1. Lilis Suryani - Menulis 3 Chapter Pertama
Tepatnya tanggal 1 Juli kemarin, BswClub pertama kalinya mengadakan kelas bersama penulis.
Mintari mengunggahnya ke sini, dengan tujuan sharing untuk teman-teman yang belum sempat ikut kelas atau kepada kamu yang ingin memperbaiki cerita.
KELAS UMUM BIG SUN WRITERS CLUB
Dengan tema
Menulis 3 chapter pertama yang menarik pembaca.
Dalam buku 101 Dosa Penulis Pemula, saya membaca bahwa opening sebuah cerita menjadi penentu apakah mereka akan lanjut membaca cerita kita atau tidak, setelah judul dan blurb atau sinopsis sebagai pancingan tentunya.
Opening atau pembuka seperti apa yang akan menarik pembaca?
- Sebisa mungkin hindari serangan cuaca jika tidak bertujuan untuk membangun cerita itu sendiri. Misalkan:
Siang yang terik Ani bermain di bawah pohon rindang bersama Wahyu.
Pembuka seperti itu banyak sekali kita temui dalam sebuah cerita. Jadi, sebisa mungkin beri pembeda. Tulis sesuatu yang lebih greget.
- Tidak memuat detail atau deskripsi yang berlebihan seperti menjabarkan informasi cerita sejak awal. Misalnya, penyebab si tokoh utama berubah jadi mengerikan padahal tadinya orang baik. Saya tidak memukul rata karena sebenarnya balik lagi bagaimana eksekusi si penulis. Orizuka pun menuliskan sebab tokoh Wira trauma terhadap hujan pada bagian opening di salah satu novelnya, tetapi karena cara mengemasnya baik, bukannya ingin berhenti, kita malah dituntun untuk terus membaca karena ingin tahu bagaimana akhirnya tokoh Wira ini bertahan bahkan menyembuhkan diri dari traumanya.
- Hindari opening yang kurang menggebrak. Misalnya, cerita dibuka dengan percakapan sehari-hari yang bisa ditemukan pada banyak cerita. Itu bisa membuat pembaca pergi dengan cepat karena bosan.
Setelah opening apa lagi?
Berikan nyawa pada cerita. Sehebat apa pun teknik menulismu kalau kamu tidak bisa memberi nyawa pada cerita, pembaca lebih cepat bosan dan memilih meninggalkan ceritamu.
Bagaimana cara memberi nyawa pada cerita?
Buat para tokohnya lebih hidup.
- Tulis ciri fisik secara rinci (bentuk wajah, rambut, bibir, warna kulit, dan lain-lain) hal itu mencegah tokoh satu dan lainnya tertukar ketika kita mendeskripsikan.
- Jabarkan sifat masing-masing tokoh. Supaya lebih realistis, sekalipun dia tokoh utama usahakan tetap memiliki kekurangan karena enggak ada manusia yang sempurna, 'kan? Untuk tokoh novel sekalipun. Misalnya, dari segi fisik dia nyaris sempurna tapi dia memiliki sifat yang tempramen, posesif, egois, kekanakan, dan lain-lain.
- Beri keunikan atau kebiasaan unik pada masing-masing tokoh, atau paling tidak cukup tokoh utamanya aja. Misalkan: Si tokoh utama itu punya kebiasaan setiap nonton bola dan tim kesayangannya mencetak gol dia pasti mukul-mukul orang. Bukan yang keras yang baku hantam, kalau bahasa Belandanya itu main geplak.
Dari mana sih kita mencari sesuatu yang unik? Gunakan panca indra kalian, terutama telinga, mata, dan hati itu bisa membentuk atau menangkap sesuatu yang unik dari apa yang terjadi di sekitar kita.
- Sembari menulis, bayangkan setiap adegan. Kira-kira masuk akal enggak kalau si A melakukan ini. Si B begini. Lebih mudah dibayangkan kalau visualisasinya orang-orang di sekitar kita.
- Gunakan teknik show don't tell. Itu bisa mempermudah pembaca membayangkan alih-alih sebatas membaca.
Saran saya, jangan menjabarkan ciri fisik tokoh secara rinci di awal karena jatuhnya monoton. Si tokoh itu enggak akan lagi menarik karena orang-orang langsung tau dia seperti apa. Memaparkan perlahan di bagian-bagian tertentu.
Dengan membuat tokoh dalam cerita lebih hidup, kita bisa dengan mudah membuat pembaca terlibat secara emosional dengan cerita kita. Entah karena rasa simpati, marah, sayang pada tokohnya yang secara enggak langsung itu bisa membangun rasa penasaran mereka terhadap ceritanya. Baik terhadap nasib para tokoh atau akhir ceritanya.
Lalu apa lagi? Sesuaikan pemilihan kata dengan target pembacamu. Jangan menggunakan diksi yang terlalu berat jika sasaran utama pembacamu adalah remaja karena bisa dipastikan mereka kabur duluan sebelum cerita selesai? Kenapa? Berat. Mereka sibuk berpikir dibanding menikmati cerita itu sendiri. Walaupun enggak semua demikian. Ada pembaca yang suka cerita dengan diksi yang puitis dan lain sebagainya, tapi ada juga yang lebih suka cerita dengan pembawaan santai dan mudah dipahami. Sejauh ini cuma itu yang berusaha saya aplikasikan pada semua cerita yang saya tulis dan cukup membuat pembaca mau bertahan dari awal sampai akhir.
Mungkin itu aja yang bisa saya sampaikan. Kalau 3 bab yang bisa menarik perhatian penerbit sejujurnya saya enggak tahu karena belum pernah lolos jalur seleksi. Dua kali mengajukan, dua kali juga ditolak. Jadi, belum tau kriteria mereka itu seperti apa. Tapi, kalau saya yang ditempatkan di posisi penerbit, saya pasti mencari naskah yang kalaupun mainstream tapi bagus eksekusinya, greget, dan dibutuhkan banyak orang.
Tanya jawab peserta:
1.Nama : Inez
Pertanyaan :
Apa tiga kalimat pertama dalam tulisan selalu harus berbentuk narasi?
Jawaban :
Enggak sama sekali. Dialog pun asal kuat boleh digunakan sebagai pembuka.
2.Nama : Meli Yana Marlina
Pertanyaan :
Apakah Kak Lilis ada hambatan atau kesulitan dalam menjabarkan karakter tokoh di tiga chapter pertama? Kalau iya, bagaimana solusinya?
Jawaban :
Ada, kadang bingung karena takut kebablasan. Jadi, dibanding membuka dengan penjabaran tokoh, biasanya saya lebih dulu menyentuh hati pembaca. Misalnya begini:
"Mulai hari ini, Bayu tiga hari sama Bunda dan sisanya di rumah Ayah. Tapi, Bayu harus janji satu hal."
Bocah kecil dengan ransel di punggungnya mendongak, kemudian menatap sang bunda dengan tatapan lugu dan sarat akan rasa ingin tahu. "Apa, Bun?"
Perempuan itu menunduk menyamakan posisinya dengan anak laki-laki yang dipanggil Bayu. "Di rumah Bunda nanti Bayu enggak sendiri. Ada Kakak. Sejak berumur tiga tahun, Kakak udah enggak punya ibu. Jadi, Bayu harus selalu ngalah dan menuruti apa pun yang Kakak mau. Janji?" ujarnya kemudian seraya mengacungkan kelingkingnya.
Bayu tampak berpikir. Bundanya selalu mengatakan bahwa janji kelingking itu tanda jika yang terikat di dalamnya tidak boleh mengingkari. Seserius itu. "Bunda sayang Kakak?" Bukannya menyambut seperti biasa, Bayu justru lebih dulu melempar tanya.
"Sayang."
"Kalau aku nakal sama Kakak Bunda sedih?"
"Sedih. Jadi, Bayu jangan nakal, ya?"
Akhirnya anak laki-laki itu mengaitkan kelingking mungilnya pada kelingking sang bunda. "Oke, aku enggak nakal. Nanti kalau nakal Bunda sedih."
Sebuah senyum tersungging dari bibir perempuan itu. Tangan mulusnya terulur mengusak puncak kepala putranya. "Good boy. Ini baru anak Bunda."
"Tapi, Bunda sayang aku juga, 'kan?"
"Sayang dong."
"Sayang aja?"
"Sayang banget. Bayu sayang Bunda?"
"Sayang banget ... banget ... banget!" teriak anak itu sembari melompat semangat, sementara tangannya bergerak seolah tengah berusaha menggambarkan bahwa rasa sayangnya begitu besar.
Hari itu, Bayu tidak benar-benar tahu jika janjinya pada sang bunda justru menjadi sumber rasa sakitnya.
3.Nama : Nindya
Pertanyaan :
Menurut Kak Lilis, bagaimana cara kita menilai apakah bab-bab awal yang kita tulis sudah bagus dan memikat atau belum? Kadang kan kita sudah sreg, ternyata pembacanya belum begitu tertarik. Mohon pendapatnya, Kak.
Jawaban :
Kalau saya pribadi lebih sering melihat respons orang lain (pembaca), sih. Karena betul, kadang kita merasa sudah maksimal, tapi orang lain merasa biasa aja. Bisa juga kita merasa biasa aja, tapi ternyata efeknya besar untuk mereka yang membaca. Jadi, untuk menilai tetap membutuhkan orang lain.
4.Nama : Hanifah
Pertanyaan:
Bagaimana jika teori di atas digunakan untuk tiga bab selain di awal? Apakah bisa atau sebaiknya hanya tiga di awal?
Jawaban :
Enggak masalah kok bisa diaplikasikan di bab berapa pun enggak harus selalu di awal. Tapi, memang diutamakan untuk pembuka karena nantinya seperti yang saya bilang itu yang akan jadi penentu. Nonton drama Korea it's okay to not be okay? Openingnya yang menurut saya pribadi keren banget membuat saya selalu menunggu kelanjutannya.
5.Nama : M. Nur Faizin
Pertanyaan :
Bagaimana cara menggunakan teknik tell agar tidak terkesan membosankan?
Jawaban :
Yang terpenting seimbang porsinya, dan tepat penempatannya. Kapan kita perlu menunjukkan, kapan cukup dengan memberitahukan.
6.Nama : Evtria
Pertanyaan:
Kak, apa ada tips and trik menjelaskan deskripsi tokoh yang gak bosenin? Soalnya kayaknya kalo jelasin si A perawakannya begini atau begitu itu bikin bosen juga. Lalu apa ada rekomendasi bacaan yang pendeskripsian karakternya bagus menurut Kakak?
Jawaban :
Kalau tips and trik khusus sih enggak ada, ya. Karena saya pribadi biasanya menjabarkan bertahap, misalkan kita ambil dari sudut pandang orang yang kontak langsung. Seperti apa yang membuat dia mengagumi atau membenci si tokoh. Bisa juga melalui dialog para tokoh di dalamnya. Enggak melulu harus kita deskripsikan bahwa perawakannya begini dan lain sebagainya.
Apa, ya? Balik ke selera sih. Kalau saya suka banget sama cerita-cerita yourkidlee, Orizuka, dan renitanozaria. Tokoh-tokoh yang mereka buat itu melekat diingatkan pembaca.
7.Nama : Riri Riski
Pertanyaan :
Batasan mendeskripsikan ciri fisik untuk membuat nyawa berbeda seperti apa kak? Karena kalau buat seperti biodata kok seperti sensus ya? Takutnya juga mubazir. Bukankah ciri fisik itu harusnya diselaraskan sama karakter dan dunia tokoh?
Jawaban :
Iya benar memang harus disesuaikan dengan karakter dan dunia tempat si tokoh itu hidup. Tergantung juga cerita seperti apa yang dibuat. Karena sejauh ini saya cuma bermain di teenfiction dan romance pun yang sederhana, jadi batasan deskripsi tokoh itu sendiri sebatas "realistis". Penjabaran ciri fisik sebatas untuk mempermudah pembaca membayangkan bagaimana wujud mereka. Dan dalam cerita fiksi ada yang namanya diksi, selama penggunaannya tepat, mau seperti apa pun enggak akan ada istilah seperti sensus.
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro