Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7-Ujian Pertama

"Berbicara tanpa berkaca sama saja seperti meletakkan kotoran tepat di depan muka."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Keputusan besar telah kuputuskan. Perjuanganku masih panjang dan ini adalah sebuah permulaan. Setelah mengatakan kesiapan pada Papah aku tak mengikuti sarannya karena aku takut kembali goyah.

Belum lagi aku memang tak begitu tahu perihal salat malam yang Papah perintahkan. Aku sangat awam perihal agama dan segala jenisnya, yang kutahu hanya sebatas salat wajib dan puasa ramadhan saja. Untuk ibadah sunnah dan kawan-kawannya aku tak begitu familiar dan mengetahui dengan detail. Hanya sebatas tahu sekilas saja.

Batinku saling bertempur menyuarakan dua sisi yang berlainan hingga membuat keteguhanku kembali melemah. Tak ingin melanjutkan apa yang sudah kukatakan pada Papah. Dan justru ingin menarik ulang kata-kata yang sudah kukeluarkan. Kalimat yang Papah lontarkan membuat hatiku semakin bimbang.

"Masa iya kamu juga yang tega giring Papah ke neraka gara-gara gak tutup aurat."

Untaian kata sederhana itu begitu terngiang-ngiang dalam ingatan. Menyadarkanku untuk kembali melanjutkan apa yang sudah kuputuskan. Menyerah sebelum berjuang bukanlah sifatku yang begitu suka dengan tantangan.

Aku akan mencobanya dengan harapan Allah memberikanku ke-istiqomah-an. Aku tak berani mengatakan bahwa aku 'berhijrah', kata itu terlalu berat dan aku merasa takkan sanggup untuk menggapainya. Aku hanya mencoba memperbaiki diri ke arah yang lebih baik lagi.

Jangan kira aku langsung memakai baju gombrong seperti waktu itu. Tidak sama sekali. Aku hanya mengenakan celana panjang berbahan jeans, dan juga kemeja lengan panjang, sehelai kain segiempat yang sengaja kulipat seperti segitiga menutup bagian kepala dan menyembunyikan rambut indahku.

Aku belum bisa menggunakan pakaian syar'i yang memang seharusnya kupakai. Jujur itu masih sulit dan berat. Dengan menggunakan pakaian tertutup walau masih menampakan bagian kaki jenjangku saja sudah berperang mati-matian.

Aku ingin menikmati prosesnya, step by step. Semua butuh proses dan aku tidak mungkin bisa secepat itu meninggalkan kebiasaan lama dan menggantikannya dengan kebiasaan baru. Itu bukanlah hal yang mudah. Sangat sulit.

"Apa kamu yakin pergi ke kampus dengan pakaian seperti itu? Mamah gak mau kamu bermain-main dengan aturan agama. Bongkar-pasang hijab bukan perkara sepele, itu dosa besar. Mamah gak mau besok atau lusa kamu kembali berubah pikiran," tutur Mamah saat aku baru saja duduk di kursi meja makan. Raut cemas dan khawatir sangat jelas di sana.

"Doain yang terbaik aja kali, Mah bukan malah buat Adara drop," sahutku seraya menerima piring yang sudah beliau isi dengan nasi dan lauk pauk.

Mamah membuang napasnya kasar dan berujar, "Keputusan kamu terlalu mendadak dan jujur itu buat Mamah takut. Takut kalau itu hanya keinginan spontan karena kamu gak bisa nolak permintaan Papah." Aku diam tak bisa menjawab. Memilih untuk memasukkan nasi ke dalam mulut adalah pilihan yang tepat untuk saat ini.

"Papah harap itu adalah murni keinginan hati kamu. Bukan karena Papah yang mendasari alasan kamu untuk menutup aurat." Perkataan Papah yang baru saja datang dari kamar membuatku menoleh ke belakang.

"Adara gak mau dipusingkan dengan hal-hal semacam itu," kataku sembari menatap Mamah dan Papah bergantian.

Aku bisa melihat ada keraguan serta ketakutan dari manik mata kedua orang tuaku. Jangankan mereka, aku saja masih meragukan kesungguhanku. Baru hitungan menit saja keringat sudah bercucuran dan memintaku untuk segera melepas penutup kepala ini.

Tak terbayang jika aku memakai pakaian sejenis ini setiap hari. Aku jadi bingung pada Mamah yang begitu nyaman dengan baju kebesaran dan khimar lebarnya. Apakah beliau tidak merasa panas serta kegerahan?

"Mamah gak bisa berbuat banyak selain mendoakan kamu agar bisa tetap istiqomah," ucap Mamah dengan suara meneduhkan hati.

Aku terharu mendengarnya. Sangat jelas sekali Mamah menunggu saat-saat seperti ini. Walau aku menyadari dengan betul bahwa Mamah masih tak yakin dengan keputusan yang kuambil.

Papah mengelus ubun-ubunku sebelum beliau duduk di kepala kursi meja makan. "Kuatkan mental dan hati kamu. Jangan pedulikan omongan orang," nasihatnya yang kubalas dengan anggukan.

Selama ini aku dicap sebagai cewek matre, tidak tersinggung dan justru bangga. Kenapa sekarang pada saat aku mengikuti syariat agama harus takut dan lemah akan omongan orang? Hidupku bukan dihabiskan untuk menanggapi ocehan para netizen tak bertanggung jawab. Bersikap bodo amat dan tak peduli adalah prinsip hidup yang kujunjung tinggi.

Setelah selesai acara santap pagi, seperti biasa aku langsung bergegas pergi. Menunggu seseorang yang akan mengantarkanku ke tempat tujuan. Untuk yang satu ini aku masih belum bisa menghindar.

Aku menutup aurat karena itu adalah sebuah kewajiban. Keharusan. Tapi entah mengapa aku masih belum bisa meninggalkan teman-teman priaku. Hanya penampilan saja yang berubah tidak dengan karakter dan kepribadianku. Ya itulah kenyataan yang memang harus kuakui.

"Kamu gak salah pake baju kan?" Pertanyaan semacam ini sudah kutebak akan keluar dari bibir Lukman. Aku tak menjawab dan hanya membalasnya dengan senyum tipis, dia yang memang dasarnya sangat peka langsung membukakanku pintu mobil.

Lukman adalah tipe pria yang irit dalam bertutur kata tapi tidak dalam urusan finansial. Orangnya sangat royal, bukan hanya padaku saja tapi juga pada orang-orang di sekitar yang memang membutuhkan.

"Kalau lo mau berhenti jadi temen jalan dan main gue, gak papa. Gue cukup tahu diri dengan keadaan gue sekarang yang gak bisa sebebas dulu." Aku mulai sedikit membuka obrolan.

Tak mungkin aku akan terus seperti ini, setidaknya aku harus meninggalkan beberapa di antara mereka. Memang tidak mudah dan pasti memerlukan waktu yang lumayan panjang, tapi tak apa setidaknya aku sudah mencoba. Untuk masalah hasil akhir kuserahkan semuanya pada Yang Di Atas.

"I will stay with you," sahutnya dengan lirikan mata dan juga sunggingan senyum menawan.

Aku sudah menduga dia akan mengatakan kalimat itu, dia sangat setia dan tidak mudah nyaman dengan orang baru. Ruang lingkupnya tak jauh-jauh dari kantor, rumah, dan pekerjaan. Aku paham dia butuh hiburan dan juga teman curhat untuk berkeluh kesah. Ditinggal pergi begitu saja oleh ibu dan ayahnya menjadikan dia sosok seperti sekarang.

"Ok." Satu kata persetujuan keluar dari bibir tipis berlapis gincu merah mudaku.

Bukan dia orang yang tepat untuk kutinggalkan. Kurasa mempertahankan Lukman adalah opsi terbaik. Aku mengawali semuanya dengan baik dan aku pun harus mengakhirinya dengan baik-baik pula. Tidak ada dalam kamus hidupku menghilang tanpa kabar pemberitahuan, kecuali mereka sendiri yang memutuskan untuk mengakhirinya dengan cara yang demikian.

"Thanks, Man. Lo bisa jemput gue seperti biasa," kataku saat baru saja turun dari mobil. Dia mengangguk setelah menutup kembali pintu mobil.

Sesuai dugaan dan perkiraan yang sudah kukaji berulang-ulang. Para penghuni kampus, terkhusus kaum perempuan yang doyannya ghibahin orang sudah siap menyemburkan lava panas dan nyinyirin karena melihat penampilanku. Matanya seperti mau keluar menilik dari atas sampai bawah hingga berkali-kali.

"Berhijab kok masih dianter jemput cowok." Satu sindiran yang berasal dari cewek berbaju marun yang rambutnya sengaja dikucir kuda.

Aku yang diantar kok dia yang sensi. Kalau iri jangan nyinyir, tapi ikutilah jejakku dan masalah pun selesai. Tak ada gunanya berkoar-koar mencerca orang lain. Zaman sekarang memang terlalu banyak orang-orang sok tahu yang mengurusi kehidupan orang lain. Sedangkan kehidupan pribadinya diabaikan begitu saja.

"Pake kerudung kok modelannya kek gitu. Gak sesuai syariat yang diajarkan." Untuk yang kedua ini lebih fokus mengomentari penampilanku.

Rasanya aku ingin tertawa tepat di depan wajah perempuan bergaun hijau muda itu. Hey, apa dia tidak berkaca dengan dirinya sendiri yang betah mempertontonkan aurat di khalayak ramai. Perlu kaca?

"Lebih cantik tanpa kerudung, auranya keluar gak kaya sekarang bosenin," celetuk seorang pria lemah gemulai. Aku tak yakin dia adalah lelaki tulen. Dia kira aku ini Aura Kasih kali ah, pake bahas aura-auraan segala.

Sepanjang jalan dari parkiran ke perpustakaan banyak sekali yang nyindir dan nyinyir. Aku bersikap bodo amat dan tak menanggapi mereka sama sekali. Sakit hati? Tak terima? Tidak sama sekali.

Karena apa yang mereka katakan memang benar adanya. Suka-suka mereka saja, toh itu mulut mereka. Aku tak bisa membungkam mulut-mulut pedas manisnya, yang bisa kulakukan cukup menutup telinga dan bersikap seperti biasa.

Saat ini aku sedang berada di taman kampus dekat perpustakaan, rencananya aku akan mencari bahan untuk materi skripsi. Tapi karena perpustakaannya masih tutup, jadi aku memutuskan untuk duduk santai di taman. Namun kehadiran salah satu teman seangkatan membuatku berpikir macam-macam. Dia pasti sama seperti teman-teman lainnya yang mencela dan menghinaku dengan kata-kata tajam.

Tapi dugaanku salah besar, dia justru tersenyum manis dan berujar, "Jangan memikirkan omongan orang. Yang mereka bicarakan itu hanya sebatas apa yang mereka lihat. Aku berdoa semoga kamu bisa tetap tahan ujian." Ini adalah kalimat positif yang baru pertama kali kudengar. Tidak menghakimi dan mencaciku karena tak mampu berpenampilan layaknya wanita muslimah kebanyakan.

Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. "Boleh dong lain kali lo ajak gue pergi kajian," candaku yang justru disambut suka cita oleh perempuan ber-ghamis serta khimar berwarna hitam itu.

Pakaian yang dia miliki seperti tidak ada warna lain saja. Hitam, ya setiap hari dia seperti tak pernah berganti pakaian. Dari mulai model dan warnanya sama persis, hingga dia banyak menerima celaan. Tapi aku salut dengan jawaban yang selalu dia berikan.

"Saya hanya melakukan apa yang sudah Nabi saya ajarkan. Memakai pakaian gelap dengan tujuan agar tak menjadi pusat perhatian, dan membantu melindungi mata para lelaki agar tak memiliki syahwat saat tak sengaja bertemu pandang." Dia begitu dewasa dan penuh wibawa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya tidak mengandung emosi ataupun rasa kesal karena sudah dihina habis-habisan.

"Boleh dong. Nanti pasti aku kabari kamu lagi," sahutnya sangat antusias.

Di tengah obrolanku dan Maryam, terdengar ada mulut kurang ajar yang rasanya ingin langsung kulakban. "Yang satu bergaya kearab-araban dan satunya lagi modelan cewek modis bak artis-artis papan penggilesan. Memang perpaduan yang pas. Mungkin besok atau lusa dua-duanya kompak pake kain hitam yang sengaja dipasang buat nutupin muka kaya ninja hatori---" ucapnya begitu lancar tanpa beban bahkan dia tertawa menggelegar hingga menjadi pusat perhatian.

Jika saja Maryam tak memotong dan membungkam mulut lemes-nya, mungkin kalimat pedas penuh penindasan akan semakin melebar ke mana-mana. "Maaf kami harus segera ke perpustakaan. Permisi," potong Maryam cepat dan menarik tanganku begitu saja.

"Kenapa kita malah pergi sih? Mulut gue gatel mau bales ucapannya." Aku berkata dengan bersungut-sungut kesal.

Seharusnya orang seperti itu diberi sedikit pelajaran agar tak mengulanginya lagi. Bagaimana mungkin kita sebagai sesama wanita yang menganut agama serupa, tapi masih saja menghina dan mencela satu dan lainnya. Di mana rasa empati dan simpati mereka dalam hal beragama?

"Tak ada gunanya menanggapi mereka yang tidak menyukai kita. Percuma saja di mata mereka kita akan tetap salah," tuturnya dengan sunggingan tipis.

Aku harus banyak belajar pada Maryam agar bisa lebih mengontrol emosi dan banyak-banyak bersabar.

~TBC~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro