☘41. Kesedihan Nora☘
“Kak Nora? Ngapain ke sini malam-malam?” tanya cewek cantik dengan paket lengkap itu.
Lidah Nora menjadi kaku. Wajahnya pun memucat kala melihat kondisi Bora yang membukakan pintu. Tubuh sintal itu berbalut kemeja kedodoran yang ia tahu milik Adrien.
"A-a-aku … cuma mau mampir." Suara Nora terdengar bergetar saat ia berusaha berpikiran positif.
Alis Bora terlihat mengerut. "Ayo, masuk."
Nora menelan ludahnya dengan kasar saat melangkah masuk ke dalam kamar dua puluh di lantai dua puluh. Namun, begitu masuk, matanya membeliak lebar. Tangannya menutup mulut yang menganga seolah ditarik oleh gravitasi bumi kala melihat Adrien yang tertidur pulas dengan selimut yang menyelubungi separuh tubuhnya yang polos.
"Aku sepertinya mengganggu. Aku pulang."
Nora berbalik sambil merutuk tak jelas. Bagaimana bisa dia bilang pulang kalau jarak di mana kaki berpijak sekitar 400 km–an dari rumahnya?
Mata Nora lagi-lagi terasa panas. Aura Bora yang lebih dominan dan suasana yang dicerna otaknya saat itu membuat wanita itu memilih menyingkir. Dia merasa mata sipit berbulu lentik milik Bora seolah seperti mata Medusa yang membuatnya mematung dan tak bisa berkata-kata.
"Nora, ngapain kamu capek-capek ke Yogya! Nyebelin!" Nora menggigit bibirnya seraya meremas cangklongan tas selempangnya.
Nora berjalan cepat menuju lift dan langsung menekan tombol untuk turun ke lantai dasar. Setidaknya Nora beruntung, lift itu belum memakai kartu kamar untuk akses operasionalnya sehingga tadi dia bisa naik ke lantai dua puluh secara langsung. Kalau tidak, dia pasti tidak akan bisa mendapati kenyataan bahwa mereka ternyata lebih intim dari dugaannya.
Lift berdenting saat berada di lantai dua puluh dan derak kasar pintu yang terbuka disambut langkah cepat Nora memasuki bilik berdinding cermin. Ia lalu menekan lagi tombol GF agar bisa turun ke lantai dasar.
Selama lift turun bergerak, Nora hanya menunduk dan berharap tidak ada yang memasuki lift itu. Wanita itu mencengkeram kain kemeja di dadanya seolah ingin meredakan sakit hatinya. Tapi, tetap saja isakan meluncur dari bibir. Di lima belas lantai seseorang masuk ke dalam lift hingga Nora memilih keluar karena malu wajahnya sudah berlinang air mata dan khawatir ia tidak bisa menahan isakannya. Dia memilih menuruni tangga darurat sambil meraung untuk menetralkan rasa perih di batin.
***
Adrien mengerang dalam tidurnya. Badannya nyeri karena demam yang melanda di hari kedua. Saat Amara mendengar kakaknya sakit, ia menelepon Bora, dan meminta tolong gadis itu untuk mengecek kondisi kakaknya.
Adrien enggan dibawa ke rumah sakit. Mau tidak mau, setelah memeriksa lelaki itu, Bora hanya memberikan obat penurun panas saja. Tapi, rupanya Adrien susah meminum obat sehingga lelaki itu muntah dan muntahannya mengenai badan Bora yang membuat gadis itu terpaksa memakai kemeja Adrien yang kedodoran seperti daster.
Saat bel kamar berbunyi, buru-buru Bora keluar dari kamar mandi setelah mandi dengan kemeja yang belum sempurna ia kancingkan. Ia tadi sempat memesan mie kuah dari resto Hotel karena dia tak sempat makan malam begitu Amara meneleponnya.
Namun, yang terjadi di luar dugaan. Saat Bora membuka pintu dengan bersemangat saking laparnya, tampaklah Nora yang matanya membeliak lebar dan wajahnya memudar ronanya.
"Kak Nora? Ngapain ke sini malam-malam?” tanya Bora dengan alis mengernyit.
Setelah pertanyaannya dijawab Nora, ia mempersilakan wanita itu masuk. Namun, begitu masuk, Nora langsung berbalik dan keluar dari kamar itu. Bora hanya mengangkat bahu tanpa berniat mencegahnya karena ia sedang memakai baju Adrien. Ia tidak ingin paparazi mendapatkan fotonya memakai pakaian yang tidak semestinya hingga menimnulkan skandal. Bora akhirnya memilih masuk ke dalam kamar president suite itu.
Merasa mendengar suara Nora, Adrien bergerak gelisah. Suara yang menabuh gendang telinganya terasa nyata. Tetapi saat ia membuka mata, hanya Bora yang ada di situ.
"Adrien." Bora lalu menghampiri Adrien dan duduk di bahu ranjang. Gadis itu menempelkan tangan yang dingin karena habis mandi di dahi sang lelaki.
Adrien menepis tangan Bora sambil merintih saking pusingnya. Melihat bajunya dikenakan Bora, lelaki itu berdecak kesal.
"Kamu ngapain pakai bajuku?" Alis Adrien mengerut sambil berusaha menegakkan badannya. "Apa tadi ada yang datang?"
Adrien menunduk saat merasakan bulu romanya berdiri karena embusan AC. Wajahnya semakin kusut mendapati dirinya bertelanjang dada. Namun, saat menghidui bau anyir yang masih semerbak di dalam ruangan, Adrien teringat beberapa waktu lalu ia sempat muntah-muntah hingga kausnya pun ikut kotor karena terkena isi lambungnya.
"Kak Nora," jawab Bora dengan cuek.
"Nora?" Adrien mendongak dan menatap tajam Bora.
"Iya. Padahal udah jam 11 malam, katanya mau mampir. Kaya wanita panggilan saja!" Maksud hati ingin berkelakar tetapi justru membuat darah Adrien terbakar. "Tadi dia masuk, eh malah langsung pergi!"
Mata Adrien membeliak menatap Bora. "Kamu!" desis Adrien tak suka, apalagi melihat kemejanya dipakai oleh gadis itu hingga memperlihatkan paha putih dan mulusnya.
Adrien lantas turun dari ranjang dengan langkah gontai. Bora bergegas bangkit untuk membantunya tetapi lelaki itu menepis kasar tangan Bora.
"Adri, kamu kenapa sih? Nggak tahu terima kasih banget!" Bora meringis sambil mengelus pergelangan tangannya yang memerah.
Tapi, Adrien tidak menghiraukan Bora. Ia berjalan menuju lemari dan mengambil kaus merah untuk menutup tubuh polosnya. "Candaanmu nggak lucu, Bora! Pantes aja nggak ada cowok yang betah sama kamu!"
Mata sipit Bora memelotot saat mendengar cap yang ditujukan Adrien. Ya, dia selalu dibilang tidak bisa bercanda, dan punya sense of humor yang aneh. Tapi bukan berarti dia belum ada jodoh di tahun ke 29 hidupnya, karena candaannya yang cenderung keterlaluan itu. Dia hanya belum menemukan orang yang tepat saja.
Namun, saat ia hendak menghantam Adrien, lelaki itu sudah berbalik dan keluar dari kamar. Tentu saja Bora menjadi sangat menyesal telah berbaik hati merawat Adrien. Gadis itu hanya mengerat rahangnya dan mengepalkan tangannya untuk menurunkan gejolak emosi yang tiba-tiba membuncah di hati.
***
Sementara itu, Adrien yang tak menghiraukan tubuhnya yang memijar itu berlari menyusuri lorong sepi untuk turun ke lobi. Ia berharap bisa mengejar Nora yang datang jauh-jauh dari Malang.
Begitu masuk lift dan menekan tombol lantai dasar, Adrien berdiri dengan raga yang bergetar sambil berpegangan pada handrail di sisi ruangan kecil itu. Wajah yang memerah karena panas badan yang cukup tinggi tak menyurutkannya untuk mencari Nora. Di sela menahan nyeri, Adrien masih bisa tersenyum tipis karena ternyata dia tidak bermimpi saat mendengar suara Nora. Lelaki itu mendongak sembari membaca nomor lantai yang perlahan menghitung mundur hingga ke lantai dasar.
Begitu terbuka, Adrien lari ke lobi yang masih ramai menjelang tengah malam. Dia berdiri di tengah ruangan itu, dengan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Nora, di mana kamu?" Adrien menggigit buku jari telunjuknya untuk meredam rasa khawatir.
Lelaki itu bergegas ke serambi hotel, lalu menghampiri seorang security yang ada di situ.
"Jo, kamu tahu ada cewek pendek keluar? Atau tadi ada tamu dengan mobil hatchback biru?" kata Adrien sambil memijit pelipis dengan jempol dan jari manisnya.
"Tadi ada mobil hatchback biru masuk dan parkir di ujung sana, Pak. Apakah beliau tamu penting? Kami sepertinya tidak diberitahu bahwa ada tamu VIP hari ini." Bejo menunjuk ke tempat mobil yang dimaksud berada. Karena dia memang berjaga di depan jadi ia ingat mobil yang masuk ke dalam halaman hotel.
"Kamu ngapain di sini?" Pangkal hidung Adrien mengerut.
"Mau ke toilet sebentar, Pak. Ada Joko yang di depan." Bejo memberikan cengiran.
"Yo wes, buruan. Habis itu kembali ke posmu!"
"Siap!" Bejo memberikan penghormatan yang tidak dihiraukan oleh Adrien.
Lelaki itu pun kembali berlari menuju ke arah yang ditunjuk satpamnya. Ia berharap tak terlambat mendapati Nora.
Begitu berada di halaman parkir, mata Adrien menyipit. Kepalanya yang berkedut seperti dipukul oleh palu thor tetap tak diindahkannya. Satu yang ada di pikiran Adrien. Menemukan Nora.
Satu persatu ia mengamati mobil yang berjajar manis di parkiran dengan gundah. Ia berharap Nora belum pergi. Dan, saat melihat mobil biru dengan plat N yang sangat dikenal, senyum Adrien mengembang di wajah yang pucatnya.
Lelaki itu mempercepat langkah menuju ke mobil yang tak ada tanda-tanda mesinnya hidup. Adrien menuju ke sisi kanan mobil, membungkukkan badan, dan mendekatkan kepalanya untuk memeriksa apakah Nora ada di dalam. Tapi nyatanya wanita itu tidak ada di sana.
"Kamu di mana, Ra!" Adrien berkacak pinggang dengan peluh dingin membasahi sekujur tubuh. Ia mengedarkan pandang ke segala arah tetapi justru penglihatannya seperti memutar dan menjungkir balikkan dunia.
Raga Adrien terasa lemah. Ia lantas mengusap keringatnya dengan lengan kaus dan membungkukkan badannya untuk menyandarkan kepala di atap mobil pendek itu. Ia memejamkan mata dengan erat sembari berdoa segera bertemu Nora.
Ternyata harapannya terkabul. Saat ia mengangkat kepala didapatinya Nora yang berjalan melintasi halaman hotel. Dengan langkah lemah, Adrien keluar dari lorong dua mobil untuk menyongsong Nora.
Begitu Nora melihat Adrien, kakinya yang menapak terhenti. Ia menatap nanar lelaki itu dengan mata yang memerah. Seingatnya Adrien tidur dengan bertelanjang dada, tetapi kenapa ada di halaman sekarang?
"Ma Cherrie, kamu datang?" Adrien mengembangkan senyum, walau kepalanya masih tertusuk-tusuk.
Nora tidak menjawab. Wanita itu justru menggigit bibir dan berbalik memunggunginya. Adrien kemudian berjalan secepat kaki lemasnya bisa melangkah untuk menyusul Nora yang justru hendak berjalan menjauh.
Napas Adrien terengah mengejar Nora. Walau matanya berkunang-kunang, ia tetap melangkahkan kaki panjangnya. Dengan langkah lebar Adrien ia berhasil menyusul Nora dan meraih pergelangan tangannya. Badan wanita ini berbalik dan tertarik ke tubuh sang lelaki.
Tubuh berisi Nora mendarat di dada Adrien yang kembang kempis. Pelukan erat melingkupi raganya.
"Lepas, Dri!" Nora berusaha mendorong Adrien untuk mengurai rengkuhannya.
Dalam sekali usaha, pelukan itu terlepas, bersamaan dengan rubuhnya badan kekar Adrien. Sontak Nora terpekik dan memanggil orang untuk membantunya. Ia duduk bersimpuh di sebelah Adrien untuk mengecek apa yang terjadi dengannya.
"Darling! Bangun!" Nora mengecek kesadaran Adrien dengan menepuk pipi dengan keras. Namun, matanya membeliak saat menyadari wajah lelaki itu memerah dan suhu tubuhnya meningkat.
"Darling, bangun! Jangan takuti aku! Kumohon buka mata! Aku belum bilang kalau aku mencintaimu! Aku juga datang untuk bilang kalau kamu cinta sejatiku!" Nora mulai terisak sambil menepuk terus menerus pipi Adrien. Tapi tetap saja tak ada respon dari Adrien.
Seorang satpam datang tergopoh dan terperangah saat melihat boss hotel itu terkapar di halaman.
"Pak, tolong bantu naikkan kakinya, saya akan mengecek napasnya!" seru Nora gugup.
Security bername tag Bejo itu segera melakukan titah Nora. Sementara Bejo menaikkan kaki Adrien untuk mengalirkan darah ke kepala, Nora mulai melakukan head tilting dan chin lift agar lidah Adrien tidak menghambat sirkulasi udara. Nora lalu membungkukkan badan dan menempatkan daun telinganya di dekat hidung serta mulut Adrien yang terbuka untuk memeriksa apakah lelaki itu masih bernapas.
"Aku nggak akan mati semudah itu, Ra!" Bisikan lirih terdengar alih-alih suara napas.
Nora menegakkan tubuhnya, sambil mengamati Adrien yang kehilangan rona di wajahnya. Melihat lelaki yang disayanginya baik-baik saja, Nora langsung membungkuk dan memeluk Adrien.
"Jahat! Kamu nakutin aku, Darling!" Air mata Nora yang sejak keluar dari toilet itu ditahan kini berurai lagi.
Adrien menepuk punggung yang bergetar itu, sambil berbisik. "Sabar, Ra. Jangan di sini. Nanti saja pelukan plus-plusnya di kamar!"
Mata Nora yang berkaca-kaca itu mengerjap. Ia menegakkan tubuh sambil menggeram kencang. Tetapi bukan karena tak suka, melainkan yang ada pipinya bersemburat kemerahan.
💕Dee_ane💕
Adrien GM Hotel d'Amore lagi seneng didatangi Nora
Nora kesel banget liat Bora di kamar Adrien
Bora yang sense of humornya aneh
Makasih udah mampir, Deers😍 Jangan lupa jejak cinta kalian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro