Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

☘6. Membujuk Hosea☘

Jericho membuka pintu kamar ruang rawat inap. Di dalam, Hosea sedang terbaring dengan kedua mata yang masih ditutup karena matanya masih sering merembeskan air dan darah.

Nora hanya menggelengkan kepala, melihat penampakan Hosea yang mengenaskan dengan kekusutan tergambar jelas di wajah. Gadis itu tidak mengira cowok yang berbaring setengah duduk tanpa asa di atas brankar itu adalah cowok idola di sekolah dulu.

"Hose, ini ada anak temen Papi mau jenguk."

Hosea hanya menoleh mengikuti arah sumber suara. Pandangannya gelap karena tertutup. "Papi kemana aja? Aku di sini sendiri! Papi mau telantarin aku kaya Papi telantarin Mami?" Bukannya menjawab Jericho, Hosea justru berseru dengan nada kesal.

Jericho mendatangi putranya yang meraba-raba udara. Ia menepuk lengan kekar itu memberi isyarat bahwa lelaki tua itu ada di sampingnya. "Papi ada di sini. Buat kamu."

Nora mengulum senyum. Tingkah Hosea itu terlihat seperti anak kecil yang takut berpisah dengan orang tuanya. "Hose, ternyata dokter mata yang merawat kamu itu sama-sama satu SMA sama kamu loh. Satu angkatan dengan kamu pula."

Hosea mendesis tak suka. Ia tidak berminat membicarakan orang lain. Ia juga tidak ingin keadaannya diketahui oleh orang lain. "Aku nggak mau diganggu."

Tapi Nora justru dengan ramah menyapa lelaki murung itu. "Hallo, Hose. Kamu kenal aku nggak ya? Aku Nora anak 1C, 2B, dan 3 IPA-2. Kita nggak pernah sekelas sih ya?"

"Udah deh, jangan sok perhatian. Aku nggak butuh!" sergah Hosea sambil melengos.

"Buat apa sok perhatian? Kurang kerjaan banget. Kalau bukan Om Jeri yang minta aku buat ngasih tahu supaya kamu mau dilakukan tindakan, aku juga nggak bakal ke sini," ujar Nora.

"Eh, kamu siapa tadi? Dora? Aku kok nggak pernah denger punya temen angkatan namanya Dora?"

Nora mendengkus. Rupanya selain matanya yang bermasalah, telinga Hosea juga tidak beres. Tapi, ada baiknya juga. Setidaknya Hosea menanggapi sapaannya dan tidakn bersikap apatis.

"Bukan Dora, Hose. Tapi Nora. Dia anak temen Papi waktu awal ngembangi bisnis ke Malang." Jericho berusaha menengahi saat melihat raut kesal Nora.

"Ah, berarti dia yang bikin Mami ditelantarin."

"Hosea, kenapa kamu bicara begitu? Mami meninggal karena memang Tuhan sudah menghendaki! Kamu pikir Papi nggak merasa bersalah karena nggak bisa menyediakan uang untuk operasi itu! Demi bisa dapat uang, makanya Papi ambil proyek pembangunan klinik itu!" Wajah Jericho memerah. Keriputnya semakin jelas terlihat dan urat lehernya yang menonjol terlihat berkedut.

Nora hanya termangu kala melihat dua lelaki itu bersitegang. Gadis itu bingung. Haruskah ia mendekat? Berperan sebagai siapakah dia sekarang? Nora, sang ophtalmologis ... Nora, anak kenalan Jericho ... atau Nora, teman angkatan SMA Hosea yang tidak diingat lelaki itu?

"Kalau memang kamu nggak mau Papi urus, terserah kamu!' Jericho akhirnya berlalu dari kamar meninggalkan Nora yang kebingungan di kamar itu.

Gadis itu merutuki keputusannya. Demi apa dia menyanggupi pinta Jericho! Ternyata yang dihadapinya sekarang adalah seorang lelaki dewasa yang bebal dan suka melawan. Bagaimana dia bisa memberi edukasi dan sugesti positif bila Hosea menutup diri? Namun mengingat janjinya pada Jericho, ia masih bertahan di kamar itu.

Nora berdeham, berusaha menepis kebekuan di ruangan setelah Jericho keluar dari kamar itu. "Hose, aku tahu kamu nggak bakal inget sama aku. Aku di sini sebagai dokter mata yang menangani kasusmu, diminta sama Om Jericho buat nerangin lagi bahwa tindakan itu harus segera dilakukan."

"Aku udah tahu aku bakal buta!" ujar Hosea.

"Siapa bilang? Justru kalau nggak dilakukan tindakan, resiko kebutaan akan meningkat!" tandas Nora, menatap tajam Hosea yang pasti tidak akan bisa melihatnya.

Hosea terdiam. Kepalanya lurus menghadap depan. Lelaki itu mempermainkan jemarinya dengan gelisah di atas pangkuan. Lidahnya menyapu bibir kering yang pecah-pecah. "Kamu pasti tahu kan ... ehm aku ...." Tenggorokan Hosea tersekat. Ia menjeda ucapan. Agak susah baginya mengakui kelemahan di depan orang tidak dikenal.

Nora menelengkan wajah. Dia maju dua langkah menghampiri Hosea. Mata Nora memindai wajah berahang tegas dengan hidung mancung dan bibir yang pucat. Bulu halus di wajahnya sudah tumbuh membentuk kumis dan jenggot tipis di dagu.

"Aku tahu, kamu ternyata mengalami ketakutan yang luar biasa terhadap jarum suntik. Tapi aku bisa pastikan tindakan yang akan dilakukan painless," kata Nora.

Hosea menggigit-gigit bibir bawahnya. Ia berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-paru dengan oksigen sehingga ia bisa berpikir dengan jernih. Namun dalam keadaan yang dikepung kegelapan itu Hosea gelisah. Ia merasa sendiri seperti dulu saat maminya mengalami sakratul maut di depannya.

"Hose, kamu pasti mengatasi rasa takutmu! Setelah ini kamu bisa pulih lagi. Bisa melihat keindahan alam dan ... lekuk tubuh cewek yang seperti body gitar."

Hosea yang awalnya termangu sedikit demi sedikit mencerna saran Nora. "Kamu yakin aku bisa naik gunung seperti sedia kala?"

Nora tersenyum senang. Sang pasien sepertinya sudah mau membuka diri. Dia mendekat satu langkah lagi. Kini ia sudah berada di tepi ranjang. "Boleh aku duduk?"

Hosea mengangguk.

Suara derak hand rail yang diturunkan dan pantat semok Nora yang mendarat di brankar berbunyi nyaring. Sesudah menyamankan duduknya, Nora menjawab pertanyaan Hosea. "Kamu bisa melihat, kamu bisa naik gunung, kamu bisa melakukan pekerjaanmu dengan normal. Asal tindakan dilakukan sedini mungkin. Setidaknya kemampuan penglihatanmu akan membaik."

Hosea menggerakkan kepalanya untuk menajamkan telinga. Entah kenapa, suara Nora yang mengalun di liang pendengaran Hosea, terdengar lembut dan membuat hatinya tenang.

"Hose, aku lakukan ini buat Om Jeri. Aku nggak tega saat beliau datang ke ruanganku dan memohon agar aku bisa membujukmu, karena beliau sudah nggak tahu caranya ngasih tahu anak semata wayangnya." Nora menatap Hosea yang terlihat memperhatikan bicaranya.

Hosea mengembuskan napas kasar. Bisa-bisanya sang papi melibatkan orang lain yang tidak ia kenal!

"Sepertinya kamu dekat banget sama papiku?" tanya Hosea.

Nora terkekeh. Ia menatap langit-langit putih kamar itu saat mengingat sejenak pertemuannya dengan Jericho Meidiawan sewaktu kecil. Gadis itu akhirnya menceritakan sekelumit kenangannya kepada Hosea.

"Hose, kamu tahu ... Om Jericho saat itu jarang makan. Ketika buruh bangunannya makan, ia nggak makan. Waktu aku tanya alasannya, beliau mengatakan supaya bisa nabung karena istrinya sakit. Karena kasihan, akhirnya bekal makan siangku selalu aku kasih ke Om. Di akhir proyek, aku kasih kenang-kenangan tempat makan gambar Iron Man."

Hosea menelan ludah. Ia hanya bisa mencengkeram selimut di pangkuannya saat menyadari sesuatu. Tak dimungkiri Jericho bekerja ekstra keras demi pengobatan sang mami yang menderita penyakit jantung. Beberapa waktu sebelum kondisi memburuk, dokter menyarankan untuk dilakukan operasi pemasangan ring. Tapi, kondisi ekonomi yang saat itu tidak memungkinkan membuat perawatan tertunda, sehingga Jericho harus mengambil proyek di Malang yang bisa digunakan untuk membiayai operasi sang istri.

"Sejak kecil aku selalu mendapati bagaimana Mami kesakitan. Saat Mami pingsan dan waktu itu belum ada ponsel seperti sekarang utnuk menghubungi Papi, aku hanya menangis. Aku berlari ke tetanggaku meminta bantuan." Dengkusan kasar terdengar saat lelaki itu tersenyum miring dengan miris. "Aku ketakutan dan menangis. Waktu itu aku berumur 5 tahun. Aku bisa melihat mami yang sekarat dipasang infus dan alat lain-lain. Kupikir Papi akan pulang setelah menerima kabar. Nyatanya Papi hanya menengok dan memasrahkan kami pada Yangti. Saat itu juga aku membenci Papi. Aku berjanji, bila terjadi sesuatu pada Mami, aku nggak akan maafin Papi!"

Napas Hosea tersengal saat menceritakan kisah lama yang selama ini ia pendam. Herannya, ia justru mengungkapkan semuanya pada seorang dokter yang katanya adalah teman seangkatan SMA yang bahkan tidak ia ingat.

Nora tersenyum. "Aku tahu phobia itu nggak bisa dipandang sebelah mata. Manusiawi juga kamu punya ketakutan dan trauma. Hanya sekarang, kamu harus berani melangkah. Ehm, sepertinya kamu menyukai gunung kembar kan?"

Hosea meringis saat alisnya bergerak. "Gunung kembar?"

"Ish, sok-sok nggak ngerti. Kamu kan terkenal pecinta cewek cantik dan body sintal bin bahenol. Rugi loh kalau nggak bisa lihat lagi," goda Nora.

Hosea terkekeh. Ia mengelus kepala belakangnya. Wajah pucatnya itu memancarkan sedikit rona merah. "Siapa yang nggak suka cewek cantik? Aku kan masih cowok tulen."

Nora mencibir. Ternyata Hosea tetap saja tidak berubah sifat walau sudah semakin dewasa. Ia pun lalu turun dari brankar.

"Hosea, tenang. Percayakan perawatanmu padaku. Aku akan mengembalikan penglihatanmu lagi." Nora menepuk pundak kekar yang berotot liat itu. Wajah manisnya tersenyum lebar yang sayangnya tidak bisa dilihat oleh sang pasien.

"Ehm, janji nggak bakal sakit?" tanya Hosea.

"Janji!" Nora mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Hosea.

Untuk pertama kalinya dalam dua puluh empat jam, Hosea tersenyum. Hati kosongnya terasa hangat karena embusan kata semangat Nora. Suara lembut itu mengisi relung hatinya yang dahaga akan perhatian seorang wanita keibuan.

"Jadi, kita siap lakukan tindakan ya? Mumpung teman-teman tim operasi belum pulang." Nora melirik jam yang ada di pergelangan tangan kiri.

"Oke."

"Baiklah, aku akan menemui Om Jeri untuk menanda tangani berkas persetujuan tindakan di nurse station."

Hosea hanya mengangguk. Beberapa saat kemudian suasana kembali hening setelah Nora keluar dari kamar rawat inap.

"Nora ... siapa dia?"

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro