☘3. Misteri Hidup☘
Hosea sebenarnya membenci kejutan. Ia tak mengira kejutan spesial yang ia rancang tak berjalan sempurna.
Begitu keluar dari toko bunga, Hosea mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke arah selatan kota Malang. Di saat hatinya gundah seperti ini alam yang akan menetralkan.
Alih-alih pegunungan, Hosea menuju pantai Teluk Asmara di daerah Malang Selatan. Rasanya pantai itu pas sekali menghibur hati yang patah dengan pemandangan pasir putih, laut biru, dan hamparan pulau kecil.
Lelaki itu berpikir, batinnya yang resah dan kesepian sangat pas bila diriuhkan oleh suara deburan ombak. Terlebih, ia sangat mencintai laut. Seolah deburan ombak yang menyapu pantai mampu menjilat habis rasa gundah. Hanya duduk di bawah pohon berbekal sketchbook untuk menuangkan ide desain rumah atau bangunan atau gambaran lain, lelaki itu mampu menghabiskan waktu yang cukup lama di tepi laut.
"Ck, kenapa Lyla yang aku gambar?" Hosea meremas kertasnya.
Ia mendesah, lalu memanjakan penglihatannya dengan ombak bergulung tenang karena telah dipecah oleh beberapa pulau kecil. Laut layaknya ibu bagi Hosea yang akan menampung segala keluh kesahnya.
"Mi, Hosea datang lagi. Awalnya Hosea mau bawa mantu Mami ke sini. Maaf, sepertinya Lyla memilih yang lain." Hosea bercakap seorang diri seolah menghadapi sang mami.
Lelaki itu menepuk dada ingin menggelontorkan rasa nyeri yang mendera batin.
Hawa yang terik kini telah berubah menjadi sejuk. Semburat jingga menggantung di langit pertanda matahari akan pulang dan malam hampir datang. Hosea bangkit dari duduknya lantas menepuk pasir putih yang menempel di pantat.
Merasa sudah puas memanjakan mata, Hosea melirik angka di jam digitalnya. Waktu sudah hampir maghrib dan sepertinya ia harus pulang. Hosea mendengkus, menyadari bahwa ia harus kembali ke istana es dengan ocehan sang papi yang akan menyambutnya. Pasti Jericho akan memarahinya bila tahu Hosea putus dengan Lyla.
Tapi, mau bagaimana lagi? Tetap saja rumah itu adalah tempatnya berlindung. Mau tidak mau, Hosea akan selalu pulang di rumah yang dingin dan sepi tanpa sentuhan kehangatan kasih sayang seorang wanita.
Sejak kehilangan sang mami, Hosea tak pernah merasakan perhatian sosok keibuan. Lyla adalah satu-satunya perempuan yang memperhatikannya. Ia memang ingin mempunyai seorang istri secantik sang mami.
Namun, harapannya kini sirna.
Benar kata orang tua zaman dulu. Hidup adalah misteri. Jodoh, untung dan malang manusia tak dapat mengerti. Seperti sore ini, Hosea masih bisa memandang indahnya alam yang bisa menentramkan hatinya. Namun, ia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi padanya beberapa detik bahkan beberapa menit sesudahnya.
Semua terjadi lebih cepat dari tarikan dan embusan napasnya. Kejutan kedua pun datang dalam hidup Hosea, membuat hidupnya gelap dan kelam pada hari yang sama.
Denting notifikasi di gawainya berbunyi nyaring. Dia merogoh ponsel dan membuka pesan yang bertubi masuk. Hatinya tercubit saat membuka salah satu pesan. Sebuah foto formulir pendaftaran pernikahan Lyla dan nama seorang laki-laki dikirim oleh seorang teman yang bekerja di sekretariat paroki gereja.
Rahang Hosea merapat hingga pelipisnya berkedut. Ia menghapus begitu saja pesan itu tanpa memberi komentar.
Menikah? Bagaimana bisa Lyla mengajukan pernikahan padahal kata putus baru saja terucap?
Dengan hati yang patah, Hosea memacu mobilnya menuju kota Malang. Jalan yang rusak dengan penerangan tak begitu bagus tak diindahkan oleh Hosea. Kaki kanannya terus menginjak gas membuat jalan mobil jenis SUV–nya terguncang hebat.
Hati yang kusut, menyurutkan kewaspadaannya. Mobilnya tetap berjalan kencang menghindari lubang di sisi kiri. Hosea mengira kendaraan yang akan berpapasannya dengannya adalah motor. Namun, ternyata dugaannya salah! Hosea terlanjur mengambil sisi jalan sebelahnya hingga tak bisa menghindari tumbukan dengan truk yang lampunya mati di sisi kanan itu.
Sesaat kemudian, mata Hosea membeliak begitu jarak pandangnya dengan truk semakin dekat. Ia berusaha membanting setir ke sebelah kiri.
Namun, nahas! Semua berlangsung cepat. Suara dentuman mengikuti tumbukan moncong depan mobil SUV itu sehingga badannya berputar dan melayang di udara.
Kepalanya seolah memutar kembali semua kenangan manis … pahit … seperti sebuah film.
Bayangan maminya, papinya, Lyla, sikap buruknya pada sang papi … semua hadir di otaknya. Napas Hosea seolah terhenti. Jantungnya serasa lepas dari rongganya mengikuti guncangan mobil yang mendarat dan berguling beberapa kali.
Hosea hanya terpekik. Ia yakin malaikat maut akan menjemput dan membawanya memasuki gerbang kehidupan abadi. Entah surga atau neraka, lelaki itu tak tahu di mana malaikat akan menempatkan. Mengingat dosa yang ia lakukan, ia yakin pintu neraka jahanam yang akan terbuka. Siapa lagi yang akan menerima anak durhaka dan seseorang yang suka mencemooh orang lain? Setan pasti tertawa-tawa karena mendapat hiburan untuk menyiksanya.
Hosea pasrah. Kemanapun ia nanti akan pergi, ia hanya ingin mati dengan tenang tanpa proses menyakitkan seperti sang mami. Kini lelaki itu hanya diam, mengikuti gerakan badan mobil yang akhirnya mendarat terbalik dengan kaca depan pecah berkeping. Seperti hati Hosea yang patah, remuk, tak berbentuk.
Sejurus kemudian, semua hening. Pandangannya kelam seiring kesadaran Hosea yang sempat menurun.
"Papi … maaf. Siapapun yang pernah aku sakiti … maaf."
***
Semua gelap. Hosea tak bisa melihat. Ia hanya mendengar suara-suara, termasuk deru mesin mobil.
Hosea mengerang. Ia berusaha menggerakkan tubuh di tempat yang sempit. Kemudian, terdengar suara seseorang memanggil.
"Mas, Mas …."
Hosea merasa sudah membuka kelopak mata. Tetapi hanya bayangan samar yang terlihat. Matanya nyeri sama seperti yang dirasakan seluruh badannya. Rasa nyeri meyakinkannya bahwa sukmanya masih bersatu dengan raga.
Lelaki itu menggeliat, tapi badannya pun susah digerakkan.
"Jangan bergerak. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit."
Hosea menjawab dengan erangan. Ia berusaha mengangkat tangannya. Tapi bayangan lengan kekarnya juga tak bisa dipindai oleh penglihatannya.
"Mati lampu, Pak?" tanya Hosea.
"Kita di dalam mobil patroli. Bertahanlah dulu."
Tak sampai setengah jam, akhirnya mobil yang membawa Hosea berhenti. Lelaki itu hanya terkulai tak berdaya saat tubuh kekarnya diusung keluar dari mobil dan dibaringkan di atas brankar.
Aroma obat yang menusuk ke penciumannya, meyakinkan Hosea bahwa ia dibawa ke rumah sakit. Udara dingin dari embusan angin AC menyambut kedatangannya. Tubuh Hosea menggigil dan tulangnya terasa ngilu. Rasa nyeri di area wajah dan mata membuatnya hanya mengeluarkan suara rintihan pelan, walau sebenarnya ia ingin menangis.
Seorang dokter dan dua orang perawat menyongsong kedatangan rombongan yang membawa untuk menentukan kedaruratannya.
“Pak, bisa dengar saya?” seru seorang laki-laki dengan keras.
“Saya denger! Saya nggak tuli!” sahut Hosea gusar.
“Namanya siapa, Pak?”
“Hosea … arrrgghh, Hosea Meidiawan.” Rasa nyeri kembali menyusup seperti mengoyak ototnya. Pandangan gelap itu membuat perasaan tak nyaman seolah lelaki itu terjebak labirin kelam tanpa ujung.
“Bisa membuka mata?”
“Ma … ta saya … arrrgghhh sa … kit, Dok,” erang Hosea.
“Baik. Kita periksa dulu ya, Pak.” Setelah berkata begitu, Hosea hanya mendengar cakap-cakap yang tidak dipahami olehnya.
Derik roda brankar yang didorong kembali terdengar. Hosea yakin bila ia di IGD suasana tidak akan gelap. Mana ada rumah sakit mati listrik, karena pasti instansi itu punya instalasi cadangan energi listrik.
Kepala Hosea bergerak gelisah. Ia tetap tak mampu memindai satu obyek pun. Ia hanya bisa manut saat tubuhnya dibawa masuk ke sebuah bilik yang digolongkan triase kuning.
“Permisi ya, Pak. Kami lakukan pemeriksaan tanda vital dahulu.”
Hosea tidak menjawab. Ia masih fokus dengan rasa nyerinya. Sampai suara lain terdengar lagi menuntut jawabannya.
“Mana yang sakit, Pak?”
“Semua!” jawab Hosea singkat.
“Tensi 140/90, Dok. RR 25 kali per menit, nadinya 110 kali per menit,” lapor suara laki-laki yang Hosea bisa tebak adalah perawat.
“Ok.” Yang diajak bicara menanggapi laporan perawatnya.
Kemudian dokter itu melakukan pemeriksaan di bagian yang dicurigai mengalami cedera atau patah tulang pada bagian kepala termasuk matanya.
“Jangkrik! As*! Loro, Cuk! Arrrgghhh!” Sumpah serapah terlontar dari bibirnya saat dokter itu memeriksa matanya.
“Tahan dikit ya, Pak. Kami periksa dulu.”
Hosea hanya bisa merintih dan mengerang keras saat laki-laki yang dipanggil dokter itu memegang area sekitar mata dan dahi. Ia berusaha menepis tangan sang dokter tapi dicegah oleh perawat yang lain.
"Ruptur kornea dan laserasi palpebra kiri. Saya konsulkan dokter Nora dulu."
Kata-kata itu seperti dengungan lebah di telinga Hosea. Ia tahu sesuatu yang serius terjadi dengan matanya. Lelaki itu mulai menebak jangan-jangan ia mengalami kebutaan karena ia merasa saat kelopaknya dibuka ia hanya melihat bayangan tak jelas.
"Dok, sa-sa-saya kenapa? Saya ini membuka mata atau nggak? Saya nggak bisa lihat apapun. Semua gelap." Tangan Hosea terangkat, berusaha menggerayangi yang ada di depannya.
"Tenang, Pak. Kami akan konsulkan ke dokter mata dulu."
"Gimana bisa tenang kalau saya nggak bisa melihat, Dok?" sergah Hosea dengan keras.
"Kami paham, Pak. Bapak usahakan tenang ya?" jawab sang dokter sambil mengelus pundak Hosea.
Hosea terdiam dengan perasaan gelisah. Bau obat dan rintihan kesakitan para pasien di ruang itu membuat kuduk Hosea meremang. Jantungnya yang sudah berdetak cepat semakin menggila. Seharusnya ia mati saja, daripada harus buta dan mengalami rasa nyeri seolah tulang-tulang sedang dicabut dari otot.
Tak lama kemudian, dokter datang lagi. Lelaki itu masih mengerang menahan nyeri yang sekarang tak dapat ia lokalisir.
"Pak, pihak kepolisian yang membawa Bapak ke rumah sakit sudah menghubungi keluarga. Nanti kami akan lakukan pemeriksaan penunjang berupa rontgen dan CT scan. Setelahnya kami akan melakukan tindakan pengambilan pecahan kaca yang menusuk mata Bapak."
Hosea menggeleng. Seperti anak kecil ia menutup wajahnya. Mendengar informasi sang dokter membuat Hosea bergidik ngeri.
"Nggak, Dok. Saya takut, Dok. Mamiiii, Papiiii!!!"
"Tenang, Pak. Nggak bakal sakit. Biar nggak infeksi matanya dan Bapak bisa melihat dengan jelas lagi."
Kini cairan bening bersatu dengan darah yang merembes di antara kelopak mata yang meradang. Hosea beringsut ke tepi ingin melarikan diri. Tapi ia tidak bisa menghindar. Jangankan lari, bergerak saja sulit!
Bayangan penderitaan sang mami yang meregang nyawa dipenuhi selang infus, kateter, dan selang oksigen kembali menyusup ke kepalanya. Satu rahasia yang tak ada seorang pun tahu karena Hosea menutupnya rapat-rapat selama ini.
Ia phobia jarum suntik!
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro