☘27. Rawon Cinta☘
Hallo, Dee hadir lagi bawa kisah Adrien, Nora, dan Hosea. Jangan lupa vote n komen ya😉
💕💕💕
Pagi ini, Amara bangun lebih pagi. Pekerjaan asisten rumah tangga mereka untuk memasak, digantikannya karena ingin membawakan rawon untuk Hosea. Sedari subuh ia sudah berbelanja ke pasar Keputran untuk membeli daging yang terbaik beserta rempah-rempah segar.
Bersama Rani--sang mama tiri-- gadis blasteran Perancis-Tionghoa yang sangat mencintai makanan Indonesia itu memilih sendiri keluak yang akan dipakai sebagai salah satu bumbu dalam rawonnya. Amara mengambil salah satu keluak dari tampah yang ada di depan sebuah stan yang menjual aneka bumbu dapur langganan Rani sejak ia masih menjadi chef di hotel yang dipimpin oleh Antoinne.
Dengan penuh perhatian, Amara mendekatkan biji keluak itu ke telinganya dan mengocoknya. "Ma, ini keluaknya bagus nggak?"
Amara masih belum mahir membedakan kualitas keluak. Padahal, menurut Rani yang ahli memasak, kualitas bahan pewarna hitam alami ini juga menentukan rasa rawon.
Rani akhirnya mengambil alih biji bercangkang itu dan dengan memejamkan matanya, dia mendengarkan suara isi di dalam kulit keras itu. Biji pilihan Amara satu per satu ia periksa sambil mengangguk puas karena gadis itu cepat sekali belajar.
"Wah, kamu sudah ahli memilih keluak sekarang. Semua keluak yang kamu ambil menghasilkan bunyi yang tidak keras dan lembut. Memilih keluak mirip seperti menghadapi cinta. Walau luarnya keras, kamu harus bisa merasakan kedalaman hatinya." Rani tersenyum manis memandang anak tirinya yang tinggi menjulang. Sangat berbeda dengannya yang cenderung pendek seperti orang Jawa pada umumnya.
"Ih, kok ujung-ujungnya itu?" Pipi Amara memerah. Ia menyibak anak rambut ke belakang telinga. Gadis itu memang sangat dekat dengan Rani sejak masih anak-anak karena ia sangat menyukai dunia masak memasak sehingga sering kali bermain ke dapur restoran hotel saat ikut papanya bekerja.
Rani terkekeh. "Kamu udah besar sekarang, Ra. Nggak nyangka gadis cengeng itu jatuh cinta."
Amara menggerakkan badan ke kanan dan ke kiri. Tingkahnya persis anak-anak yang terkungkung badan yang sudah dewasa. Hanya saat memasak, kharisma kedewasaan Amara menguar. "Ara pengin dapat cowok yang baik, Ma. Kaya Kak Adrien yang mau berkorban demi Kak Nora."
Rani hanya menggelengkan kepala saat mendengar cerita putri tirinya. Wanita itu lalu mengambil satu biji keluak dan menunjukkan pada Amara.
"Ara, lihat biji keluak ini."
Ara mengamati biji keluak yang berkeriput di telapak tangan kanan Rani.
"Kalau bijinya kering dan keriput begini, biasanya keluak ini udah lama kesimpen." Rani kembali memberi tips. "Mama heran kenapa kamu memilih rawon. Memasak menu ini perlu perjuangan karena begitu membuka kamu harus cicipi dulu rasa keluaknya sehingga nggak ada bagian yang pahit masuk dalam masakan. Mama jadi mikir, kamu ini kaya ngetes Hosea. Sekarang kamu sudah memutuskan membuka hati, walau tahu ada resiko bahwa sebuah hubungan ada kepahitan. Dan, hari ini kamu seolah pengin nyicipin kesungguhan hati Hosea."
Amara mendesah dengan bibir manyun. "Mama, ih. Selalu deh, menghubungkan yang nggak berhubungan."
Rani tergelak. Ia meminta plastik bening pada penjualnya dan memasukkan keluak ke plastik untuk ditotal harganya bersama belanjaan bumbu yang lain.
Sambil menepuk kedua telapaknya, ia menatap Amara. "Ara, apapun yang terjadi dalam hidup, jangan lupa untuk memilih bahagia. Kepahitan itu bakal selalu mengiringi hidup kita, tapi kita harus pintar memilih agar menjadi bahagia. Seperti milih bagian keluak yang dipakai memasak. Kalau kamu biarkan, bisa jadi kepahitan itu akan mencemari hidupmu." Rani mendesah panjang. "Mama bener-bener nggak pengin keceriaan anak Mama hilang."
"Iya, Ma. Pasti. Apalagi Mas Hosea juga baik sama Ara. Ara jadi nggak ragu buat membuka hati."
Keputusan Amara sudah bulat. Ia yakin bisa mengambil hati Hosea. Amara ingin menyajikan makanan yang ia olah dengan segenap hati, mulai dari pemilihan bahan, meracik, dan mengolah rawon dengan segenap hati serta perasaannya.
Seperti kata mama tirinya, "Perut kenyang, hati riang, cinta pun datang."
***
Amara sudah sampai ke Batu sebelum pukul 10. Ia senang sekali bisa bertemu mama kandungnya, walau hanya sebulan sekali. Lepas apa yang terjadi pada orang tuanya, hanya Amara yang menerima Livia sejak awal. Sedang Florence tidak terlalu peduli karena memilih tinggal di Perancis, dan Adrien lebih memilih memusuhi wanita itu.
Begitu sampai di rumah Florence, Amara langsung ke dapur untuk memberi instruksi asisten rumah tangga di rumah itu agar memanaskan rawon bila nanti mereka akan makan.
Setelah meyakinkan semua beres, gadis itu pun bergabung di ruang santai lantai dua sambil bermain-main dengan keponakan kecilnya.
Namun, saat azan salat Jumat berkumandang, Hosea belum juga datang. Padahal waktu sudah hampir tengah hari. Beberapa kali pula ART Florence bertanya apakah sudah boleh memanaskan rawon buatan Amara untuk makan siang.
"Bentar, ya, Yu'. Saya telepon tamunya dulu," jawab Amara untuk ketiga kalinya saat pembantu rumah itu bertanya.
Amara bangkit dan berjalan menghampiri tas yang tergeletak di atas meja sudut ruangan lantai dua. Sedangkan Livia mengikuti gerak-gerik putrinya yang gelisah.
Begitu mendapatkan gawainya, Amara segera mencari kontak Hosea, dan menghubunginya. Namun, sampai nada hubung terakhir terputus, gadis itu tidak juga mendengar suara Hosea.
Melihat kernyitan di dahi Amara, Livia membuka mulut.
"Ada apa, Nik?" Livia memang memanggil anak-anak perempuannya dengan sebutan 'Nonik'.
"Ara nggak bisa hubungin Mas Hosea." Ara menggigit bibirnya.
"Mungkin lagi di jalan. Kita tunggu aja. Apa kita makan dulu?" tanya Livia mencoba menghibur putrinya.
Amara menggeleng. "Ara maemnya nunggu Mas Hose."
Livia mengembuskan napas sambil menatap wajah gundah Ara yang berjalan mendekat ke sampingnya. Ini kali pertama Amara mengenalkan seorang laki-laki pada Livia. Dalam hati ia cemas karena takut Hosea akan mengecewakan putrinya karena sampai dua jam lebih lelaki itu tak kunjung ada kabar.
"Kamu suka banget sama Hosea, Nik?" Livia meraih tangan Amara yang kini berdiri di depannya.
Pipi Amara bersemu merah. Ia menjawab dengan kuluman senyum karena merasa kikuk membicarakan masalah hati dengan mama kandungnya.
Livia melipat bibir seiring dengan otaknya yang menyimpulkan apa yang dirasakan Amara.
"Ayo, cerita ke Mama." Livia menangkup tangan kanan Amara dan memandang anak gadisnya.
Amara mengerucutkan bibir. Bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri seolah memastikan tidak ada orang lain di situ selain mereka.
"Ehm ...." Suara Amara mulai terdengar. "Nggak cuma suka, tapi Amara kayaknya udah jatuh cinta."
Wajah malu-malu Amara meyakinkan bahwa perasaan tulus itu begitu besar. Livia hanya tersenyum sendu, berharap cinta anak bungsunya bisa berakhir bahagia.
Tidak seperti dirinya ....
***
Menjelang sore, Hosea tak kunjung datang. Amara yang sedari tadi hilir mudik di sepanjang ruang tamu, bahkan sesekali keluar sambil menatap arah jalan masuk itu mulai tak nyaman. Ia mengamati gawai yang sedari tadi digenggamnya.
Layar ponsel itu masih saja gelap. Tak ada balasan dari Hosea baik pesan maupun panggilan. Amara menggigit sudut bibir kanannya sambil berpikir apakah perlu ia menghubungi Jericho.
Tanpa pikir panjang lagi ia mencari nomor papi Hosea dan tak waktu lama pendengarannya menangkap suara Jericho.
"Hallo, Om," sapa Amara sopan setelah mendengar suara Jericho.
"Ada apa, Ra?"
Sambil menghirup napas panjang, Amara bertanya pada Jericho. "Ehm ... Mas Hosea ada sama Om?"
"Nggak ada di kantor, Ra. Dia ke rumah sakit untuk ikut aanwijzing? Gimana?"
Amara menggigit kuku telunjuknya yang panjang dan terawatm Perasaannya mulai kalut. "Nggak pa-pa sih, Om. Kami janjian mau ketemu di Batu. Tapi kok belum sampai di sini padahal janjiannya pagi. Ara telepon juga nggak bisa."
"Hosea tadi pagi berangkat ke rumah sakit dan nggak bilang apa-apa sih. Biasanya emang hp-nya digetar atau dimatiin kalau ada pertemuan sama calon klien. Atau mungkin dia lagi di jalan."
Mata Amara berbinar. Rona yang redup kembali cerah mendengar kalimat terakhir Jericho. "Baik, Om. Akan Ara tunggu."
Amara mendesah. Ia mendongak melihat langit yang sudah berkurang teriknya, karena matahari sudah condong ke barat.
"Ara!"
Panggilan itu menyentak kesadarannya. Amara pun menoleh, memandang sang mama.
"Makan dulu gih," ajak Livia yang hatinya ikut nyeri saat melihat Amara menanti Hosea tanpa kepastian.
"Ara nungguin Mas-"
Namun, belum selesai Amara berkata, Livia segera memotong. "Hosea nggak datang, Ra. Sudah, cukup. Jangan tunggu dia."
"Ma! Kok Mama bisa bilang gitu?" Mata Ara yang membeliak mulai berkaca-kaca. Saat asanya mengembang, tapi Livia mengempaskan.
"Kalau laki-laki sudah terlambat tiga jam lebih tanpa berita, dia pasti akan mencari-cari alasan. Apa pun alasannya ke depannya akan menyakitkan!" Suara Livia meninggi. "Seperti dulu Mama nunggu Papa! Satu jam Mama menunggu ... dua jam Mama menanti hingga berganti hari. Padahal kalian kelaparan dan kamu sakit, sampai akhirnya Mama harus menju-"
Livia menutup telinganya. Wajahnya memerah. Pipinya sudah bersimbah air mata. "Ma! Cukup! Jangan ingatkan lagi! Tak hanya Papa yang beralasan membenarkan tindakannya, tapi Mama yang juga beralasan untuk membenarkan kelakuan Mama yang bejat! Kalau hanya sekali Ara bisa paham. Tapi Mama melakukannya berkali-kali. Jangan kira Ara masih anak kecil, Ma! Ara tahu segalanya. Tapi selama ini diam, karena Ara memendam. Nggak pengin Mama dan Papa pisah!"
Amara berlari masuk ke rumah. Suara hentakan kaki yang beradu dengan lantai menggaung di seluruh ruangan. Ya, selama ini Amara paham apa yang terjadi. Semua dimulai dari sang Papa yang pailit berusaha merintis kembali usahanya sehingga melalaikan keluarganya. Hingga suatu waktu, ia sakit dan mereka tak ada sepeser pun uang, yang membuat Livia berbuat nekat menjajakan tubuhnya pada seorang pengusaha yang juga adalah sahabat lama yang mencintai Livia. Amara masih ingat saat ia terbangun dan mendapati Livia merintih dan mendesah. Waktu itu ia tak paham dan mengira mamanya kesakitan. Ia masuk begitu saja ke dalam kamar dan mata polosnya tercemar saat mendapati seorang laki-laki berlaku layaknya bayi yang bermanja di dada mamanya.
"Ara, Ara harus menyimpan baik-baik apa yang Ara lihat. Pendam semua dalam hati demi keluarga kita. Oke?" pesan Livia pada Amara kecil.
Sejak saat itu ia ahli memendam apa yang ia lihat, dengar dan rasakan. Ia menyimpan semua kemudian ia membungkusnya dengan sikap ceria dan manja. Seperti sekarang, ia pun mampu melihat, dan merasakan sikap Hosea yang terkesan terpaksa. Baru kali ini ia jatuh cinta. Baru kali ini ia berani menapak. Namun, ternyata apa yang ia lakukan itu seperti memaksakan bagian keluak yang pahit untuk diolah. Apakah keputusannya untuk mempertahankan Hosea justru membawa kepahitan di hatinya?
💕Dee_ane💕
Keluak aja dihubung-hubungin sama cinta ya?
Dasar othornya lagi ngidam rawon🙈
Udah tinggal jejak cinta belum? Huhuhu semalam update tapi nggak dapat komen sama sekali🤧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro