☘14. Menghapus Debaran☘
Perawat perempuan yang mendengar rayuan gombal Hosea sontak terkikik. Ia sampai melipat bibir agar tawanya tak menyembur. Siska lantas berbalik, seolah sibuk memasang sarung tangan untuk menghindari pandangan sengit Nora.
Nora mendengkus. Tak dimungkiri jantung Nora berdetak kencang dengan rayuan receh Hosea. Pipinya yang memerah seperti bakpau menul-menul dengan pewarna merah. Nora segera menghela napas. Ia berusaha tak menunjukkan ekspresi terkesan.
Mungkin kalau sewaktu SMA, Hosea memberikan gombalan itu, Nora bisa lari mengelilingi lapangan basket. Biasanya Nora sudah kebal terhadap rayuan pasien atau teman sejawatnya. Namun, entah kenapa rayuan Hosea yang biasa itu membuat wajah Nora terasa panas.
Nora menepis pikirannya. Untuk apa menanggapi rayuan gombal itu, toh statusnya adalah pacar Adrien. Kesuciannya pun sudah diambil oleh pacarnya.
"Syukurlah masih deg-degan. Kalau nggak deg-degan mati dong." Nora tersenyum tipis, walau di dadanya bergemuruh.
Hosea hanya meringis. Ia mengutuki lidahnya yang lancang. Padahal ia tahu Nora sudah mempunyai pacar yang sedang menunggu di depan.
"Mbak, tolong lepas plesternya ya," titah Nora.
Siska melakukan perintah Nora untuk membuka plester Hosea. Sesaat kemudian gadis perawat itu membantu Hosea memosisikan kepala di sebuah alat yang bernama slitlamp yang digunakan untuk memeriksa kornea Hosea.
Kini dagu Hosea sudah bertumpu pada sebuah bidan datar dan kepalanya tertahan oleh lengkungan plastik di dahi. Setelah tahu Hosea sudah memosisikan diri dengan nyaman, Nora pun memulai pemeriksaannya.
Nora menggigit bibir saat ia menatap kedua mata Hosea yang beriris cokelat. Jantungnya berdetak kencang saat melakukan pemeriksaan. Siapa sangka ia bisa melihat kedalaman mata lelaki itu? Dulu Nora memang berdoa agar bisa dekat dengan Hosea. Tapi kenapa justru Tuhan mengabulkannya lebih dari satu dasawarsa kemudian. Di saat semua tak lagi sama ….
Nora menghirup udara dalam-dalam. Ia tersenyum, antara puas dengan hasil operasinya dan juga menyembunyikan detakan yang muncul tiba-tiba.
"Hasilnya bagus, kok. Nggak ada tanda-tanda infeksi maupun komplikasi. Sementara bisa pakai kacamata anti UV untuk menghindari debu dan sorotan sinar matahari langsung. Yang penting dijaga kebersihannya," terang Nora.
Hosea mengangguk saja. Dia tak paham. Yang lelaki itu tahu semua baik-baik saja dan ia tidak harus berhubungan dengan jarum suntik yang membuat ambyar citranya.
"Nanti berikan saja giriknya ke bagian farmasi di lantai 1 gedung C. Resep langsung terbaca di sistem." Nora kini sibuk mengetikkan hasil pemeriksaannya. Jari yang gemuk itu lincah menari di atas tuts keyboard komputer.
"Ini kontrolnya kapan lagi?" Nada Hosea penuh harap.
"Udah beres kok. Nggak ada kontrol lagi kecuali ada keluhan." Nora menarik bibirnya.
Rasa kecewa menghampiri Hosea. Ia tidak akan mendengar suara merdu itu.
"Jahitan ini nggak dilepas?" tanya Hosea sok tahu menunjuk mata kirinya.
"Nggak. Jahitannya pakai benang catgut yang bisa diserap tubuh."
Hosea mendesah panjang.
"Oke, resep udah saya kirim. Moga ceoet sembuh ya."
Hosea hanya mengangguk. Ia berdiri, mendorong kursinya lalu berbalik keluar setelah mengucapkan terima kasih.
Hosea menghentikan langkahnya di ambang pintu. Matanya bersirobok dengan Adrien yang sudah pindah duduk tepat di depan pintu ruang periksa.
"Len, aku duluan ya," kata Hosea sendu.
Adrien hanya menggerakkan dagunya saja. Walau lelaki itu bergeming di tempatnya dengan posisi duduk menopang paha kanan dan bersedekap, tapi matanya masih mengikuti punggung Hosea yang menjauh.
Masih setengah jam lagi, Adrien menunggu hingga Nora menyelesaikan memeriksa semua pasiennya. Begitu tak ada lagi antrian di ruang tunggu, lelaki itu bangkit dan menghampiri ruang periksa. Tak lupa ia menenteng plastik berisi kotak dengan lambang kafenya.
Sebelum masuk, ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Nora yang sedang mencuci tangan menoleh saat melihat sang kekasih.
"Udah datang, Darling?" sapa Nora dengan senyuman yang membuat pipinya semakin chubby.
Adrien mengangguk. Ia menghampiri Siska.
"Mbak, ini buat Mbak. Makasih udah bantuin Dokter Nora." Adrien mengulurkan sebuah kotak yang berisi aneka pastry Perancis.
Mata Siska membulat saat menerima buah tangan dari Adrien. "Wah, makasih, Pak. Ngomong-ngomong buruan diresmiin loh. Sekarang pasien makin gencar ngasih rayuan gombal.
"Oh, ya?" Kedua alis terangkat dengan senyuman, walau hatinya tercubit.
“Ih, Mbak Siska apaan sih?” Nora buru-buru menyudahi percakapan tak penting itu.
“Loh kenyataan kan, Dok? Cowok ganteng tadi kan juga ngeluarin jurus rayuan mautnya?” Siska berceloteh panjang lebar, tak menyadari bahwa apa yang dilakukannya memperkeruh keadaan.
Nora meremas paper towelnya, ingin menyumpalkan ke mulut Siska yang suka bergosip itu. “Ayo, Darling, kita berangkat. Biar nggak kemalaman pulangnya.”
Setelah membuang tisu di sampah medis, Nora mendorong Adrien keluar. Padahal lelaki itu sebenarnya masih ingin mendengar cerita dari Siska. Mau tidak mau, Adrien menurut saja.
Nora menautkan jemarinya di jemari kekar dan panjang Adrien saat berjalan menuju parkiran. Beberapa kali mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang berpapasan dengan pandangan iri karena tak dimungkiri lelaki yang digandeng Nora saat ini mempunyai wajah yang rupawan.
“Darling, kok diem aja sih?” tanya Nora saat mereka melintasi gedung poliklinik menuju ke gedung parkiran.
Adrien tak segera menjawab. Ia melirik Nora yang kini berjalan di sampingnya.
“Jangan bilang kamu cemburu gara-gara omongan Mbak Siska itu.” Tebakan Nora tak ditampik oleh Adrien.
Nora mendengkus keras. “Ya ampun, Darling. Beneran kamu cemburu?”
“Gimana nggak cemburu kalau yang Siska bilang itu Hosea yang ngerayu kamu.” Jawaban datar itu terlontar dari bibir merah Adrien. Wajahnya pun ikut datar hanya memandang ke arah depan.
“Kok tahu itu Hose?” Nora meneleng karena ia pikir Adrien datang tepat saat pasien terakhir selesai dilayani.
“Kalau aku nggak tahu, terus kalian mau main-main di belakangku?” sahut Adrien.
Seketika langkah Nora terhenti. Tautan mereka terurai, sehingga Adrien harus berbalik memandang Nora yang sedang menatapnya nanar.
“Umak nggak percoyo banget se karo aku (Kamu nggak percaya banget sih sama aku)? Aku kudu piye (Aku harus gimana)?” Wajah Nora perlahan mendung.
“Aku pengin percaya, Ra. Pengin banget biasa percaya sama pasanganku! Tapi entah kenapa aku tersiksa dengan rasa takut dikhianati! Kamu tahu ‘kan gimana terpuruknya Papi pas lihat sendiri Mami enaena di ranjang kamar mereka dengan selingkuhnya saat jemput aku dari Batu? Hidup kami kacau! Papi nggak bisa lepas dari obat tidur dan nggak mau tidur di kamarnya! Ranjangnya dibakar karena tiap ngelihat ranjang itu, ia selalu teringat gimana Mami merintih dan mendesah di bawah kungkungan selingkuhannya! Kamu nggak tahu rasanya jadi aku, Ra! Kak Florence milih ke Perancis, sedang Amara yang belum ngerti apa-apa, harus aku lindungi agar dia nggak tahu kalau maminya ternyata bejat dan papinya sekarat!” Suara meninggi Adrien tertahan. Wajahnya merah dengan urat leher yang sudah berkedut.
“A-a-aku bukan mamimu, Dri! Aku Nora!” Nora menunduk lesu.
“Apa kamu bisa menjamin kesetiaanmu, Nora? Ketika cinta pertamamu datang dan membutuhkan pertolonganmu serta menggodamu? Bisakah aku pegang janjimu?” tanya Adrien sendu.
Nora hanya menelan ludah kasar. Ia mengutuki dirinya karena sempat berdebar saat memeriksa Hosea. Bahkan ia juga salah tingkah saat Hosea melancarkan rayuannya.
“Kamu nggak bisa jawab. Dan aku bisa menyimpulkan sendiri.” Adrien akhirnya melanjutkan perjalanannya menuju ke parkiran lantai 3. Hatinya perih seperti dibebat sembilu. Ia sangat tahu bagaimana dulu Nora memuja Hosea.
Nora tak mengejar. Namun, ia tetap berusaha mengimbangi langkah lebar Adrien dengan mempercepat jalannya. Batin Nora ikut nyeri saat Adrien yang selalu ada untuknya sewaktu SMA itu bersedih. Ia sangat paham kesedihan Adrien karena saat peristiwa itu terjadi Adrien bahkan hampir terjerumus dalam kenakalan remaja. Ia menjadi sering berkelahi dan mudah memukul siapa pun yang menyinggungnya.
Nora teringat saat itu mereka kelas 3 SMP. Hampir saja Adrien di DO karena telah melukai teman sekelasnya hingga luka parah. Sesampainya di rumah, tentu saja Adrien dihajar oleh Antoinne karena kelakuannya. Kalau sudah seperti ini, Adrien akan pergi ke rumah Nora yang tak jauh dari rumahnya.
Nora membeliak saat melihat Adrien datang dengan keadaan babak belur. Sudut bibirnya berdarah dan matanya lebam. Tak pernah setitik pun air keluar dari mata Adrien walau Nora tahu pasti wajah yang luka itu sangat nyeri. Saat Nora membantu mengaplikasikan antiseptik di wajah putih Adrien, tiba-tiba matanya berbinar karena ide muncul di kepala.
“Adri, aku ada ide! Kamu kan suka mukul-mukul. Daripada kamu sering dipanggil guru BK karena kelahi, mending tenagamu dipakai buat hal yang berguna.” Nora yang mungil menarik Adrien ke dapur.
“Aku malas, Ra. Aku pengin tidur.”
Namun, dengkusan Nora yang keras, membuat Adrien hanya bisa menuruti gadis mungil itu yang saat itu belum mengembang.
Begitu masuk dapur, Nora mengeluarkan tepung, telur, susu, baking powder dan gula. Dengan tarikan bibir lebar, ia berkata, “Kita bikin donat yuk! Nguleninya bisa buat melampiaskan emosi kamu. Daripada tenagamu buat menyakiti orang mending nguleni tepung. Habis itu kan capek dan lapar, trus rotinya bisa kita makan deh.”
Adrien mengerjap. Ia menatap Nora yang ceria. “Aku nggak ngerti caranya. Tahunya makan aja.”
“Tenang, walau aku juga nggak pinter masak, yang penting kita uleni aja tepung ini sembarangan. Mumpung nggak ada Mama.” Nora terkikik.
Adrien tersenyum tipis. Ia pun mengikuti ide Nora yang ternyata tidak buruk. Saat keduanya sibuk melipat tepung di atas sebuah papan ulenan kue, Nora berkata, “Dri, aku mau makan roti yang kamu bikin dari hasil ulenan maut kamu.”
Adrien terkekeh. Sejak saat itu, Nora menjadi pelanggan tepat roti yang ia uleni walau rasanya berantakan, hingga badan gadis itu membengkak karena hampir tiap hari ia makan roti manis.
Nora tersenyum saat mengenang kisah indah pertemanan masa remajanya dengan Adrien. Tak hanya Nora yang menghibur Adrien, tapi Adrien juga selalu ada untuk mendengar cerita dan keluh kesahnya serta menyeka air matanya.
Nora menggeleng dan menepis kebodohannya. Ia tahu, Adrien menyayanginya. Tidak seharusnya Nora bergetar oleh cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan. Gadis itu akhirnya mempercepat langkah dan berlari kecil menyusul Adrien.
“Darling, tunggu!” seru Nora manja.
***
Di lantai yang sama, di dalam sebuah mobil sedan, sepasang mata memandang Nora yang kini menggelendot manja di lengan kekasihnya.
“Nora, aku nggak nyangka ternyata kamu manis sekali.”
💕Dee_ane💕
Auuu ... Nora galau, kalau dua2nya sama2 ketje badai.
Adrien yang suka mendaki gunungnya
Hosea yang bener2 suka daki gunung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro