8-Ketupat
"Agama memerintahkan untuk menutup aurat, bukan sekadar membungkus aurat."
•••
Baru saja aku memasuki rumah, sudah disambut tatapan horor Mamah yang tengah berdiri dengan berkacak pinggang. Bisa dipending dulu marahnya? Saat ini aku sangat lelah dan butuh ranjang untuk rebahan. Bukan malah mendengar omelan dan ceramahan Mamah yang panjang kali lebar.
"Adara capek, Mah biarin Adara mandi atau istirahat bentar," kataku menghentikan gerak bibir Mamah yang siap melontarkan rentetan petuah.
"Emang dasar kamu itu gak bisa diatur. Pulang larut malam. Mamah pikir dengan berubahnya penampilan kamu, sifat buruk kamu juga akan berubah tapi buktinya nol besar!" semburnya dengan nada suara tinggi.
Aku memilih untuk duduk di sofa sebelum akhirnya menjawab, "Adara abis kelarin semua urusan Adara dulu, Mah makanya pulang malem."
"Urusan! Urusan! Paling juga kamu jalan bareng sama temen-temen cowok kamu," sahutnya tepat sasaran. Ya aku memang habis menemui teman-teman priaku. Feeling Mamah memang sangat kuat dan tak pernah meleset.
"Iya Adara emang abis ketemu sama mereka, tapi---" Dengan tidak sopan Mamah menghentikan perkataanku.
"Kapan kamu bener-bener berubah, Adara?! Mamah capek ngadepin kamu yang kerjaannya main-main mulu. Ngabisin waktu sama cowok-cowok yang bukan mahram kamu. Apa kamu gak malu sama pakaian yang kamu kenakan? Dengan memakai kerudung seharusnya kamu bisa lebih menjaga diri dan menjaga identitas agama. Tapi yang kamu lakukan justru mencorengnya!"
Aku hanya diam mendengarkan Mamah mengeluarkan segala macam asumsi buruk tentangku. Terserah Mamah. Suka-suka Mamah mau berkomentar apa. Kupingku sudah kebal dengan hinaan dan cacian. Hatiku juga sudah tak mempan dengan hal semacam itu.
"Kenapa kamu diam saja sih?" tanya Mamah pada akhirnya ikutserta duduk di sampingku.
Begitulah beliau kalau sudah tidak tahan menghadapiku yang membuat tensi darahnya semakin melambung tinggi. Marahnya hanya hitungan menit, tidak akan lama. Dan pada akhirnya beliau akan menanyakannya secara baik-baik, dari hati ke hati. Makanya aku tak terlalu ambil pusing semburan lava panasnya yang tadi. Nanti juga baik sendiri.
"Mamahku yang cantik, baik hati, dan tidak sombong dengerin Adara yang mau ngomong," kataku yang langsung dibalas dengan jawaban, "Gak sekalian rajin menabung." Aku terkekeh mendengarnya.
"Iya bener Adara emang abis jalan sama mereka tapi... dengerin dulu, Mah jangan main potong-potong aja." Lagi-lagi bibir tipis bergincunya akan lepas kendali, beruntung aku bisa menahan dan membungkamnya sebelum meledak.
"Tadi itu Adara sengaja ketemu mereka buat kasih kabar sama mereka, kalau Adara sudah gak bisa lagi jalan sama mereka. Adara gak mau ngilang gitu aja tanpa kasih mereka kejelasan, Mamah," terangku yang dibalas dengan ucapan hamdalah.
"Lagak kamu sok bener banget, pake acara gak mau pergi tanpa kejelasan. Tapi bertahun-tahun mereka sama kamu, gak kamu kasih kejelasan tuh akhir hubungan kalian mau dibawa ke mana." Begini nih kalau ngobrol sama Mamah. Gak akan ada kata selesai. Pasti ada saja yang dikomentarin.
"Dari awal Adara sudah kasih mereka kejelasan kali, Mah. Adara bilang jujur sama mereka kalau gak ada status dan cinta-cintaan. Murni hanya sebuah pertemanan yang saling menguntungkan. Adara butuh mereka buat temenin jalan, ngampus, nongkrong, dan semacamnya. Sedangkan mereka butuh teman cerita dan juga gandengan pada saat menghadiri acara-acara penting," jelasku.
"Ya... ya... terserah kamu sajalah. Berarti sudah clear semua dong, gak akan pernah ada lagi yang kamu ajak ke sini dan hangout bareng?" tanyanya memastikan.
Aku memasang tampang bloon dan menampilkan cengiran. "Masih ada, Mah tapi sisa satu doang. Dia keukeuh gak mau Adara tinggalin." Mamah geleng-geleng mendengarnya.
"Siapa?" todongnya tanpa basa-basi. Aku menyandarkan kepala pada badan sofa sebelum berkata, "Lukman."
Mamah terlihat manggut-manggut tapi detik berikutnya dia bertanya lagi. "Jangan-jangan kamu suka yah sama dia?"
Ish, apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot lagi? Tak ada rasa di antara aku dan Lukman, murni hanya sebuah pertemanan. Tidak lebih.
"Ya gaklah, Mah jangan sembarangan deh kalau ngomong," sanggahku yang dibalas dengan sebuah decakan.
"Alah, bilang saja kalau emang kamu ada hati sama dia," keukeuhnya tak terima.
"Kalau emang bener ya sudah langsung ke KUA saja. Minta halalin sana," sambung Mamah enteng.
Apa-apaan nih? Enak saja tuh mulut kalau ngomong. Pakai acara halalin segala. Kalau mau dapat label halal ke MUI saja sana.
"Mamah bingung sama jalan pikiran kamu. Apa tuh kuping gak panas dengerin omongan tetangga yang bilang inilah itulah. Mamah saja kesel dan gak terima denger kamu dihina-hina, tapi emang dasar kamunya juga sih susah dibilangin," cerocosnya.
"Gak ada kelarnya kalau Adara ngurusin omongan orang. Yang ada capek hati terus. Gak papalah buat tabungan akhirat, kan enak nanti tiba-tiba dapet hibahan pahala dari nyinyirin orang-orang," balasku santai tanpa beban.
Dosaku itu terlalu banyak dan aku butuh suntikan pahala. Tak peduli itu pahala sumbernya dari mana dan siapa. Yang jelas aku sangat berterima kasih kepada mereka yang mulutnya pada julid.
"Punya anak kok gini-gini amat," desis Mamah pelan tapi masih bisa kudengar.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kalau anaknya modelan begini, ya pastinya ibu sama bapaknya jauh lebih parah dong?
Cukup lama kami terdiam dan mengarungi pikiran masing-masing, hingga suara Mamah kembali memecah keheningan. Nada suaranya sedikit serius dan aku segera menegakan tubuh, serta menatapnya lekat-lekat Mamah yang juga tengah menatapku dengan penuh kesungguhan. Aku berdebar penasaran dengan apa yang akan beliau bicarakan. Kalau sudah seperti ini keadaannya Mamah sedang dalam mode siaga. Tak main-main.
"Kamu tahu gak bedanya membungkus sama menutupi?" tanyanya yang membuatku bingung tak mengerti.
"Ish, Adara pikir Mamah mau ngomong apaan. Tahunya cuma nanya gitu doang. Sudah tegang ini, Mah takut ditanya macem-macem." Bukannya menjawab aku malah berkata demikian.
"Jawab, Adara!" Ok, kalau sudah seperti ini jalan ceritanya aku hanya bisa pasrah dan menjawab seadanya.
"Gak ada bedanyalah, Mah. Tapi bentar... kayanya beda sih... tunggu Adara mikir dulu." Aku bingung menjelaskannya tapi aku bisa membedakan antara membungkus dan menutupi.
"Kamu kelamaan mikir," cela Mamah mengganggu kinerja otakku yang sedang berpikir.
"Gini saja deh kamu tahu ketupat, kan? Menurut kamu ketupat itu dibungkus apa ditutupin?"
Pertanyaan macam apa itu pakai acara ketupat dibawa-bawa segala. Gak sekalian opor ayamnya juga?
"Dibungkus sih kayanya, kan masih bisa kelihatan tuh dalemnya kaya apaan," sahutku pada akhirnya. Mamah mengangguk, entah setuju atau hanya menghargai jawabanku saja.
"Ok kalau gitu kamu sama dong kaya ketupat," sahutnya yang membuat mataku melotot. Apaan coba maksudnya?
"Mulut Mamah gak bisa apa sekali aja bikin adem hati. Pake acara samain Adara kaya ketupat segala lagi," selaku.
Dengan ringan tanpa beban Mamah berucap, "Ya lagian kamu juga sih. Itu aurat apa ketupat? Kok dibungkusnya pake baju ketat."
Aku mengembuskan napas berat setelah paham arah perbincangan ini mau dibawa ke mana. "Adara belum bisa pake baju kaya Mamah," tukasku langsung pada intinya tanpa mau berputar-putar sama seperti yang Mamah lakukan.
Perumpamaan yang Mamah gunakan cukup menyinggung. Beliau menyamakan anaknya yang menjadi buruan para pria di luaran sana dengan ketupat lebaran. Apa tidak ada yang lebih bagus lagi?
Mamah menggenggam kedua tanganku dan menatap netraku lebih intens. "'Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya'. Kamu tahu apa maksud dari ayat itu, kan?" Aku mengangguk paham.
Aku tahu Mah. Tapi bisakah Mamah memberikanku waktu dan kelonggaran untuk sampai pada titik itu. Proses masing-masing orang berbeda dan tidak mungkin bisa langsung berubah secara keseluruhan begitu saja.
Mendengar perkataan Mamah aku jadi teringat dengan sepenggal materi kajian beberapa hari lalu. Hanya satu kalimat saja tapi itu berhasil menyita perhatian otakku.
"Agama memerintahkan untuk menutup aurat, bukan sekadar membungkus aurat."
Ya, aku cukup tahu diri dan menyadari bahwa pakaian yang kukenakan ini masih jauh dari kata layak sesuai syariat. Lekukkan tubuhku masih terlihat karena pakaian ketat yang menjiplak. Bahkan kerudung yang kugunakan pun tak menutupi dada karena sengaja kutarik ke belakang untuk saling kukaitkan satu sama lain.
"Mamah tahu kamu masih dalam tahap berproses dan Mamah juga tahu kalau kamu masih belum terbiasa. Maka dari itu Mamah minta kamu untuk segera menggunakan pakaian yang seharusnya, agar kamu bisa menyesuaikan diri. Kalau kamu terus pake baju kaya gitu, lama kelamaan kamu akan nyaman dan menganggap bahwa yang kamu pakai itu sudah lebih dari cukup. Kamu paham, kan maksud Mamah?"
~TBC~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro