksakan. "Kau mungkin memang lebih sibuk dariku sampai tidak memiliki waktu untuk bercinta dengan suamimu sendiri." Lisa membalas serangan Samantha dengan sindiran yang sama tajamnya.
Samantha pun menahan dirinya di depan Lisa. Wanita itu tidak boleh kalah dengan jalang yang sudah merebut suaminya. Samantha pikir, dia harus menghadapi Lisa dengan sikap tenang.
"Kau adalah wanita yang cantik, Lalisa. Kariermu pun bagus," puji Samantha, yang Lisa balas dengan gerakan bahu tidak acuh. "Tapi kenapa kelakuanmu seperti jalang karena mengambil sesuatu yang bukan milikmu?"
Tentu Lisa tersinggung dengan apa yang Samantha katakan tentangnya, tapi wanita itu juga menahan dirinya sebaik Samantha.
"Apa kau pikir Kenneth pernah menjadi milikmu, meski hanya satu malam?" Lisa membalas dengan fakta yang begitu menohok hati Samantha. "Apa dia pernah mengatakan kalau dia mencintaimu?"
Sekarang, Lisa merasa seperti di atas angin. Wanita itu merasa bahwa Ken adalah sepenuhnya miliknya, sementara Samantha bukanlah siapa-siapa dan tidak lebih sebagai pajangan kekasihnya saja.
"Bangun dan buka matamu lebar-lebar, Samantha." Lisa kembali melancarkan serangannya dengan mengejek lawan bicaranya. "Kau adalah wanita yang tidak Kenneth inginkan. Dia menikahimu hanya karena kasihan, bukan karena mencintaimu. Jadi, bangun dan sadarkan dirimu."
"Tapi aku adalah istrinya. Sementara kau hanyalah selingkuhannya." Samantha pun tidak mau kalah. "Apa kau tidak malu menjadi selingkuhan?"
Kedua wanita itu sama-sama merasa di atas angin. Lisa merasa menang karena dia adalah wanita yang Ken cintai, sementara Samantha merasa lebih unggul karena meski tidak dicintai, dia tetaplah istri sah dari seorang Kenneth Ryhs Mayers.
"Istri yang sebentar lagi akan dia ceraikan." Lisa mengatakannya dengan nada mengejek, mencoba untuk menyadarkan Samantha kalau pernikahannya dan Ken memang sudah hancur.
"Kita lihat saja nanti." Samantha mengangkat bahu tidak acuh. "Siapa yang akan Kenneth tinggalkan, aku atau kau."
Lisa membalas dengan senyum sinis. Wanita itu percaya sepenuhnya kalau Samantha-lah yang akan kalah dalam hal ini, bukan dirinya.
"Dan saat dia meninggalkanmu nanti, tolong jangan datang padaku dan mengatakan kalau akulah yang merebutnya, alih-alih dia memang tidak pernah menjadi milikmu, Samantha." Lisa memberikan serangan lisan terakhirnya untuk menyadarkan Samantha kalau wanita itu hanya akan semakin menyakiti dirinya sendiri karena mempertahankan suami yang jelas-jelas tidak mencintainya.
Merasa sudah cukup menghancurkan mental Samantha, Lisa berdiri lebih dulu. "Kupikir kita sudah selesai bicara," katanya seraya mengambil tasnya di kursi sebelah. "Dan jangan hubungi aku lagi karena kau hanya membuang waktuku."
Lisa tersenyum pada Samantha sebelum pergi. Senyum mengejek yang sengaja dia berikan sebagai kenang-kenangan.
Mungkin Lisa tampak percaya diri sebelum meninggalkan Samantha, tapi faktanya wanita itu menahan segala sumpah serapahnya dalam langkah yang dipenuhi amarah.
Sungguh, Lisa marah sekali karena Samantha berani mengajaknya bertemu dan mengklaim Ken tepat di depan wajahnya.
"Kau di mana? Aku ingin bertemu." Lisa menelepon seseorang dalam perjalanannya menuju parkiran. Nada bicaranya terdengar begitu kesal, dengan wajah tertekuk. "Aku akan ke sana."
Sementara Lisa mengemudikan mobilnya untuk keluar membelah jalanan, Samantha masih duduk dengan kepala tertunduk. Nyatanya, wanita itu tidak benar-benar kuat seperti yang dilihat, buktinya saja Samantha menangis setelah bertemu dengan Lisa.
Hatinya tidak sanggup menahan celotehan Lisa yang mengatakan Ken tidak mencintainya dan tidak pernah menjadi miliknya, baik dulu maupun sekarang.
"Jangan menangis, Sam," kata Samantha mengingatkan diri, "Kau jauh lebih baik darinya. Meski akan membutuhkan waktu yang lama, tapi pada akhirnya Ken akan kembali padamu."
Samantha akan berjuang untuk dirinya, juga untuk putri tercintanya dan tetap akan mempertahankan pernikahannya dan Ken sampai mati. Hanya wanita seperti Lisa tidak akan Samantha biarkan untuk menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya.
Ternyata, sosok yang Lisa telepon adalah kekasihnya. Wanita itu masuk ke ruangan Ken dengan kemarahan yang masih tersisa di wajahnya. Tasnya dia lemparkan begitu saja pada sofa, kemudian disusul oleh tubuhnya.
Melihat kekasihnya yang seperti ingin mengamuk, Ken segera menghampiri dan memeluk Lisa dari belakang. "Hei, ada apa, Sayang? Kenapa kau terlihat sangat marah?"
"Aku memang sedang marah sekarang," balas Lisa dengan geram dan tatapan yang tampak tajam.
Ken segera mengitari sofa dan duduk di samping Lisa untuk memeluk sang kekasih sebentar guna mengurangi kemarahan wanitanya. "Siapa dan apa yang membuat kekasihku ini marah, hmmm?"
"Istrimu!"
Sontak saja, jawaban Lisa menghilangkan semua ekspresi yang ada di wajah Ken. Laki-laki itu tampak bingung karena Lisa tiba-tiba menyeret Samantha dalam situasi ini. "Samantha?" tanyanya seolah dia memiliki istri yang lain selain Samantha.
"Apa kau memiliki istri yang lain selain Samantha?" Lisa bertanya dalam decihan. Wanita itu tampak semakin jengkel sekarang.
"Satu saja sudah membuatku pusing," sahut Ken dengan gelengan dan ekspresi yang tampak begitu terganggu. "Kau pikir aku ingin menambah orang yang merepotkanku?"
"Lalu, kenapa bertanya?!"
Ken sungguh terkejut dengan respons Lisa. Dia pikir, kekasihnya benar-benar sangat marah sekarang, hingga dirinya pun tidak luput dari teriakan wanita di depannya.
"Apa yang dia katakan padamu?" Ken berusaha untuk mengalihkan sedikit kemarahan Lisa padanya. Dia jelas bukan orang yang sudah membuat wanita itu marah, maka tidak seharusnya dia menerima amarah Lisa.
Lisa menoleh pada Ken dan mengambil sedikit jarak, tidak lupa juga dia mendorong tubuh sang kekasih agar menjauh darinya. "Dia bilang aku hanyalah selingkuhanmu dan dia adalah istrimu."
Meski fakta itu memang benar adanya, tapi Lisa tidak terima dibilang seperti itu. Terlebih lagi yang mengatakannya adalah Samantha.
"Dan yang lebih parahnya lagi, dia mengatakan aku seperti jalang karena mengambil sesuatu yang bukan milikku." Lisa menjelaskan dengan berapi-api, kepalanya bahkan nyaris berasap karena terlalu marah sekarang. "Istrimu mengatakan semua itu padaku!"
Kemarahan Lisa meledak dengan begitu luar biasa dan dilampiaskan dengan melempar vas bunga yang diambilnya dari meja.
Jujur saja, Ken terkejut dengan sisi Lisa yang satu ini. Sebelumnya dia tidak pernah melihat wanita itu mengamuk seperti ini, tapi pertemuannya dan Samantha jelas mampu membuat Lisa menghancurkan alam semesta.
"Hei, hei, hei, tenanglah." Ken berusaha menenangkan wanitanya, bukan karena tidak ingin Lisa mengamuk dan merusak barang-barang di ruangannya, tapi karena dia tidak ingin kekasihnya larut dalam kemarahan. "Kau tidak perlu memikirkan apa yang Samantha katakan karena wanita yang aku cintai adalah kau, bukan dia."
Napas Lisa terengah tanpa melakukan kegiatan yang berarti. Satu-satunya yang wanita itu inginkan hanyalah melepaskan kemarahannya.
"Tapi dia menantangku, Ken." Lisa menggeram, masih dengan tatapan tajamnya. "Dia memintaku untuk melihat siapa yang nantinya akan kau pilih. Aku atau dia."
"Dan kau terpancing karena ucapannya?" tanya Ken tidak habis pikir, "Ayolah, Sayang, aku tidak akan bersamamu kalau aku tidak memilihmu. Bukan sudah jelas siapa pemenangnya di sini?"
"Selama kau masih menjadi suaminya, dialah pemenangnya. Sementara aku hanya runner up." Lisa benci harus mengakui fakta yang satu ini, tapi perlu menegaskan sekali lagi pada kekasihnya.
Kemarahan Lisa sungguh tidak terbendung saat ini. Dia benar-benar merasa terhina dengan semua yang Samantha katakan, meski sadar betul kalau semua itu adalah fakta.
Ken perlahan mendekati kekasihnya. Laki-laki itu perlu melakukan sesuatu guna mendinginkan suasana panas di hati Lisa, dimulai dengan merengkuh dan mengusap lengannya.
"Tapi yang terpenting adalah aku bersamamu saat ini, bukan bersama Samantha." Ken mencoba menenangkan kekasihnya dengan memberikan kecupan-kecupan lembut pada wajah, juga dagu Lisa.
"Menjauhlah, Ken." Lisa mendorong tubuh sang kekasih agar tidak menyentuhnya lagi. "Aku sedang marah sekarang."
Ken menarik wajah Lisa agar menatapnya. "Untuk apa marah pada Samantha? Daripada marah, kenapa kita tidak berolahraga ranjang saja?" Senyum yang menggoda Ken tunjukan agar Lisa bisa teralihkan dari kemarahannya. "Aku merindukanmu tahu."
Nyatanya godaan yang Ken berikan padanya tidak membuat kemarahan Lisa luntur. Wanita itu kembali menjauhkan sang kekasih darinya agar berhenti mengulum daun telinganya.
"Apa kau tidak merindukanku, hmm?" Ken bertanya seraya menyatukan hidungnya, kemudian menggigit kecil ujung hidung Lisa.
Lisa tidak ingin dibujuk semudah ini. Wanita ingin mempertahankan kemarahannya sampai Ken benar-benar menceraikan Samantha, tapi lihainya mulut Ken yang terus memberikan kecupan pada wajahnya, juga kedua tangan yang menjamah tubuhnya, membuat pertahanannya runtuh seketika.
"Aku masih punya waktu satu jam sebelum rapat," bisik Ken ketika Lisa mulai merespons atas sentuhannya. "Ingin bermain-main sebentar atau duduk diam dan tidak melakukan apa pun?" Ken memberikan dua pilihan pada sang kekasih, di mana dia yakin betul kalau pilihan pertama adalah yang Lisa pilih.
Tentu Lisa memilih untuk bersenang-senang dengan kekasihnya. Wanita itu perlu melepaskan stres karena pertemuannya dan Samantha.
Ken membawa Lisa ke ruang istirahatnya—masih di ruangan yang sama.
Lisa yang merasa tidak sabar membantu Ken untuk melepaskan kemeja laki-laki itu, kemudian melakukan penjelajahan dengan bibirnya di dada bidang sang kekasih.
Ken pasrah ketika Lisa yang memegang kendali atas tubuhnya dan membiarkan wanita itu mencium di mana pun yang kekasihnya inginkan.
Puas dengan dada kekasihnya, Lisa berjongkok tepat di depan Ken, kemudian mendongak seolah ingin meminta izin.
"Tubuh ini adalah milikmu, Sayang. Just do whatever you want." Ken mengusap kepala wanitanya dengan senyum yang bergairah.
Lisa melakukan apa yang dia inginkan setelah mendapatkan izin, yang sebenarnya sama sekali tidak dia perlukan.
Anehnya, di tengah kegiatan panas ini sosok Sehun malah terlintas di benak Lisa, tidak hanya itu saja, Lisa juga mendengar desahan Sehun saat memanggil namanya ketika mereka bercinta malam itu. Semua yang dia dan Sehun lakukan malam itu, Lisa masih mengingatnya dengan jelas.
Apa-apaan ini? Lisa memprotes isi kepalanya karena mengingat Sehun di saat dia sedang ingin bercinta dengan kekasihnya dan seketika Lisa sadar kalau sisa-sisa pergumulannya dan Sehun masih ada.
Lisa tersedak begitu ingatan itu kembali padanya. Mendadak dia panik. Jelas Lisa tidak ingin kalau Ken sampai tahu dia bercinta dengan Sehun. Wanita itu sudah berjanji tidak akan melakukannya.
Lisa yang biasanya begitu profesional dalam urusan seperti ini, justru malah terlihat sangat amatir sekarang.
"Hei, kau tidak apa? Apa aku mendorongmu terlalu keras?" Ken bertanya dengan penuh kekhawatiran setelah wanitanya terbatuk, padahal sebelumnya Lisa tidak pernah seperti ini.
Lisa mengangguk dengan wajah yang sedikit pucat. "Maaf, aku terkejut karena aku baru ingat kalau aku sedang menstruasi." Dengan wajah yang kaku menahan gugup, Lisa mengatakan kebohongan pada Ken.
Ken berusaha untuk memahami alasan wanitanya, kemudian merapikan celananya. "Kau membuatku takut tahu," katanya setengah menggerutu, "Kupikir aku terlalu kasar padamu."
"Memangnya aku pernah protes tentang yang satu itu?" Lisa membalas dengan setengah godaan, berusaha untuk menghilangkan gugup dan ingatannya tentang Sehun.
"Kau tidak pernah, tapi itulah yang membuatku khawatir," kata Ken seraya mengambil duduk di samping kekasihnya.
Lisa tersenyum dan memeluk Ken dari samping. Wanita itu perlu menghindari untuk bertatapan langsung dengan kekasihnya.
Saat bercinta dengan Sehun, Lisa sama sekali tidak memikirkan Ken—justru malah membandingkan keduanya—tapi saat akan bercinta dengan Ken, kenapa Lisa bisa-bisanya memikirkan si Bastard Kyle itu?
Sekarang jantung Lisa berdebar kencang, bukan karena takut ketahuan sudah bercinta dengan Sehun, tapi jantungnya berdebar memang untuk laki-laki itu tanpa Lisa sadari.
Lisa menutup rapat matanya dan berusaha untuk melupakan bayang-bayang Sehun di dalam kepalanya. Wanita itu tidak boleh terpengaruh oleh apa pun yang berhubungan dengan Sehun karena menyambung kembali kisahnya dan sang mantan bukanlah ide yang bagus.
Di tempat yang lain, ada sosok Sehun yang tengah sibuk membalikkan halaman demi halaman dari sebuah album foto yang tampak agak usang karena termakan usia.
Album foto itu berisikan kenangannya semasa SMA dan ada banyak sekali fotonya dan Lisa, bersama William juga di dalam album itu, karena sejatinya album itu adalah milik William, yang sengaja laki-laki itu buat untuk kenang-kenangan.
"Sedang bernoastalgia dengan kenangan masa lalu, huh?" William datang dengan sekaleng soda dan duduk di samping Sehun. Wajahnya terlihat cerah setelah menggoda mantan kekasih Lisa itu.
"Hanya ingin mengenang betapa bodohnya aku karena pernah berkencan dengan si Stupid Dayne itu," Sehun menjawab dengan gerutu yang terdengar begitu jengkel.
William merespons dengan tawa karena Sehun masih saja meninggikan gengsinya. "Jujur padaku, selama ini kau tidak pernah melupakan Lisa, 'kan?" tebaknya dengan penuh keyakinan, "Meski kalian sudah berpisah cukup lama, tapi kau masih memiliki perasaan untuknya, 'kan?"
"Lagi-lagi kau bicara omong kosong, Will." Sehun menyahut seakan apa yang William bicarakan sungguh mengganggunya.
"Bukan aku yang berbicara omong kosong, tapi kau yang selalu membohongi dirimu sendiri," bantah William tanpa melibatkan emosi apa pun, tidak seperti lawan bicaranya yang tampak kesal.
Sehun menutup album fotonya dengan kasar dan meletakkannya di meja, kemudian menoleh malas pada William. "Aku tidak pernah membohongi perasaanku, Will. Aku benar-benar menyesal karena pernah berkencan dengan Lisa," balasnya berapi-api.
"Kau menyesal, tapi setelah putus dengannya kau tidak pernah berkencan dengan siapa pun. Apa itu yang kau sebut dengan 'menyesal karena pernah berkencan dengan Lisa', hah? Itu maksudmu?" Kali ini, William membalas dengan ejekan untuk sekadar menggoda Sehun.
"Will, aku datang ke sini bukan untuk membahas si Stupid Dayne itu," rengek Sehun karena William selalu membawa Lisa ke dalam pembicaraan mereka. "Jadi, berhenti menyebutkan namanya karena aku muak."
William mengembuskan napas kasar. Laki-laki itu pikir, dia tahu apa yang membuat kekesalan Sehun tampak lebih berapi-api hari ini. "Kalian pasti bertengkar lagi, 'kan?" tebaknya.
Sehun tidak langsung menjawab, melainkan lebih dulu menggeser meja di depannya, kemudian menarik sebelah kaki William dan menjadikan paha laki-laki itu sebagai bantal. "Lisa itu memang sangat gila, Will. Dia bahkan melemparku dengan botol serum semalam," katanya berapi-api, kemudian menyibak poni tipis yang menutupi keningnya. "Lihatlah, aku sampai terluka begini."
William memperhatikan luka Sehun dengan sungguh-sungguh, di mana sebenarnya itu hanya luka kecil yang sangat tidak berarti baginya.
"Kau pasti melakukan kesalahan. Itulah kenapa dia sampai melemparmu." Dari jawaban barusan, jelas William terdengar lebih berpihak pada Lisa, membuat Sehun rasanya semakin kesal.
"Will, apa pun kesalahan yang aku lakukan, tidak seharusnya Lisa bersikap seperti itu pada suaminya sendiri," protes Sehun berapi-api. Laki-laki itu sebenarnya marah sekali pada aksi brutal Lisa semalam, tapi anehnya tidak ada kemarahan yang dilampiaskan.
Kini, William hanya merespons dengan anggukan dan mulut terkunci rapat. Dia tidak ingin terkesan membela Lisa lagi di depan Sehun karena putra kesayangan Tiffany itu pasti akan merajuk.
"Kau masih belum mengatakan padanya apa yang terjadi saat itu?" William menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah dia ketahui apa jawabannya. Hanya saja laki-laki itu ingin memastikan, siapa tahu Sehun berubah pikiran tanpa mengatakan apa pun padanya.
"Memang apa pentingnya menjelaskan semua itu, Will?" Sehun yang semula menatap televisi, sekarang mengembalikan pandangannya pada William dengan sorot yang menantang. "Kami tidak akan bersama lagi. Jadi, buang-buang waktu saja menjelaskan semua itu pada si Stupid Dayne."
"Sehun, secara tidak langsung kau baru saja mengatakan kalau kau hanya ingin menjelaskan pada Lisa jika jaminannya adalah kalian kembali bersama." William menjelaskan secara rinci sambil menahan tawa. "Apa kau tidak sadar dengan pemikiranmu sendiri?"
"Aku tidak berpikir seperti itu!" bantah Sehun kuat.
William hanya menggeleng karena sikap keras kepala Sehun. Rasanya dia sudah cukup baik karena berusaha untuk membuka mata hati Sehun dan menyadari perasaannya pada Lisa yang memang masih tersisa.
"Kau masih saja keras kepala," kata William seraya memasukkan jeli ke dalam mulut Sehun yang saat ini tampak mengerucut sebal.
"Keras kepala adalah nama tengahku yang dihilangkan, Will."
William menyerah. Dia lelah berdebat dengan dengan Sehun karena laki-laki itu pasti tidak akan mau mengalah. Jadi, dia memutuskan untuk tidak membalas lagi dan ikut menonton bersama Sehun.
❄️❄️❄️
"Apa kau tidak punya jam?"
Suara itu menyambut kedatangan Lisa ketika dia membuka pintu kamar Sehun. Dilihatnya, laki-laki itu sedang duduk dengan ponsel di tangan.
Lisa dengan polos melirik arlojinya. "Jam 1 malam."
"Apa kau pikir wanita bersuami wajar pulang selarut ini?" Nada suara terdengar tidak suka. Entah karena Lisa yang tidak memberikannya kabar seharian ini atau karena dia khawatir pada sang istri.
Lisa memutar bola matanya jengkel, kemudian berjalan ke sofa untuk melepaskan boots-nya. "Aku lembur karena pekerjaan."
"Yakin karena pekerjaan, bukan karena kau bertemu dengan kekasihmu dan lupa waktu?" Sehun tampak menantang Lisa yang tampak sangat lelah sekarang.
"Apa pun yang aku lakukan, itu semua bukan urusanmu, Sehun. Jadi, mari hormati privasi masing-masing." Lisa meminta dengan penuh permohonan, sungguh dia lelah sekali saat ini.
Setelah Sehun pikir-pikir lagi, kenapa dia harus menegur Lisa yang pulang tengah malam tanpa memberikan kabar. Harusnya hal ini bisa Sehun manfaatkan untuk berpisah dari Lisa. Dia bisa mengatakan pada sang ibu kalau Lisa sering pulang larut malam dan tidak pernah memberikan kabar, juga tidak melakukan tugasnya sebagai istri dengan baik dan benar.
Ya, benar. Harusnya Sehun senang, bukan malah menegur Lisa, seolah dia memang memedulikan wanita itu.
Sehun mengangkat pandangannya, bermaksud untuk mengajak Lisa bekerja sama agar mereka berpisah. Namun, ketika melihat pemandangan di depannya, Sehun malah mendapati Lisa yang sedang menanggalkan pakaiannya satu per satu dan hanya menyisakan pakaian dalam.
Masih ada beberapa bercak di tubuh Lisa yang menjadi bukti kebrutalan Sehun malam itu dan entah kenapa, melihatnya membuat Sehun gugup tanpa alasan. Tiba-tiba saja Sehun memikirkan reaksi kekasih Lisa saat melihat bercak itu.
Lisa berbalik dan menatap suaminya. Wanita itu tidak peduli dengan tubuhnya yang hanya dibalut pakaian dalam dan sedang dijadikan objek. Toh, Sehun sudah melihat tubuhnya, bahkan menandainya di banyak tempat.
"Tidurlah," kata Lisa pada Sehun, "Besok-besok kau tidak perlu menungguku pulang." Tanpa membiarkan Sehun membalas, Lisa melangkah untuk pergi ke kamar mandi.
Sehun sendiri ingin mengatakan kalau dia sama sekali tidak menunggu Lisa pulang. Laki-laki itu bahkan tidak peduli kalau istrinya itu pulang atau tidak, tapi semuanya hanya berputar di dalam pikiran tanpa bisa dia katakan pada Lisa. Padahal Sehun bisa saja mengatakan semuanya dalam satu tarikan napas, tapi dia malah memilih bungkam dan membiarkan Lisa hilang di balik pintu kamar mandi.
"Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia tidak bersemangat sama sekali? Apa dia bertengkar dengan kekasihnya?" Deretan pertanyaan itu terlontar dari bibir Sehun karena melihat keanehan Lisa, tapi buru-buru menggeleng dan menggenggam kembali kesadarannya. "Aish, berhenti memikirkan wanita egois itu, Sehun. Jangan pedulikan dia!"
Sehun segera membaringkan tubuhnya, kemudian menutup diri dengan selimut. Laki-laki itu mencoba untuk tidur karena seseorang yang ditunggunya sudah menampakkan diri.
Sudah satu jam lamanya Sehun berusaha untuk tidur, tapi kantuk tidak juga menyerang, membuat laki-laki itu menghabiskan waktunya untuk berguling di atas kasur.
Kesal dengan perasaannya sendiri, Sehun memukul kasur yang tidak berdosa, kemudian menarik punggung dan menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup.
"Ini sudah satu jam, tapi kenapa dia belum keluar juga?" Singkatnya, Sehun baru saja mengkhawatirkan Lisa yang tidak kunjung keluar dari kamar mandi. "Dia tidak tertidur di dalam sana, 'kan?"
Sehun melompat turun dari kasurnya dan berjalan secepat mungkin menuju kamar mandi, di mana dia tidak meminta izin lebih dulu untuk masuk karena dia berpikir itu tidak perlu.
Benar saja, Lisa memang tertidur di dalam bak mandi.
Sehun memasukkan tangannya ke bak untuk memeriksa air dan ternyata sudah cukup dingin.
"Hei, Lisa bangun." Sehun menepuk pelan pipi Lisa, berusaha membangunkan wanita itu. "Kau akan mati jika tidur di kamar mandi."
Lisa bergerak kecil, pertanda dia terganggu dengan apa yang Sehun lakukan padanya. Matanya terbuka dengan perlahan dan ingin melayangkan protes.
"Ini kamar mandi, bukan tempat tidur. Jadi, bilas tubuhmu dan keluar," titah Sehun setelah Lisa berhasil membuka matanya.
Lisa mengedarkan pandangannya dan menyadari kalau dia memang masih di kamar mandi dan berendam dengan air yang mulai dingin.
Sehun berdiri lebih dulu ketika Lisa bersiap untuk keluar dari bak mandi, dengan setengah nyawa yang masih berusaha untuk dikumpulkan. Laki-laki itu menunggu Lisa, bukan karena ingin melihat tubuh telanjang sang istri, tapi karena takut wanita itu akan terjatuh karena masih setengah mengantuk.
Keputusan Sehun menunggu Lisa memang tepat, karena terbukti Lisa yang kehilangan keseimbangannya dan nyaris terjatuh akibat lantai yang licin.
Beruntung Sehun sempat melingkari perut Lisa dengan lengannya untuk mencegah wanita itu jatuh.
"Berjalanlah dengan benar, Lalisa!" Sehun memperingatkan dengan nada tinggi. "Kepalamu bisa pecah karena terbentur lantai tahu."
Rupanya, Sehun baru saja mengkhawatirkan Lisa. Dia takut kalau istrinya itu terluka.
"Sehun, aku pusing. Bisakah kau membantuku membilas tubuh?" Lisa meminta dengan suara lemah yang terdengar begitu parau, di mana satu tangannya mencengkeram erat kaus Sehun.
"Apa kau sakit?" Sehun mencoba mengintip wajah Lisa yang tertunduk.
"Entahlah, aku hanya merasa tidak enak badan sekarang."
Sehun berdecak sebal dan membantu Lisa untuk duduk di pinggiran bak mandi. "Sudah tahu tidak enak badan, kenapa malah berendam lama sekali? Seharusnya langsung tidur saja," oceh Sehun seraya melepaskan pancuran dari penahannya.
Sehun menarik kedua tangan Lisa agar melingkari pinggangnya. "Pegangan yang erat, jangan sampai jatuh," katanya mengingatkan dengan lembut.
Sehun membilas tubuh Lisa dan membiarkan tubuhnya sendiri basah karena air. Laki-laki itu sesekali akan menggosok tubuh Lisa untuk memastikan kalau tidak ada sabun yang menempel.
Dalam beberapa kesempatan, Sehun mencoba untuk menyentuh bercak-bercak yang ditinggalkannya malam itu. Entah kenapa, laki-laki itu terlihat seperti ingin mengenangnya.
Setelah memastikan tidak ada sabun yang menempel di tubuh Lisa, Sehun segera mengeringkannya dengan handuk, kemudian memakaikan piama wanita itu, tanpa memakaikan bra lebih dulu dan membiarkan Lisa hanya menggunakan celana dalam, kemudian mengganti pakaiannya yang basah.
Sehun sudah cukup baik pada Lisa. Jadi, tolong jangan membuatnya melakukan hal yang lebih banyak lagi untuk mantan kekasihnya semasa SMA ini.
"Kau sudah tidur?" Sehun bertanya saat menyelimuti tubuh Lisa dan mendapati wanita itu menutup mata rapat-rapat dan tidak berkomentar apa pun setelah mengatakan bahwa dirinya pusing.
"Aku akan tidur. Jadi, berhenti mengajakku bicara." Lisa menjawab dengan setengah protes dalam suara yang terdengar seperti bisikan.
"Dasar tidak tahu terima kasih," decih Sehun.
Merasa sudah melakukan kebaikan, Sehun bersiap untuk tidur dan menyelimuti dirinya sendiri, tapi anehnya dia malah menoleh pada Lisa seakan ingin memastikan kondisi wanita itu.
Sehun menyelipkan tangannya di balik punggung Lisa, kemudian menarik tubuh wanita itu agar lebih merapat padanya. "Aku melakukannya karena kau sakit. Jadi, jangan geer," katanya mengingatkan dengan tegas.
Saat William mengatakan Sehun sering kali membohongi perasaannya, terutama perasaannya pada Lisa, William bukan hanya asal bicara. Faktanya Sehun memang seperti itu.
Buktinya saja dia memberikan Lisa perhatian lebih, tapi berdalih dengan mengatakan kalau apa yang dilakukannya saat ini karena Lisa sedang sakit, alih-alih jauh di dalam lubuk hatinya Sehun memang ingin memeluk wanita itu.
Lisa yang mulai sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan membalas pelukan Sehun. Entah siapa yang sedang wanita itu bayangkan saat ini, sang mantan kekasih yang sudah menjadi suaminya kah atau sang kekasih? Hanya Lisa yang tahu.
Sebelum matahari bersinar terang, Lisa sudah lebih dulu bangun. Bukan karena dia terbiasa bangun pagi, tapi karena Lisa merasa haus.
Wanita itu terbangun dalam keadaan sedang memeluk tubuh Sehun dan tidur berbantalkan lengan laki-laki itu. Kepalanya terlalu pusing untuk mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tapi bibirnya melengkungkan senyum kecil tanpa sadar.
Lisa menyingkirkan tangan Sehun yang melingkari perutnya. Wanita itu perlu mengambil minum dan tangan Sehun menghalanginya untuk bergerak.
Posisi gelas yang berada di sisi kanan Sehun membuat Lisa harus melewati tubuh laki-laki itu untuk meraihnya, tapi gerakan tidak disengaja Sehun yang menyenggol lengan Lisa yang sedang dijadikan tumpuan membuat wanita itu jatuh di atas tubuh Sehun.
Sehun tentu terkejut karena sesuatu menimpanya, terlebih lagi dagu Lisa yang jatuh tepat di dadanya.
"Lisa, apa yang kau lakukan?" Sehun bertanya dengan tidak habis pikir, sementara Lisa mengaduh lemah.
"Aku ingin mengambil minum." Lisa menjawab setelah menarik dirinya dari Sehun.
Sehun yang berada lebih dekat segera mengambil gelas di sampingnya untuk diberikan pada Lisa. "Kalau ingin minum, ya minum saja. Tidak usah menindihku segala," protesnya.
"Aku jatuh juga karena kau menyenggol tanganku," balas Lisa tidak mau kalah.
Sehun hanya mengembuskan napas kasar dan ikut duduk bersama Lisa, ketika wanita itu mulai menenggak air mineralnya. Tanpa mengatakan apa pun, Sehun meletakkan punggung tangannya di kening Lisa, sementara wanita itu menatap bingung sambil terus meminum airnya.
"Baguslah kalau kau tidak demam," kata Sehun seraya menarik tangannya dari kening Lisa. "Aku tidak punya waktu untuk mengurus orang sakit."
"Bahkan jika sakit pun, aku juga tidak mau diurus olehmu," balas Lisa tidak mau kalah, "Bukannya sembuh, kau hanya membuat sakitku tambah parah."
Sehun mendecih tidak percaya, dengan tatapan yang tampak sinis memandang Lisa. "Kau pasti lupa kalau sebelumnya kau memohon padaku untuk membantumu membilas tubuh karena kau pusing," sindirnya dengan penuh penekanan.
"Kapan aku—" Lisa sudah siap untuk mempertanyakan ucapan Sehun barusan, tapi menahan diri karena ingatan itu tiba-tiba saja muncul di dalam benaknya.
Sehun tersenyum mengejek dan menunggu Lisa untuk membantahnya, tapi tidak ada yang wanita itu katakan. Alih-alih membantah, Lisa malah membuang pandangannya dari Sehun.
"Aku tidak harus berterima kasih padamu karena itu memang sudah kewajiban seorang suami untuk mengurus istrinya yang sedang sakit, 'kan?" Pada akhirnya, Lisa memilih untuk bersikap tidak tahu diri saja di depan Sehun dan tidak ingin memikirkan bagaimana tanggapan sang suami di depannya.
"Sekarang kau menganggapku sebagai suamimu?" Sehun bertanya dengan nada setengah mengejek. "Hanya karena aku merawatmu?"
Lisa membuang pandangan lagi di Sehun. Dia pasti salah bicara barusan. Harusnya tidak perlu membawa tentang status mereka yang sudah resmi menjadi suami dan istri.
"Terserahmu saja. Aku lelah." Lisa yang sedikit kesal mengembalikan gelasnya pada Sehun, bermaksud menyuruh laki-laki itu menaruhnya kembali.
Sehun meletakkan kembali gelasnya di nakas, kemudian menatap Lisa yang baru saja memunggunginya. Entah kenapa, ucapan William kemarin kembali terdengar di dalam pikirannya.
Apa dia benar-benar harus menjelaskan permasalahan mereka sekali lagi dan melihat apakah masih ada harapan untuk hubungan keduanya atau tidak?
Sejak Sehun bercinta dengan Lisa untuk pertama kali, dia terus memikirkan wanita itu dan sebenarnya, saat membilas tubuh Lisa tadi, Sehun sempat beberapa kali mengambil kesempatan untuk menyentuh wanita itu.
Lisa sendiri sekarang sedang memikirkan Sehun. Wanita itu pun bingung karena dirinya yang teralihkan tanpa sadar. Padahal keduanya baru melakukan sekali, itu pun terpaksa karena dijebak dengan obat perangsang, tapi kenapa Lisa terus mengingatnya, bahkan ketika dia sedang bersama kekasihnya?
"Sehun." Pada akhirnya, Lisa memanggil Sehun untuk menanyakan sesuatu, tapi tidak menoleh sedikit pun.
Sehun pun hanya membalas lewat gumam dan tidak menoleh juga.
"Sampai kapan kita akan tinggal di sini?"
"Aku sudah berbicara pada ibuku mengenai kepindahan kita dan dia tidak setuju," jawab Sehun apa adanya.
Lisa dengan cepat membalikkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Sehun langsung. "Jadi, maksudmu kita tidak akan pindah dari sini?" tanyanya memastikan. Wanita itu berharap kalau jawaban Sehun bukanlah yang dia pikirkan, meski sebenarnya jawaban itu sudah ada di depan mata.
Sehun menoleh dan menatap Lisa, kemudian menjawab dengan gumam lagi.
"Tapi kau sudah berjanji kalau kita akan pindah dari sini," rengek Lisa.
Sehun mengembuskan napas kasar. "Aku juga maunya seperti itu, tapi ibuku melarang. Kalau kau ingin menentangnya, silakan saja. Aku tidak akan menghentikanmu."
Lisa menggeleng tidak habis pikir. "Kau benar-benar pengecut, Sehun," cibirnya, "Meyakinkan ibumu saja kau tidak bisa."
Sehun tidak benar-benar tersinggung dengan ucapan Lisa. Toh, dia pernah mendengar yang lebih menjengkelkan. "Daripada hanya keluar dari sini, bagaimana kalau buat dia marah padamu saja? Kau bisa pulang subuh besok-besok, dalam keadaan mabuk lebih bagus."
Sehun tidak menjelaskan secara rinci, tapi Lisa mengerti ke mana arah pembicaraan saat ini.
"Jadi, kau berencana untuk membuat citraku buruk di depan ibumu? Lalu, dia marah dan meminta kita untuk berpisah?" Lisa menjelaskan dengan lebih rinci dalam nada suara yang terdengar geram.
"Oh, ternyata kau sudah tidak bodoh lagi, Dayne," Sehun bergumam takjub seraya mengacak rambut Lisa. Anggap saja bentuk pujian.
Lisa yang jengkel segera menepis tangan Sehun. "Tidak bisakah kau memberikan rencana yang tidak menghancurkan citraku di depan siapa pun?"
"Memangnya citramu sebagus apa?" ejek Sehun, "Kau bahkan tidak memiliki nilai plus satu pun."
"Begitu juga denganmu," balas Lisa tidak kalah keras, "Apa kau pikir kau memiliki banyak nilai plus? Alih-alih plus, semua yang ada di dalam dirimu adalah minus."
Sehun memutar jengkel bola matanya. Bisakah Lisa tidak mengajaknya bertengkar sepagi ini?
"Kau memiliki ide yang lain selain merusak citramu?"
"Kita bisa merusak citramu sebagai gantinya," sahut Lisa cepat. Wanita itu tidak ingin menjadi tumbal dalam menghancurkan pernikahan ini.
"Aku adalah anaknya," Sehun menyahut lelah, "Tidak peduli seberapa buruk sifatku, dia tidak akan pernah memisahkan kita. Justru dia akan memintamu untuk mengubahku menjadi lebih baik."
Mendengar jawaban Sehun membuat Lisa mengembuskan napas pasrah. Matanya menutup sebentar, kemudian kembali berbagi pandangan dengan sang suami.
"Kau pikir kenapa kita dijodohkan?" Lisa menepis obrolan sebelumnya dan mengubah topik pembicaraan.
"Ibuku bilang, dia ingin segera menggendong cucu," sahut Sehun setengah acuh.
"Sehun, aku serius!"
"Aku juga serius," balas Sehun penuh penekanan. "Ibuku memang memang mengatakan hal itu padaku. Kalau kau tidak percaya, coba saja tanya langsung padanya saat bertemu nanti."
Lisa berdecak sebal. "Aku benci ibumu."
"Dan aku juga membencimu," balas Sehun dengan senyum di wajahnya.
Lisa memutuskan untuk tidak membalas. Dia terlalu malas untuk berdebat, meski sebenarnya kegiatan itu sudah resmi dilakukannya sejak membuka mata pagi ini.
Dering ponsel Sehun menyelamatkan sang empunya dari keheningan, kemudian menjawab panggilannya.
"Ya, Will?" Sehun membuka suara untuk menyapa sosok yang meneleponnya pagi ini.
Mendengar nama William membuat Lisa lagi-lagi terbakar cemburu tanpa dia sadari. Wajahnya terlihat semakin jengkel.
"Kupikir kau belum bangun," balas William di seberang sana, "Aku sedang dalam perjalanan ke rumahmu."
"Pagi-pagi begini? Untuk apa?" Alis Sehun berkerut bingung.
"Kita ada pemotretan dengan latar belakang matahari terbit hari ini. Jangan bilang kau lupa?" William mewanti-wanti dengan nada tegasnya.
Sehun mendesah karena lupa dengan jadwalnya pekerjaannya sendiri. "Bukankah itu besok?"
"Jika besok, untuk apa aku pergi menjemputmu pagi ini?"
Diam-diam Sehun melirik Lisa di sebelahnya yang memang tengah menatapnya. Laki-laki itu sedang mempertimbangkan untuk membatalkan jadwal pemotretan hari ini karena Lisa.
"Sehun, apa kau mendengarku?" William memanggil karena yang diajak bicara tidak memberikan jawaban. "Cepat bersiap. Aku akan sampai dalam 10 menit."
Sehun menjauhkan ponselnya dari telinga setelah teleponnya dan William berakhir.
"Ada jadwal untuk berkencan dengan William, huh?" sindir Lisa dengan nada mengejek.
Sehun membenarkan dengan anggukan tanpa ingin repot-repot menjelaskan yang sebenarnya. "Ingin ikut kami berkencan?"
Lisa sebenarnya ingin marah. Dia bahkan sudah siap untuk mengumpat, tapi tiba-tiba saja ada sebuah ide yang terlintas di benaknya.
"Kupikir aku tahu apa yang harus kita lakukan agar bisa berpisah dengan restu ibumu." Saat mengatakannya, wajah Lisa tampak bercahaya, seolah Tuhan baru saja memberkatinya dengan sejuta keberuntungan.
Alis Sehun berkerut bingung. "Apa?"
"Aku akan mengatakan pada ibumu bahwa kau seorang gay dan kau sama sekali tidak tertarik denganku karena kau lebih tertarik dengan William." Lisa mengutarakan rencana briliannya dengan penuh antusias. "Lalu, aku akan berpura-pura menderita selama menikah denganmu karena tidak pernah disentuh. Aku akan meyakinkan ibumu kalau kau benar-benar menyakitiku karena seksualitasmu yang menyimpang. Jika ibumu memang memiliki hati, dia pasti tidak akan tega melihatku menderita dan dia akan membiarkan kita berpisah."
Sehun menatap Lisa dalam diam saat wanita itu memberikan ide agar bisa berpisah darinya dengan restu Tiffany.
"Kau setuju, 'kan?" tanya Lisa saat Sehun hanya diam dan menatapnya.
"Apa kau benar-benar ingin berpisah dariku—lagi?"
📌📌📌
TERNYATA SI KYLE YANG GAMON, GAES 🤣🤣
Lagaknya doang sok nggak peduli, sebenarnya mah masih ada serpihan cinta yang tersisa buat sang mantan 🤭🤭
Dayne juga, bisa-bisanya lagi sama mas Ken yang diingat malah mantan. Untung nggak sampai sebut nama 🤣🤣
Tapi kalian tau nggak sih, kenapa tiba-tiba ini cerita update lagi padahal nggak ada nggak ada ujan? Sebenarnya ini nggak ada korelasinya, tapi nggak tau kenapa pas iklan Lisa bareng Chivas rilis mendadak dapat hilal aja gitu buat lanjut 🤣🤣
Jelas-jelas di iklan Chivas tuh vibesnya bukan karakter Lisa di cerita ini, tapi anehnya ide malah datang setelah liat itu. Nggak nyambung banget, 'kan? 🤣🤣🤣
Tapi aura Lisa keliatan mahal banget di sini.
Sementara Lisa mengkece dengan Chivas, bapak juga nggak mau kalah. Bening banget masyaallah dia cover majalah bulan depan 😭
Rasanya kek lama beuts nggak liat dia. Dari awal tahun minin konten 😭😭😭
Dahlah, aing pamit dulu. Nanti kita korek lagi masa lalu pasangan gila kita. Dadah ~
15 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro