Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

54-Ungkapan Cinta

"Kecantikan adalah anugerah, tapi juga bisa menjadi fitnah. Cukuplah orang-orang terpilih yang bisa melihatnya."

-Arda Nazma Dewanda-

•••

Setiap orang pasti memiliki kisah dan jalan hidup yang berbeda-beda. Tak mungkin bisa sama rata, jika pun ada pasti hanya sebagian saja. Begitu pula dengan jalan hidupku yang dipenuhi dengan drama pelik yang tak berkesudahan. Dari mulai terlibat pernikahan diam-diam dan sampai akhirnya memutuskan untuk menikah ulang dan terlibat pernikahan sungguhan. Bukan hal yang mudah untuk melewati semua fase itu. Sampai pada akhirnya sekarang aku harus kembali bergelut dengan jalan hijrah yang di luar akal pikiran.

Berawal dari keisengan yang berakhir dengan kesalahpahaman, dan ujungnya harus menerima kenyataan yang tak sesuai harapan. Memilih mundur dan berkata jujur sangat tidak mungkin, karena aku sudah kepalang basah dan lebih baik nyebur sekalian. Dan kini aku benar-benar nyemplung pada kubangan yang kubuat tanpa sadar. Entah harus bersyukur atau malah sebaliknya, aku pun tak tahu menahu akan jalan hidupku ke depannya. Saat ini aku hanya ingin mencoba untuk menjalani, perihal kendala di depan sana biarkan dipikirkan nanti. Mungkin ini adalah cara Allah dalam menunjukkan hidayah-Nya. Kuharap ini bisa menjadi batu loncatan yang mampu membawaku agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.

"Aku minta kamu jangan menaruh banyak harap sama aku. Aku cuma mencoba dan gak janji akan pake ini selamanya," kataku saat keadaan sudah mulai kondusif dan aku bisa mengendalikan diriku sendiri.

Dia mengukir senyum tipis dan membawa tanganku dalam genggaman. "Aku gak akan berharap lebih sama kamu, tapi aku akan minta langsung sama Allah agar Dia meng-istiqomah-kan hati kamu supaya selalu berada di jalan-Nya."

Aku mengangguk ragu. Berharap pada sesama hamba hanya akan melahirkan kecewa dan kurasa Arda tak mungkin melakukan kesalahan fatal tersebut. Cukuplah Allah yang dia jadikan sebagai sandaran dan tempat memohon petunjuk serta pertolongan. Dia terlalu taat dan memiliki iman kuat, tapi sayang dia harus menerima kenyataan bahwa perempuan seperti akulah yang menjadi makmumnya.

Tangannya dengan lembut melepas ikatan tali niqab yang kugunakan. "Kuharap kecantikan fisik yang kamu miliki gak membuat kamu sombong diri, dan tetap rendah hati. Kecantikan adalah anugerah, tapi juga bisa menjadi fitnah. Cukuplah orang-orang terpilih yang bisa melihatnya," katanya seraya membelai lembut permukaan wajahku.

Aku tak bohong bahwa aku merasakan kenyamanan serta ketenangan saat mendapat perlakuan manis darinya. Dengan tidak tahu dirinya tanganku memegang tangan dia yang masih bertengger apik di pipi sebelah kananku. "Insya Allah, Mas." Hanya kata itulah yang mampu kuutarakan.

"Kita kasih kabar Mamah, Papah, Umi sama Abi yah, Dar," cetusnya begitu antusias. Aku tahu dia pasti sangat senang dan menunggu saat-saat seperti ini. Terlihat dengan jelas dari pancaran matanya yang berbinar dengan begitu terang.

Aku hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. Entah akan bagaimana tanggapan mereka dengan keputusan singkat bin kilatku ini. Memikirkan respons kedua orang tua kami, otakku malah terpaku pada tanggapan orang-orang sekitar. Apakah aku siap untuk menerima segala asumsi yang akan mereka lontarkan? Aku harus menyiapkan mental serta iman yang mumpuni, agar mampu menghadapi hukum masyarakat yang terkadang lebih kejam dari hukum negara dan agama.

Tapi aku heran. Pada saat aku melakukan banyak kesalahan dan kekhilafan tak pernah ada satu pun dari mereka yang mau menegur dan mengingatkan. Namun pada saat aku berjalan lurus sesuai aturan, mereka begitu gencar berkoar dan mengatakan kalimat-kalimat penuh hinaan. Bukankah hal itu terbalik? Orang hijrah berubah ke arah yang lebih baik lagi dicie-ciein sampai tanpa sadar membuat mentalnya down, tapi pada saat orang tersebut tersesat malah diam dan seakan menutup mata serta telinga.

"Bagaimana pun tanggapan yang akan kamu terima, aku harap itu gak akan membuat kesungguhan hati kamu goyah. Kamu berubah untuk Allah dan juga diri kamu sendiri, bukan untuk mereka yang hanya bisa berkomentar gak tahu aturan," tuturnya yang seakan tahu apa yang saat ini tengah bersarang memenuhi pikiran.

"Iya, Mas," sahutku dengan anggukan mantap. Bersikap cuek dan bodo amat seperti biasa. Tak ada gunanya menanggapi ocehan orang lain yang tak tahu menahu perihal hidupku. Yang mereka lihat hanya sebatas cover luar.

"Apa pun yang akan terjadi di depan sana kamu harus tetap istiqomah. Dengan atau tanpa adanya aku di sisi kamu," ucapnya dengan sunggingan tipis. Aku tak mengerti dengan apa yang baru saja dia katakan.

"Kamu akan tetap dan selalu ada di samping aku. Itu janji yang harus kamu tepati dan penuhi," sahutku beberapa detik berikutnya. Perlu sedikit berpikir keras untuk mencerna kalimat yang baru saja dia utarakan.

Dia mengelus lembut puncak kepalaku. "Aku gak bisa menjanjikan sesuatu yang gak nyata buat kamu, tapi selagi aku mampu Insya Allah aku akan memenuhinya," timpalnya.

"Kalau kamu ketemu sama cowok lain yang lebih segalanya dibanding aku, apa kamu akan tetap bertahan di sisi aku?" selorohnya yang membuatku menatap penuh tanya.

"Kenapa malah tanya kaya gitu?" Aku malah kembali melontarkan pertanyaan.

"Seharusnya aku yang tanya kaya gitu. Gimana kalau kamu ketemu sama perempuan shalihah yang jauh lebih segalanya dari aku? Ingat, Mas rumput tetangga itu lebih hijau dan menggiurkan," sambungku menambahi.

Arda terdiam sejenak, menyesap kopi yang entah sejak kapan sudah berada di atas nakas dan berkata, "Aku itu manusia bukan kambing. Masa iya bidadari di rumah aku samain sama rumput pakan hewan."

"Itu perumpamaan kali, Mas," selaku tak terima akan jawaban yang baru saja dia utarakan.

Dia menatap kedua iris netraku, membawa tanganku agar berada dalam genggaman. "Aku hanya mau kamu. Gak ada yang lain. Lagian juga mana ada perempuan yang mau sama cowok kaya aku. Kamu saja bersedia jadi istri aku karena sebuah perjodohan," dia terdiam sejenak untuk mengangkat kedua sudut bibirnya, "Ana uhibbuki fillah hatta fil jannah abadan abada, Adara Mikhayla Siregar."

Aku menautkan alis bingung tak mengerti dengan apa yang baru saja Arda lontarkan. Kalimat berbahasa Arab lagi? Dan parahnya ini adalah kalimat terpanjang yang pernah dia utarakan. Entah apa arti dari kalimat tersebut. Aku penasaran dan ingin mengetahuinya.

"Kamu ngomong apaan sih, Mas?" tanyaku dengan tampang bloon. Arda malah mengukir senyum menyebalkan dan setelahnya tertawa dengan tampang songong. Sepertinya dia sedang mengejekku yang tak tahu apa-apa. Menyebalkan sekali.

"Sudah ah aku mau ke dapur cuci bekas gelas kopi dulu," cetusnya yang langsung bangkit begitu saja.

Aku ikut berdiri dan sekarang sudah berhadap-hadapan dengannya. "Kasih tahu dulu kek, Mas artinya apaan. Jangan asal main pergi gitu aja. Kalau aku mati penasaran gimana?" tuntutku yang justru dibalas dengan kekehan.

"Tanya Mbah Google sana," sahutnya yang membuatku semakin mencebik kesal.

Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada dan menatap sengit ke arahnya. "Gimana mau tanya Mbah Google kalau aku sendiri bingung cara ngetiknya. Repot itu, Mas. Kasih tahu langsung kan bisa!" pintaku keukeuh. Sudah kepalang penasaran aku. Beginilah nasib menikah dengan lelaki sejenis Arda.

"Mana hape kamu?" Aku menautkan alis bingung tapi tetap menuruti titahnya dan memperlihatkan gawai yang sedari tadi berada dalam saku ghamis yang kukenakan.

"Buka web browser," tuturnya memerintah. Aku hanya mengikuti saja. Penasaran dengan apa yang akan dilakukannya.

"Tekan ikon mikrofon," ujarnya. Aku tak langsung mengikuti arahan yang ini. Untuk apa dia menggunakan google voice? Kan ada papan ketik. Apa segitu malasnya sampai dia tak mau menggunakan jari-jari tangannya.

Tanpa aba-aba Arda langsung menekan ikon mikrofon tersebut dan berkata, "Ana uhibbuki fillah hatta fil jannah abadan abada."

Setelahnya dia langsung ngibrit keluar kamar dan meninggalkanku begitu saja. Belum sempat mengeluarkan beribu omelan dan umpatan, mesin pencarian di google sudah menampilkan berbagai macam artikel. Jariku dengan cepat menekan kolom yang pertama kali muncul di sana. Mataku membola sempurna saat membaca isi dari artikel tersebut.

Ana uhibbuki fillah hatta fil jannah abadan abada [Aku mencintaimu hingga ke surga selama-lamanya karena Allah].

Aku semakin men-scroll ke bawah dan mataku langsung jatuh pada kalimat balasannya.

Ahabbakalladzi ahbabtani lahu [Semoga Allah mencintaimu yang telah mencintaiku karena-Nya].

Tanpa dapat dicegah senyumku langsung terbit dengan wajah yang sudah memanas. Aku menepuk-nepuk kedua pipi yang terasa panas bukan main. Rasanya seperti berada tepat di depan kompor. Ya Allah kenapa dadaku berdesir hebat dan berdetak cepat seperti ini?

~TBC~

Sekarang adegan yang manis-manis dulu aja yah, persiapan buat adegan yang tegang😂,, harap siapkan mental kalian terlebih dulu🤣
Jangan lupa mampir ke cerita baru aku yah. Nih aku kasih lihat cover dan blurb-nya👇

Terima kasih sudah membaca dan sampai bertemu di bab selanjutnya 🙋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro