Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

☘28. Broken Heart☘

Jangan lupa jejak cinta kalian yak. Hepi reading😍😍

⚘⚘⚘

Begitu masuk ke dalam mobil, Hosea mengetuk dahinya dengan keras saat membuka gawai yang tertinggal di mobil. Ada empat puluh pesan pendek dan lebih dari lima puluh panggilan tak terjawab masuk ke ponselnya. 

Hosea berpikir, Amara sudah paham saat kemarin ia membatalkan kencan mereka karena akan ada aanwijzing di rumah sakit. 

Melirik jam tangannya, angka sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tak terasa waktu berlalu cepat. Percakapan santai dengan Nora mampu membuatnya lupa waktu. 

Namun, saat membaca pesan terakhir Amara yang tertulis, "Ara tunggu jam berapa pun Mas datang", mau tidak mau Hosea segera meluncur ke Batu.

Langit sudah memendarkan semburat jingga kala mobil Hosea menepi di depan rumah berkonsep smart home. Begitu turun, ia berdecak kagum karena melihat bangunan yang minimalis tapi terkesan mewah dengan latar pegunungan yang indah. Namun, pemandangan itu tak bisa menepis gundahnya karena tahu gadis manja itu bisa jadi akan mengamuk.

Tak ingin larut dalam keterpanaannya, Hosea segera melangkah ke pintu utama lalu menekan bel untuk memberitahu kedatangannya. Beberapa saat kemudian, seorang wanita datang membukakan pintu.

"Mas Hosea?" Wanita berparas tirus dengan rambut sebahu itu tampak ragu menebak.

"I-iya, Tante. Amara ada?" Karena didera oleh rasa bersalah, Hosea sampai lupa untuk memperkenalkan diri.

Livia mendesah sambil memberikan pandangan tajam. "Amara di atas. Kenalkan dulu, Tante, mama kandung Amara."

Hosea semakin canggung saat Livia–lah yang mengulurkan tangan untuknya. Ia hanya bisa menyambut dan memperkenalkan namanya, walau Livia sudah tahu.

"Silakan masuk." Livia memiringkan tubuh untuk memberi jalan bagi tamu yang sedari pagi ditunggu-tunggu.

Hosea hanya mengangguk dan mengikuti Livia duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu membiarkan pintu terbuka hingga udara sejuk dari luar masuk ke rumah.

"Mas, boleh Tante bicara bentar?" Wanita yang berbalut dress floral biru muda itu, duduk dengan punggung tegap dan kaki kanan menumpu di paha kiri. Tangannya bersedekap di depan dada, sementara mata sipit yang diwariskan pada Adrien itu menatapnya tajam.

"Boleh, Tante," jawab Hosea sembari duduk di sofa kulit sapi itu. Jantung lelaki itu berdebar kencang, karena sepertinya ia bisa meramalkan arah pembicaraan.

"Mas, maaf ya, begitu datang malah ngajak bicara serius." Livia mulai membuka suara.

Hosea tersenyum canggung. Entah kenapa ia merasa dihakimi. Ya, memang pantas ia dihakimi karena bermain hati. Ia memang sengaja menawarkan diri mengikuti aanwijzing sehingga membatalkan janjian dengan Amara. Namun, rupanya gadis itu tidak paham dan masih saja berangkat ke Batu.

"Gimana, Tante?" tanya Hosea kemudian.

"Amara … jangan sakiti anak Tante! Kalau memang kamu serius, tolong bahagiakan dia!" Livia mendengkus karena merasa tidak pantas berkata demikian. "Tante hanya nggak pengin gadis manja dan polos itu menangis."

Hosea hanya bisa mengarahkan pandangannya pada meja kaca dengan pot bunga mawar merah imitasi. Sesekali ia melirik bibir Livia yang bergincu merah merah bergerak-gerak.

"Tante, sebenarnya saya sudah membatalkan karena ada pertemuan bisnis." Hosea mendecih dalam hati. Kenapa seolah ia ingin membela diri?

"Lalu kenapa seharian nggak bisa dihubungi?" Dagu Livia bergerak ke atas.

"Hp saya tertinggal di mobil." Walau terdengar seperti pembelaan, hanya itu alasan yang bisa ia berikan.

"Pertemuannya hampir setengah hari? Dari pagi hingga sore?" selidik Livia.

"Ehm, tadi saya bertemu dengan teman," jawab Hosea singkat.

"Teman? Sepenting apakah teman itu sama pacarmu sendiri?" Suara Livia meninggi.

Belum sempat Hosea membuka mulut, suara sengau Amara terdengar. "Ma, cukup!"

Keduanya menoleh memandang gadis bermata sembab yang sedang menuruni tangga. Wajah putihnya terlihat memerah karena terlalu sering diseka dengan tisu.

“Ra?” Hosea bangkit menyongsong Amara.

Mereka bersirobok. Tapi, Amara tidak membalas sapaan laki-laki itu. Gadis itu malah melengos begitu saja.

“Ma, tolong tinggalin kami!” pinta Amara sendu.

Livia hanya bisa mendesah, lantas meninggalkan kedua pemuda pemudi itu tanpa melepaskan pandangan sayu dari putri bungsunya.

Begitu memastikan Livia sudah berada di lantai dua, Amara pun duduk di sofa panjang tempat Livia duduk. Ia mengulurkan tangan untuk memberi isyarat tamunya duduk kembali.

Hosea akhirnya duduk dengan canggung di hadapan Amara yang memberikan tatapan tajam hingga membuat ia semakin dicekik oleh rasa bersalah.

“Gimana pertemuan aanwijzing-nya?” 

Suara sengau Amara seakan meremas paru-paru Hosea. Pertanyaan itu disampaikan dengan nada penuh sindiran. Hosea seolah kehabisan napas, hingga pita suaranya tak bisa menggetarkan kata.

Namun, melihat Amara menunggu jawabannya, Hosea membuka mulut. “Lan-lancar.”

Sungguh, Hosea merasa terintimidasi dengan air mata yang kini menetes di pipi Amara seolah menenggelamkannya dalam lautan rasa bersalah. Buru-buru ia berdeham, untuk melancarkan tenggorokannya yang terasa tersekat. “Ra, aku ….”

“Eh, Mas Hose udah maem belum? Ara masak rawon loh. Ara panasi dulu ya.” Amara memotong ucapan Hosea begitu saja, lalu bangkit berdiri dan bergegas ke dapur.

Hosea mendesah panjang. Matanya mengikuti arah punggung Amara yang menjauh. Diamnya Amara membuatnya serba salah. Yang bisa dilakukan Hosea sekarang hanya duduk di ruang tamu sembari menunggu Amara.

Beberapa menit kemudian, Amara kembali dengan senyum yang seolah ingin mencabik-cabik Hosea. Ekspresi gadis itu justru sangat menakutkan dibandingkan monster yang pernah dia takuti sewaktu kecil.

“Ayo, Mas, kita makan. Ara belum maem nih.” Amara mengelus perut langsingnya.

Senyum tipis Hosea membalas ajakan Amara. Ia pun lantas berdiri dan mengikuti gadis itu ke ruang makan. 

“Silakan duduk, Mas.” Kembali Amara tersenyum.

Titah Amara pun dilakukan oleh Hosea, layaknya robot yang menuruti instruksi gadis itu. 

Tak ada percakapan renyah sesudahnya. Hanya suara denting gelas dan piring serta sendok yang memeriahkan kecanggungan dan kebekuan antara mereka.

“Segini nasinya?” Amara menunjukkan nasi putih yang ada di piring keramik warna putih.

Hosea mengangguk, tak berani mengeluh. Ia sudah kenyang dengan rasa bersalah. Lagi pula nafsu makannya sekarang tak ada karena perutnya terisi dengan capcay saat makan siang bersama Nora. 

Aroma rawon yang kaya rempah menguar di seluruh ruang begitu tutup panci bening dibuka oleh Amara. “Wah, baunya sedep banget, Ra! Pasti enak.”

Amara tersenyum miring. “Ara taruh di mangkuk lain ya?”

Gadis itu dengan cekatan mengambil mangkuk yang sudah dia sediakan dan menyeduh kuah panas rawon serta potongan daging. Kecambah pendek dia taruh di sisi nasi dengan sambal dan potongan telur asin yang masir.

Mata Hosea melebar saat Amara menyuguhkan semangkuk rawon dengan sepiring nasi. Lelaki itu lalu mengambil sendok setelah sang tuan rumah mempersilakan. 

“Enak, Ra. Persis rasa masakan mamiku," puji Hosea tulus. Senyum lelaki itu mengembang sambil rahangnya bergerak naik turun untuk mengunyah daging yang begitu lembut dan kaya rasa.

“Makasih.” Amara menyibak anak rambutnya ke belakang telinga. Pipinya merona mendengar pujian Hosea. Sendok yang baru saja masuk di mulut itu, gadis itu gigit sambil memberikan lirikan pada kekasihnya..

Hosea mendengkus. Sepertinya pujian lelaki itu sudah bisa membuat rona bahagia tertoreh di wajah Amara. Sambil melahap makanan yang ada di hadapannya, dia mengerling gadis yang juga ikut makan bersamanya. Namun, sesuatu di lengan Amara menjadi pusat perhatiannya. Sebuah garis merah yang meradang tertoreh di lengan putih Amara.

“Ra, tanganmu kenapa?” tanya Hosea dengan kernyitan di dahi.

“Oh, ini?” Amara mengangkat lalu memutar lengannya. "Tadi kena tutup panci panas karena buru-buru mau berangkat."

Tangan Hosea yang hendak mengangkat sendok terhenti geraknya. Ia menggigit bibir sambil menatap Amara dengan sendu.

"Ra, maaf. Aku … kupikir …." Hosea menjadi gagu. Ia seolah kehabisan kata-kata yang tepat.

Amara menatap nanar lengannya, kemudian beralih memandang Hosea. "Demi Mas, Ara rela. Asal Mas bisa sama Ara."

"Ra …." Perkataan Amara justru menyesakkan dadanya. Hosea gelagapan dan ekspresinya bisa ditangkap oleh Amara.

"Kenapa?" Kerlingan sengit Amara seolah ingin menusuk mata Hosea. "Kenapa Mas ngasih ekspresi tertekan? Apa Mas nggak pengin sama Ara?"

"Bu-bu-bukan begitu, Ra." Hosea mulai frustasi menghadapi gadis dewasa yang jiwanya seperti anak-anak.

Sesaat kemudian, dentingan sendok yang dibanting kasar oleh Amara di sisi kanan piringnya, membuat benda di sekitarnya bergetar. Bahkan air di gelas minumnya bergolak seiring darah Amara yang menggelegak.

"Mas Hose, jahat!" desis Amara dengan tatapan bengis.

"Jahat apanya to, Ra?" Rasanya Hosea ingin menangis, karena susah memahami Amara.

"Mas tahu kan kita ada kencanan hari Jumat ini? Kenapa harus Mas yang pergi aanwijzing? Di antara semua karyawan di perusahaan, kenapa harus Mas yang pergi?" Suara Amara meningkat satu oktaf. Wajahnya terlihat memerah dan urat lehernya menonjol saat seruan hati yang terpendam itu terlontar.

"Ra, kamu harus ngerti—"

"Ara berusaha ngerti! Ara berusaha menutup mata kalau Mas emang dari awal kaya kepaksa." Amara menunduk untuk menyembunyikan mimik sendu. Suaranya perlahan terdengar lirih. "Ara pikir … Ara bisa membuat Mas jatuh cinta."

"Ra …." Suara Hosea kini ikut bergetar karena kebingungan mendapati tangisan Amara yang mulai pecah.

"Mas, Ara tanya sekarang. Apa Mas mencintai Ara?" 

Pertanyaan itu sukses membuat jakunnya naik turun. Wajahnya terasa panas saat otaknya berusaha mencari jawaban yang pas.

"Jawab!!" pekik Amara hingga mengagetkan semua penghuni rumah.

"Maaf. Aku …."

"Aaaarrrggghhh!!!" Tangan Amara pun meraih gelas dan menyemburkan isinya pada wajah Hosea.

"Ara!" Hosea gelagapan. Dia tidak pernah diperlakukan seperti ini bahkan oleh Lyla sekali pun. 

Lelaki itu bangkit, sambil menatap Amara yang sesenggukan. "Sepertinya kamu butuh ketenangan, Ra. Aku nggak nyangka kamu terlalu kekanak-kanakan."

Derik bangku yang didorong ke belakang terdengar memekakkan telinga saat Hosea akan pergi dari tempat itu.

"Mas Hosea, Ara sayang banget sama Mas." Amara menelan ludahnya dengan susah payah seolah hendak menelan rasa perih di batinnya. Tangan yang bergetar itu mengepal sambil mendongakkan wajah yang bersimbah air mata.

Suara Amara itu terdengar serak. Tak ada tawa renyah dan senyum semringah menghiasi wajah. 

"Amara, kita … kita harus hentikan perjodohan kita." Hosea tak mau memandang mata sendu itu. Namun, akhirnya ia sudah memutuskan menyudahi semuanya karena tak ingin mendatangkan luka bagi Amara.

"Maaf!" Hosea pun akhirnya berlalu dari hadapan Amara. Meninggalkan Amara yang menggigit bibir untuk menahan sedu sedan kesedihan bersama uap rawon yang seolah menguapkan pula rasa percayanya pada cinta.

Gadis itu hanya bisa termangu. Kepergian Hosea menyisakan telah menorehkan luka. Tawa dan canda Amara tak lagi terdengar. Setelah menyuruh pembantu rumah tangga untuk memberikan rawon yang masih tersisa pada satpam, Amara naik ke atas dan berpamitan pulang ke Surabaya.

Malang dan sekitarnya selalu mengingatkan kemalangan hidup Amara. Mulai ditinggal pergi sang papa karena sibuk bekerja untuk mengatasi ekonomi keluarga, hingga ia harus melihat mamanya yang melayani laki-laki lain demi ia dan Adrien bisa makan satu bulan. Dan kini kota Batu telah membuat hatinya membatu dan tak mampu lagi merasakan cinta.

***

Pukul sepuluh, Amara baru saja sampai di rumah. Saat gadis itu memasuki ruang tengah, Adrien masih ada di rumah bermain dengan Nico. Beberapa hari ini memang ia tinggal di Surabaya untuk belajar tentang perhotelan.

Saat akan menyapa adiknya  Adrien justru melihat wajah Amara yang kusut dan mata yang sembab. Ia pun segera meletakkan stik PS–nya dan menghampiri Amara.

"Ara, kamu kenapa?" tanya Adrien sambil memperhatikan raut adiknya dengan saksama.

"Kak …." Amara menghamburkan badan langsingnya ke tubuh kekar sang kakak.

"Kenapa, Ra?" Adrien mengelus punggung bergetar Amara. Lelaki itu merasakan dadanya terasa basah.

Pertanyaan Adrien hanya dijawab oleh isakan teredam Amara. 

Setelah beberapa saat membiarkan adiknya meluapkan tangis, Adrien mengurai pelukan Amara, lalu membungkukkan sedikit badan sambil menatap wajah sang adik.

"Ada ada, Ra?" Kedua alis Adrien terangkat. Kedua tangan Adrien memegang bahu Ara.

Amara menyeka wajahnya seraya tersenyum. "Ara mutusin Mas Hosea. Ara nggak mau dijodohin."

Alis Adrien mengerut. "Ra, kamu diputusin?"

Amara menggeleng berulang. "Kak, Ara yang mutusin. Akhirnya Ara lega nggak was-was lagi." Gadis itu melepas kungkungan lengan Adrien, lalu masuk ke kamarnya. Namun, saat Amara berada di ambang pintu, ia berbalik. "Kak, moga-moga pengorbanan Kakak buat Kak Nora nggak berakhir sad ending kek Ara, ya."

Adrien mengernyit. Ia merasakan sesuatu telah terjadi. Membayangkan Hosea telah menyakiti adiknya, seketika darah Adrien mendidih. Ia mengeratkan rahang, dengan kepalan tangan yang kuat hingga buku jarinya memucat. Gumaman lirih terdengar, walau bibirnya tak bergerak. "Hosea, lihat saja besok! Aku nggak akan melepasmu karena udah nyakitin Amara!"

💕Dee_ane💕

Hosea laki-laki bebas nggak bisa dikekang🥲 Pernah nemu makhluk berbatang kek gini nggak sih?

Jangkrik, aku kurang opo jal?

Siap-siap hadapi aku, Hos! Matek umak di tanganku!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro