☘39. Cinta Sejati Nora☘
"Nora!"
Suara yang familier itu membuat tangan Nora semakin gemetar. Sebelum berbalik, ia memejamkan mata sambil menghirup oksigen untuk memenuhi paru-parunya. Perlahan-lahan dia menoleh dan menengadah dengan tersenyum.
"Adrien …," cicit Nora karena tenggorokannya masih saja terasa terjepit dan lidahnya terasa kelu.
"Kamu sombong sekali sekarang? Kenapa nggak nyapa tadi?" Wajah Adrien yang berseri bertolak belakang dengan raut Nora yang kusut dan mendung.
"Bukannya kamu malah sok nggak kenal gitu, karena ada cewek cantik di sebelahmu?" Nada suara Nora terdengar aneh. Ia merutuki pita suaranya yang tidak bisa bekerja sama saat itu.
Adrien mengangkat kepalan tangannya di depan bibir yang tertarik untuk menyembunyikan kuluman senyum. "Aku kok geer ya, mikir kamu cemburu?"
Nora mendecih keras. Dalam hati perempuan itu ingin berteriak bahwa dia cemburu. Tapi bagaimana mungkin ia mengakuinya saat Adrien sudah punya tunangan? Dan saat itu statusnya adalah pacar Hosea. Ah, sungguh kondisi yang aneh.
"Ish, ngapain kamu geer? Trus juga ngapain aku cemburu? Kita kan udah nggak ada apa-apa. Lagian tunanganmu itu ternyata ayu soro. Beda banget dari foto di berita internet," tukas Nora panjang lebar yang justru disambut kekehan Adrien.
"Kenapa ketawa?" Alis Nora mengerut dengan wajah semakin kusut. Nadanya naik satu oktaf.
"Nggak." Adrien mengerucutkan bibirnya untuk menyembunyikan senyum. "Ngomong-ngomong, kamu kok tambah kurusan, Ra. Apa Hosea nggak bisa ngasih kamu makan enak?"
"Tiap hari juga aku dianterin makan ke klinik. Cuma aku pengin diet aja sih," dusta Nora karena memang sejak ia putus dengan Adrien, rasanya tak ada nafsu makan.
"Oh, ya, aku bawain pisang bollen kesukaanmu. Kata Mama, kemarin kamu habisin satu kardus." Adrien mengulurkan goody bag yang berisi tiga kardus pisang bollen dengan tiga varian rasa. Coklat, nanas, dan all in one flavour.
Nora mengambil alih tali tas berbahan blacu itu. "Makasih ya, Dri. Bakal aku makan … sama Hosea."
Adrien mendesah. "Ya, terserah mau kamu makan sama siapa." Bahu Adrien terangkat. "Oke, selamat menikmati pestanya. Aku nemenin Bora dulu ya."
Nora hanya mengangguk. Dalam hati ia kesal dengan Adrien yang seolah pamer bisa punya tunangan yang lebih cantik dan seksi.
Namun, Nora hanya diam dan mengamati gerak gerik Adrien dari sudut ruangan itu. Semakin lama hatinya semakin tergelitik. Salahkah keputusan Nora selama ini?
***
Mendengar cerita Nora, Hosea hanya termangu. Dia menatap Nora yang menunduk mempermainkan jari-jari gemuknya di bawah meja. Bibir merah berpoles liptint itu digigit-gigit karena gelisah.
"Jadi, kamu baru sadar kalau kamu selama ini suka … enggak, lebih tepatnya cinta sama Adrien?" tanya Hosea dengan suara yang semakin serak.
"Hosea, aku … aku baru sadar. Dan, aku ngerasa udah nyakitin kalian berdua dengan sikapku yang nggak jelas." Mata Nora mulai berkaca karena dipenuhi dengan penyesalan.
Hosea menegakkan tubuh dengan matanya yang menyipit tajam dan tangannya ditumpukan pada permukaan meja. "Dan, apa yang kamu lakuin ke aku ini kejam banget, Nora!"
Suara itu berdesis. Sementara ekspresi wajah Hosea terlihat tegang saat rahangnya mengerat kuat.
"Aku tahu." Nora menunduk untuk menghindari pandangan tajam Hosea yang seolah ingin mencabiknya. "Awalnya aku mengira kalau aku menyukaimu, Hosea. Kamu tahu kan, kamu adalah cinta pertamaku."
Nora semakin menunduk dan kini bahunya sudah bergerak naik turun. Kedua tangannya meremas pah karena berusaha meredam isakan yang ingin meluncur dari bibirnya.
"Lantas kenapa kamu menolakku kalau aku cinta pertamamu?" Mata berjaringan parut itu membeliak lebar.
"Cinta pertama tidak berarti cinta sejati, Hose. Cinta sejatiku adalah Adrien Bollen. Cowok yang selalu ada buatku sejak aku kecil. Dia selalu mendengarkan ceritaku yang selalu memujamu. Dan saat aku mengalami penghinaan besar karena penolakan sadismu, dia memelukku," kenang Nora.
"Jangan-jangan kamu mau balas dendam karena aku sudah menolakmu, Nora?" Hosea menatap sinis pada Nora.
"Aku nggak pernah berpikir membalas dendam, Hose. Yang lalu sudah berlalu. Dan perhatianmu padaku, membuatku bahagia karena doaku sewaktu SMA itu terkabul. Jujur, perasaanku terdistorsi. Debaranku lebih kencang saat bersama kamu yang kemudian kukira aku mencintaimu, Hose." Bulir bening itu akhirnya telah lolos dari kelopak mata Nora dan membasahi pipi yang sedikit tirus. "Nyatanya, ketika aku kehilangan Adrien, aku … aku … ngerasa limbung. Aku rindu perhatiannya membuatkan makanan sendiri untukku, aku rindu teror pesan singkat yang selalu mengingatkan agar aku nggak lupa makan, dan aku … aku juga órindu dipeluk sama Adrien."
"Janc*k! As*!" Hosea memukul pahanya sendiri dengan keras hingga kuduk Nora meremang.
"Hosea, maaf …."
"Maaf? Maaf katamu?" Hosea tergelak menertawakan dirinya sendiri. "Sakit, Ra! Sakit banget!" Hosea mengetuk dada bidangnya.
"Aku tahu …." Lirih Nora berkata.
"Tahu? Kamu tahu?" Tawa itu semakin menguar. "Apa yang kurang dari aku, Ra? Aku bener-bener serius dengan kamu! Aku nggak mau mengulangi kesalahanku dari hubungan yang dulu dan berusaha memperhatikanmu!"
"Aku tahu. Kamu nggak ada kurangnya, Hose! Justru karena itu, aku merasa kamu pantas mendapat gadis yang lebih baik dari aku!" Isakan Nora kini menguar.
Hosea mendongakkan kepala sambil menggigit buku jari tengahnya agar menahan diri tidak berteriak dan memberikan sumpah serampah yang bisa membuat telinga yang mendengar terasa panas.
"Maaf, Hosea. Aku takut semakin menyakiti kamu. Oleh karena itu, aku putusin untuk menyudahi semuanya." Wajah Nora telah basah dengan peluh dan air mata.
"Adrien sudah bertunangan! Apa yang kamu cari, Nora?" Hosea memandang Nora dengan sendu.
"Aku tahu. Tapi aku tetap nggak bisa membohongi perasaanku dengan tetap menjalin hubungan denganmu. Sungguh, Hose, aku bener-bener takut ngelukain kamu." Kini wajah bersimbah air mata itu membalas tatapan Hosea.
"Wong wadon goblok! Tak pikir kamu cerdas, Ra! Piye nasibmu kalau Adrien menikah?" Hosea menggelengkan kepala sambil memukul dahinya.
"Karena cinta itu bermain di hati. Bukan di otak." Nora menunjuk dada kirinya. "Sekarang nalarku berontak karena aku melepas cowok baik, setia, dan sopan. Hanya saja … hatiku mengatakan cukup sudahi hubungan ini, karena cintaku untuk Adrien."
"Sedheng! Gendheng! Hatimu bakal patah saat tahu Adrien akan nikah sama anak dari Universe Group itu!"
Nora menelan ludah dengan kasar. "Aku tahu, Hose. Tapi ini pilihanku. Mencoba mengejar cinta sejatiku sebelum janur kuning melengkung."
Hosea mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia tetap saja tidak bisa meraih hati Nora.
"Oh, ya, Hose, gunakan mata hatimu untuk merasakan cinta di sekelilingmu. Ada gadis yang mencintaimu sepenuh hati. Kamu tahu siapa dia." Nora menarik tisu dan menyeka matanya perlahan.
Nora lantas bangkit dari duduk. "Aku pulang, ya?"
"Aku antar!" Hosea menutup kembali kotak cincin beludru merah itu dan memasukkan dalam kantong celana jeansnya.
"Nggak usah! Aku terlalu malu buat menerima perhatianmu lagi," ucap Nora lirih.
Hosea mendesah. "Kalau gitu, aku tungguin sampai taksinya datang."
Nora hanya mengangguk saja karena tidak ingin berdebat.
Akhirnya Nora berdiri di beranda depan resto didampingi oleh Hosea. Tak ada lisan dari keduanya. Masing-masing dengan pemikirannya sendiri dan menatap nanar mobil-mobil yang berjajar rapi di parkiran.
“Ra, kita masih jadi pacar?” tanya Hosea pada wanita mungil tapi berisi itu.
Nora menoleh dan mendongak menatap Hosea. Ya, diakui Nora, wajah Hosea begitu rupawan, tapi debaran itu kini tak ada lagi. Debaran yang dulu dipersepsikan sebagai reaksi tubuh karena jatuh cinta ternyata hanyalah reaksi penasaran karena cinta yang dulu tak berbalas.
"Teman baik, Hosea. Kita akan jadi teman baik." Nora tersenyum tulus.
Hosea menghela napas panjang. Di saat terakhir usahanya, Nora tetap menolak dengan halus.
Tak menunggu lama, taksi online sudah datang hingga Nora terpaksa berpamitan pada Hosea.
"Aku pulang dulu. Makasih buat perhatian yang udah kamu beri selama ini." Nora menggigit bibir bawahnya. "Maaf, ya!"
Nora mengulurkan tangannya yang kemudian disambut oleh Hosea. "Aku sedih sih, Ra. Mau marah, tapi nggak bisa karena kamu baik banget. Aku jadi kebayang dulu aku sadis sama kamu."
Nora terkikik. "Aku nggak dendam kok. Itu bagian dari masa remaja kita. Tapi aku seneng, lewat kamu Tuhan kasih peneguhan ke aku."
"Peneguhan yang terlambat karena Adrien udah tunangan! Lagian aku kok ngerasa jadi tumbal nih." Hosea berdecak.
Nora tersenyum. "Nggak papa. Seengaknya aku jadi tahu ke mana hatiku berlabuh."
Tangan yang bertaut itu belum terurai. Hosea menarik tubuh mungil Nora dan memeluknya. "Berjanjilah padaku supaya kamu bahagia Nora!"
Mata Nora kembali panas. "Kamu juga harus bahagia, Hose!"
Hosea mengecup pucuk kepala Nora dan selanjutnya melepas gadis manis yang membuatnya mengerti arti kecantikan dari dalam.
"Aku sayang kamu, Ra." Suara Hosea mencicit.
"Itu bukan sayang cinta, Hose. Itu sayang sebagai sahabat karena aku datang saat kamu terpuruk. Dan, aku pasti akan datang bila kamu sedih dan terpuruk lagi," ujar Nora.
"Gimana aku bisa ngelepas kamu kalau kamu baik kaya gini?" Mata Hosea mulai bergetar.
Noa tersenyum. "Kamu harus melepasku, Hose. Karena ada gadis manis yang menunggu dijemput olehmu."
Nora melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Aku pulang ya."
Hosea hanya mengangguk, dan membimbing Nora untuk masuk ke taksi online yang menjemputnya. Begitu meyakinkan Nora duduk dengan aman di kabin kedua, ia berseru pada sang sopir. "Mas, ati-ati di jalan ya."
"Siap, Mas!" jawab laki-laki muda yang menjadi sopir taksi online.
Dentuman keras terdengar saat pintu mobil tertutup. Seolah pintu itu menjadi penutup hubungan Hosea dengan perempuan yang ketiga dan menutup hatinya hingga terkunci sangat rapat.
💕Dee_ane💕
Hiks, keknya pelukan itu hanya bisa dikenang Nora. Menurutmu gimana, Deers?
Promo work baru. Masih dokter2an yes
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro