Maukah Kau Berdansa Denganku?
Tanpa semangat sedikitpun, kau melangkahkan kakimu masuk ke dalam rumah. Dengan lesu, kau menyeret tubuhmu ke dalam kamar. Kau melemparkan tubuhmu ke atas ranjang. Kau bahkan tidak peduli lampunya tidak menyala. Kau hanya ingin berbaring di atas ranjang empuk, tidak melakukan apa-apa selain memejamkan mata.
Kesedihan hari kemarin masih belum hilang. Kenangan buruk hari kemarin masih belum terlupakan.
"Aku ingin bertemu dengannya," kau berbisik lirih. "Sekali saja ..."
Saat kau membuka mata, kau mendapati dirimu berada di tengah aula yang luas. Entah darimana, nada-nada indah dari alat musik mengalir seperti sungai. Bahkan kau sudah menggunakan pakaian mewah dengan warna kesukaanmu. Anehnya, kau tidak menemukan orang lain selain dirimu.
"Hei."
Kau mendongak, menemukan seseorang berjalan mendekatimu. Ia juga memakai pakaian yang elegan. Tidak salah lagi, dia adalah orang yang kaucintai.
Tapi kau masih ingat betul sebuah kenyataan pahit: cintamu hanya bertepuk sebelah tangan; kau tidak akan pernah menggapainya. Kau tidak membalas, hanya menunduk, lalu berbalik badan, bersiap pergi.
"Tunggu."
Baru saja kau akan melangkah menjauh, tangannya yang dingin sudah menahan tanganmu, menggenggamnya erat. Spontan kau menoleh. Matamu menatap sepasang matanya yang selalu tampak berkilau bagimu. Tanpa sangaja, tatapanmu dan dia bertabrakan.
"Maukah kau berdansa denganku?" ajaknya yakin. Kau bisa melihat siratan keseriusan di sorot matanya
Kau mendadak mematung. Lidahmu kelu, tak tahu harus berkata apa. Senyuman terulas di wajahmu. Kau hanya mengangguk sebagai balasan.
Dia tersenyum manis. Sangat manis. Senyum yang kau rindukan. Kemudian, ia meraih tanganmu. Kau dan dia mulai berdansa bersama, mengikuti irama. Gerakannya sangat halus nan anggun, membuatmu terbuai. Kau sendiri tidak tahu sejak kapan ia bisa berdansa, tapi kau tidak peduli.
Rasanya seperti mimpi, kau membatin dengan mata terpejam, mimpi yang tidak pernah tercapai.
"Hei," suaranya menarikmu kembali dari alam bawah sadar. Perlahan, kau membuka matamu. Entah kebetulan atau takdir, sekali lagi tatapan kalian bertemu.
"Maafkan aku ... atas semua kesalahanku," kau bisa mendengar ketulusan pada kalimat yang ia lontarkan. "Aku merasa aku tidak memperlakukanmu dengan cukup baik. Padahal kau benar-benar baik padaku. Kau selalu tersenyum kepadaku, bahkan saat kau sedang bersedih."
Seketika matamu melebar saat mendengar kalimat terakhirnya. "Bagaimana kau tahu?"
Dia terkekeh pelan. "Matamu. Mereka tidak bisa berbohong."
Kau diam seribu bahasa. Diam-diam merasa tertampar oleh kata-kata. Kau tak memiliki spatah pun kata mengelak perkataannya. Karena memang itu kenyataannya.
"Mungkin kau tidak sadar, kau sangat berarti bagiku. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku ... sangat egois, ya?"
Kau masih terdiam. Kepalamu menggeleng lemah. Kau menggigit bibir bawahmu, menahan air mata di ujung mata.
"Terima kasih atas semuanya. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu. Meski itu hanya sepele. Termasuk mawar-mawar yang kau berikan padaku kemarin," ia berkata begitu tanpa melunturkan senyuman. "Kadang-kadang aku merasa tidak pantas."
Setetes demi setetes, air mata mulai membahasi pipimu. Kau menunduk, berusaha menyembunyikan tetesan itu meski tahu akan berakhir sia-sia. Perlahan-lahan, kau mulai mengingat kenangan kemarin. Kenangan yang diam-diam kau ingin menghapusnya dari realita.
Tanpa aba-aba atau sepatah kata, dia menangkup pipimu, membawamu untuk berhadapan langsung dengannya. Mau tak mau, kau menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dengan lembut, tangannya mengusap ujung matamu, menghapus jejak-jejak air mata. "Kumohon, jangan menangis," pintanya lirih, "Aku semakin merasa bersalah kalau kau menangis."
Bukannya mereda, tangisanmu semakin deras. Dia menghentikan dansanya, lalu membawamu ke dalam sebuah dekapan erat. Saat itu juga kau merasakan tubuhnya dingin, sangat.
"Tolong ... jangan lupakan aku," ia berbisik. "Atau kenangan kita."
Setelah berkata begitu, ia mendaratkan sebuah kecupan di pipimu. Singkat, tapi tak terlupakan.
Kau terbangun dengan napas memburu. Kau bangkit, mendudukkan diri di atas ranjang. Pandanganmu menyapu ke seluruh penjuru. Kau tidak berada di aula, melainkan kamarmu.
Tanganmu terangkat, mendarat di sudut matamu. Jejak air mata. Itu yang kau temukan.
Tawa miris mengudara dari mulutmu, bersamaan dengan air mata yang kembali menetes. Kau menertawakan dirimu sendiri.
"Tentu saja. Tentu saja semua itu hanya mimpi."
Kau meraih pigura di nakas. Kau memandang foto yang dibingkai pigura putih itu baik-baik. Fotomu bersama dia. Pasangan dansamu dalam mimpi. Kau dan dia sama-sama tersenyum ke arah kamera.
"Dia sudah pergi kemarin. Dia tidak akan kembali."
tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro