thirty five: Malfoy Manor I
original: 9 Juni 2021
minor revision: 27 Des 2021
***
Lyra menatap kosong monster di hadapannya, rasa sakit itu terasa begitu nyata. Teriakan itu terasa begitu nyata, dan ia merasa dirinya kembali ke Ruang Penyiksaan. Rasa cemas merayap dalam dirinya, rasa-rasanya ia ingin menghilang dari dunia ini. Perlahan tapi pasti, sekelilingnya menjadi gelap.
***
"Mum, maafkan aku! A-aku hanya.."
"SEHARUSNYA KAU JUGA MERASAKAN APA YANG KAMI ALAMI!"
"Lyra? Kenapa kau membunuh kami?"
"Kau pembunuh berdarah dingin..."
"Dasar tak punya hati!"
"Kau pikir orang-orang akan tertipu oleh wajahmu?"
Mata Lyra segera terbuka lebar-lebar, tapi tak secercah cahayapun tertangkap oleh matanya. Rasa panik menghampiri dirinya, manik matanya bergulir ke sekujur ruangan. Tak butuh waktu lama, ia menyadari dimana ia berada saat ini.
Batang-batang besi tinggi berjejer rapat-rapat, suasana lembap dengan lantai yang dingin. Tak ada sedikitpun cahaya di tempat itu selain dari obor yang kelihatannya begitu jauh dari tempat Lyra berada. Sebuah penjara bawah tanah.
Lyra mencoba mengingat-ingat hal terakhir yang dapat ia ingat. Ia tak meminum ramuannya, dan monster-monster itu tiba-tiba menjadi nyata. Dirinya ingat ketika menyerang monster-monster itu dengan mantra sihir yang samar-samar ia ingat.
Siapapun yang dapat berpikir jernih tentu mengetahui bahwa monster-monster itu tak mungkin nyata. Lyra menggigit bibirnya kuat-kuat, marah pada dirinya sendiri yang begitu bodoh dan tak meminum ramuannya. Tentu saja ia akan melihat hal-hal aneh itu lagi, dan kebodohannya berakhir dengan dirinya yang berada di penjara entah dimana.
Bisikan-bisikan itu lagi-lagi datang, membuat Lyra merasa semakin tak berdaya. Ia berusaha mengalihkan perhatiannya dan mencari tongkat sihirnya. Usahanya sia-sia, tongkatnya tak berada di tubuhnya maupun di sekeliling ruangan.
Suara derap langkah kaki terdengar dari kejauhan, dan Lyra dapat melihat sekilas bayangan seseorang. Ia segera menjatuhkan dirinya kembali ke lantai dingin itu sembari menutup matanya, berpura-pura dirinya masih pingsan.
Suara tawa melengking tiba-tiba terdengar tepat di belakang Lyra yang tengah berusaha untuk menenangkan diri agar degup jantungnya tak terdengar semakin keras. Tanpa aba-aba, cahaya merah menyala menghantam dirinya. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Ia berteriak nyaring, mengeluarkan semua cadangan udara di paru-parunya.
"Oh, lihat ini, kudengar putri kesayangan dari keluarga White dididik dengan baik? Kau tentu tahu berbohong itu tidak baik," ucap seseorang dari belakang Lyra sembari terkikik kecil.
Lyra berbalik kepayahan, kepalanya mendongak ke atas untuk melihat siapa sosok itu. Pandangannya masih sangat buram, dan pencahayaan di tempat itu sangatlah buruk. Namun tanpa butuh cahaya seterang Lumos Maxima pun ia mengetahui dengan jelas pemilik rambut hitam keriting itu.
Bellatrix Lestrange.
Dari detik itu juga Lyra tahu, hari-harinya disini tak hanya akan menjadi saat-saat menyeramkan, sebuah neraka, tapi juga sebuah tantangan dimana ia harus bertarung untuk memperjuangkan kewarasannya. Segalanya menjadi lebih parah di saat seluruh penyakit mentalnya memburuk, lebih buruk daripada saat ia berada di Ruangan Penyiksaan.
"Crucio!"
Sekali lagi teriakan nyaring memenuhi lantai itu.
***
Luna mengedipkan matanya dan melihat ke sekeliling. Gelap dan lembap, para Wrackspurt menghilang dari pandangannya, dan semua Nargles yang ada terlihat ketakutan. Ingatan terakhirnya adalah dirinya sedang berada di dalam kereta, duduk dengan tenang dan membaca Quibbler sebelum para Death Eater menerobos masuk.
Luna memalingkan pandangannya ke luar besi-besi panjang yang menghalanginya untuk keluar ke jalan kecil menuju lantai atas. Beberapa Wrackspurt beterbangan di ruangan kecil sempit lainnya, dan jumlahnya ada sangat banyak.
Semuanya sudah dimulai, dan sebentar lagi Mr. Ollivander juga akan sadar. Luna kemudian berdiri dan berjalan perlahan menuju bagian depan tempat sempit itu, mencoba mengintip ke tempat para Wrackspurt berkumpul. Satu-satunya orang yang memiliki Wrackspurt sebanyak itu di Hogwarts hanyalah Lyra, dan Luna berharap bahwa orang yang berada di dalam tempat gelap dan sempit itu bukanlah Lyra, meski peluang kejadian itu terjadi lebih kecil dari debu yang beterbangan.
Luna mengedipkan matanya perlahan, mencoba memfokuskan pandangannya, dan di saat yang bersamaan, sepasang manik merah crimson menatap langsung ke bola mata Luna. Suara seseorang yang mengerang mengalihkan perhatian Luna dari tatapan kosong yang terlihat seperti kehilangan nyawa dan warnanya itu.
"Kau-ugh."
Luna membalikkan badannya dan tersenyum pada Mr. Ollivander yang baru saja terbangun. Ia menjawab pertanyaan Mr. Ollivander dengan pelan, "Sepertinya kita berakhir di sebuah ruangan sempit sedikit mengerikan yang sama, Mr. Ollivander. Biar saya balut luka Anda."
Luna berjongkok perlahan untuk membalut luka Mr. Ollivander. Tak banyak hal yang bisa ia lakukan di tengah kondisi seperti ini, tetapi ia berharap dirinya dapat membantu keduanya, Mr. Ollivander, dan tentu saja pemilik sepasang mata merah crimson di ruangan sempit gelap itu. Lyra sudah cukup merasakan sakit, dan Luna berharap para Wrackspurt menjauhi Lyra.
***
Beberapa bulan telah berlalu, namun tak ada tanda-tanda semuanya akan berakhir. Luna masih terduduk dalam ruangan gelap nan sempit itu, bersama dengan Mr. Ollivander dan Dean. Beberapa kali ia mencoba mencari jalan keluar, tapi tak ada sedikitpun celah untuk menuju ke dalam bagian utama manor. Segalanya tidak lebih buruk dari sekali dua kali kutukan Cruciatus, akan tetapi segalanya menjadi lebih buruk ketika teriakan nyaring terdengar dari seberang.
Skenario ini adalah skenario terburuk yang pernah Luna lihat, namun skenario terbaik juga tak bisa dikatakan yang terbaik. Eksistensi Lyra hanyalah sebuah bayangan dari dirinya, dan semuanya tak akan sama ketika Kuartet Emas hanyalah Trio Emas. Ketika Draco bahkan tidak dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupnya sampai waktu yang sangat lama, ketika hanya ada rasa sakit setelah kebahagiaan itu direngkuh dan menghilang seperti angin. Ketika satu nyawa menghilang, di sanalah Luna tahu bahwa skenario itu tidaklah lebih baik daripada yang saat ini berjalan.
"Paskah. Sebuah liburan yang mengagumkan dan penuh kejutan, bukankah begitu, Dean?" tanya Luna mengawang-awang.
***
Di tengah ruang tamu yang gelap itu, Draco terduduk diam. Matanya sesekali melirik ke sekeliling, wajahnya pucat dan lesu, kelelahan fisik dan mental. Suara berisik lagi-lagi terdengar dari luar, membuat Draco menahan napasnya sebelum akhirnya kembali mengembuskannya perlahan untuk menenangkan dirinya. Seseorang akan dibawa untuk dihakimi, ia tahu betul itu.
Suara dingin Narcissa mengalihkan perhatian Draco. Hal terburuk dari hari itu akhirnya tiba, kata mendapatkan dan Potter tergabung dalam satu kalimat. Pelan-pelan Draco menoleh, dan wajah yang ia sangat kenali, yang sudah ia ejek selama bertahun-tahun, tampak jelas di depan mata biru kelabunya meski wajah itu terlihat sangat bengkak, tersembunyi di antara tahanan lainnya.
"Draco, kemari."
To be Continue>>>
A/N:
So, hello! Finally aku bisa kembali membawa chapter baru! I'm really sorry karena baru bisa balik, tadinya aku mau balik setelah UTS, ternyata aku harus ikut olimp, berbarengan dengan UAS, maaf banget semuanya, huhu. Semoga kalian suka dengan chap ini ya!
Real note:
Wah, ga terasa arc Deathly Hallow dah sampe sini aja, cepet banget, iya aku tahu, sorry TvT
Mulai dari sini, POV Lyra bakalan semakin jarang karena yaa, kalian tahu bagaimana kondisi Lyra saat ini. Mungkin aku akan cukup sering bawa POV Draco atau mungkin Third Person POV? Entahlah, kita liat aja di chapter-chapter depan.
Hope you enjoy this chapter~
See ya! (。•̀ᴗ-)✧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro