Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Angan

Keesokan harinya kediaman ratu benar-benar dibersihkan dalam artian yang cukup luas. Dua orang pelayan dapur di eksekusi karena mencoba lari dan menyimpan racun di dalam kamarnya. Di temukan jampi-jampi, jimat, bahkan boneka fodo terkubur di bawah istana.

Yang Mulia Raja memeriksa setiap orang dengan mendatangkan detektif kerajaan, dan mendapati hampir separuh dari dayang Ratu memiliki sangkut paut terhadap keracunan dan sakit yang aku dialami, dan setelah semua inspeksi itu aku diberikan kewenangan oleh Raja untuk memilih para dayang yang ingin ia tunjuk sebagai dayang yang baru.

Setelah semua prosesi penyeleksian selesai. Aku memanggil Dayang Senior untuk datang menemuiku.

"Yang Mulia," katanya dengan tampang lesu.

"Kau tahu apa yang akan aku lakukan padamu?"

Dia semakin gelisah dan gemetar dalam posisi duduknya.

"Kau ingin tetap di sini?"

"Hamba akan menuruti apa pun titah dari Yang Mulia Ratu," katanya terbata-bata.

"Kau tahu siapa saja yang berusaha meracuniku?"

"Tidak yang mulia. Hamba sama sekali tidak tahu."

"Apa kau yang selama ini melakukannya?" hardikku.

Dayang senior langsung bersujud dan mohon ampun.

"Sama sekali bukan Yang Mulia. Hamba tidak tahu apa-apa."

"Kau benar-benar tidak tahu?"

"Hamba berani disumpah yang mulia."

Aku tidak tahu apa orang ini benar-benar dengan perkataanya atau tidak. Tapi aku masih butuh dia karena pengetahuannya yang luas.

"Baiklah. Kau boleh tetap di sini, tapi dengan syarat."

Aku menyatakan keinginanku untuk Dayang Istana.

****

Tiga hari kemudian.

Pagi ini cuaca cerah. Aku menyuruh Tsu Yi menyampaikan surat pada paduka Raja untuk bertemu siang ini di aula tengah untuk minum teh. Saat aku perjalanan ke tempat itu, para pengawal raja telah berdiri rapi di depan aula, rupanya Raja telah terlebih dahulu sampai di sana. Padahal aku merasa telah datang lebih pagi.

"Maaf membuat yang mulia menunggu." Aku duduk di depan Raja yang tengah membaca buku di atas bangku kecil.

"Tidak, aku memang ingin membaca buku di sini."

Ia menyuruh pelayannya untuk menyingkirkan bangku dan meja yang tadi ia pakai. Lalu memerintahkan pelayan yang lain untuk membawakan teh yang sudah mereka siapkan.

Teh telah tersaji di hadapan kami, aroma the jasmin memenuhi satu aula. Entah ia sudah tahu sebelumnya atau tidak sengaja menghidangkan teh kesukaanku.

Wajahnya tidak asing, namun kehangatan Yi Ze yang ada di masa depan, sama sekali tidak aku rasakan dari orang ini. Aku ingin menangis karenanya.

Aku mengambil teh dengan hati-hati, lalu menyesapnya pelan seperti yang Tsu Yi ajarkan minggu lalu. Kemudian meletakannya lagi dalam kondisi separuh habis.

"Lalu apa rencanamu?" aku kaget dengan pernyataannya yang tiba-tiba.

Jantung rapuhku, tidak siap dengan kejutan-kejutan kecil. 

Sepertinya Raja sudah tidak sabar menunggu lebih lama.

"Besok, Yang Mulia bisa mengajak Yi Wen ke tepi danau."

"Bukankah itu terlalu mendadak? Belum tentu dia bersedia."

Aku melirik ke arah Tsu Yi . 

Tsu Yi menyerahkan sebuah surat yang dikirimkan padanya tadi pagi.

Surat itu lalu aku serahkan pada yang mulia.

"Aku mengundangnya untuk minum teh bersamaku besok untuk merayakan gelar yang ia dapatkan. Aku akan berdalih bahwa kondisiku sedang tidak baik, dan kau dapat menggantikanku untuk menjamunya."

Raja terbengong oleh cepatnya langkah yang aku ambil untuk kepentingan perjodohan ini.

"Baiklah, besok tepi danau. Lalu?"

"Teh, cemilan, hiburan, dan dekorasi, aku yang akan mengaturnya. Anda hanya perlu mempersiapkan mental dan diri Anda."

Dia mengangguk-angguk puas.

"Lalu apa yang harus kami bicarakan? Kau ingin aku melamarnya lagi?" Ia menyentuh jenggotnya seolah berpikir, yang aku ragu apa dia punya otak atau tidak.

Apa burungmu selalu berkicau saat membicarakan tentang Yi Wen? Aku menepuk jidatku, lelah. Dasar Raja mesum!

"Apa Yang Mulia sedang dalam fase musim semi?" tanyaku sarkas.

"Aku tidak mengerti maksudmu," ia mengangkat alisnya, sepertinya pura-pura bodoh. "Apa aku harus menrncanakan pernikahan di musim semi tahun depan?"

Kalau kebodohan bisa menular, aku akan izin memakai masker saat ini.

"Lupakan! Bicarakan saja hal-hal ringan," mari menjadi bodoh. Aku harus menyederhanakannya hingga anak TK pun mengerti. 

Aku tahu, kata-kataku kasar. Aku sedikit menyesal, namun melihat dari respon Raja, sepertinya ... baik-baik saja.

"Kau perlu mencontohkannya padaku," jawab Raja. Ia memalingkan wajah, tidak berani memandangku. 

Oh Tuhan, kembalikan An Yize ku yang bijak dan jenius. Kenapa sama rupa tapi RAM-nya beda jauh?!

"Bukankah Yang Mulia sudah terlalu dewasa untuk selalu di dekte? Hal seperti ini, apa masih perlu pendapat hamba. Saya mulai meragukan bahwa kasanova itu seorang pria."

"Bicaralah sesuatu yang aku mengerti."

Aku menepuk lagi jidatku, kesal. Tidak ada cermin, mungkin jidatku sekarang sudah gosong seperti petapa, saking seringnya kutepuk.

Sejujurnya aku juga bingung. Namun melihat parasnya yang sangat mirip dengan yang ada di masa depan, aku menemukan sebuah ide.

"Baiklah. Kita mulai dari hal paling sederhana." Aku menggigit bibir bawahku saat berpikir, "Apa yang ingin kau lakukan bila kau bukan seorang Raja?" tanyaku.

"Apa?" tanyanya bailik.

"Iya, apa?"

Raja terdiam cukup lama.

"Aku tidak pernah memikirkannya."

Benar saja, jidatku benar-benar harus gosong.

"Apa kau benar-benar tidak punya cita-cita? Keinginan pribadi?" Aku benar-benar frustasi.

"Hidupku bukan milikku lagi sejak aku lahir. Tidak pernah terbersit apa pun lagi selain menjadi seorang Raja."

Aku tidak pernah memikirkan jawaban semacam itu. Aku pikir dia hanya arogan, namun sekarang aku merasa kasihan.

"Menyedihkan."

Dia terlihat sedikit marah dengan tanggapanku.

"Lalu bagaimana denganmu? Bukankah kau juga sudah ditetapkan sebagai Ratu sejak kecil," tantangnya.

Hidup Raja dan Ratu mengalami rute yang hampir sama, tapi itu untuk Ratu yang dulu, yang sekarang sudah beda cerita pastinya.

"Aku ingin punya penginapan sederhana, dan kedai teh di dalamnya."

"Kedai teh?" ia ingin memastikan telinganya berfungsi dengan baik.

Aku mengangkat alisku sebagai jawaban.

"Di masa depan, aku mempunyai perusahaan interior. Namun jaman ini sepertinya tidak akan bagus untuk usaha itu. Aku akan mendesain penginapan mewah, dan kedai teh paling unik, paling indah, dan nyaman di era ini. Membuat setiap pengunjung yang mampir ingin datang lagi dan lagi."

"Kenapa kau tiba-tiba ingin menjadi seperti itu?"

"Eh ... karena drama korea ... sepertinya. Hahaha ..." terlalu banyak revrensi dari masa depan. Investasi tanah, properti, penginapan di zaman ini tidaklah buruk. 

Tiba-tiba Raja menjentikan jarinya, paham.

"Kalau seperti itu, aku juga punya," sesumbarnya. "Aku ingin menjadi pemain musik Guzheng*."

(Alat music petik dengan 18-23 senar. Instrumen ini dimainkan melalui gerakan jari memetic atau mengguncang senar.) Gambar ada di atas Judul Bab 8.

"Benarkah?" aku terkejut.

"Aku ingin menunjukan hal itu pada banyak orang, mengenalkan lagu ciptaanku pada semua orang, dan membuat semua orang menyukainnya. Hidup dari sana dan menikmati musik setiap hari. Itu akan sangat menyenagkan," Raja terlihat sangat bahagia saat menceritakannya, dan perasaan itu sampai padaku.

"Atau kita bisa berkolaborasi. Kau bisa memainkan Guzheng-mu di kedaiku dan membuat tamu-tamu terhibur."

"Tentu, kedaimu akan semakin ramai karena ada aku."

Congkak sekali, namun melihat senyum senangnya, aku tidak mau merusaknya.

"Tentu saja. Itu akan sangat menyenagkan."

Lalu kami tertawa berasama pada angan-angan yang terdengar mustahil. Seperti dongeng salju yang turun di padang pasir. Kesia-siaan itu, membuat kami terdiam lama, meresapi kekecewaan di dalamnya. Menyadari bahwa semua itu hanya dapat terwujud dalam mimpi. Sedangkan kami tidak pantas untuk bermimpi.

"Itu hanya khayalan yang tidak mungkin," kata Raja, merana.

"Iya, tidak mungkin bagimu." Aku tertawa, culas.

"Juga bagimu!" ia protes.

"Kau lupa? Aku akan turun tahta! Lalu aku akan pergi dari istana dan membangun bisnisku sendiri," ejekku.

Entah bagaimana, tanpa sadar aku telah menggunakan Bahasa kasar pada Raja, dan yang mulia terlihat baik-baik saja akan hal itu.

"Maka aku tidak akan membiarkanmu bersenang-senang sendiri. Kau akan mati membusuk di istana sepertiku," ancamnya.

"Dasar Raja lalim!" kataku, dalam Bahasa yang tidak akan dia pahami.

"Apa?"

"Bukan apa-apa!"

"Kau mengataiku?" instingnya kuat.

"Tidak. Aku hanya punya ide," ujarku, mengalihkan topik.

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro