Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11-Sebuah Kesepakatan

"Sebuah pernikahan itu terjadi karena dua belah pihak saling menyayangi dan mengasihi, bukan malah seperti yang kualami kini. Dinikahkan secara paksa dan tanpa sepengetahuan sama sekali."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Kedua netraku mengerjap cepat saat mendapati suara bising yang mengganggu gendang telinga. Tatapanku jatuh pada seseorang yang duduk tepat di tepi ranjang samping tempatku berbaring. Mataku dengan refleks berkelana menyusuri setiap wajah yang begitu familiar. Apa yang terjadi denganku hingga Mamah, Papah, Tante Annisa, Om Arga, dan lelaki menyebalkan tak tahu diri itu berkumpul di dalam kamar.

"Jauh-jauh lo dari gue!" Aku menatap tak suka akan kehadiran Arda bahkan aku pun menggeser tubuhku agar menjauh dari lelaki yang katanya sudah resmi menjadi suamiku itu.

Gak sudi aku jadi istrinya. Ogah!

"Yang sopan dong, Sayang kalau ngomong sama suami," tegur Mamah dengan suara lembut. Mau Mamah pasang tampang sedih tersedu-sedu juga aku takkan luluh dan mau melanjutkan pernikahan yang sangat-sangat tidak kuinginkan ini.

"Dia bukan suami Adara! Adara masih lajang dan gak mungkin nikah sama cowok modelan kaya gitu." Aku berbicara tanpa saringan dan seperti tak menganggap keberadaan kedua orang tua Arda.

Bodo amat. Aku ingin membuat Tante Annisa dan Om Arga muak dan marah. Syukur-syukur mereka langsung mengurus surat perceraian ke pengadilan.

"Kamu demam, Adara jangan terlalu lelah dan harus banyak istirahat yah." Penuturan Tante Annisa yang biasanya membuat hatiku tenang dan damai kini justru sangat bertolak belakang.

"Adara bukan demam tapi stres!" sahutku dengan raut wajah kesal dan nada suara tinggi. Aku ingin membuat Tante Annisa benci dan hilang simpati agar aku bisa terbebas dari pernikahan tak diinginkan ini.

"Sebenarnya kamu itu kenapa sih? Pingsan dalam keadaan terbaring di atas ranjang dan masih menggunakan jubah mandi. Apa yang kamu lakuin seharian kemarin Adara?" tanya Papah penuh perhatian.

Air mataku rasanya ingin terjun bebas saat bertemu pandang dengan mata teduh beliau. Kenapa Papah tega memberikan aku pada Arda? Kenapa?

Aku tak mau menjawabnya. Tanpa kuberi tahu pun pasti mereka sudah menduga dengan kegiatan mandi malamku. Pertanyaan Papah itu hanya basa-basi saja. Aku merapatkan selimut tebal berwarna putih yang membungkus tubuh indahku. Tapi aku terpekik kaget saat melihat keadaan tubuhku yang sudah memakai sweater rajut dan juga celana panjang. Aku mendelik meminta penjelasan.

Mamah yang mengerti dengan kode yang kutunjukan langsung menjawab, "Mamah yang gantiin kamu baju. Jangan mikir aneh-aneh."

Aku semakin melotot saat Mamah dengan enteng mengatakan, 'jangan mikir aneh-aneh' siapa juga yang berpikiran seperti itu. Aku hanya khawatir dan takut terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan.

"Sepertinya kalian harus bicara empat mata. Kami keluar dulu selesaikan semuanya secara dewasa dan pemikiran yang jernih. Jangan mengambil keputusan pada saat keadaan sedang kacau." Om Arga yang sedaritadi bungkam akhirnya angkat bicara.

Aku gagal membuat kedua orang tua Arda hilang simpati.

"Gak ada. Adara butuh waktu sendiri. Gak perlu ada yang dibicarain lagi!" tukasku menolak mentah-mentah saran dari Om Arga.

"Jangan bersikap seperti itu dong, Nak," tegur Papah lembut dibarengi dengan elusannya tepat di puncak kepalaku.

"Kenapa Papah jadi jahat gini sih sama Adara? Adara kan sudah turutin permintaan Papah tapi kenapa Papah lakuin ini sama Adara?"

Pertahananku lemah dan akhirnya tumpah juga air mata yang sudah kutahan mati-matian. Aku terisak pilu meringkuk di atas ranjang, menutup seluruh tubuhku sampai kepala dan menangis tersedu-sedu di bawah lindungan kain tebal.

Aku mendengar suara pintu yang dibuka dan ditutup secara perlahan. Hatiku semakin hancur karena Papah sama sekali tak memberikanku sebuah penjelasan. Aku benci Papah!

"Adara." Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang kuyakini adalah suara Arda, si cowok tak punya urat malu.

Kenapa mereka membiarkanku berada dalam ruangan yang sama dengan pria kejam tak memiliki perasaan?

"Pergi lo. Sampai kapan pun gue gak akan pernah sudi jadi istri lo. Jangan harap!" teriakku dengan sesekali terisak.

"Kita harus bicara Adara." Suaranya lembut dan pelan tapi aku tak sudi untuk menanggapi. Dia sudah menghancurkan masa depanku. Aku tak terima.

"Gak ada cara lain selain mengikat kamu dalam sebuah hubungan pernikahan, Adara. Tante Dita dan Om Dito gak mau melihat kamu terus-menerus berhubungan dengan banyak pria. Aku gak mau buat orang tua kamu kecewa dan ngebiarin kamu tenggelam dalam kubangan dosa yang gak kamu sadari. Insya Allah mulai saat ini aku akan berusaha untuk membuka hati aku buat kamu, Dar."

Penjelasannya sama sekali tak membuat hatiku luluh. Aku sudah menduga itu, bahwa memang Mamah dan Papahlah yang menjadi dalang utamanya. Tapi tidak dengan cara seperti ini juga. Apakah tidak bisa dengan cara baik-baik dan wajar? Bukan malah menikahkanku secara diam-diam.

"Gue gak suka cara lo yang nikahin gue tanpa persetujuan. Lo kira gue ini kucing!" sahutku begitu lancar tanpa beban.

Dengan ragu aku menarik selimut yang menutupi kepalaku. Menghapus cairan bening tak tahu diri yang selalu jatuh tak terkendali sebelum berkata, "Lo tahu seperti apa kriteria yang gue patok buat jadi suami dan lo gak termasuk di dalamnya. Gak ada sedikit pun. Seharusnya lo nolak permintaan Bokap sama Nyokap gue!"

"Semuanya sudah terjadi, Adara. Gak perlu ada lagi yang harus kita sesali, mungkin memang sudah menjadi suratan dari Sang Illahi untuk menyatukan kita dalam ikatan halal ini," tuturnya penuh kebesaran hati.

"Emang dasar lo-nya aja yang cari kesempatan dalam kesempitan. Bilang aja kalau lo bahagia karena pernikahan dadakan ini." Akan kubuat dia sakit hati karena ucapan sadisku. Dengan begitu dia akan mudah untuk melepaskanku.

"Sama sekali gak ada niatan untuk aku bertindak seperti yang kamu katakan. Niatku hanya untuk membantu. Itu saja," jelasnya yang langsung kujawab dengan gelengan tak setuju.

Kata 'membantu' bukanlah alasan terciptanya sebuah pernikahan. Mau dibawa ke mana rumah tangga seperti itu?

"Gue minta sekarang juga lo talak gue. Dan untuk masalah perceraian biar gue yang urus!"

Dia menggeleng cepat. "Pernikahan bukan ajang mainan, gak gitu caranya. Kita bisa mencoba untuk menjalaninya dulu." Mataku menyala tajam.

Apa-apaan itu?

"Lo yang jadiin pernikahan ini mainan bukan gue. Harusnya lo pikir dulu sebelum nekad ngucapin akad!" Aku menumpahkan apa yang sudah sejak kemarin menggangu pikiran.

"Semuanya sudah terlanjur terjadi, Adara sudahlah kamu jangan terlalu bawa beban, kita bisa melewati ini sama-sama." Emang dasar tuh orang gak tahu diri, masih saja keukeuh. Sudah tahu aku ogah jadi istrinya. Dasar keras kepala.

"Itu mah maunya lo. Gue gak mau tahu pokoknya kita harus pisah." Aku memutuskan secara sepihak. Dia pun menikahiku dengan cara seperti itu, jadi tak ada salahnya jika aku pun mengikuti jejaknya.

Dia menghela napas berat. "Tiga bulan, Dar hanya tiga bulan saja. Kalau dalam waktu tiga bulan kamu belum bisa nerima aku. Aku akan mengabulkan apa yang kamu inginkan," tawarnya.

Apa aku tidak salah mendengar? Seorang Arda Nazma Dewanda yang begitu paham agama menawarkanku untuk menjalani pernikahan kontrak? Hey, ke mana hilangnya ilmu agama yang selama ini dia agung-agungkan. Aku semakin curiga dengan tujuan terciptanya pernikahan konyol ini. Dari awal saja sudah banyak kontroversi dan sekarang mau ditambahi bumbu drama.

"Satu bulan," tukasku yang mendapat gelengan tak setuju darinya.

Aku akan mengikuti alur yang sedang Arda jalankan, aku harus mengetahui apa yang sebenarnya melatarbelakangi pernikahan ini.

"Dua bulan." Dia kembali mengajukan negoisasi.

Dua bulan masih terlalu lama dan aku tak ingin mengambil risiko, jika hal-hal yang tidak kuinginkan terjadi di tengah perjanjian.

Aku menghela napas berat sebelum berucap, "Satu bulan setengah atau gak sama sekali. Deal?!" Arda mengembuskan napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengikuti apa yang kukatakan.

Aku duduk tegak dengan bersandar pada kepala ranjang, rasa pening membuatku refleks memegangi kepala. "Kamu gak papa, kan?" tanyanya yang sudah siap melayangkan tangan ke arah keningku.

"Jangan pegang-pegang. Jauh-jauh sana!" Dengan patuh dia mengikuti titahku. Bagus. Dia berada di bawah kendaliku.

Aku mengambil sebuah kertas HVS dan juga bolpoin. Menulis beberapa aturan yang tidak boleh dia langgar selama hidup satu atap denganku. Harus ada perjanjian di atas kertas dan materai agar dia tidak melakukan hal-hal di luar dugaan yang hanya akan membuatku rugi di masa depan. Itu takkan pernah kubiarkan.

~TBC~

Nah lho bagaimana nih? Penasaran gak tuh sama isi surat perjanjiannya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro