Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

☘15. Mama Adrien☘

Hari itu Nora dan Adrien sepakat akan pergi ke Batu, untuk mengunjungi Florence, kakak Adrien yang baru melahirkan sebulan lalu. Selama perjalanan, tidak ada percakapan antara Nora dan Adrien. Mereka bungkam dengan pikiran masing-masing. Di dalam kabin, sesekali hanya terdengar dehaman di sela lagu-lagu yang diputar dari media player.

Sementara itu, Nora tidak bisa duduk dengan tenang. Ia memalingkan wajah, memilih memandang ke arah luar jendela mobil. Namun, tetap saja, pikirannya memutar kembali ucapan Adrien beberapa waktu lalu, juga respon tubuhnya saat ia memeriksa mata Hosea.

Perjalanan yang hanya ditempuh dalam waktu satu jam itu terasa panjang dan menyesakkan. Adrien yang biasanya suka memberikan gurauan, hanya diam mengarahkan pandangan ke arah lalu lintas yang ramai lancar dengan siku lengan kanannya bertumpu di pintu mobil.

Mereka akhirnya masuk di sebuah kawasan hunian mewah di Kota Batu. Setelah melewati pos jaga, mobil menyusuri jalanan lebar dengan deretan rumah tanpa pagar di kanan dan kirinya.

Setelah memutar kemudi ke kanan untuk menepikan mobil di depan sebuah rumah mewah dengan taman depan yang ditumbuhi rumput Jepang yang subur, Adrien mematikan mesin mobil.

Mengetahui mobil sudah terparkir sempurna, Nora pun segera membuka pintu dan keluar dari kendaraan. Seketika gadis itu merasa lega karena terbebas dari kecanggungan yang mencekik pernapasan selama satu jam perjalanan. Ia masih berdiri di sisi mobil sambil mengedarkan pandangan ke sekitar kawasan perumahan eksklusif itu.

Decakan kagum menguar dari mulut mungil Nora saat mendapati perumahan itu dikelilingi oleh pegunungan kota Batu yang hijau. Hawa yang sejuk dan udara yang bersih benar-benar menenangkan batin, dan bisa memperbaiki mood Nora.

"Darling, bagus banget huniannya! Pemandangan gunungnya asri!" komentar Nora dengan mata berbinar. Itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan setelah mereka meninggalkan rumah sakit.

Adrien yang keluar belakangan hanya tersenyum. Ia melepas sunglassesnya, untuk menikmati pemandangan alam pegunungan hijau di sekelilingnya. Namun, sesudahnya ia menatap Nora.

"Ada gunung yang lebih aku suka daki!" sahut Adrien sambil menghampiri Nora.

"Heh, sejak kapan kamu suka mendaki gunung?"

"Sejak sama kamu. Aku kan suka mendaki gunung kembarmu," kata Adrien sambil meringis.

Tentu saja setelah itu Adrien mendapat tepukan keras dari Nora. "Ish, dasar piktor! Keknya perlu detergen biar otaknya bersih!"

Adrien kemudian menggandeng Nora. "Sama pacar sendiri aja. Aku juga nggak gitu sama cewek lain."

Hati Nora tercubit karena status mereka masih pacaran sementara hubungan mereka sudah seintim suami istri.

Walau begitu Nora tahu ucapan Adrien itu benar adanya. Ia tidak pernah meragukan kesetiaan Adrien. Hanya saja, kesetiaan kekasihnya itu berbuntut pada sikap posesif yang membuat mereka sering bertengkar dan Nora menjadi jengah.

Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu depan, sesaat setelah Adrien menekan bel. Mata Nora mengerjap berulang dengan mulut menganga lebar saat kakinya melangkah ke dalam rumah. Sebuah rumah dengan arsitektur bergaya modern dengan konsep smart home menyambut mereka. Ruang tersebut terasa longgar karena banyak pintu kaca. Tanpa lampu pun, ruang tamu yang di sebelahnya terdapat taman kecil itu sangat terang. Tak hanya desain rumah yang membuat Nora terpukau. Interior yang ada di dalamnya walau minimalis tapi terkesan mewah itu mampu membuat mulut Nora menganga lebar.

Nora menyadari, keluarga Adrien sekarang sudah semakin kaya. Setahu Nora, sewaktu Adrien SD, papanya sempat bangkrut saat merintis bisnis perhotelan di daerah Malang yang berimbas mamanya berselingkuh. Sejak peristiwa itu keluarga Bollen tercerai berai. Florence diungsikan ke Perancis sementara Adrien enggan ke tempat kakek neneknya karena Amara yang belum tahu kondisi orang tuanya enggan berpisah dengan mama papanya sehingga demi putri bungsu mereka Antoinne dan Livia bermain peran menjadi orang tua ideal bagi Amara.

Keterpesonaan Nora memindai rumah kakak Adrien dibuyarkan oleh suara seorang wanita. Florence yang lebih berwajah Eropa itu datang menyambut mereka. Walau kakak perempuan Adrien terlihat lebih berisi setelah melahirkan, tapi kecantikannya tidak terhapus. "Adri, kamu tega sekali baru datang sekarang!"

Adrien hanya meringis. Ia memeluk kakak perempuannya dan memberikan ciuman di pipi. "Sehat, Kak?"

"Iya. Aku nungguin adik laki-lakiku satu ini" ujar Florence, sambil lanjut menyalami Nora.

"Kak, mana baby boynya?" tanya Nora yang udah nggak sabar lihat keponakan Adrien.

"Di kamar atas. Sama Mama."

Seketika aura di dalam ruang tamu tampak suram saat Adrien mendengar jawaban Florence.

"Darling, nggak mau lihat baby boynya?" tanya Nora basa basi. Tentu saja ia sudah menduga jawaban Adrien sesudahnya.

"Bawa sini aja! Aku nggak mau lihat Bu Livia," tukas Adrien ketus. Lelaki itu lalu duduk begitu saja di sofa empuk yang ada di ruang tamu.

Adrien memalingkan pandangan ke taman kecil yang asri. Matanya menatap dinding yang bermotif seperti batu tebing dialiri air yang bersatu di kolam ikan kecil.

Nora memahami reaksi Adrien. Ia pun akhirnya bergegas naik ke lantai dua, di mana seluruh ruang tidur berada. Begitu berada di atas, ia mendapati Livia yang menggendong bayi laki-laki Florence. Sebelum ia menghampiri Livia, Nora bergegas mencuci tangannya dahulu agar bisa leluasa memegang bayi.

"Nora, apa kabarnya?" sapa Livia dengan ramah melihat pacar anak laki-lakinya muncul. Wanita itu sengaja di situ karena tidak diperbolehkan Florence turun.

"Hallo, Aunty." Nora menyalami dan mencium punggung tangan Livia.

"Tambah ayu kowe, Ra (Tambah cantik kamu, Ra)." kata Livia sambil menimang cucunya yang menggeliat.

"Makasih, Aunty. Aunty sehat?" Nora kini ikut duduk di sebelah Livia.

Livia mengerucutkan bibirnya, membentuk wajah lucu saat menenangkan bayi di gendongannya. "Sehat. Piye kabarmu sama Adri?"

"Baik ...."

Suara sendu itu ditangkap Livia dan menjadi tanda bahwa hubungan anak laki-laki satu-satunya dengan Nora tak baik-baik saja. "Apa ada masalah?"

Nora mencebik. "Uncle Antoinne ternyata nggak setuju hubungan kami."

"Aunty heran kenapa manusia satu itu nggak setuju. Kurang apa kamu? Udah cantik, pinter, baik!" Livia berdecak. Ia menatap Nora yang duduk sambil memainkan pipi gembul bayi itu.

Wanita berparas tirus dengan make up minimalis itu mendesah panjang. Ia mendongak seraya memijat pangkal hidung mancungnya. Garis ketampanan Adrien menurun dari kecantikan oriental sang mama.

"Antoinne selalu egois. Dia mengorbankan semua hingga istri dan anak-anaknya terbengkalai. Sampai aku harus melacur demi mencegah rumah yang kami tempati nggak disita dan anak-anak bisa makan." Suara Livia bergetar saat otaknya membuka kenangan menyakitkan satu persatu.

Nora tidak mau berkomentar. Itu masa kelam keluarga Adrien. Sekarang ia melihat Livia lebih bahagia bersama keluarga barunya daripada saat bersama Antoinne.

"Aunty, gara-gara itu, luka batin Adrien lebih parah dari yang aku duga. Dia posesif sekali, tapi hubungan kami nggak naik ke jenjang yang lebih tinggi," kisah Nora.

Livia hanya mendesah. Ia tak berdaya membantu Nora. "Nora, titip Adrien, ya? Dia sangat menyayangi kamu. Kamu tahu, kan?" Alis Livia yang rapi alami terangkat ke atas.

"Aunty tahu sendiri, Mama Papa ingin aku segera nikah. Tapi kalau Adrien nggak segera melamar, aku nggak bisa jamin keberlangsungan hubungan kami. Uncle juga akan menjodohkan Adrien dengan anak rekan bisnisnya."

Mata Livia membeliak. "Menjodohkan? Itu kan sama saja menjual anak demi perusahaannya? Dia kira anaknya anjing ras yang bisa dipilihkan pasangannya apa?" Suaranya meninggi dan wajahnya memerah.

"Masalahnya Adrien pengin pernikahan kami direstui Uncle. Aku bingung Aunty."

Livia memanggil baby sitter yang ada di lantai dua itu. Segera setelah memberikan bayi itu pada sang baby sitter, Livia menghadapi Nora dengan intens.

"Nora Sayang, percayalah pada Adrien. Dia menyayangimu. Terima kasih selama ini kamu menjadi perpanjangan tangan Aunty sehingga Adrien nggak terjerumus ke pergaulan yang salah." Livia menangkup pipi chubby Nora.

"Aunty, aku justru takut semakin lama Adrien mengambil langkah, aku juga semakin goyah. Entah karena dipaksa Mama Papa, atau karena cowok lain yang bisa menggetarkan hatiku."

***

Setelah puas mencurahkan hatinya pada Livia, Nora mengajak turun ke lantai satu. Mama Adrien yang merindukan putranya akhirnya ikut turun bersama Nora dan baby sitter mereka.

Adrien sedang melahap makanan yang dimasak asisten rumah tangga mereka ditemani oleh Florence saat mereka hendak bergabung. Tawa Adrien seketika menguap begitu melihat wanita yang melahirkannya itu ada di hadapannya.

Wajah Adrien sontak menjadi kaku. Ia melirik ke arah Nora yang berdiri di samping Livia. Lelaki itu mendengkus lalu bangkit sambil melempar lap setelah mengelap mulutnya.

"Kita pulang!"

"Adri! Mama kangen, Nak!" Livia berusaha mencegah Adrien. Namun, jemari lentik Livia ditepis kuat oleh Adrien.

Kedua perempuan yang ada di situ terpekik memperingatkan Adrien.

"Diam semua! Aku nggak punya Mama! Di mana Mama saat Papa terpuruk? Mama justru mencari surga dunia lewat laki-laki lain! Mama macam apa itu?"

"Adri, ini nggak seperti yang kamu pikir! Mama ... Mama ...."

"Tetap saja Mama nggak setia apa pun alasannya! Selamat, Bu Livia Puspitasari, gara-gara anda saya membenci berhubungan dengan perempuan, selain Nora." Jari telunjuk Adrien mengarah di depan pucuk hidung Livia.

Suara yang menggelegar mencabik hati ibu tiga anak itu.

"Ayo, Nora kita pulang!" Adrien menarik tangan Nora.

Gadis itu linglung. Sembari tubuh mungilnya mengikuti tarikan Adrien, sesekali ia menoleh melihat Livia yang berurai air mata dirangkul oleh putri sulungnya.

Kedua anak muda itu masuk ke dalam mobil. Dengan segera Adrien menekan tombol start, dan menginjak pedal setelah memindah gigi mobil maticnya. Nora belum membuka mulut saat mobil melaju dengan kecepatan di atas rata-rata di jalan hunian mewah itu. Begitu keluar dari cluster eksklusif itu, mobil meraung saat Adrien menancap gasnya.

Nora hanya bisa menggenggam tali sabuk pengamannya di depan dada dengan wajah memucat. Ia bingung menenangkan kekasihnya yang sedang marah. Namun, mobil yang rodanya berputar cepat di jalanan itu telah mengunci bibir Nora. Kuduknya meremang karena beberapa kali Adrien memutar kemudi secara tiba-tiba.

"Darling, jangan kenceng-kenceng. Aku takut!" Peluh dingin Nora sudah merembes di dahinya. Suaranya semakin bergetar karena tubuhnya ikut bergetar hebat.

Mendengar suara Nora seketika Adrien tersentak. Ia melirik spion kiri dan saat melihat tak ada kendaraan dari belakang, lelaki itu segera memutar setir untuk menepikan mobil.

"Aaarrrgghhh!!!" Adrien memekik sambil memukul kemudi bulatnya begitu mobil berhenti. Bagaimana mungkin kemarahannya lepas kendali dan menimbulkan kengerian pada wanita yang ia cinta?

Mata Adrien memerah saat merasakan hatinya perih. Kilatan peristiwa masa lalunya seolah mencekik nalar, dan memeras logikanya.

"Darling?" Nora merasa kasihan dengan penampakan Adrien.

"Ma Cherrie, mau nggak kamu menemani aku malam ini?"

💕Dee_ane💕

Hai, Deers, aku ada rekomendasi lagi cerita lainnya.

Blurb :

Chandra Pradipta, pemuda selengekan yang enggan berkomitmen. Di usianya ke 28 tahun, Prita kekasihnya meminta agar Chandra segera menikahinya. Namun, adik Chandra-Cinde-yang enam bulan lagi menikah membuat Chandra tidak bisa langsung menyetujui niat Prita karena adat jawa yang tidak memperbolehkan menikahkan anak di satu keluarga dalam tahun yang sama. Sementara Prita bila tidak menikah dalam tahun ini dirinya akan dijodohkan dengan pria lain. Sebuah ide gila tercetus. Chandra harus berbohong menghamili Prita.

Akhirnya satu kebohongan membuat seribu kebohongan yang lain seperti lingkaran setan yang terus berputar dan membuat kusut hubungan mereka. Di sisi lain kebenaran baru terungkap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro