☘36. Doa Orang Teraniaya☘
Nora tergugu menatap cincin berdiameter besar yang di dalamnya tertoreh tulisan 'Nora-Ma Cherrie'. Entah kenapa, hatinya tercubit. Padahal sebelumnya Nora bersemangat ingin putus dari Adrien.
Mengetahui Nora yang tersedu sedan, Hosea pun berpindah tempat duduk di sebelah Nora. Ia merangkul perempuan yang menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Ra, udah, nggak usah sedih. Bukannya dulu kalian udah putus? Kamu juga pengin putus kan?" Hosea merangkul dan mengelus lengan kanan Nora berulang-ulang.
"Aku … aku bingung, Hose! Kalian seolah menyudutkanku. Bahkan aku sekarang nggak bisa berpikir!" Nora sesenggukan. Pandangannya yang menatap cincin berlian itu mengabur, sekabur dengan kisah cintanya yang kandas.
"Ada aku, Ra. Aku kan bilang akan menerima kamu apa adanya." Hosea masih merangkul Nora yang bahunya naik turun.
"Aku akan menjagamu, seperti pesen Adrien." Hosea mendengkus pelan. "Sebenarnya nggak usah Adrien bilang pun aku bakal jagain kamu."
Nora menghirup napas dalam-dalam dan menyeka matanya perlahan. Ia tidak menanggapi Hosea karena di pikirannya adalah perasaan Adrien yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
Nora mengambil cincin itu dan menggenggamnya. Perempuan itu menggigit bibir untuk meredam perasaan bergemuruh. Entah lega, atau justru kehilangan. Nora pun saat ini tidak tahu apa yang ia rasakan.
***
Sejak putusnya pertunangan Nora dengan Adrien, Hosea semakin gencar mendekati Nora. Ambar dan Yasa awalnya terkejut dengan keputusan Adrien, karena setelah putusnya mereka di Bon Apatite, Adrien langsung menghubungi Yasa dan meminta maaf karena terkesan bermain-main.
Tentu saja Yasa sedikit kecewa, karena umur Nora yang tak lagi muda. Walau Hosea tampak mendekati putrinya, tetap saja Yasa tidak serta merta melepas Nora untuk Hosea, mengingat putusnya hubungan Nora dan Adrien sedikit banyak mempengaruhi Nora sendiri.
Malam ini, Nora sudah selesai praktik di klinik papanya. Biasanya dia hanya memilih waktu praktik seminggu dua kali, tapi setelah putus, Nora memilih praktik setiap hari dari Senin sampai Jumat. Bahkan Hosea sekarang kesusahan untuk mengajak kencan karena Nora selalu beralasan sudah mulai rutin praktik sore.
Malam ini, waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Pasien mata Nora masih ada beberapa orang. Padahal pasien Yasa sudah habis dan tinggal menunggu antrian di farmasi.
Saat keluar dari ruang periksa, Yasa mendapati Hosea sudah duduk di ruang tunggu seperti biasa. Melihat Hosea yang tidak pernah absen datang untuk membawakan makan malam, Yasa menghampiri pemuda itu dan duduk di sebelahnya.
"Repot-repot terus, Hosea," kata Yasa saat menerima bungkusan ayam penyet dari Hosea.
"Nggak, kok, Om. Lagian saya ngerasa akhir-akhir ini Nora semakin getol praktiknya. Di rumah sakit pun, dia selalu keluar terakhir," terang Hosea.
Yasa mendesah panjang. Ia meletakkan bungkusan plastik makanan di sebelahnya duduk. "Sabar, ya, Hosea. Ya, nggak dimungkiri, Nora shock karena putusnya hubungan sama Adrien. Gimana pun Adrien selalu ada buat Nora sejak mereka masih kecil. Kalau diinget, Adrien selalu jadi tameng buat Nora karena Nora kan nggak punya saudara."
Yasa menyandarkan punggung tuanya dan matanya menerawang lurus saat mengingat kenangan masa kecil putrinya dan Adrien.
"Kalau mereka begitu deket kenapa papa Adrien nggak restuin, Om?" tanya Hosea yang selalu penasaran dengan hubungan Nora dan Adrien.
"Karena Nora anak dari sahabat baik istri yang menyakitinya. Om Antoinne nggak benci sih sama Nora, hanya saja dia nggak mau berurusan sama Tante Livia dan sahabat-sahabatnya. Termasuk keluarga Om."
Hosea menganggut-anggut, menyadari kenapa hubungan Adrien dan Nora itu tidak ada perkembangan, bahkan sampai tahun ke enam.
"Tapi kenapa akhirnya hubungan mereka direstuin? Adrien malah sampai lamaran pula." Alis Hosea bertaut di pangkal hidung.
"Entahlah. Mungkin Adrien bisa meyakinkan papanya." Yasa hanya menebak asal saja.
Bibir Hosea mengerucut saat otaknya berpikir bahwa pasti ada alasan di balik persetujuan hubungan Adrien dan Nora. Beberapa kali bertemu dengan Antoinne, sedikit banyak Hosea tahu karakter papa Adrien yang keras.
Di saat pikiran Hosea melalang buana, Nora keluar dari bilik pemeriksaan mata setelah pasien terakhir selesai diperiksa. Seperti biasa, wanita itu akan memberikan senyuman ramah pada Hosea walau tatapan matanya terlihat sendu.
"Ra, Hosea bawa makan malam. Kalian makan malam aja berdua, Papa masih mau ngecek farmasi. Papa juga udah janji sama Mama makan di rumah." Yasa bangkit dan memberikan bungkusan plastik itu pada putrinya.
Nora menerima bungkusan itu, dan melongokkan kepala untuk melihat isinya. "Hose, nggak usah bawa makan malam. Kami udah ada jatah makan malam buat karyawan."
Hosea tersenyum lebar. "Kamu kurusan, Ra. Aku yakin kamu bakal makan malam dan lanjut pulang."
Nora mendesah panjang. Ia salut dengan perhatian Hosea yang sampai tahu kalau bobotnya turun hingga tiga kilo.
"Ya udah, ayo makan di pantri." Nora mengajak Hosea yang kemudian diikuti oleh laki-laki itu.
Pantri yang terletak di belakang klinik saat itu kosong. Hanya ada beberapa gelas kosong bekas teh dan kopi instan yang ada di atas meja.
"Sori, berantakan. Mas-mas perawat kalau habis ngopi gelasnya ditinggal gitu aja. Nungguin Mas OB yang beresin." Nora membereskan dua gelas kotor itu, dan meletakkan ke cawan sink cuci piring.
"Mau minum hangat apa dingin?" tanya Nora kemudian.
"Ehm, dingin ada?" Hosea duduk di kursi yang mengelilingi meja makan.
"Teh botol ya?" Pertanyaan Nora itu disambut dengan anggukan oleh Hosea.
Nora lantas mengambil teh botol yang sengaja disediakan untuk karyawan dari kulkas. Setelah membuka tutup botol, wanita itu menyuguhkan kepada tamunya.
"Ini, Hose."
"Kamu juga harus makan! Pas kan, apa pun makanannya, minumnya teh botol." Hosea lalu membuka satu kardus ayam penyet dan menyodorkan pada Nora yang duduk di depannya.
"Kenyang sih." Nora hanya menatap paha ayam kampung dengan taburan kremes di atasnya.
"Kenyang makan apa? Makan angin?" Hosea mengerutkan dahinya. "Ayo, maem dulu! Apa perlu aku suap?"
Nora berdecak dan mau tak mau, tangannya mulai menjuput nasi dan potong ayam. Melihat Nora sudah melahap makanan, Hosea pun mengikuti makan menu yang sama. Sekarang keduanya sudah menghadapi sekotak ayam penyet.
Saat makan, Hosea sesekali melirik Nora yang makan dengan lahap. Rupanya, Nora harus dipaksa untuk makan agar tak melewatkan makan malam.
"Ra, gimana kabarmu hari ini?" tanya Hosea sambil menyedot ingus bening dari hidung mancungnya. Sambal penyet yang ia makan terasa sangat pedas di lidahnya.
"Baik. Kenapa?" Sambil mencuil daging paha ayam kampung, Nora melirik Hosea. Ia tersenyum simpul saat mendapati lelaki itu kepedasan.
"Kamu masih terlihat sedih gitu sejak putus beberapa minggu lalu. Apa Adrien sangat berpengaruh dalam hidupmu?" tanya Hosea.
"Pertanyaanmu aneh, Hose. Sekarang aku tanya, pas kamu putus sama Lyla, apa kamu nggak sedih?" Bibir Nora mengerucut seraya meniupkan uap panas dari sensasi pedas yang rata di mulut.
"Sedih. Marah. Tapi kamu datang mengisi kekosonganku." Hosea menggigit daging paha yang berlumuran sambal.
"Kamu marah karena Lyla mengkhianatimu. Sementara, aku sekarang bingung. Pernah nggak orang-orang ngalamin putus seindah itu. Kamu diputuskan, karena orang itu sayang banget sama kita." Nora berdecak sambil mengusap keringat di dahi dengan punggung tangan kanannya.
"Adrien sengaja bikin kamu nggak enak hati!" ujar Hosea ketus.
Nora tersenyum miring. "Sayangnya aku nggak ngerasa gitu. Jujur, aku kehilangan Adrien karena dari balita kami tumbuh bersama. Tapi setelah putus juga, aku jadi ngerasa bebas untuk ngelakuin apa pun, sama siapa pun sekarang."
"Tapi aku ngerasa kamu terluka," kata Hosea dengan sendu.
Senyum yang mengembang di wajah Nora, susah sekali diartikan oleh Hosea. Bahagiakah? Atau justru ia merasa sakit hati karena diputuskan.
"Terluka? Entahlah. Aku nggak tahu apa aku harus bahagia apa gimana karena akhirnya Tuhan mewujudkan doaku tiap malam sewaktu SMA." Nora menjilat sejenak ujung jari-jari yang terkena sambal terasi dan kemudian melanjutkan ucapannya.
"Dulu, aku berharap Hosea Meidiawan bisa menatapku, sekaliii aja. Tapi yang ada, pandangan Hosea selalu ada buat si cantik Lyla. Aku yakin kamu dulu nggak tahu kalau aku sering deketin kamu di kantin." Nora terkikik pelan mengenang kebucinannya.
"Parahnya pas aku nembak kamu, kamu sadis banget nolaknya. 'Sori, kamu bukan seleraku. Aku suka cewek yang seksi'."
Wajah Hosea seketika menjadi merah. Ia malu karena sewaktu remaja hanya menilai semua hal dari permukaan luarnya.
"Ish, nggak usah dibahas kali, Ra!" Hosea menutup bibirnya dengan punggung tangan, seolah ingin menyembunyikan rasa tak nyamannya.
Tawa Nora menguar keras. "Aku dulu malu banget, tahu nggak sih? Mana temen-temen pada sorak-sorak ngeledek pula."
Nora menggelengkan kepala, karena tak percaya dengan keberaniannya menembak Hosea.
"Nggak usah dibahas! Itu sisi kelamku." Pipi Hosea semakin panas tiap kali Nora membicarakan kenangan yang tak bisa diingat Hosea. Lelaki itu melupakan serpihan ingatan itu karena banyaknya gadis yang menembaknya.
"Hosea, aku ini cuma cewek numpang lewat pas kamu terpuruk. Jujur, aku deg-degan ketemu kamu lagi. Apalagi sikapmu bikin aku baper soro," kata Nora.
"Mungkin di saat aku terpuruk, Tuhan justru mempertemukan kita, Ra." Hosea menutup kardus ayam penyet yang sudah tandas masuk ke perutnya.
"Mempertemukan kita?" Nora bergumam sambil menutup kardus makanan yang masih tersisa sedikit. "Jujur, aku seneng banget karena kita bisa menjadi dekat seperti sekarang ini. Rasanya doa kaum teraniaya itu dikabulkan Tuhan."
Hosea menarik sudut bibir kanannya. Jantungnya bergemuruh saat mendengar kalimat yang terucap dari bibir Nora.
"Ra, aku pengin jagain kamu. Kamu mau jadi pacarku?" Jantung Hosea berdetak kencang saat mengemukakan pernyataan hatinya untuk kesekian kali.
"Kamu yakin, Hose?" tanya Nora sambil menatap lurus wajah Hosea yang tetap saja menawan hatinya.
"Absolutely!" jawab Hosea mantap.
Nora mendesah panjang. "Ya, mungkin aku harus mencoba kali ini."
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro