Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

☘32. Lamaran☘

Hai, Deers, ngingetin lagi, jangan lupa buat kasih jejak cinta kalian😍

Semoga terhibur

Happy reading

Ingin rasanya Adrien menghapus gambar di gawai Nora. Namun, melihat keceriaan Nora di gambar itu yang tak lagi pernah ia berikan pada Nora, hati Adrien tercubit-cubit.

Lelaki itu hanya bisa meremas kuat ponsel Nora yang masih tersambung dengan daya ke listrik sementara ia duduk di belakang meja tulis kamar itu dengan punggung melengkung penuh dengan pikiran dan kepenatan.

Detik berikutnya, Nora masuk ke dalam kamar dengan lilitan handuk yang ada di kepala. Wajahnya lebih segar dengan butiran air yang menetes dari anak rambut yang terjuntai keluar dari handuk.

"Adrien …." Suara Nora terdengar pilu saat memanggilnya.

Hati Adrien makin tersayat. Seminggu tak berkirim kabar, sudah mengubah panggilan Nora padanya, seolah waktu yang mereka lalui selama ini tidak ada apa-apanya.

Lelaki itu lalu menghela napas panjang sambil mendongak. Ia masih mengusahakan garis senyum tercetak di wajah walau batinnya teremas-remas. Adrien tidak ingin membuat Nora ketakutan seperti dulu lagi.

"Kamu habis bersenang-senang ya, Cherrie." Suara Adrien terdengar tenang walau sedikit bergetar karena desakan rasa jengkel yang merongrong hatinya.

Nora hanya mendesah sambil duduk di depan meja rias. Ia melepas handuk dan mulai mengeringkan rambutnya hingga bunyi hairdryer mengisi kebisuan mereka. Sementara itu, Adrien tidak bisa mengalihkan pandangannya pada gerak gerik Nora yang terlihat hanya diam.

Akhirnya Adrien mengalah. Ia bangkit dan menghampiri Nora. Diambil alihlah pengering rambut yang digenggam Nora sehingga ia bisa membantu perempuan itu mengeringkan mahkotanya.

"Nggak usah, Adri. Jangan begini!" Awalnya Nora hendak menepis.

"Maaf. Maaf, Cherrie. Akhir-akhir ini aku nggak ada waktu untukmu. Sekali bertemu, aku justru menakutimu." Tatapan Adrien terasa sendu.

"Aku tahu kamu sibuk, Adrien. Lagian kita sudah tidak ada hubungan apa-apa." Nora menatap bayangan Adrien di cermin meja riasnya.

Lelaki itu menggeleng. "Nggak. Aku nggak bisa putus sama kamu. Aku datang bersama orang tuaku karena kami akan melamarmu."

Mata sipit Nora membulat. Bagaimana bisa Adrien memutuskan sepihak seperti itu?

"Aku nggak bisa, Adri." Nora lalu berbalik dan menangkup tangan besar Adrien. 

Gerakan Adrien mengeringkan rambut Nora pun terhenti. Ia menatap wajah chubby yang mendongak ke arahnya.

"Kenapa? Apa kamu betul-betul menyukai Hosea dan melupakan apa yg kita lakukan bersama selama ini?" tanya Adrien sendu.

"Bukan begitu." Nora menyanggah.

"Lantas?" Satu alis kiri Adrien terangkat.

"Kita … entahlah, Adrien. Aku takut kita saling menyakiti." Nora menarik pelan badan jangkung Adrien untuk duduk di tepi ranjang.

"Aku mencintaimu, Cherrie. Aku akan bertanggungjawab atas apa yang aku lakukan padamu. Kecuali … Hosea benar-benar menerimamu apa adanya," kata Adrien dengan pilu.

Adrien bangkit dan sebelum keluar kamar, ia menepuk bahu Nora. "Nora, kita akan selalu bersama. Sejak awal mula. Jadi, yakinkan hatimu! Ok?"

***

Nora termangu dalam duduknya, sementara otaknya memikirkan ucapan Adrien. Sejak awal mula bersama? Ya, mungkin itu dulu. Tapi, sekarang ia terlalu banyak berpikir  terlebih sifat Adrien yang kadang membuatnya takut.

Di sisi lain, Nora juga berpikir apakah nasibnya yang sudah tidak perawan itu akan bisa diterima oleh laki-laki lain? Apakah ada kaum Adam yang akan menerima dirinya apa adanya?

Di saat pikiran Nora penuh, Ambar masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu tersenyum lebar sambil menghampiri putri semata wayangnya.

"Ra, ayo buruan keluar. Keluarga Adrien udah nungguin dari tadi tuh." Ambar meraih sisir dan membantu Nora untuk merapikan rambutnya.

"Ma …." Nora mendesah pelan hingga Ambar terpaksa memfokuskan perhatian pada putri satu-satunya.

"Ada apa? Bukannya kamu selalu nungguin lamaran ini?" Ambar duduk di bibir ranjang sambil menatap putrinya.

"Aku bingung, Ma. Adrien melamar, di saat kami putus." Nora menghela napas panjang.

Ambar mengernyit. "Putus? Adrien? Nggak mungkin, dia memutuskanmu, Ra. Adrien itu sayang sama kamu. Beberapa waktu ini, dia hubungin Mama, bilang titip kamu karena dia ada kerjaan."

Nora menggigit sudut bibirnya. 

"Adrien bilang ke Mama, kamu deket sama Hosea. Dia sempet nanya ke Mama, apa kamu keliatan deket sama Hosea. Ya, Mama bilang sebatas temen. Adrien habis itu bilang mau ngelamar, karena takut kehilangan kamu." Ambar berceloteh panjang lebar.

"Masalahnya, Ma … hati kamu udah nggak bisa bersatu. Gimana bisa lanjut ke jenjang selanjutnya?" reaksi Nora kemudian.

"Kamu ini kok nggak tahu kedalaman hati Adrien. Kenapa dia kaya gitu, kenapa dia protektif sama kamu, dan kenapa akhirnya dia baru bisa ngelamar kamu." Ambar mengembuskan udara panjang lantas bangkit untuk keluar dari kamar. "Perjuangan Adrien, lebih dari yang mampu kamu bayangin Nora. Dia terbiasa memendam semua sendiri. Itu juga Mama tahu dari Tante Livia dan cerita Adrien sendiri. Yang jelas, Mama pengin kalian bisa saling menyayangi seperti dulu."

Walau tak didesak, akhirnya Nora menerima lamaran Adrien. Ada banyak pertimbangan yang ada di otaknya sehingga saat Antoinne menanyakan kesanggupannya, perempuan itu hanya mengangguk lemah.

Tentu saja, senyum di wajah Adrien langsung mengembang. Lelaki itu merasa perjuangannya tak sia-sia. Apalagi, kedua orang tua mereka juga sudah merencanakan untuk melaksanakan pernikahan yang sedianya akan dilaksanakan enam bulan lagi. 

Menjelang sore, acara lamaran berakhir dengan dilakukan tukar cincin untuk mengukuhkan hubungan pertunangan mereka. Setelahnya keluarga Adrien berpamitan untuk kembali ke Surabaya.

"Cherrie, aku senang akhirnya kita bisa mengukuhkan hubungan kita." Adrien mengelus lembut rambut Nora yang terjuntai di bahu saat Nora mengantar rombongan tamu.

Nora menepis tangan Adrien. Hatinya galau karena belum bisa menentukan apa yang ia rasakan.

Adrien membungkukkan badan, hingga wajahnya selevel dengan Nora. "Aku tahu kamu tergoda sama Hosea. Tapi aku yakin kita akan bersama, Cherrie." 

Nora menatap Adrien yang juga menatapnya. Sungguh, sikap Adrien yang berubah-ubah membuatnya bingung. Kadang baik, kadang menakutkan, dan sekarang ia terlihat sangat perhatian.

"Aku akan menghapuskan bayangan Hosea yang ada di pikiranmu sekarang, Cherrie. Aku yakinkan itu."

***

Di lain waktu, Adrien harus menggenapi janjinya pada sang papa sehingga ia harus menjadi salah satu pemimpin di jaringan perhotelan Livian Group. Walau ia harus melepas passionnya di bisnis pastry, tetapi demi Nora, akhirnya Adrien menyerah dan mengikuti kata sang papa.

Manajemen perhotelan yang awam harus Adrien pelajari dari nol dengan tak mengenal waktu. Ia harus bisa menunjukkan pada Antoinne, bahwa ia tidak bermain-main saat ingin meminang Nora walau harus menyerah pada karir pastry–nya.

Sementara itu, Livia yang tahu apa yang dialami Adrien pun tidak tinggal diam. Begitu tahu kabar dari Amara, Livia bergegas ke Surabaya untuk menemui anak laki-laki satu-satunya yang kini berkutat dengan beberapa berkas yang harus dipelajari di atas mejanya.

Begitu Livia membuka pintu ruangan General Manager Hotel Amore, hatinya mencelos. Anak laki-lakinya terlihat kusut dengan kerutan di wajah yang terlihat jelas. Suatu hal yang tidak pernah Livia lihat sebelumnya karena Adrien selalu enjoy dengan pekerjaannya sebagai patissier.

"Adrien," panggil Livia sambil menghampiri Adrien yang sedang menekuri sebuah dokumen.

Adrien mendongak tanpa senyum di wajahnya. Selain ia dipusingkan dengan hal yang harus dipelajari, keberadaan Livia itu bukan angin segar untuknya. Namun, tetap saja Adrien menutup sejenak dokumennya dan mempersilakan mamanya untuk duduk di depan mejanya.

Livia tidak langsung duduk. Dia menghampiri Adrien dan mencium putranya yang seolah tidak peduli. Setelah itu, barulah ia duduk di kursi depan meja kayu jati besar.

"Ada apa, Ma?" tanya Adrien kemudian.

Livia duduk dengan mengangkat tungkai kanan di pahanya. Kedua sikunya menumpu di sandaran lengan sambil jarinya bertaut di depan dada. Wanita berumur itu hanya menggeleng-gelengkan kepala mendapati nasib anaknya.

"Kak, kamu yakin akan mengambil posisi GM ini?" tanya Livia dengan sorot mata prihatin.

"Kalau jalan ini bisa ngasih restu papa buat nikah sama Nora kenapa nggak, Ma? Sudah bertahun-tahun aku berusaha meyakinkan papa, tapi papa tetap pada pendiriannya supaya aku nerusin usaha Papa atau dijodohkan. Aku nggak bisa bikin Nora terus menunggu, Ma," terang Adrien.

"Tapi Nora nggak tahu kan?" tanya Livia.

Adrien menggeleng. "Jangan. Aku nggak pengin Nora terbebani. Aku pengin dia tahu sosok Adrien yang berhasil di bidang lain. Walau terengah-engah, aku mau buktiin kalau aku bisa menjadi sandarannya." 

"Ya Tuhan, Kakak. Kamu seharusnya cerita sama Nora. Setidaknya kalau dia tahu pejuanganmu, kalian juga akan berjuang bersama." Livia menarik kursinya dan mendekatkan ke meja.

"Mama tahu sesuatu?" tanya Adrien dengan kerutan dahi yang jelas.

"Nora dekat teman laki-lakinya, yang awalnya dijodohkan dengan Amara kan?" tebak Livia.

Adrien berdecak kencang karena menduga pasti Amara bercerita tentang Hosea dan Nora. "Mereka hanya temen deket. Lagian kami kan sudah tunangan."

Adrien menunjukkan cincin yang tersemat di jari manisnya, walau di dalam hatinya terselip rasa tak nyaman.

"Apa kamu nggak terlalu memaksakan, Kak?" Livia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Cinta nggak bisa dipaksain, Kak. Kayak mama papa yang akhirnya memilih berpisah."

Adrien menggeleng. "Cintaku cuma buat Nora, Ma. Apapun akan aku lakukan buat membahagiakan Nora."

💕Dee_ane💕











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro