Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Negosiasi

Keesokan harinya...

Tsu Yi membawa kabar menyenagkan.

Raja mengundang semua mentri dan para jenderal perang untuk mengumumkan gelar peghormatan yang akan didapatkan oleh para pahlawan tersebut. Juga memberikan gelar bagi Yi Wen sebagai Kesatria Perempuan Pertama. Juga memberikannya hak untuk melatih pasukan khusus perempuan yang berfungsi ganda sebagai tabib sekaligus pretarung seperti dirinya.

"Lalu bagaimana reaksi Yi Wen?"

"Langsung bersujud dan berterimakasih tiada tara pada Yang Mulia," jawab Tsu Yi berbinar-binar.

Akhirnya keberuntungan berpihak padaku.

"Bersihkan kamarku Tsu Yi . Kita akan menerimatamu agung sebentar lagi," kataku antusias.

"Baik, Yang Mulia!"

"Dan," aku menimbang sesaat sebelum meneruskan. "Panggil Dayang Senior. Minta dia membantuku bersiap-siap."

"Baik, Yang Mulia."

***

Dia mentapaku iba. Seolah aku telah kehilangan kewarasanku.

"Hari ini bukanlah saat untuk kunjugan Yang Mulia Raja kepada Ratu. Kenapa kami harus mempersiapkan kedatangan Raja ke kediaman ini?" protes Dayang Senior setelah aku menjelaskan maksudku.

"Karena aku punya firasat Raja akan datang sebentar lagi."

Dayang senior terdiam sesaat sebelum merspon, "Apakah Yang Mulia baik-baik saja? Apa hamba perlu memanggilakn tabib?"

"Apa kau bersedia membantuku?"

Dayang senior terdiam seribu bahasa, hanya menatapku seraya berpikir.

"Apa kau berani menolak titahku?" ancamku.

"Hamba tidak berani melakukan hal itu."

"Maka segera bersiap-siap!"

Aku mengakhiri perdebatan ini dengan kemenangan.

Dayang senior segera memerintahkan dayang-dayang yang lain untuk menyiapkan ruangan, dan menyiapkan air mandi untuk Ratu.

Semua sudah siap, bahkan aku merasa terlihat lebih cantik dari pada bisanya. Mengenakan pakaian terbaik, dan mengenakan make up tipis sesuai instruksiku.

Kami menunggu. Satu, dua, tiga dupa telah habis, namun yang ditunggu belum datang juga.

Aku mencoba menenagkan diri dengan membaca buku yang ada dalam kamar, namun percuma saja. Semua buku di era ini sama sekali tidak ada yang mampu memuaskan seleraku. Maka aku hanya terdiam, menatap Dayag Senior yang masih saja berbisik-bisik pada dayang lain seraya melirikku sesekali.

"YANG MULIA RAJA DATANG BERKUNJUNG." Sebuah pengumuman menggaung dari aula utama. Membuat semua mata terbelalak dan menjingkat kaget.

Aku yang sudah menebak kedatanganya pun, masih juga ikut kaget dan salah tingkah. Kami semua segera berdiri dari tempat duduk kami dan menyambut kedatangan Yang Mulia Raja.

Pintu terbuka, menunjukan sosok jubah merah berhiasan benang emas berjalan semakin mendekat ke arah kami. Semua orang tidak berani mendongakkan wajahnya, selain aku yang kini tengah menatapnya dengan perasaan suka cita menyabut kebebasan.

"Hamba memberi penghormatan untuk Yang Mulia." Aku memberikan penghormatan seusai yang mulia duduk dihadapanku.

"Duduklah. Aku ingin berdiskusi lagi denganmu," aku memberikan isyarat agar semua orang pergi hingga hanya tersisa asisten utama Raja dan Dayang Senior yang menemani kami dalam kamar.

"Dayang Coy," panggilku.

"Iya, Yang Mulia."

"Kau bisa keluar sekarang," kataku, yang membuat ekspresinya yang tadi berbinar-binar mendadak langsung berubah kecewa. "Juga tolong panggilkan Tsu Yi kemari."

"Baik Yang Mulia." Dayang Senior Coy keluar, dan Tsu Yi masuk sebagai gantinya.

"Tsu Yi , tuangkan teh untuk Yang Mulia," perintahku. Tsu Yi hendak maju sebelum ada respon tambahan.

"Tidak perlu. Aku tidak lama," jawab Yang Mulia Raja.

Raja mengatakanya dengan tegas, namun tatapannya terju ke arah yang lain.

"Dari mana kau mendapatkan bunga itu?" ia menujuk ke arah lavender yang telah dia buang.

"Saya menemukannya di jalan," jawabku jujur.

"Itu sudah rusak. Kau harusnya hanya membuangnya."

Sepertinya dia sudah sadar mengenai asal dari bunga itu.

"Saya menyukai wanginya Yang Mulia. Terkadang, makna dari keberadaan itu tidak perlu selalu dapat dilihat, Anda hanya perlu merasakan," jawabku, enteng.

"Apa kau benar-benar Jiau Zhan, permaisuruku? Kau tidak terlalu banyak bicara dulu."

Ia melihatku dengan seksama, seolah tengah mencari hal yang berbeda dari diruku yang dulu.

"Itu ... itu karena kondisiku sudah agak membaik saat ini, Yang Mulia," alasanku, sedikit tergagap oleh kebohonganku sendiri.

"Langsung saja. Aku mengikuti rencanamu. Dan itu tampaknya berhasil."

Aku menahan tawa saat mendengar pengakuan jujurnya.

"Anda harus mengatakanya dengan jujur Yang Mulia. Itu sangat-sangat berhasil," ulasku.

Ia menyipitkan mata, sedikit tidak terima. Namun toh ia tidak dapat ingkar.

"Baiklah. Itu benar. Dan aku juga berhasil menarik simpati rakyat dengan hal itu," jujurnya.

"Itu adalah pukulan telak. Sekali dayung, dua pulau terlampaui," lanjutku.

"Karena itu aku ke sini. Aku ingin mendengar lagi, ide-ide gila darimu."

Akhirnya, kata-kata yang aku tunggu sejak datang kemari keluar juga.

"Yang mulia tentu tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini," jawabku, sedikit lancang.

"Kau memerasku?"

"Bisa jadi." Aku sekuat tenanga memberanikan diri.

Tanganku sedikit tremor karena takut. Namun aku paksa hatiku untuk tetap terlihat tegar. Ini semua demi keselamatanku sendiri.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya, penasaran.

Ini saatnya.

"Jaminan keselamatan," jawabku.

"Maksudmu?" ia lagi-lagi terlihat sangat polos.

Aku menata mentalku yang hampir pecah. Ini bukan saatnya takut kena penggal. Karena bila aku meneruskan hidup seperti ini, lama-lama aku juga akan terpenggal tanpa belati.

"Istana ini tidak aman bagi hamba. Setiap hari hamba merasa terancam akan datangnya kematian oleh keracunan dan segala hal. Aku ingin Yang mulia menyelamatkan hamba," penjelasanku.

Raja termenung sejenak, terlihat berpikir. Lalu, setelah beberapa saat.

"Kau ingin aku memecat semua dayang yang ada di sini dan menggantinya dengan yang baru?" tanyanya memberikan solusi.

Semua dayang yang ada dalam istana raja terkejut mendengar apa yang Raja katakan, karena ini juga menyangkut nasip mereka dalam istana. Suasana yang tadinya tenang dan damai, tiba-tiba berubah murung dan memilukan karena kemurungan para dayang yang mengiringi Ratu.

"Tidak perlu seperti itu. Cukup beri saya wewnang penuh terhadap semua dayang di istana Ratu ini. Saya akan menanganinya sendiri," jawabku.

"Hanya itu?" tanya Raja.

"Hanya itu," jawabku menegaskan.

Raja menatapku dengan heran. Mencoba mencari celah lain yang mungkin luput dari pandangan.

"Kau tidak ingin yang lain? Kekayaan? Kekuasaan? Keturunan?" tanyanya, lagi.

"Tidak. Hamba hanya ingin hidup lebih lama."

"Permintaan macam apa itu. Apa kau ingin hidup lebih lama sebagai mantan permaisuri yang dibuang oleh rajanya sendiri?"

Aku tahu apa yang dia masih tidak percaya padaku. Namun ini masih terlalu awal.

"Saya bahkan bersedia menjadi Mantan Ratu yang diasingkan oleh Rajanya sendiri karena mandul dan Raja menikahi Wanita lain yang lebih menarik menurutnya. Itu lebih baik dari pada mati."

Raja semakin terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan.

"Mulutmu benar-benar perlu dikondisikan lagi," responnya, masih ada rasa tidak percaya di sana.

"Apa Yang Mulia setuju?" Aku butuh deklarasi.

Raja menatapku secara intens untuk terakhir kali.

"Baiklah."

Bersambung ...

Sampai jumpa minggu depan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro