Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18-Sandiwara

"Penilaian orang lain tidaklah penting dan takkan berpengaruh apa-apa pada hidupku."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Aku dan Arda diminta untuk menginap satu malam di rumah Papah dan Mamah, katanya ada yang ingin mereka bicarakan padaku dan juga Arda. Tapi sampai sore tiba kedua orang tuaku belum kunjung mengutarakan maksud dan tujuannya. Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar menggema ke indra pendengaran. Sepasang suami istri yang tidak lain adalah kedua orang tua Arda terlihat berjalan menghampiri kami yang sedang menunggu di ruang tengah.

Kami saling bersalaman dan berjabat tangan. Tante Annisa mendaratkan kecupan hangatnya di kedua pipiku. "Apa kabar mantu? Arda gak buat kamu susah, kan? Kalau sampai dia nyakitin kamu bilang sama Umi. Biar Umi jewer kupingnya."

Aku meringis mendengarnya. Bukan Arda yang menjadi tokoh antagonisnya, melainkan aku sendiri yang sudah sangat sering melukai hati dan perasaannya. Aku yang seharusnya Tante Annisa jewer dan marahi, atau kalau perlu caci-maki saja aku sekalian.

"Ba... baik... Tan...," jawabku gugup dan canggung. Tante Annisa tersenyum dan menangkup wajahku gemas.

Mendadak aku merasa segan untuk berbincang-bincang dengan beliau. Padahal biasanya juga tidak seperti ini.

"Kok Tante sih? Umi dong," katanya meluruskan.

Aku menggeleng pelan. "Maaf, Tan Adara belum terbiasa," sahutku dengan suara tercekat.

Tante Annisa menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berucap, "Harus dibiasakan dong, Sayang."

Aku hanya bisa menjawab seadanya, "Akan Adara usahakan, Tan." Beliau tertawa ringan.

"Baru juga diingatkan sudah lupa lagi kamu," celotehnya yang disambut gelak tawa oleh seisi penghuni rumah. Apanya yang lucu?

Aku duduk berdampingan dengan Arda, Mamah dan Tante Annisa berada di sofa depanku, sedangkan Papah dan Om Arga masing-masing duduk di kepala sofa.

"Berhubung sudah kumpul semua, baik kita mulai saja acaranya," ucap Papah membuka pembicaraan.

Aku hanya menyimak tanpa minat. Arda juga sedari tadi mendiamkanku. Apa mungkin dia masih memikirkan perkataan Papah tadi siang? Atau justru memikirkan pertemuannya dengan Lukman?

Serah dialah mau berpikiran apa pun juga. Yang jelas aku tidak seperti yang dia pikirkan. Penilaian orang lain tidaklah penting dan takkan berpengaruh pada hidupku.

"Nak Arda, Adara kami semua sudah mempersiapkan acara resepsi pernikahan kalian yang akan digelar sekitar akhir bulan depan. Semuanya sudah selesai dan kalian hanya perlu melakukan fitting baju pengantin saja," tutur Papah yang berhasil menarik perhatianku. Aku mendongak dengan pandangan terkejut.

Pesta pernikahan diadakan dengan tujuan untuk saling berbagi kebahagiaan, bukan malah sebaliknya seperti yang menimpa rumah tanggaku sekarang. Apa yang harus dirayakan dari sebuah pernikahan penuh sandiwara dan drama ini? Tidak ada kata berbagi bahagia. Yang ada hanyalah saling berbagi luka dan penderitaan.

"Bagaimana kalau gak usah ada pesta saja, Pah?" Kalimat itu keluar lancar dari bibir Arda.

Aku tahu dia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Lihat saja wajahnya yang sedari tadi ditekuk tak enak dipandang. Tampang sudah pas-pasan dan sok pasang raut wajah seperti itu. Rasanya aku ingin membungkus muka dia dengan karung sekarang juga.

"Tidak bisa seperti itu, Arda. Semuanya sudah dipersiapkan secara matang, tidak bisa di cancel begitu saja," sahut Om Arga penuh ketegasan.

Arda menghela napas berat sebelum berucap, "Ya sudah kalau gitu Arda ikut saja." Aku mencuri pandang untuk melirik ke arah Arda yang ternyata juga sedang melihat ke arahku. Kedua netra kami saling bertemu, tapi hanya beberapa detik saja karena Arda yang lebih dulu memutuskannya.

"Bukannya dari awal kalian sudah setuju dengan acara ini? Kenapa sekarang tiba-tiba berubah pikiran? Apa ada masalah?" tanya Mamah beruntun.

Aku hanya diam saja, lagi pula sejak awal aku tidak mengatakan setuju. Aku hanya menjawab 'terserah' yang ternyata disalahartikan oleh mereka semua.

"Hanya ada sedikit problem, Mah. Bukannya hal itu biasa?" balas Arda begitu tenang dan seolah baik-baik saja.

Dia sangat pandai menutupi apa yang tengah terjadi di antara kami. Aku dan dia sama-sama tidak suka bersembunyi di balik kata-kata bohong. Tapi secara tidak disadari kami sudah membuat kebohongan besar yang sewaktu-waktu bisa terbongkar tanpa persiapan dan meledak tanpa pemberitaan.

"Iya biasa tapi jangan sampai dibiarkan membesar. Kalau kalian tidak kuat mental akan membahayakan rumah tangga kalian," peringat Tante Annisa yang diangguki langsung oleh Arda.

Netra Mamah menyorot ke arahku. Pandangannya lumayan menyelidik, aku berusaha untuk menghindari tatapan yang beliau layangkan. "Kamu kenapa, Adara? Tumben tuh mulut bisa mingkem. Biasanya juga kaya keran bocor yang gak bisa diem," ungkapnya.

Sudah tahu anaknya sedang dalam mood buruk. Tolonglah jangan diperparah lagi dengan pertanyaan yang hanya akan menambah kadar keruwetanku.

Aku hanya memutar bola mata malas dan berusaha bersikap seperti biasa. "Adara lagi gak enak badan, Mah. Gak mood buat ngomong." Aku menjawabnya dengan intonasi seperti biasa agar Mamah tidak curiga.

"Wah kayanya bener nih dugaan Papah. Apa jangan-jangan kamu beneran hamil lagi," cerocos Papah yang membuat bola mataku melotot. Tapi detik berikutnya senyum malu-malu kuberikan. Aku bisa memanfaatkan perkataan Papah untuk memperlancar rencanaku.

Bulatkan tekadmu Adara. Mungkin ini adalah cara yang telah Allah rencanakan agar kamu bisa segera terbebas dari jerat pernikahan tak diinginkan. Jangan pikirkan tentang perasaan orang lain. Pikirkan tentang nasib hidupmu sendiri. Sekarang saatnya untuk kembali memperjuangkan status lajang.

Kalimat syukur begitu lancar keluar dari bibir Mamah, Tante Annisa, dan Om Arga. Sungginganku semakin lebar saat mendapati wajah Arda yang semakin muram memprihatinkan.

"Iya nih kayanya gitu," kataku enteng dan tak tahu malu. Arda menatapku seperti ingin melahapku hidup-hidup.

Buruan marah dan maki-maki aku Arda. Kalau perlu langsung pergi ke pengadilan agama. Dengan senang hati aku akan menunjukan arah jalannya agar kamu tak tersesat.

"Ciee... yang bentar lagi jadi orang tua," goda Mamah padaku dan Arda.

Aku bisa melihat kedua tangan Arda yang sudah mengepal kuat di bawah sana, wajahnya juga sudah semakin merah padam. Arda bangkit dari duduknya dan bergerak cepat menuju lantai atas, di mana kamarku berada. Enak saja tuh orang main pergi ke kamarku tanpa izin. Akan kusembur habis-habisan dia.

"Tanggung jawab tuh, Mah mantunya ngambek," cetusku dengan santai meminum segelas penuh sirup perasa melon. Mereka tertawa ringan mendengar kelakar yang kulontarkan.

"Kamu beneran hamil, kan Adara?" tanya Tante Annisa yang berhasil membuatku terbatuk-batuk karena minuman yang belum berhasil kutelan.

Aku langsung berdiri tanpa mau menjawabnya. "Adara mau ke kamar dulu," kataku yang langsung melesat ke arah anak tangga. Samar-samar aku mendengar suara mereka yang masih saja saling melontarkan godaan. Aku tak peduli dengan mereka dan segala jenis asumsinya. Biarkan seperti ini saja dulu.

Aku membuka pintu dengan tak sabaran. Aku ingin melihat wajah penuh emosi Arda. Apakah dia berani memarahi dan mencaci-makiku di sini? Atau justru bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa seperti sebelumnya? Mari kita buktikan sekarang. Seberapa besarkah tingkat kesabarannya.

Aku melihat Arda yang sedang berdiri di balkon kamar, langit sore yang mulai menguning menjadi pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Aku memilih duduk di tepi ranjang dan melihat Arda dari kejauhan.

"Apa yang tadi kamu katakan itu benar, Adara? Kamu hamil?" tanya Arda to the point. Aku suka gayanya yang sok jual mahal tapi penasaran.

Aku berjalan mendekat ke arahnya dan dengan sengaja aku memasang wajah muram agar menunjang sandiwara yang akan kupertontonkan. Aku sama sekali tak menjawabnya tapi tampangku sudah cukup meyakinkan sebagai jawaban.

"Siapa ayah dari anak yang kamu kandung?" Kedua tangannya begitu kuat mencengkeram tepian pagar balkon. Aku bisa melihat dengan jelas kilat api penuh kemarahan di matanya.

"Yang jelas bukan lo." Empat kata itu begitu lancar keluar dari bibir tipis bergincu merah muda milikku.

"Kenapa kamu melakukan hal ini sama aku, Adara? Apa kamu tidak berpikir panjang saat melakukan hal keji itu? Kamu sudah memiliki suami. Bagaimana kalau sampai orang tua kita tahu." Nada suaranya rendah tapi jujur itu berhasil menusuk hatiku.

"Bukannya itu yang lo mau? Keturunan. Gue sudah kabulin keinginan lo. Jadi impas dong, gue gak punya hutang apa-apa lagi sama lo." Jantungku berdebar hebat saat mengatakan kalimat itu. Kenapa mulutku bisa selancar ini? Ini sangat di luar kendaliku.

Arda tertawa sumbang dan berujar, "Kamu sudah keterlaluan. Di mana harga diri kamu sebagai perempuan? Apa pantas seorang istri mengandung anak dari laki-laki lain? Sudah cukup aku bersabar dan mengalah selama ini. Tapi ternyata kamu masih saja tidak berubah, bahkan semakin berani melakukan hal yang dilarang agama---"

Hatiku berdenyut ngilu mendengar hinaan yang keluar dari bibir Arda. Bibir yang tak pernah mengeluarkan kata-kata kasar menyakitkan itu kini ternoda.

Aku tertawa hambar dan tersenyum miring ke arahnya. "Ya sudah kalau emang lo gak mau nerima keadaan gue. Talak aja gue sekarang!" potongku cepat. Aku tak yakin akan kuat mendengar hinaan Arda yang lebih menyakitkan lagi.

Untuk yang pertama kalinya Arda mencengkram tangan kananku cukup kencang. Rasa sakit menjalar hingga membuatku berkeringat dingin takut. "Sampai kapan pun kamu akan tetap menjadi istriku, Adara. Perjanjian kita batal karena kamu sudah menyalahi aturan dan sebagai konsekuensinya---"

Arda melepaskan cengkeramannya dengan kasar lalu berujar, "Ambil wudu sekarang." Kepalaku berkunang-kunang mendengar tiga kata yang baru saja Arda lontarkan. Tubuhku menggigil tak keruan.

~TBC~

Penasaran dengan kelanjutannya??? Corat-coret di kolom komentar dong biar rame, hehe😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro