63-Fisioterapi
"Karena musibah ini aku dan dia bisa lebih dekat dan akrab serta memiliki ikatan kuat untuk saling menerima kekurangan dan membantu satu dengan yang lainnya."
-Adara Mikhayla Siregar-
•••
Tiga pasca sadar dari koma Arda diperbolehkan pulang dengan catatan dia harus sering melakukan kontrol serta melakukan fisioterapi yang akan dilakukan tiga kali dalam seminggu. Fisioterapi atau terapi fisik adalah prosedur yang dilakukan untuk memeriksa, menangani, dan mengevaluasi pasien yang memiliki keterbatasan gerak dan fungsi tubuh. Fisioterapi juga digunakan untuk mencegah cacat fisik, serta mengurangi risiko cedera dan gangguan pergerakan yang bisa terjadi di kemudian hari.
Awalnya lelaki itu menolak karena dia sudah terlalu underestimate sendiri. Kepercayaan dirinya menurun ke kelas paling bawah, dia sudah mensugesti pemikirannya bahwa dia tidak bisa berjalan normal kembali. Terlebih lagi sekarang ini dia memang menggunakan kursi roda untuk membantunya berjalan. Aku selalu mendukungnya dan tak pernah lelah memberikan suntikan semangat bahwa dia bisa sembuh seperti semula.
Tapi hal itu sepertinya tak berdampak apa-apa, karena aku sering mendapatinya melamun lantas berteriak frustrasi seperti orang yang kehilangan akal. Aku tak percaya orang seperti dia bisa merasakan keputusasaan tingkat tinggi seperti itu. Kukira dia akan bisa menerima dan terus berusaha untuk kesembuhannya, tapi ternyata dugaanku salah besar.
Tak ingin membuat Arda bosan serta jenuh dengan segala terapi yang baru saja dia jalani, aku memutuskan untuk mengajaknya ke taman yang berada di samping rumah sakit. Taman sederhana yang tak terlalu besar tapi sangat nyaman dan menenangkan. Pihak rumah sakit seperti sengaja membangun tempat ini senyaman mungkin dan bisa dijadikan sebagai tempat untuk menghilangkan penat.
Aku mengunci kursi roda yang Arda duduki agar tak berjalan tanpa sepengetahuan. Dan aku duduk di kursi besi panjang yang muat untuk tiga orang. Hamparan rumput sintetis menjadi pijakan. Rasanya segala beban pikiran menghilang dan membuatku tenang bukan kepalang. Dan kuharap Arda pun bisa merasakan apa yang saat ini tengah kurasakan.
"Mas lihat deh ibu sama anak itu." Aku menunjuk objek di depan kami. Terlihat seorang balita berjenis kelamin laki-laki dan juga ibunya yang tengah melatih sang putra untuk bisa berjalan.
Arda melirikku penuh intimidasi. Dari sorot matanya aku menangkap ketidaksukaan. "Kamu nyamain aku sama anak itu? Beda Adara!" sanggahnya dengan intonasi tak santai.
"Allah itu memberikan kita ujian sesuai dengan kadar kemampuan kita. Kalau Allah kasih kamu ujian seperti ini, artinya Allah yakin kamu bisa melewatinya. Kamu harus percaya bahwa ikhtiar yang selama ini kita lakukan pasti akan membuahkan hasil yang maksimal," kataku menyemangati.
Aku tak mengerti dengan jalan pikirannya yang begitu pesimis dan tak bisa berprasangka baik. Padahal fisioterapis---Dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi (dokter fisioterapi)---tidak pernah memberikan vonis yang menjatuhkan, bahkan fisioterapis tersebut mengusahakan yang terbaik agar Arda bisa berjalan seperti sebelumnya.
Aku selalu menemaninya dan aku bisa melihat perkembangan yang baik dari hari ke harinya. Bahkan saat ini pun kakinya sudah bisa berdiri dan berjalan walau hanya beberapa langkah kecil saja. Arda terlalu pesimis dan bergelut dengan rasa takut yang tak seharusnya. Kadang aku kesal sendiri melihat dia yang gampang menyerah dan tak memiliki semangat untuk sembuh.
"Coba kamu lihat anak kecil itu, berkali-kali jatuh tapi dia tetap semangat untuk kembali bangkit. Bahkan tawa riangnya gak pernah pudar saat dia jatuh sekalipun. Seharusnya kamu contoh anak kecil itu. Masa kalah sama anak kecil sih, malu-maluin tahu, Mas." Aku sengaja berkata hal yang demikian, dengan harapan itu bisa membuat semangatnya berkobar-kobar.
"Tapi aku ini lumpuh, Adara. Lumpuh!"
"Siapa yang bilang kaya gitu? Itu asumsi kamu aja yang lemah dan gak mau berusaha!" sahutku dengan nada sedikit lebih tinggi.
Dia diam membisu dan hal itu membuatku sedikit merasa bersalah karena terlalu keras menekannya. Kulangkahkan kakiku dan duduk bersimpuh di depannya, tanganku sengaja kuletakkan di pangkuan Arda, membawa tangannya agar bisa kugenggam. "Kamu harus percaya dan yakin kalau kamu bisa melewati semua ujian ini dengan baik. Kesembuhan itu tergantung dari keinginan kamu sendiri. Kalau gak ada keinginan untuk sembuh, maka akan sulit untuk pulih. Terapi yang kamu jalani sekarang hanyalah salah satu sarana dan bentuk ikhtiar kita. Kamu yang harus memampukan diri kamu untuk sembuh. Semuanya bergantung sama diri kamu sendiri, Mas."
Dia menatapku dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan. "Tapi aku takut, Dar. Aku takut cuma bisa membebani kamu, bahkan sekarang pun aku gak bisa memberikan kamu nafkah dan malah menyusahkan kedua orang tua kamu. Mereka yang harus menanggung biaya pengobatan aku. Sampai kapan aku harus menggantungkan hidup sama mereka. Aku malu Adara," katanya begitu syarat akan ketidakberdayaan.
Aku menatap lekat iris netranya. "Kamu jangan terlalu memusingkan soal biaya dan uang. Papah dan Mamah gak keberatan bahkan mereka dengan senang hati membantu kita. Kamu sudah mereka anggap seperti anaknya sendiri, kamu jangan berpikiran sempit seperti itu," tuturku berharap mampu mengubah pola pikirnya.
Dia kembali murung dan bertahan dengan gemingnya. "Kita itu satu keluarga, orang tua aku orang tua kamu juga, begitupun sebaliknya. Sekarang kamu tinggal fokus aja sama terapi yang sedang kamu jalani. Kesembuhan kamu lebih utama, Mas," ujarku memberikannya pemahaman dan pengertian.
"Tapi kan, Dar---"
"Sudah ah gak ada tapi-tapian mending kita pulang sekarang," potongku dan segera bangkit serta menggapai pegangan kursi roda. Aku menghentikan laju tungkaiku saat sudah berada di parkiran. Aku membawa kendaraan pribadi agar bisa memudahkan kami. Papah dan Mamah yang memintaku untuk kembali mengambil serta menggunakan mobil lamaku.
"Gak usah aku bisa sendiri," tolaknya saat aku hendak membantu dia untuk turun dari kursi roda dan beralih ke kursi penumpang.
Aku tersenyum simpul melihat apa yang tengah dia lakukan. Rencanaku berhasil dan semoga saja ini bisa menjadi titik awal kesembuhan Arda. Sebenarnya fisioterapis yang menangani Arda sudah mengatakan bahwa Arda bisa menggunakan tongkat untuk berjalan, tapi aku masih ragu karena mentalnya yang selalu nethink serta down. Dan mungkin setelah ini lelaki itu pasti akan segera beralih dengan menggunakan tongkat. Cepat atau lambat Insya Allah dia bisa kembali berjalan lagi. Ya semoga saja seperti itu.
"Yakin gak perlu bantuan?" tawarku merasa kasihan karena dia seperti kesulitan untuk menaiki mobil. Dia menggeleng keras sebagai jawaban.
Keringat dingin sudah mulai bercucuran di sekitar keningnya, bahkan aku sempat menangkap basah dirinya yang meringis beberapa kali seperti menahan sakit. Keinginan untuk membantu itu ada, tapi jika dia terus menerus bergantung padaku kapan bisa mandirinya. Aku ingin melihat dia bisa berjalan seperti sedia kala. Aku tersenyum bangga melihat kegigihan dan semangatnya.
"Sekarang aku bantu dulu nanti pas di rumah kita latihan jalan yah, Mas," kataku karena tak tega melihatnya yang sudah banjir keringat tapi hanya mampu menaikkan sebagian tubuhnya saja.
"Maaf," ucapnya dengan nada sendu. Aku langsung menggeleng cepat dan berujar, "Kok maaf sih?"
"Aku ngerepotin dan nyusahin kamu terus," sahutnya dengan nada bersalah.
Aku sedikit terkekeh untuk mencairkan suasana agar tak mengharu biru. "Iya asal jangan diulang lagi aja," cetusku dengan tawa riang, bermaksud untuk mengajaknya bercanda.
Arda mengulum senyum tipis. "Iya gak lagi-lagi deh," sahutnya di luar dugaan. Kukira dia akan menganggap guyonanku serius, sama seperti sebelum-sebelumnya. Tapi ternyata tidak, syukurlah sepertinya ini awal yang baik.
"Aamiin," tuturku penuh harap. Dia meletakkan tangannya di atas ubun-ubunku dan mengelusnya penuh kelembutan.
"Makasih." Hanya satu kata itu yang keluar dari sela bibirnya. Dan dengan mantap aku mengangguk serta bergerak cepat menutup pintu dan berlari kecil agar segera sampai di balik kemudi.
Melihatnya kembali bersemangat dan tersenyum saja sudah membuatku senang dan lega. Kuharap hal itu bisa bertahan lama dan bisa menambah kadar kerukunan di antara kita berdua. Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa dan sekarang aku merasakannya. Karena musibah ini aku dan dia bisa lebih dekat dan akrab serta memiliki ikatan kuat untuk saling menerima kekurangan dan membantu satu dengan yang lainnya.
~TBC~
Tinggal dua bab lagi menuju ending yah🥳
Siap-siap besok aku akan publish dua bab terakhir🤗
Maunya langsung publish dua atau selang-seling, pagi dan sore?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro