32-Nafkah
"Lo sendiri yang main api, ya sekarang lo rasain sendiri pas lagi kebakarannya."
-Adara Mikhayla Siregar-
•••
Awalnya aku berniat akan pulang ke rumah Mamah serta Papah untuk melaporkan kelakuan bejat menantu kesayangannya. Tapi aku mengurungkan niat tersebut. Mulutku sudah gatal dan sangat tak sabar ingin meluapkan kekesalan pada lelaki tak tahu diri itu.
Heh! Dia pikir dia itu siapa? Anak sultan? Sampai berani-beraninya menduakanku seperti ini. Orang-orang hebat sekelas Alm. Eyang Habibi saja mampu berlaku setia pada istrinya. Lalu apa kabar dengan dia? Tak mempunyai rasa malukah?
Aku seperti ini bukan karena aku cemburu atau bersikap protektif seperti istri-istri di luaran sana. Tidak sama sekali. Tolong kalian garis bawahi, kalau perlu cetak tebal dan capslock sekalian. Aku hanya tidak terima dan merasa tak dihargai. Hanya itu.
Punya tampang pas-pasan saja sudah sok ingin memiliki lebih dari satu perempuan. Ngaca dulu sana! Belum lagi punya badget yang minim dan jauh dari standar. Dipikir ada gitu perempuan yang mau diajak susah? Sebaik-baiknya tuh perempuan kalau terus-menerus tidak dikasih makan ya pasti ngamuk juga. Mau nikahin anak gadis orang kok gak mau modal.
Otakku terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja menimpaku tanpa pemberitaan. Dia menikahiku secara diam-diam, dan tak menutup kemungkinan juga kalau dia menikahi Marwah dengan cara seperti itu. Ya siapa yang tahu coba? Dia itu orangnya pandai agama, dan yang kutahu rata-rata orang seperti itu menghalalkan yang namanya poligami. Aku ngeri sendiri kalau apa yang kupikirkan adalah sebuah kebenaran. Harga diriku langsung turun anjlok ini mah.
"Dari mana lo?" todongku saat netra ini menjumpai dia di ambang pintu. Aku berjalan menghampirinya seraya bersedekap dada. Memasang wajah songong penuh peringatan.
"Beli makan," katanya dengan tangan menunjukan sebuah paper bag berlogo restoran mahal.
Aku bertepuk tangan tepat di depan tampang pas-pasannya. "Hebat yah sekarang. Naik level lo? Atau lagi perbaikan gizi?"
"Oh ini, aku ditraktir se---"
"Selingkuhan lo!" potongku cepat dan langsung menerbitkan kerutan di dahinya.
"Kamu ngomong apaan sih, Dar? Kok gak jelas banget, " cetusnya.
Aku menggeleng pelan dengan sebagian badan yang menyandar ke tembok, menyilangkan kedua kaki dan menatap sengit ke arahnya. "Ralat, maksud gue tuh istri simpanan. Nah iya itu lebih pas!"
"Omongan kamu makin ngawur, Adara. Kamu kenapa sih?"
Rasanya aku ingin segera mencakar tampang Arda yang menampilkan raut tanpa dosa. Ternyata dia pandai bersandiwara dan bermain peran juga. Boleh dicoba. Aku akan mengikuti jalan cerita yang diciptakan olehnya.
"Kamu sudah makan belum? Nih aku beliin buat kamu," katanya dengan diiringi sunggingan.
"Makan aja sono. Gak sudi gue makan dari duit gak halal hasil ngibulin perempuan." Aku langsung pergi meninggalkan Arda yang masih mematung di ambang pintu.
Sebelum aku benar-benar memasuki kamar dengan lancar aku berkata, "Lain kali kalau lo mau selingkuh, jangan di tempat elit bintang lima. Pedagang kaki lima masih banyak di pinggir jalan, biar aman gak ketahuan."
"Kamu cemburu, Dar?" katanya begitu enteng dengan diiringi senyum menggelikan.
Tanganku yang tadinya akan menutup pintu kamar rapat-rapat langsung urung dilakukan, dan malah tertarik untuk memperpanjang perbincangan.
"Cemburu? Sok kegantengan banget lo jadi orang sampai harus banget gue cemburuin. Kaya gak ada cowok lain lagi di dunia ini. Perlu kaca?!"
"Ya terus? Bukannya wajar kalau kamu cemburu lihat aku sama perempuan lain? Kamu kan istri aku."
Rasanya aku ingin menyemburkan tawa kencang tepat di depan wajah penuh percaya dirinya. "Mau lo jalan sama banyak perempuan sekalipun, gue gak bakal cemburu. Buat apa cemburu sama cowok modelan lo. Gak ada yang bagusan lagi apa?"
Raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan ketersinggungan, dia malah terlihat mengukir senyum tipis. Sepertinya dia sudah gila. "Kalau perlu lo buat aja asrama putri buat nampung koleksi cewek simpanan lo," cetusku menambahi.
"Iya nanti aku buat, kamu tenang saja," sahutnya dan langsung berjalan meninggalkanku begitu saja.
Dasar laki-laki dengan kadar kepercayaan diri tinggi. Tak ada minat sedikit pun untuk mencemburuinya. Memangnya ada gitu yang mau sama dia?
•••
"Mana uang jatah buat minggu ini. Lo belum kasih ke gue," pintaku dengan tak sopan mengganggu kegiatannya yang tengah berdzikir di atas sajadah.
"Apa gak ada waktu lain lagi, Dar? Kamu gak bisa lihat aku sedang apa sekarang?" sahutnya dengan tampang sedikit sangar.
Dia memang seperti itu kalau aku menggangu kegiatan ibadahnya. Tapi aku tak mau ambil pusing, toh dia sudah terlalu lama bersantai-santai di atas alas salat itu. Lagian dia juga aneh sih salat kok lama banget. Dari mulai bedug Magrib sampai sekarang selesai Isya masih saja betah ngejogrog di sana.
Baca apaan lagi tuh orang, mulutnya komat-kamit tak jelas. Tadi saja aku salat hanya hitungan menit dan langsung ngibrit ke ruang tengah untuk melanjutkan acara menonton televisi yang sempat terhenti. Emang tak tanggung-tanggung dia kalau urusan agama dan akhirat. Tidak sepertiku yang salat lima waktu saja sudah merasa lebih dari cukup.
Tapi aku sedikit aneh dengan lelaki itu akhir-akhir ini, dia jadi lebih sering salat di rumah dan memperpanjangnya sampai berjam-jam. Entah itu dengan berdzikir ataupun tadarus Al-qur'an, biasanya lelaki itu paling anti salat di rumah.
"Laki-laki itu salatnya di masjid, bukan di rumah. Kalau ada laki-laki salat di masjid bukan lelaki shalih namanya, tapi lelaki shalihah." Begitulah yang dia katakan beberapa waktu lalu.
Ya emang dasar mulutku itu seperti keran bocor, jadi dengan enteng aku menjawab, "Lo itu lelaki salah bukan saleh, apalagi salehah. Emang lo salat pake mukena?"
Dan memang semenjak dia berstatus menjadi suami sementaraku, hanya hitungan jari saja dia menjalankan ibadah salat lima waktunya di rumah. Ya seperti waktu kita berdua lagi menginep di tempat Mamah dan Papah. Ish, mengingat hal itu malah membuatku malu tak ketulungan. Bayangan akan kejadian aku yang menghadiahi Arda dengan lemparan vas bunga saling berseliweran.
"Kenapa senyum-senyum gitu? Kamu gak lagi mikir yang aneh-aneh tentang aku kan?" katanya yang berhasil membuyarkan lamunan singkatku.
"Pedean banget sih jadi orang. Buat apa juga gue mikirin orang kaya lo. Kurang kerjaan banget," elakku yang hanya dia balas dengan anggukan singkat.
"Mana?" tagihku saat dia sudah mulai membereskan peralatan ibadahnya. Meletakkan peci di nakas dan duduk sejenak di atas pembaringan.
"Aku belum gajian, Dar. Kamu kan tahu kalau kerja itu gajiaannya satu bulan sekali," katanya.
Aku mendengus kasar. "Kenapa sekarang lo baru ngomong? Kemarin-kemarin ke mana aja? Selama tiga minggu ini lo bisa tuh menuhin uang saku gue. Terus kenapa sekarang gak? Apa ini gara-gara cewek simpanan lo itu."
Kehidupan rumah tangga penuh dramaku bersama dia baru hitungan minggu saja, lebih tepatnya minggu ini baru akan genap menjadi tiga minggu. Hanya sekitar setengah jalan lagi aku terbebas dari jerat pernikahan kontrak ini.
Arda mengembuskan napas kasar sebelum berucap, "Uang yang selama ini aku kasih ke kamu itu hasil dari tabungan aku. Perasaan aku baru transfer sekitar tiga hari lalu, itu uang saku buat minggu ini, Adara."
"Sudah habis. Lo kira uang segitu bisa menuhin semua kebutuhan gue? Gak sama sekali. Kurang iya." Aku berkata dengan nada suara lumayan tinggi.
"Berapa sih gaji seorang pekerja kasar seperti aku? Kamu kan tahu, Dar. Sekali-kali kamu coba ngertiin aku, bukan malah aku terus yang ngertiin kamu." Arda berkata dengan begitu lancarnya.
Siapa suruh dia nikahin cewek modelan aku begini. Sudah tahu matre tapi masih saja keukeuh. Ya rasain tuh pahitnya.
"Lo harusnya mikirin ini dari awal sebelum lo nekad ngucap akad. Gak bakal kaya begini ceritanya. Lo sendiri yang main api, ya sekarang lo rasain sendiri pas lagi kebakarannya."
Arda hanya diam tak banyak komentar. Mungkin dia tidak tahu harus menjawab apalagi. Toh di sini memang dia dalang di balik semuanya, ya sudah semestinya dia juga bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuatnya.
"Lo tuh seharusnya mikir. Pernikahan kontrak kita akan kelar tiga minggu lagi, dan emang sudah semestinya lo nafkahin gue. Lo yang nyanggupin tapi kenapa sekarang lo juga yang mau ingkarin. Inget, Arda cowok itu yang dipegang omongannya. Jangan banyak ngumbar janji kalau emang gak bisa menepati."
"Kamu yang seharusnya ngertiin posisi aku. Kamu menuntut aku untuk menafkahi kamu secara lahiriah, tapi kamu sendiri gak sanggup untuk memenuhi kewajiban kamu sebagai istri. Kamu pikir nafkah hanya perihal materi dan uang saja? Gak Adara. Kamu gak bodoh untuk mengerti akan hal itu."
Aku tersentak mendengar rentetan demi rentetan kata yang Arda lontarkan. Apakah ini yang dinamakan dengan marahnya seorang penyabar? Selama ini dia selalu diam dan tak pernah mengutarakan keberatannya. Tapi sekarang?
"Maaf, Dar bukan maksud aku untuk perhitungan sama kamu. Tapi aku hanya ingin sedikit memberi kamu pemahaman, bahwa apa yang selama ini kamu lakukan itu salah."
~TBC~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro