4. Menyerah di sini, sama dengan Mati
Setelah kejadian itulah aku mengalami kecelakaan tragis. Ban mobilku tergelincir oleh licinnya hujan dan membuatku menabrak truk yang sedang melaju berlawanan arah denganku.
Lalu, saat ini aku bertemu dengannya lagi dalam balutan jubah merah kerajaan yang mewah, dan para pengawalnya yang agung.
Ironis sekali.
Satu-satunya kesempatan untuk bertemu dengannya hanyalah saat perjamuan minum teh minggu ini bersama Yang Mulia Raja, Janda Ratu Agung, dan Janda Selir. Karena hal itulah, ada sesuatu yang wajib aku lakukan sekarang. Belajar tetang tata cara minum teh ala kerajaan.
Benar, aku hampir melupakannya. Aku akan semakin di cap gila bila datang tanpa persiapan.
Baru kali ini aku memanggil lagi dayang senior yang kemarin tidak aku hiraukan, untuk aku izinkan lagi masuk ke kamar dan mengajariku tata cara minum teh kerajaan.
Ekspresinya terlihat datar. Seolah tidak peduli. Dia hanya akan datang bila dipanggil dan pergi saat selesai. Seperti pegawai kantor akhir tahun yang merindukan masa liburan.
Namun ada sisi baiknya. Dia setidaknya tidak palsu. Apa adanya. Tidak berlagak bahwa aku berharga baginya. Mungkin sama seperti yang lain, ia menganggapku 'Ratu yang tak bertahan lama'.
Ia mengajariku tata caranya dengan singkat padat dan jelas. Aku suka caranya mengajari. Lebih seperti seorang guru pada murid.
"Anda harus lebih pelan Yang Mulia. Tunjukan ketenangan hati Anda dengan gerakan yang halus dan pelan."
"Begini?"
"Diperhalus lagi." Ia mengatakanya bahkan tanpa ekspresi.
Aku mencobanya beberapa kali, dan akhirnya berhasil.
"Ini masih belum cukup Yang Mulia. Namun setidaknya masih dapat diterima."
"Baiklah. Terima kasih. Aku melupakan banyak hal setelah sakitku. Aku akan merepotkanmu lagi nanti."
"Hamba sangat tersanjung dapat membantu Yang Mulia Ratu," tapi ia mengatakannya dengan muka yang datar dan tak peduli.
Ya, setidaknya aku pun tidak peduli terhadap responnya. Selama apa yang aku rencanakan berjalan dengan semestinya, semuanya bukanlah suatu hal yang perlu dipikir.
Saat pertemuan.
Ini bukan pertama kali Ratu menghadiri perjamuan, namun juga merupakan acara pertama yang Ratu hadiri setelah beberapa bulan terakhir absen karena sakit. Jadi aku masih punya alasan kenapa masih kaku dalam acara ini. Anggap saja penyesuaian baru setelah koma yang panjang.
Yang mulia Janda Ratu berbasa-basi dengan menanyakan kabarku. Tidak ada yang menarik di sana selain Raja enggan berhadapan denganku, sekalipun kami tidak sengaja berpapasan wajah, ia hanya menatapku sinis. Lalu berbisik pada asistennya.
Upacara minum teh dimulai. Kami duduk melingkar. Antara aku, Janda Ratu Agung, Janda Ratu, Janda Selir, dan Raja.
Raja Maju untuk menghadap para Ratu, pelayan menyodorkan poci berisi teh, dan raja menuangkannya pada masing-masing cangkir kecil milik Janda Ratu Agung dan Janda Ratu. Terakhir, aku memberi hormat pada Raja, lalu menyodorkan cawan untuk mengisi gelas miliknya.
Baru kali ini aku benar-benar dekat dengan Raja.
Sungguh mirip. Titik.
Aku bahkan membayangkan bila itu benar-benar An Yi Zie, apa yang akan aku lakukan. Mungkin aku akan memukulnya sekuat tenaga, menjambak rambutnya, atau ... menagis ketakutan, di dadanya.
Andai saja memang seperti itu. Kenyataannya yang aku lihat di mata Raja saat ini adalah ketidakpedulian yang beku, yang membuatku takut untuk lebih mendekat lagi.
Kegiatan tuang-menuang selesai dengan Raja menuangkan teh untukku untuk terakhir kali. Lalu kami saling bertukar pusi dan membahas maknanya bersama-sama. Lalu aku? Terhalang Bahasa yang sungguh berbeda, aku lebih banyak diam dan pura-pura menikmati tehku.
Sekalinya giliranku, aku hanya memberikan puisi sederhana yang diberitahu Dayang Senior.
"Sekalinya awan turun membentuk hujan."
Satu-satunya puisi yang dapat aku baca walau menggunakan aksara kuno dari buku puisi lama yang diberikan dayang Senior padaku. Aku rasa itu sudah sangat luar biasa.
Semuanya terdiam dan menatap ke arahku?
"Puisi siapa yang sedang kau bawakan Ratu?" tanya Raja. Akhirnya aku dapat mendengar suara itu lagi, walau dalam Kasen Bahasa China kuno.
Sialan! Apa ini puisi sulit?
Aku yang tidak dapat merespon, hanya tersenyum kecut.
"Aku belum pernah dengar sebelumnya. Mari kita dengar pemaknaannya dari Ratu sendiri," respon Janda Ratu Agung tidak kalah antusias.
"Iya, aku pun penasaran," imbuh Janda Selir Raja.
Aku melirik kanan-kiri. Dayang senior, walau terkesan tidak peduli, ia terlihat berdiri cemas saat melihatku, juga Tsu Yi yang meremas-remas tangannya, tanda ia sedang merasa gelisah dan takut karena situasiku yang sedang terojok.
"An Yi Zie," jawabku asal. Hanya nama itu yang kini ada dalam pikiran. Seolah sedang memohon bantuan dari masa depan.
"Ini puisi milik An Yi Zie," karangku, dengan keyakinan setarus persen.
*** falsh back***
"Aku hanya ingin seperti air," kata An Yi Zie.
Kami tengah bersantai di dekat area persawahan jauh di pinggiran kota. Seperti biasa, ia tiba-tiba mengajakku berkeliling menggunakan sepedah motornya, hanya untuk melihat pemandangan sawah hijau nan asri setelah pulang kerja.
Kami berada pada kantor yang sama, dan devisi yang sama. Walau ini adalah perusahaan Ayahku, Ayah tetap tidak ingin menyerahkan perusahaanyaa dengan begitu saja padaku. Aku harus merangkak dari tempat paling rendah dengan caraku. Hingga meraih apa yang aku harapkan pada akhirnya.
Desain interior adalah tempat aku dan An Yi Zie berada. Aku mengagumi karya-karyanya yang luar biasa. Aku tidak akan bisa menciptakan mahakarya sepeti yang dia buat. Mungkin itu juga yang membuatku jatuh cinta padanya.
Kami duduk di batu besar pinggiran jalan, memperhatikan sinar matahari yang semakin redup karena malam yang akan segera tiba.
"Kenapa Air?" tanyaku, memeluk lengannya yang kekar, bergelayut manja di sana.
"Ia banyak, melimpah, kadang sampai terlihat tak bernilai. Namun sejuta manfaat yang ia punya, ia berikan tanpa mengharap pengakuan sama sekali."
Bermanfaat tanpa ingin dikenali. Itu aneh.
"Kenapa tidak jadi hujan?" tawarku.
"Kenapa dengan hujan?" ia bertannya balik.
Aku mengambil tangannya, dan memainkan tangan besarnya, setidaknya lebih besar dari tanganku. Walau kasar dan sedikit berotot, aku sangat suka dengan sensasi hangat yang ditimbulkan.
"Hujan di musim panas yang dirindukan semua orang, yang menyelamatkan semua orang dari kekeringan. Air hujan yang menyuburkan kehidupan. Semua mengagungkan keberadaannya," penjabaranku.
Ia menyipitkan mata, lalu tersenyum maklum. Mengelus puncak kepalaku dengan sabar. Lalu kami saling berpelukan untuk menghangatkan diri dari hawa dingin senja.
"Itu harusnya seperti awan," ujarnya.
Aku melonggarkankan pelukan kami, untuk menatap lurus pada wajahnya.
"Awan?" tanyaku.
"Pemimpin harusnya seperti awan," tukas An Yi Zie lantang.
***end flash back***
Aku menirukan apa yang An Yi Zie katakan padaku, dulu.
"Setinggi dan semegah apa pun awan di langit. Seindah atau semenakutkan apa pun bentuknya, ia akan tetap turun dalam tetesan hujan."
"Seorang Raja, setinggi apa pun posisinya, seagung apa pun dia, dia akan terus memberikan manfaat, kesejahteraan, dan keadilan bagi semua. Seperti hanya air hujan yang turun menyembuhkan kekeringan di bumi, dan menyuburkan tanaman-tanaman petani," kataku, mengingat perkataan An Yi Zie di detik-detik terakhir. Sungguh sebuah keberuntungan.
Para Janda Ratu terlihat saling padang dalam kekaguman. Mereka memberikan pujian-pujian yang beberapa tidak aku mengerti artinya. Aku hanya menunduk berterima kasih pada apa yang mereka katakan, sambil melirik Raja yang masih saja diam, tidak merespon. Lebih pada kesan tidak peduli.
Padahal aku ini istri satu-satunya. Yi Wen si tokoh utama wanita pun belum muncul untuk saat ini, tapi dari gelagat yang ia tujukan, seperti ia tidak akan sudi bersamaku, walau aku adalah satu-satunya perempuan yang tersisa di muka bumi.
Aku melihat di film, Raja Wu adalah tipe Raja yang sangat setia. Bahkan untuk ukuran Raja kejam, ia memilih untuk hanya memiliki satu istri.
Dalam cerita, ia hanya akan menikah lagi setelah aku mati. Jadi dapat disimpulkan, kesetiaannya adalah kesialan bagiku.
Sekarang PR-nya adalah, bagaimana caranya meminta tolong, sedang berdekatan saja sepertinya ia tidak mau. Selain itu, melihat wajahnya yang seperti An Yi Zie, aku semakin ingin menendang rusuknya berkali-kali. Laki-laki yang dulu selalu memperlakukanku seperti seorang Ratu, sekarang saat aku benar-benar menjadi Ratu, ia malah menatapku seperti seekor tikus got.
Ini sungguh menjengkelkan.
Sampai upaca minum teh berakhir, tidak ada pembicaraan empat mata di antara kami. Aku hanya dapat kembali ke kamarku dengan membawa kekecewaan.
Namun aku tidak akan menyerah, selalu ada jalan. Karena menyerah di sini, sama dengan mati.
Bersambung ....
Besok lagi gusy... I love An Yi Ze ... harusnya dia yang jadi raja ... wkkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro