☘26. Lelang Hati☘
Hai, Hosea, Adrien, dan Nora datang lagi. Jangan lupa ramaikan😉
💕💕💕
Hosea hanya membisu mendengar pinta sang papi. Sebenarnya ia ingin menolak. Tetapi, melihat kegalauan sang papi ia memilih diam saat itu.
Setidaknya Hosea ingin mencoba lagi. Sekali lagi ….
"Oh, ya, kemarin Papi ketemu sama pejabat pengadaan rumah sakit Lovelette. Mereka menyukai pekerjaan kita tahun lalu. Pak Hengki ngasih tahu kalau ada pengumuman tender di website LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) untuk pengerjaan gerbang utara dan beberapa pemeliharaan gedung. Tapi, sepertinya kita nggak usah daftar dulu, karena modal awal kita nggak mencukupi." Jericho mendesah.
Hosea mengerutkan alis sambil mengelus dagu berbulu tipis. Entah kenapa hanya mendengar Rumah Sakit Lovelette saja, lelaki itu langsung teringat Nora.
"Ambil aja, Pi," jawab Hosea tiba-tiba.
"Kamu suruh lepas Livian, tapi malah suruh ambil Lovelette. Piye to? Lagian hari ini hari terakhir pendaftarannya." Jericho mendengkus.
"Pi, kupikir lebih baik menjadi rekanan pihak pemerintah. Walau bayarnya lama, tapi kan pasti dibayar. Papi sih tergiur sama proyek mall itu," kilah Hosea.
Jericho mengangguk saja. "Papi pasrah. Penerus perusahaan ini ya kamu, Hose. Heran Papi kamu malah milih jadi staf desain. Padahal kamu bisa membawa kemajuan buat perusahaan ini. Papi pesen, usahakan yang terbaik untuk proyek Livian."
Hosea hanya bisa mendesah setelah sang papi keluar dari ruangannya. Melihat punggung yang melengkung itu, Hosea paham kalau papinya semakin menua. Sudah banyak waktu yang ia habiskan untuk membenci lelaki itu dalam separuh hidupnya.
Sambil mengusap bekas luka di area matanya, Hosea berpikir bahwa apa yang ia peroleh sekarang karena kualat pada orang tua. Hosea mendengkus, menyadari pikirannya. Ia akhirnya percaya kata orang zaman dulu bahwa anak yang melawan orang tua itu akan ku-a-lat. Ya, Hosea telah melakukan kesalahan, dan sekarang, waktunya ia menebus dosa.
Memang selama ini dia tidak pernah mau menduduki posisi general manager di perusahaan itu. Hosea hanya tahu mendesain dan tidak ambil pusing dengan keputusan perusahaan. Beberapa kali, masukannya tidak diindahkan saat rapat, maka dia memilih lepas tangan. Toh, ada general manager yang tak lain adalah sepupunya yang menghandel. Namun, melihat kegundahan sang papi, mau tidak mau ia harus turun tangan.
Mengambil gagang telepon, Hosea akhirnya menekan tombol angka tiga untuk menghubungi manajer keuangan dan produksi. Begitu sambungan diterima, Hosea meminta untuk menghadap agar bisa melihat lebih jauh kondisi keuangan perusahaan dan perencanaan proyek yang telah diterima. Ya, siapa yang berani menolak panggilan anak pendiri perusahaan walau statusnya di perusahaan itu hanyalah staf divisi desain. Oleh karena itu, ajakan Hosea disetujui begitu saja oleh mereka.
Sambil menunggu rekan kerjanya, Hosea melanjutkan membuat desain sebuah rumah yang diminta oleh seorang klien perorangan. Bagi Hosea, mendesain rumah adalah kesenangan tersendiri, di mana lelaki itu selalu merindukan rumah yang homey.
Prinsipnya dalam mendesain adalah "Not just a house, but a home". Hosea sangat ingin menyuguhkan sebuah bangunan dimana penghuninya bisa memulai cerita bahagia mereka yang dipenuhi cinta dan harapan. Tentu nilai yang ia dapat dari mendesain sampai mendirikan bangunan itu tidak sebanding dengan mega proyek papinya. Tapi, terselip kepuasan di hati arsitek itu melihat senyuman bahagia kliennya saat masuk untuk pertama kali di dalam rumah yang nyaman.
Beberapa menit setelah tangannya kembali sibuk menarikan kursor, gawai Hosea bergetar. Ia melirik ke arah ponselnya yang memperlihatkan fotonya bersama Amara saat kencan ganda di Batu minggu lalu.
Walau diselimuti keengganan, dengan terpaksa Hosea menerima panggilan Amara hingga suara renyah gadis itu menabuh gendang telinganya.
"Bonjour, Mas Hose."
"Hallo, Amara," jawab Hosea malas. Matanya masih terpaku pada model atap yang sedang ia desain.
"Kok pesan Ara nggak dibales?"
Wajah protes itu sudah bisa dibayangkan oleh Hosea. "Aku sibuk."
Hosea kini menjepit gawai di antara daun telinga dan bahu kiri. Tangan yang tadinya menggenggam gawai kini ikut bergerak lincah di atas keyboard.
Dengkusan Amara terdengar keras. "Sibuk apa?"
"Ya … aku kan bekerja di perusahaan Papi. Lagian aku harus mempersiapkan project resort." Hosea mendesah. Kenapa Amara berpikir dia hanya bersenang-senang? Dulu memang benar ia suka bersenang-senang. Hari Senin bukannya bekerja justru ia masih baru mau turun gunung. Tapi kini, hari Senin adalah hari tersibuk di antara segala hari karena pekerjaan kantor begitu banyak.
"Jangan lupa makan, Darling." Amara terkikik.
Kuduk Hosea berdiri. Panggilan "Darling Cherrie" ini dipakai oleh pasangan Nora–Adrien, dan Hosea risih mendengarnya.
"Jangan panggil aku seperti itu."
"Trus apa dong?" Suara manja itu terdengar lagi.
"Kanda?" jawab Hosea asal.
Amara tergelak. Entah apa lucunya sehingga gadis itu bisa tertawa sekencang itu. Lagi-lagi Hosea mendesah. Pantas Adrien begitu melindungi adiknya karena anak itu terlewat polos.
"Mas, hari Jumat Ara mau ke Batu, tempat Kak Florence. Ara mau kenalin sama Mama," ujar Amara begitu sudah bisa mengendalikan tawanya.
"Aku udah kenalan sama mamamu kemarin."
Amara terkikik lagi. "Itu mama tiri Ara, Kanda Sayangnya Ara."
Hosea langsung merasa mual begitu mendengar kata sapaan Amara. "Ra, biasa aja napa? Geli dengernya."
"Siapa tadi yang nyuruh manggil 'Kanda'?"
"Iya, ya." Hosea menyesal karena melontarkan jawaban asal. "Besok Jumat jam berapa?"
"Jam sepuluh, ya?"
"Oke."
Hosea mengembuskan napas panjang bertepatan drngan masuknya seorang lelaki berusia 40 tahun beserta manager produksi yang tak lain adalah teman kuliahnya. Begitu mereka sudah berkumpul maka Hosea pun memulai diskusi.
Baru kali ini Hosea mendengarkan dengan saksama manajer keuangan memaparkan status keuangan perusahaan. Sedang dari manajer produksi, Hosea mendapat informasi proyek yang sedang dikerjakan atau yang akan dieksekusi. Semua informasi itu mereka olah untuk melihat jumlah perputaran uang perusahaan. Yang jelas, keputusan untuk mendaftar tender Rumah Sakit Lovelette tergantung pada pertemuan itu, dan Hosea ingin perusahaannya bisa memenangkan tender di rumah sakit besar di kota Malang itu.
Semua ia lalukan agar bisa bertemu wanita yang suaranya mirip sang ibu ….
Dengan semangat empat lima, setelah mengetahui kondisi keuangan perusahaan, Hosea memberitahu Jericho bahwa mereka bisa mendaftar lelang proyek rumah sakit tipe A itu. Bahkan Abram, sepupunya, yang menduduki posisi GM pun menyetujui.
"Kalian yakin?" tanya Jericho pada dua anak muda itu.
"Iya, Pi. Kata Pak John, beberapa utang klien lain yang belum terbayarkan akan jatuh tempo minggu ini. Kalau dihitung, masih bisa digunakan untuk proyek resort," terang Hosea.
"Iya, Om. Lagian kan proses pengadaan Lovelette masih lama. Setahu saya pembayaran dari pemda Blitar akan dilakukan selambat-lambatnya akhir bulan ini," tambah Abram.
Jericho tersenyum bangga melihat dua pemuda yang ada di hadapannya. Terlebih ia tidak menyangka Hosea bisa berpikir lebih jernih. "Papi nggak usah khawatir soal proyek mall yang mandeg itu. Perusahaan kita belum pailit."
***
Hari Jumat ini, pasien bagian mata di Rumah Sakit Lovelette tidak terlalu banyak. Setelah memberikan rujukan internal ke poli gigi pada pasien yang mengeluhkan pandangan kabur, Nora mencuci tangannya.
"Mbak, habis ini makan yuk?" Perut Nora terasa keroncongan karena ia tidak sempat sarapan. "Laper nih."
Bibir Siska urung terbuka saat akan menjawab pertanyaan Nora karena melihat sosok lelaki yang menjadi pasien dokternya beberapa saat lalu. Ia mengecek kembali e-rekam medis, untuk memastikan tidak ada pasien yang terlewat.
Namun, saat mengetahui gerak bibir Hosea dengan tangan yang menunjuk Nora, ia pun mengerti bahwa lelaki itu bukan pasien sang dokter mata.
"Dok, ada yang nyari." Siska kembali membereskan meja anamnesa sambil tersenyum simpul.
Nora menoleh ke belakang dan seketika membeliak saat mendapati wajah Hosea yang tersenyum di ambang pintu.
"Hose?" Alis Nora mengernyit seraya memberikan senyum canggung. Ia menarik paper towel untuk mengeringkan tangan lalu memutar kran, dan membuang tisu itu di tempat sampah berplastik kuning.
"Hallo, Dokterku? Apa kabar?" sapa Hosea yang disambut kikikan Siska.
"Ba-baik." Nora melirik tajam Siska dengan ekspresi tak senang dengan reaksinya. "Perasaan pasiennya udah habis ya?"
"Ih, Mas Hosea kan mau njenguk dokter kesayangannya," goda Siska yang dijawab dengan geraman Nora. "Iya, kan, Mas?"
"Iya. Kebetulan aku kesini dapat undangan aanwijzing dari panitia pengadaan. Dua hari lalu perusahaan kami diumumkan lolos tahap prakualifikasi," terang Hosea.
"Ah, begitu. Berarti salah alamat dong. Ruang manajemen ada di gedung C lantai 4. Ini gedung D lantai 4." Nora berusaha bersikap biasa.
"Udah kok pagi tadi aanwijzing–nya. Makan yuk?" ajak Hosea.
"Makasih. Aku belum lapar."
Hosea mengulum senyum. "Ck, tadi katanya lapar trus ngajak makan Mbak Siska."
Nora meringis. Hosea ternyata mendengar pembicaraannya.
Belum sempat Nora mencari alasan penolakan lain, Hosea sudah meraih begitu saja pergelangan tangan kanan Nora. "Ayo! Aku juga pas lapar nih."
Dokter mata itu terkesiap dan mengikuti tarikan Hosea begitu saja. Otaknya ingin menolak, tapi entah kenapa mulutnya enggan berkata 'tidak'.
Ini hanya makan siang biasa, Nora. Tidak lebih.
💕Dee_ane💕💕
Nb :
Aanwijzing adalah suatu kegiatan pertemuan antara pemilik tender dengan seluruh peserta tender yang lolos dalam seleksi tender. Tujuannya adalah untuk membicarakan tentang pekerjaan atau proyek yang dilelangkan sebelumnya secara detail dan rinci. Ini dilakukan untuk memperjelas ruang lingkup paket pengadaan serta beberapa syarat dan ketentuan yang telah tercatat dalam dokumen pemilihan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro