23-Arda dan Lukman
"Hak untuk memeluk agama saja dibebaskan tanpa paksaan. Kenapa perihal hubungan antar manusia harus mengekang dan penuh tekanan?"
-Adara Mikhayla Siregar-
•••
Baru setengah perjalanan aku sudah meminta Arda untuk melipir ke pinggir jalan. Awalnya dia enggan tapi karena mulutku yang tidak bisa diam dan terus-menerus berceloteh dan meminta dia agar segera berhenti, akhirnya dia pun mengikuti titahku. Usahaku berhasil dan dengan cepat aku turun dari kendaraan beroda dua itu. Kalau dulu aku sangat anti menggunakan motor, tapi lihatlah sekarang? Aku menjadi semakin sering menggunakannya. Menikah dengan Arda memaksaku untuk mengikuti gaya hidupnya yang kelewat sederhana.
"Kenapa turun di sini?" tanyanya setelah dia membuka penutup kepala. Matanya meminta penjelasan lebih.
Aku hanya menaikkan kedua bahu acuh tak acuh. "Jangan banyak tanya deh, gue ada urusan bentar."
Dia menghela napas singkat sebelum berucap, "Apa?"
"Ketemu orang," jawabku singkat.
Dia manggut-manggut dan kembali mengajukan sebuah pertanyaan, "Siapa?" Lama-lama tuh orang kaya ibu-ibu yang kepo sama urusan orang.
"Lukman." Aku menjawab apa adanya. Biarkan saja dia tahu, toh itu juga sudah bukan menjadi rahasia lagi. Sudah menjadi konsumsi publik.
Helaan napas berat kentara sekali keluar dari mulutnya. "Aku yang antar, ketemuannya di mana?" Aku melongo mendengar perkataannya.
Laki-laki modelan Arda begini nih yang harus dibudidayakan. Istrinya mau jalan sama cowok lain tapi dengan senang hati diantarkan sampai tujuan. Tuh orang kelewat baik atau emang gampang dikibulin sih?
"Ogah. Gue gak mau ambil risiko yah kalau sampe lo adu jotos sama Lukman. Sorry to say Lukman bukan modelan preman kaya lo yang jago berantem," tolakku enteng tanpa beban.
Berkali-kali aku melihat Arda mengembuskan napas pelan. "Gak akan terjadi kalau itu yang kamu khawatirkan. Aku cuma mau memastikan kalau kamu sampai ke tempat tujuan dengan selamat."
Tak ada sedikit pun nada tak suka dan kesal dari setiap katanya, aku cukup salut dengan keteguhan hatinya yang begitu sabar dan tidak mudah terbawa perasaan. Di zaman seperti ini kok masih ada makhluk seperti Arda? Dan yang membuatku semakin bingung, kenapa Allah menjodohkan dia denganku yang sangat tidak pantas bersanding dengannya. Dilihat dari segala sisi pun jelas Arda menang banyak baiknya, sedangkan aku lebih dominan buruknya. Sepertinya Allah sudah salah memilihkan jodoh untuk Arda.
"Gue naik taksi aja," sahutku. Aku tak mau ambil risiko jika Lukman melihatku diantar oleh Arda. Kemarin mereka sempat bertemu di kampus dan seperti terlibat perbincangan penting. Aku tak mau Arda keceplosan hingga mengatakan sebuah kejujuran.
"Naik sekarang atau aku gak akan kasih izin kamu pergi," ancamnya dengan nada suara yang lebih tinggi.
Kok dia maksa banget sih? Aku kan jadi curiga.
Aku memutar bola mata malas. "Mau lo kasih izin kek, gak kek, bodo amat. Gue gak peduli, lagian siapa lo yang berhak atur-atur hidup gue. Lo itu cuman cowok beruntung yang bisa dapetin gue, walau cuma sesaat doang." Aku berkata dengan pongah.
Lagi-lagi Arda menghela napas. "Ya sudah terserah kamu saja. Jaga diri baik-baik, aku pulang," ucapnya dan setelah itu dia langsung bergerak maju dengan kendaraan beroda dua tersebut.
Entah harus bersyukur atau justru berkecil hati karena melihat tingkah Arda yang dingin dan tak mempedulikanku lagi. Apa mungkin dia sudah tidak betah dan ingin segera mengakhiri kontrak kerja sama ini? Semoga saja iya, dan aku akan dengan senang hati menyambut gembira kabar membahagiakan itu.
Tak memakan banyak waktu untukku menunggu, sebuah taksi sudah mampir di depanku dan dengan cepat aku menghentikannya serta memasuki mobil tersebut. Menyebutkan alamat tujuan pada pak sopir dan membiarkan kendaraan beroda empat ini melaju dengan kecepatan sedang.
Mobil berhenti tepat setelah lampu merah mulai datang, aku melihat ke sekitar yang dipadati dengan berbagai macam jenis kendaraan. Tapi kedua iris mataku menyipit melihat ke arah belakang, di mana sebuah motor matic milik Arda nangkring di sana.
Aku hanya bisa menghela napas berat, menghadapi kelakuan Arda yang tak pantang menyerah dan begitu gigih hingga berani membuntutiku. Kurang kerjaan sekali dia. Sudah diusir dan dicampakkan tapi masih saja bertahan. Padahal aku sudah berpikiran macam-macam tentangnya yang tidak ingin lagi terlibat dalam urusan pribadiku. Ternyata dugaanku salah besar. Dia masih bersikap sama dan tidak berubah sama sekali.
Mobil kembali melaju saat lampu hijau sudah menyala. Pandanganku menatap lurus ke arah spion depan yang menampilkan Arda dan motor kesayangannya di belakang sana. Kenapa dia masih berlaku baik padaku yang jelas-jelas sudah melukainya berkali-kali?
Dia memang tak berhasil merebut hatiku, tapi dia sukses membuat rasa bersalahku naik ke permukaan. Dia terlalu baik untukku yang jauh dari kata baik ini. Tak adil rasanya jika dia harus menghabiskan waktunya hanya untuk bersanding di sampingku. Dia berhak untuk bahagia dan kebahagiaannya bukanlah bersamaku.
Banyak gadis shalihah yang bertebaran di luaran sana, yang pasti akan dengan mudah bisa menerima kehadiran Arda, bukan sepertiku yang tak bisa berdamai dengan takdir hidup yang sangat tak kuinginkan.
Satu demi satu kakiku turun dan berjalan semakin masuk ke area restoran, tempat aku mengatur jadwal temu dengan Lukman. Lambaian tangan dari meja pojok kanan dekat jendela membuat langkah tungkaiku bergerak cepat menghampirinya.
Setelan formal dengan jas dan juga celana bahan adalah gaya andalannya. Rapi dan sangat terlihat sekali kalau dia bukan orang sembarangan, tidak seperti Arda yang ke mana-mana hanya menggunakan kaus polos dan celana jeans, paling banter kemeja lengan panjang. Sangat jauh berbeda bukan?
"Dari tadi?" tanyaku basa-basi setelah mendaratkan bokong di kursi kosong, tepat di hadapannya.
Dia tak menjawab tapi senyum tipis yang terbingkai di wajahnya sudah cukup mewakili. "Sudah pesen makanan belum?" Lukman hanya mengangguk tanpa kata.
Kalau dia sudah seperti ini, tandanya dia dalam keadaan tidak baik-baik saja. Pasti ada masalah yang kini sedang menghimpitnya. "Kenapa?"
"Biasa." Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Satu kata dibalas satu kata juga, sepertinya dia tidak mau rugi.
"Sudahlah jangan dianggap pusing, namanya juga hidup, kalau gak mau dapet masalah ya sudah jangan hidup. Simple." Dia mengangguk dan tak lama seorang waiters mengantarkan makanan yang tadi sudah dipesan Lukman.
Kendala yang dihadapi seorang pengusaha besar seperti Lukman, pasti takkan jauh-jauh dari persaingan bisnis yang saling menjatuhkan satu sama lain. Hal wajar yang memang sudah menjadi risiko utama jika memilih untuk menjadi pebisnis besar.
Papah juga sudah kebal dengan hal semacam itu, dan cara satu-satunya adalah dengan memenangkan banyak tander, dan tentunya menganggap angin lalu para pesaing yang memiliki sifat iri dengki menahun.
Pengin sukses tapi kok harus jatuhin orang lain sih? Manusia zaman sekarang memang selalu menginginkan hal yang instan dan tak mau merintis usaha dari bawah. Sepertiku yang memang ingin menikmati hasil tanpa mau repot-repot merasakan prosesnya.
"Ada apa lo ngajak gue ketemuan?" Aku langsung mengajukan sebuah pertanyaan setelah acara makan usai dilaksanakan.
Lukman mengambil tisue terlebih dahulu dan mengelap kedua sudut bibirnya sebelum menjawab, "Sudah lama kita gak ketemu, Adara."
Aku terkekeh pelan mendengar jawaban yang dia berikan. Perasaan hanya beberapa hari saja tapi dia sudah merajuk seperti itu. "Ah lo lebay. Gue harus kelarin skripsi gue, terus lagi kemarin gue nginep di rumah Bonyok. Gak ada waktu buat hangout bareng lo," terangku yang dibalas anggukan olehnya.
"Ada yang ingin aku bicarakan, Adara," ucapnya setelah cukup lama saling terdiam.
Aku sedikit tertawa mendengar lontaran kalimatnya. "Dari tadi juga lo sudah ngomong kali. Tegang amat tuh muka, rileks aja kali."
"Aku serius, Adara." Sorot matanya begitu menyiratkan kesungguhan. Dia sedang tidak main-main rupanya. Aku hanya mengangguk mempersilakan dia mengutarakan maksud dan tujuannya.
"Ibuku kembali dan dia memintaku untuk menikahi gadis pilihannya." Aku tersedak ludahku sendiri saat mendengar apa yang baru saja Lukman katakan.
Bertahun-tahun menghilang tanpa kabar dan sekarang datang tanpa diundang dengan membawa kabar yang begitu mengejutkan. Sehat?
"Minum." Lukman dengan penuh perhatian menyodorkan segelas minuman yang tadi baru aku minum setengahnya.
Sesekali aku terbatuk-batuk karena tenggorokanku yang sedikit gatal dan tak enak efek tersedak. "Terus lo mau?"
Dengan cepat dia menggeleng. "Bantu aku untuk lepas dari perjodohan konyol Ibuku. Aku gak mau bernasib sama seperti kamu yang harus rela dinikahkan secara paksa."
Tanpa pikir panjang lagi aku mengangguk setuju. Cukup aku saja yang tersiksa dan merana karena ulah dari perjodohan yang tak diinginkan. Rasanya aku tak ikhlas jika hal buruk yang menimpaku saat ini, harus dialami Lukman juga.
Apa setiap orang tua seperti itu? Memaksakan kehendaknya hanya untuk memenuhi keinginan mereka pribadi. Sangat egois dan tidak adil sama sekali. Hak untuk memeluk agama saja dibebaskan tanpa paksaan. Kenapa perihal hubungan antar manusia harus mengekang dan penuh tekanan?
~TBC~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro