☘11. Melihat Dunia☘
Pagi ini Nora sengaja memberitahu Adrien melalui aplikasi pesan pendek bahwa ia akan melakukan visit kepada Hosea. Sebenarnya tidak penting. Hanya saja ia tidak ingin kesalahpahaman berlanjut.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Nora memikirkan kembali percakapannya dengan Adrien. Lelaki yang ia ketahui takut berkomitmen itu ternyata ingin mengukuhkan hubungan mereka tetapi mendapat ganjalan restu sang papa. Sebenarnya hubungan keluarga Adrien dan Nora cukup dekat mengingat mama mereka bersahabat. Namun, sejak anulasi pernikahan telah resmi setelah proses perceraian negara sewaktu SMA, papa Adrien seolah tidak ingin berhubungan dengan apa pun dan siapa pun yang berhubungan dengan Livia Puspitasari, mama Adrien.
Nora menggigit sudut bibirnya. Bila hubungan mereka menggantung tanpa kejelasan, mama papa Nora pun tidak akan tinggal diam. Mereka saja kini sudah heboh mengenalkan anak sahabat baik mereka walau Livia selalu menghalangi niat orang tua Nora.
Pikiran yang melalang buana membuat Nora tak sadar bahwa ia kini sudah berada di lantai 8 gedung C. Bersama dua orang perawat dan beberapa residen mata, ia melakukan visit untuk melihat perkembangan kasus Hosea.
Hosea sepertinya sudah terlihat siap untuk diperiksa ketika Nora masuk saat jarum jam menunjukkan pukul 08.15 WIB. Nora mengulum senyum saat melihat tampilan Hosea yang sepertinya didandani oleh Jericho seperti mematut seorang anak lelaki kecil dengan potongan rambut belah tengah. Rambut gondrongnya sudah dikucir ke belakang dengan karet pembungkus makanan. Tapi setidaknya, penampakan Hosea pagi ini terlihat lebih manusiawi.
"Halo, Hose? Siap melihat dunia pagi ini?" sapa Nora dengan ramah.
"Pasti! Aku siap melihat dunia dan isinya. Termasuk dokter yang suaranya bisa menggetarkan hati."
Seorang residen terbatuk, mendengar jawaban serupa rayuan dari Hosea. Nora yang sudah bersiap dengan sarung tangan itu, melirik tajam sang residen. Beruntung residen itu adalah teman seangkatannya yang mendapat tugas belajar dari daerahnya. Kalau tidak, pasti akan habis mendapat berbagai tugas telaah kasus dari Nora.
Sebenarnya Nora juga berdebar saat akan mengevaluasi hasil operasi di hari kedua. Ia selalu khawatir bila hasil operasinya tidak sesuai harapan. Namun, degupan Nora semakin keras saat mengetahui pasien yang ia rawat ini adalah Hosea.
Di balik maskernya, bibir Nora mengerucut. Alisnya mengerut saat tangannya membuka sisi plester yang melekat di kulit Hosea. Walau Nora sudah menjaga jarak tidak terlalu dekat dengan pasien saat melepas plester, tetap saja ia bisa memindai bibir yang kini semakin merekah merahnya karena tak lagi pucat.
"Sudah. Coba dibuka perlahan matanya."
Nora menahan napas saat Hosea mulai menggerakkan matanya. Seketika manik mata Hosea tertuju pada mata hitam Nora dengan sangat fokus.
***
Saat plester itu terlepas dari sekitar matanya, kelopak mata tipis Hosea langsung disapa oleh embusan angin segar dan cahaya. Perlahan-lahan Hosea membuka mata sesuai instruksi Nora dan saat matanya terbuka sempurna, ia menatap intens obyek yang sangat ingin ia lihat.
Wanita di depannya itu berwajah bulat dengan pipi chubby yang merah segar seperti buah ceri. Bibirnya yang mungil berkebalikan dengan mata bulat yang besar dengan bulu mata panjang. Rambut sepanjang kira-kira sebahu itu dikucir kuda dengan poni di dahi sehingga memperlihatkan wajah yang babyface.
Otak Hosea memutar keras file ingatannya. Wajah itu ternyata sangat familiar. "Ka-ka-kamu ... anak yang nem-nembak ta-tapi aku tolak itu kan?"
Nora melongo. Kalimat pertama yang ia dengar dari Hosea seperti petir di pagi hari yang cerah.
Kali ini tak hanya Ria, residen yang juga teman seangkatannya kuliah yang terbatuk untuk menyembunyikan tawa. Semua yang ada di situ tak bisa menahan geli melihat dokter-pasien yang sama-sama melongo.
"Ish, Hose! Kenapa harus dijelasin sih! Ngeselin!" Ia melirik tajam pada krunya yang entah kenapa kompak terbatuk tak jelas.
"Wah, Hose pernah ditembak Nora, dan kamu nolak?" Mata tua Jericho membeliak menatap bergantian keduanya. "Rugi sekali kamu Hose!"
Jericho menepuk lengan putranya membuat Hosea meringis. "Ya, dulu Nora belum se ..." Hosea menjeda bicaranya. "slim ini. "
Nora menggelembungkan pipi berusaha menahan rutukannya. Ia lupa Hosea tetap Hosea yang menyukai body sintal seperti gitar. "Syukurlah. Berarti perkembangan matamu bagus karena kamu masih mengenal wajahku walau nggak tahu namaku."
Nora mengurai senyum. Lalu ia melepas sarung tangan dan membuang ke tempat sampah berplastik kuning. Setelah mencuci tangan dan mengeringkan dengan paper towel, ia memberi tahu perkembangan Hosea.
"Om, perkembangan hasil operasi Mas Hose bagus. Kemerahan sudah berkurang, nyeri juga nggak ada dan kemampuan melihatnya pulih sedikit demi sedikit. Hari ini Mas Hose sudah boleh pulang. Nanti mata sebelahnya sudah bisa dibuka sehingga bisa digunakan melihat, karena kelopak matanya sudah berkurang pembengkakan dan bisa reflek membuka dan menutup. Sementara yang kanan sebaiknya ditutup untuk menghindari infeksi," terang Nora pada Jericho.
Hosea masih takjub memandang Nora yang sedang berbicara dengan papinya. Ia ingat sekali wajah gadis itu karena Nora satu-satunya gadis yang menembaknya di depan umum yang akhirnya ditertawakan saat ia menolak.
Hosea memicing, menatap bibir mungil yang bergerak-gerak menghasilkan suara mirip sang mami. Saat ia mendengar suara renyah itu dan melihat senyum manis yang memperlihatkan deretan gigi putih, Hosea merasa malu.
Mungkin bila orang lain yang mengalami penolakan memalukan seperti Nora, bisa saja kasusnya dialihkan. Tetapi wanita itu bahkan membujuk dan memberikan perawatan yang terbaik untuknya sehingga penglihatannya pulih kembali.
***
Sementara itu, Adrien tidak tenang setelah membaca pesan dari Nora. Ia berusaha ingin mempercayai gadis itu. Hanya saja selalu sifat tidak mudah percaya itu membuatnya gelisah.
Beberapa kali ia termenung dengan terlihat tak fokus saat mengecek hasil penjualan harian yang dilaporkan oleh sang manajer. Ia hanya memandang kosong deretan angka yang tertera di dalam tabletnya.
Virus posesifnya kembali meronta. Ia sudah membayangkan bagaimana Nora yang supel memeriksa Hosea. Tidak! Itu tidak bisa dibiarkan! Adrien tidak rela kalau harus kehilangan gadis manis itu.
Adrien bangkit, sambil meraih kunci mobil yang tergeletak begitu saja di atas meja kaca. Ia berjalan dengan langkah lebar keluar dari ruangannya dan segera memberitahu manajernya bahwa ia akan ke luar.
Tak lama kemudian Adrien sudah mengendarai mobil SUVnya ke rumah sakit Lovelette. Ia sengaja memarkir mobil di depan sebuah kafe milik Yvonne, seorang keturunan Perancis yang mempunyai kafe Perancis sama seperti dirinya.
Kafe Bon Apetite terletak di seberang rumah sakit. Suasana sangat nyaman dengan ornamen kayu yang mendominasi. Sebuah gambar menara eifel membangun suasana dan rasa Perancis yang kental. Kafe itu lebih terkesan romantis, sangat berbeda dengan kafe milik Adrien yang lebih mengusung nuansa kenyamanan layaknya di rumah.
Adrien melihat-lihat sekeliling. Sudah ada beberapa pelanggan pagi itu. Mereka mungkin keluarga pasien yang sedang mencari sarapan atau brunch, mengingat sekarang sudah pukul 11 siang.
Seorang pegawai menyapanya. "Bonjour, Monsieur Bollen."
"Bonjour, Edo." Adrien tersenyum, membalas sapaan Edo, pegawai kepercayaan di pattiserie itu. "Kasih aku caffe machiato dengan satu ehm ... original croisant." Adrien mengucapkan croisant dengan logat seperti orang Perancis berucap.
"Oke. Silakan tunggu."
Adrien memilih duduk di salah satu bangku yang menghadap jendela. Lalu lalang mobil dan motor di jalan utama bisa ia lihat dari tempat ia duduk. Ia menatap nanar bangunan rumah sakit tempat Nora bekerja. Lelaki itu menumoukan siku di oermukaan meja dan mengusap dagu sambil memikirkan pertengkarannya dengan sang papa dua hari yang lalu.
***
Setelah Adrien pamit dari rumah Nora, ia langsung bergegas ke Surabaya. Setelah anulasi pernikahan resmi diumumkan, beberapa tahun kemudian Antoinne menikah lagi dengan seorang gadis berusia 25 tahun dan sekarang dikarunia sepasang anak kembar perempuan. Setelah menikah, Antoinne pindah ke Surabaya. Dan Adrien memutuskan mengambil sekolah pastry di Paris. Namun, saat kembali ke tanah air, Adrien memutuskan kembali ke Malang, alih-alih ke Surabaya.
Menjadi anak lelaki satu-satunya di keluarga Bollen membuat Adrien dituntun bisa mewarisi usaha hotel yang sudah dirintis oleh sang papa. Setidaknya bila Adrien menyukai karir patissiernya, Antoinne ingin dia bisa mengelola resto di grup hotel yang dikelola oleh perusahaan. Nyatanya Adrien tidak semudah itu disetir. Dengan modal pas-pasan yang ia dapat dari sang kakek dari pihak Antoinne, ia memulai usaha kafe di kawasan Universitas Brawijaya.
Antoinne tidak menyerah membujuk putranya. Lelaki Perancis itu akhirnya memberi syarat, bila ingin bergelut di bidang pastisiernya, Adrien dituntut menikah dengan anak salah seorang pemegang saham terbesar di perusahaannya. Tentu Adrien tak mau, karena sudah mempunyai kekasih.
Malam itu adalah puncak dari kejengahan Adrien dengan keluarganya. Ia mendatangi sang papa dan meminta izin untuk menikahi Nora untuk kesekian kalinya dalam tiga tahun ini.
"Kalau kamu mau menikahi Nora, tinggalkan kafemu! Urus perusahaan Papa! Hanya itu syaratnya!" Antoinne yang tengah duduk di belakang meja kerja di ruang belajar itu menatap sang putra dengan iris mata birunya.
"Ne peux pas (Nggak bisa), Papa! Sudah tiga tahun ini aku memohon pada Papa! Sudah tiga tahun ini aku menggantungkan hubunganku. Aku nggak mau jadi anak durhaka, Pa! Tapi, aku juga nggak pengin jadi cowok yang nggak bisa berkomitmen. Ya, walaupun kenyataannya aku trauma dengan pernikahan. Tapi aku nggak bisa menggantungkan Nora." Suara Adrien melengking hingga urat lehernya menonjol.
"Papa tahu Nora anak baik! Tapi nggak bisa Adrien! Kamu adalah harapan keluarga Bollen. Oh, ya, Amara juga sepertinya ingin Papa kenalkan dengan anak rekan bisnis Papa."
Adrien mendengkus. Ia tersenyum miring. "Pantas saja Mama berselingkuh. Siapa yang kuat menghadapi egois dan otoriternya, Papa!"
Rahang Antoinne mengeras. Mata biru itu membeliak lebar. Ia bangkit dan melangkah lebar. Sebuah kepalan tangan melayang di pipi Adrien. Lelaki muda itu terhuyung merasakan nyeri. Tak hanya sakit di wajahnya, tetapi juga di hati.
"Jangan pernah sebut wanita itu!"
***
Lamunan Adrien buyar saat Yvonne membawakan pesanannya. Melihat kekusutan wajah Adrien, gadis itu duduk di kursi di depannya.
"Ada apa, Adri? Suntuk banget mukanya?" tanya Yvonne.
Adrien mengembuskan napas dengan tatapan sendu. "Bisa nggak sih, kita udah pacaran lama dan ternyata kita nggak jodoh sama pacar kita?"
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro