38-Syarat Dan Maaf
"Adara masih ingin kebebasan tanpa mau terikat dengan siapa pun, apalagi terlibat sebuah hubungan pernikahan."
-Adara Mikhayla Siregar-
•••
Sesuatu yang diawali dengan sebuah ketidakjujuran dan juga keterpaksaan, hanya akan meninggalkan banyak jejak keburukan. Entah itu disadari ataupun tidak yang jelas itu sudah salah dari awalnya. Ya, seperti halnya yang saat ini menimpa kehidupanku. Semuanya semakin panjang dan melebar ke mana-mana, walaupun harus kuakui bahwa memang masalah ini ada karena aku sendiri yang menciptakannya.
Suara bising yang ditimbulkan dari ulah tangan Mamah yang mengetuk pintu kamar dengan sangat brutal sama sekali tak membuatku gentar dan berniat untuk memberikan Mamah dan juga Arda akses masuk. Jujur saja aku sangat terganggu dengan ulah mereka yang tanpa lelah berteriak serta mengedor-gedor pintu dengan tak sabaran. Tapi egoku lebih tinggi dan sangat tidak ingin bertemu pandang lagi dengan mereka berdua.
"Adara buka pintunya!" Aku sudah sangat muak mendengarkan suara nyaring nan melengking Mamah. Dengan sengaja aku segera menyumpal kedua telingaku dengan headset yang telah disambungkan dengan gawai. Lantunan musik mulai terdengar membuatku merasa sedikit lebih nyaman dan damai.
Samar-samar suara Mamah masih mendominasi dan menggangu ketenangan. Tapi lagi-lagi aku tak ada niat untuk membiarkan beliau masuk. Silakan nikmati rasa penasaran sekaligus jengkel kalian. Setidaknya aku cukup baik dari kalian yang sudah sangat lancang mengobrak-abrik hidupku hingga hancur berantakan seperti sekarang.
Rasanya baru beberapa detik kedua netraku terpejam, tapi ulah Arda yang begitu tidak sopan mendobrak pintu kamar membuat kedua mataku kembali terbuka dengan lebar. Kurang kerjaan sekali lelaki itu, merusak fasiltas yang telah kedua orang tuaku belikan. Memangnya dia sanggup untuk mengganti biaya perbaikannya? Padahal kalau dia bisa berpikir jernih sejenak, dia bisa menggunakan kunci cadangan yang selalu dia pakai. Emosi yang menguasi memang bisa membuat seseorang bodoh dan tak bisa berpikir dengan baik.
Tanpa bisa kucegah lagi Mamah langsung mencabut alat yang sedari tadi terpasang di indra pendengarku. Memberikanku tatapan tajam, lantas membuang benda yang berada dalam genggaman tangannya ke lantai. Headset yang kubeli mahal-mahal sudah raip karena ulah tangan Mamah.
"Jelaskan semuanya sama Mamah sekarang!" tuntutnya begitu syarat akan rasa penasaran tingkat akut. Aku hanya berdecak pelan dan dengan sengaja membaringkan tubuh di atas ranjang, lantas menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal.
"Adara!" suara beliau sudah naik satu oktaf dari sebelumnya. Aku masih bertahan dengan geming dan juga egoku. Jika Mamah bisa berlaku egois dan memaksakan kehendaknya, aku pun bisa melakukan hal yang demikian.
"Sejak kapan Mamah dan Papah mengajarkan kamu untuk menjadi seorang pembohong, hah?"
Aku memutar bola mata malas. Tanpa diajarkan juga semua orang pasti bisa melakukannya. Memangnya ada gitu kursus berbohong? Yang benar saja. Jelas itu takkan pernah ada.
"Gak perlu diajarin juga Adara sudah mahir kok, Mah," cetusku di balik selimut.
Tanpa aba-aba Mamah langsung menyibak selimut yang tengah kugunakan. Terpampanglah wajah sangar menyeramkan milik beliau. Aku bergidik melihat air muka tak santai yang saat ini terpatri apik di wajah senjanya.
Sebelum Mamah membuka suara aku sudah lebih dulu menyelanya, "Adara capek, Mah! Mamah pikir Adara bahagia sama hidup Adara yang sekarang penuh drama? Gak, Mah. Harus berapa kali sih Adara protes dan ngomong sama Mamah kalau pernikahan ini sama sekali gak buat Adara bahagia. Adara tertekan hidup seperti ini. Mamah tahu Adara gak pernah bohong, tapi semenjak Adara tinggal satu atap sama Arda, Adara jadi seorang pembohong ulung. Pernikahan ini hanya membawa keburukan bagi kehidupan Adara!" Pecah sudah semua uneg-uneg yang selama ini kupendam. Aku sudah terlalu lelah dengan takdir hidup yang begitu terkesan mempermainkanku tanpa perasaan.
Baik Arda maupun Mamah, keduanya diam membisu di tempat. Entah apa yang saat ini tengah mereka pikirkan tentangku yang secara terus terang mengungkapkan isi hati. Rasanya begitu plong, beban yang selama ini kupikul terasa hilang tanpa sisa sedikit pun. Kalau tahu rasanya akan semelegakan ini, sudah sejak lama aku memberanikan diri untuk mengungkapkan semuanya.
Mamah duduk di tepian ranjang, aku bisa merasakan elusan tangannya yang tengah bertengger apik di puncak kepala. Aku sangat merindukan sentuhan lembut tangan beliau. Aku merasa disayangi dan dicintai jika Mamah memperlakukanku seperti ini. Tapi aku tak suka dengan sifat otoriter dan juga egoisnya.
"Adara, Sayang dengerin Mamah, Nak," tuturnya dengan nada suara rendah. Aku diam dan masih enggan untuk menyahut. Tapi tiba-tiba saja elusan lembut yang beliau berikan terhenti dan membuatku sedikit kecewa. Mau tak mau aku bangkit dari posisi rebahanku, duduk tegak dan berhadapan dengannya. Tatapan mata beliau membuatku tenang dan ingin segera melayangkan sebuah rengkuhan. Sorot mata teduhnya membiusku untuk terus menatap ke arahnya.
"Maafkan Mamah sama Papah karena sudah bertindak jauh mengurusi kehidupan kamu. Semua ini kami lakukan karena kami sayang sama kamu, kami gak mau kamu salah dalam memilih seseorang untuk dijadikan pasangan. Kami menginginkan yang terbaik untuk kamu, Nak," tutur Mamah lembut penuh ketulusan.
Aku menggeleng pelan. "Tujuan Mamah sama Papah emang baik tapi jalan yang kalian tempuh salah. Gak ada kebahagiaan yang Adara rasakan selama ini, Adara masih ingin kebebasan tanpa mau terikat dengan siapa pun, apalagi terlibat sebuah hubungan pernikahan."
Mamah membawa kedua tanganku agar berada dalam genggaman. "Maka dari itu Mamah dan Papah menggelegar akad ulang sekaligus resepsi pernikahannya. Itu semata-mata untuk menebus kesalahan kami karena sudah menikahkan kamu secara diam-diam."
Penuturan yang Mamah lontarkan bukannya membuatku senang, ini malah kembali membuka sebuah kenangan kelam yang menyakitkan. "Bukan itu yang Adara inginkan, Mah," kataku.
Terlihat kening Mamah saling menyatu menyiratkan kebingunan. "Satu-satunya cara supaya Adara bahagia adalah dengan berpisah dan terbebas dari Arda. Hanya itu yang membuat Adara bahagia."
Mendengar hal itu sontak membuat Mamah menggeleng tegas. Melirik sekilas ke arah Arda yang sedari tadi diam menyimak perbincangan. "Berpisah bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Mamah yakin cepat atau lambat kamu pasti bisa menumbuhkan perasaan kamu untuk Nak Arda. Buka hati kamu."
Setelah mengumpulkan keberanian yang cukup akhirnya aku bisa menyahut, "Adara gak bisa, dan gak mau juga." Aku harap Mamah bisa mengerti dan mau menerima keputusan finalku ini.
"Bukannya gak bisa dan gak mau, tapi emang dasarnya saja kamu itu keras kepala. Mamah tahu kalau sebenarnya kamu sudah mulai tertarik sama, Nak Arda. Tapi ego sama gengsi membuat kamu menyangkal perasaan itu."
Dengan enteng tanpa beban Mamah berkata demikian. Enak saja kalau ngomong suka sembarangan, tidak ada sejarahnya seorang Adara Mikhayla Siregar jatuh hati pada lelaki sejenis Arda. Perkataan Mamah memang sudah ngawur dan merembet ke mana-mana. Sungguh tak masuk akal dan sangat di luar logika.
"Mamah sok tahu!" Aku hanya bisa mengatakan kalimat itu. Mendadak kosakata yang sudah kupersiapkan hilang lenyap entah ke mana.
Mamah berdecak dan menampilkan raut wajah mengejek. "Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari, Adara."
Dengan sengaja aku melipat tangan di depan dada. "Gak akan pernah!" sahutku penuh rasa percaya diri. Mamah diam sejenak, mungkin beliau sedang memikirkan kalimat balasan yang ampuh agar membuatku luluh.
"Jangan terlalu percaya diri, Adara nanti kamu malu sendiri. Cinta datang karena terbiasa, kamu sudah terbiasa dengan kehadiran Nak Arda dalam hidup kamu, dan gak menutup kemungkinan kalau kamu juga akan merasakan kehilangan saat Nak Arda pergi dari sisi kamu. Ingat baik-baik ucapan Mamah, Adara."
Aku sama sekali tak takut dengan apa yang baru saja Mamah paparkan. Kita lihat saja siapa yang akan menjadi pemenang, aku atau beliau? Tapi aku yakin 1000 persen bahwa akulah yang akan memenangkannya.
"Mamah yang terlalu percaya diri, gak ada sedikit pun tempat untuk Arda di hati Adara. Dia ada dalam hidup Adara aja bisanya cuma buat sengsara dan menderita, terus apa kabar kalau dia benar-benar bisa masuk ke hati Adara?"
"Awas kalau sampai kamu ketulah, jilat ludah sendiri malunya berkali-kali, Adara."
Aku hanya mendengkus tanpa sadar. "Ya ... ya ... ya ... terserah Mamah ajalah."
Arda yang sedari tadi bungkam akhirnya buka suara, "Jadi kamu beneran gak hamil, Adara?" Aku terbahak mendengar pertanyaan super polos yang keluar dari sela bibirnya. Tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot lagi?
Dengan sengaja aku melempar wajah penasarannya dengan bantal. "Hamil ... hamil ... hamil ... ya kagaklah. Emang dasar lo-nya aja yang percaya banget gue kibulin. Makanya kalau dapet informasi jangan asal nelen gitu aja."
Mendengar penuturanku yang tak sopan dan terkesan kurang ajar, membuat Mamah langsung memberikan tatapan tajam. "Kamu harus tanggung jawab, Adara! Mamah sudah kasih tahu tetangga dan juga teman-teman pengajian Mamah supaya datang ke acara syukuran kehamilan kamu. Mau ditaruh di mana muka Mamah, Adara?"
"Jadi maksud Mamah tetangga dan teman-teman pengajian Mamah tahu kalau Adara sudah nikah? Terus Mamah koar-koar sama mereka kalau Adara lagi hamil?" Aku menggeleng tak percaya. Kenapa mulut Mamahku ini sangat lemes sekali. Padahal kabar hamil boyongan itu baru tersiar tadi pagi, dan dalam hitungan jam saja tuh kabar burung yang jauh dari kata benar sudah menyebar ke mana-mana.
"Memang seharusnya begitu. Pernikahan harus diumumkan agar tidak terjadi fitnah di kemudian hari," katanya dengan begitu lancar.
"Ish, Mamah bikin malu Adara tahu gak sih? Mau ditaruh di mana muka Adara?" omelku.
Bagaimana nasibku kalau sampai mereka tahu, bahwa pernikahan yang kujalani hanya sandiwara di atas kertas saja? Belum lagi kalau nanti aku sudah resmi menyandang status sebagai janda. Rasa malunya pasti akan berkali-kali lipat.
"Kamu yang bikin Mamah malu. Kelakuan kamu makin hari makin menjadi," tuturnya penuh dengan penekanan dan nada kesal. Tangan nakalnya tanpa dapat ditahan langsung melayang ke indra pendengarku. Rasanya sangat begitu sakit.
Aku hanya mampu meringis, merasakan sensasi jeweran Mamah yang semakin kencang. "Kenapa harus Adara? Yang salah itu Arda karena percaya gitu aja sama bualan Adara," kataku menggebu-gebu tak mau disalahkan.
"Aduh ... sakit ... Mah ... kenapa Mamah jewer kuping Arda juga? Arda salah apa sama Mamah?" Aku terbahak dengan begitu puas melihat kemalangan nasib lelaki itu yang tak jauh berbeda denganku.
"Mamah gak mau tahu kalian berdua harus tangung jawab!" Aku dan Arda saling melontarkan pandangan. Mamah melepaskan jari-jari nakalnya di indra pendengarku dan juga Arda. Baik aku maupun Arda dengan cepat mengelus bagian telinga yang menjadi sasaran empuk Mamah.
"Punya anak sama mantu kok gak ada yang bener. Kelakuannya bikin Mamah puyeng! Karena berita kehamilan kamu sudah tersebar ke mana-mana, Mamah gak mau tahu kamu harus hamil beneran. Gak mungkin kan Mamah tarik kata-kata Mamah lagi?" cerocos Mamah tanpa dosa yang membuatku dan juga Arda saling bungkam serta melontarkan tatapan kosong.
"Dan untuk masalah ini, kamu tenang saja Mamah sudah maafin kok. Tapi dengan satu syarat kalian harus segera memberikan Mamah cucu. Ok?" imbuhnya lantas bergegas ke luar kamar.
Kepalaku mendadak pening bukan main. "Mamah gue rada-rada. Permintaannya makin hari makin gila," gumamku tak begitu jelas. Otakku masih sangat sulit untuk menerima semuanya.
~TBC~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro