Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Start It Again

Yap, interlude lagi! Maaf kalau misalnya aku ga nge-post chatpter selanjutnya dan malah nge-post chap interlude (。•́︿•̀。)

Tapiii chapter ini bakalan berperan penting buat nutupin plot hole yang nanti bakalan muncul, dan buat stabilin alurnya juga, hehe

So, here it is!

P/S: Ini dari sudut pandang Draco loh!
-----------

Sesosok anak lelaki berambut pirang platina berjalan menuju ke sebuah padang bunga yang dipenuhi bunga-bunga cantik, seperti namanya. Tempat rahasia, katanya.

Ia mendudukkan diri di pinggiran padang bunga dan bersandar di batang pohon ek tua yang entah sejak kapan sudah ada di sana. Kaki pendeknya ia julurkan ke depan, sementara tangannya menraih buku kecil yang ia simpan di kantung celananya.

Rupa-rupanya buku kecil itu berisi daftar kejahilan yang diam-diam dia lakukan pada para house-elf miliknya. Ia tidak berani melakukannya pada orang tuanya, bisa-bisa ia dimarahi sepanjang hari.

Tiba-tiba seorang gadis kecil yang kelihatannya seumuran dengannya berjalan menuju padang. Anak lelaki itu memiringkan kepalanya, bingung entah siapa yang bisa menemukan tempat rahasianya.

Gadis itu memiliki rambut yang aneh, rambut bagian bawahnya berwarna cokelat gelap, sementara dari puncak kepalanya sampai bagian pertengahan berwarna putih.

Draco, nama anak lelaki itu, menghampiri gadis kecil itu. Rupa-rupanya gadis itu sedang menangis.

"Kenapa kamu menangis?"tanya Draco.
"A.. aku.. di.. hiks... marahi.. hiks... Mum dan Dad... ka-karena.. hiks.. a-aku tidak bisa hiks.. ter-tersenyum di pertemuan,"balasnya sambil menangis.

Draco menatapnya dengan mata bulatnya, lalu menepuk pelan pundaknya. Tangannya menggandeng tangan gadis itu menuju pohon ek tempatnya bersandar tadi. Ia mendudukkannya tepat di sebelahnya.

"Jangan menangis,"ucap Draco sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.
"Ini salahku.. hiks... ha-harusnya aku tersenyum.. hiks.."

Draco kemudian bertanya,"Memangnya kenapa harus tersenyum?"

"Ka-kata hiks.. Mother dan Father hiks.. aku..aku hiks.. ti-tidak boleh hiks.. mempermalukan nama White hiks.. ta-tapi aku takut hiks.. orang-orang te-terus melihatiku huwaa..."

Draco kemudian terlihat semakin kebingungan ketika melihat gadis itu menangis semakin kencang. Bingung harus melakukan apa, tiba-tiba ia mengingat ibunya. Biasanya, ibunya akan memeluknya kalau ia menangis, jadi ia juga memeluk gadis itu. Perlahan, tangisan gadis berambut aneh itu berhenti.

Ketika gadis itu berhenti menangis, Draco melepas pelukannya lalu menepuk punggung bergetar gadis itu.

"Jangan menangis lagi,"ucap Draco. "Kamu tidak perlu menangis, aku akan mengajarkan trik supaya kamu bisa tersenyum di hadapan orang-orang, jadi Father dan Mother mu tidak akan marah lagi."

Gadis itu kemudian mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Draco, mata bulat merahnya terlihat berkaca-kaca, bibirnya sedikit bergetar, ia lalu bertanya,"Benarkah?"

Draco mengangguk-angguk lalu tersenyum lebar. Gadis itu perlahan mulai mencoba untuk tersenyum, meski yang terbentuk hanyalah lengkungan kecil yang bergetar menahan isakan.

"Omong-omong siapa namamu, aku Draco, Draco Malfoy,"ucap Draco dengan senyum lebar seperti sebelumnya.
"Ly-Lyra. Aku Lyra White,"ucap gadis itu, Lyra, sambil sedikit menunduk.
"Namamu berasal dari rasi bintang juga! Hehe, kita sama,"ucap Draco sambil terkikik kecil.

Lyra kembali mengangkat wajahnya kemudian tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang rapih. Keduanya lalu berceloteh riang layaknya anak-anak pada umumnya, melupakan fakta bahwa anak keluarga pureblood Light paling berpengaruh selain Potter Family, sedang mengobrol bersama anak dari seorang Death Eater juga keluarga pureblood paling kaya di Wizarding World -jika keluarga Black tidak dihitung tentunya-.

Hari semakin sore dan keduanya pun berpisah, tak sabar menanti esok hari.

***

Draco berlari dengan semangat menuju padang bunga ketika semua pelajaran etika pureblood-nya selesai. Senyuman manis terkulum di bibirnya, mata abu-abu kebiruannya berkilat senang, membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan bertemu temannya, teman pertamanya yang tidak melihat asal keluarganya.

Senyumannya semakin lebar ketika melihat rambut putih yang menyembul dari balik pohon ek. Tapi ketika ia sampai di belakang pohon ek, senyumannya memudar. Lyra kembali menangis sesenggukan, rambutnya semakin putih, menyisakan sedikit warna cokelat yang tersisa di ujung-ujung rambutnya.

"Lyra? Kenapa menangis lagi? Apa trik kemarin tidak berhasil?"tanya Draco dengan bibir yang melengkung ke bawah, mata bulatnya sedikit berair.

Ia kembali memeluk Lyra seperti sebelumnya. Dengan sosok Lyra yang menggeleng keras-keras di pelukan Draco, menjawab pertanyaan Draco sebelumnya.

"Bu-bukan.. hiks.. Fa-Father dan Mo-Mother me-memarahiku hiks.. ka-karena tidak bisa hiks.. mempraktekkan Lumos.. hiks.."

Draco kecil terlihat bingung ketika mendengar bahwa Lyra dimarahi karena tidak bisa mempraktekkan Lumos. Ia tidak pernah mempraktekkan mantra apapun, lagipula ia masih 7 tahun, sama seperti Lyra.

"Kenapa dimarahi? Kan kita memang seharusnya mempelajari itu di Hogwarts, atau saat kita sudah mendapat tongkat. Jangan sedih, aku juga tidak bisa kok,"ucap Draco.

Lyra kemudian mengangkat kepalanya, menunjukkan mata merahnya yang bengkak karena menangis. Ia bertanya dengan suara pelan,"Jadi wajar kalau aku tidak bisa?"

Draco lalu mengangguk mantap dan menjawab,"Tentu saja wajar."

Tangisan Lyra kemudian berhenti, sebuah senyuman menghiasi bibirnya, ia lalu berkata,"Terima kasih. Kamu teman pertamaku selain kakak yang bilang begitu. Semua sepupuku selalu menertawaiku karena aku tidak bisa mempraktekkan Lumos."

"Keluargamu pasti sudah gila."

Lyra terkikik kecil mendengar ucapan Draco. Draco kemudian melepaskan pelukannya, matanya kini beralih ke rambut cokelat Lyra yang kini hanya tersisa di ujung-ujungnya saja. Lyra menyadari kalau Draco memandangi rambutnya, lalu kembali melengkungkan bibirnya sedih.

"Pasti aneh kan. Tidak ada mediwizard di keluarga White yang tahu rambutku kenapa,"ucap Lyra dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

Draco langsung panik ketika melihat Lyra sudah siap untuk menangis lagi. Buru-buru, ia langsung membalas dengan mengungkapkan apa yang sebenarnya memang hendak ia sampaikan ketika melihat rambut Lyra.

"Tidak kok! Justru rambutmu cantik, cocok dengan nama dan matamu, lagipula, rambut kita sekarang hampir sama pucatnya. Aku akan selalu siap membantu masalah rambutmu,"balas Draco panik.

Lyra kemudian tersenyum, dan tak lama kemudian ia tertawa mendengar jawaban Draco. Draco terlihat bingung melihat reaksi temannya itu, merasa bingung apa ada yang lucu.

"Kau lucu,"ucap Lyra masih tertawa, yang sudah berubah menjadi kikikan kecil.

Draco mem-pout-kan bibirnya ketika mendengar ucapan Lyra, tapi tak lama ia tersenyum senang dan ikut terkikik, terjangkit kikikan Lyra yang sepertinya menular.

***

Keduanya menjadi sering bertemu dan menjadi teman dekat hanya dalam waktu sekejap. Lyra semakin jarang datang dengan wajah yang menangis, semua trik yang Draco ajarkan sangat ampuh untuk menahan tangisnya dan ketakutannya. Berkat Draco, ia jadi lebih percaya diri.

Sementara bagi Draco, ia merasa sangat senang ketika sosok Lyra selalu datang menemaninya, menjadi teman pertama yang benar-benar mengerti dirinya, bukan sekedar sosok anak kecil sombong yang merupakan anak dari Death Eater.

Sampai hari itu tiba.

Sore itu, Lyra dan Draco kembali bertemu di padang bunga seperti biasanya, namun mereka berdua dikejutkan dengan kehadiran sosok lainnya yang menunggu di padang itu. Sosok itu memiliki rambut putih dengan warna biru di tiap ujung rambutnya. Sosok it tak lain tak bukan adalah ibu Lyra, Charlotte White.

"Jadi ke sini kau selalu pergi setelah pelajaran mantra. Bisa-bisanya kau bergaul dengan anak Death Eater! GO HOME, NOW, LYRA,"ucap Charlotte sambil menyeret paksa Lyra.

Lyra otomatis menangis kencang, kakinya ia tahan di tanah, mencoba menahan tarikan ibunya. Charlotte mulai merasa kesal dan mengambil sebuah portkey, karena Apparate di usia Lyra hanya akan membuatnya jatuh sakit, dan dalam beberapa hari, keluarga White harus menghadiri ball yang diadakan Kementrian.

Tepat sebelum Lyra menghilang, ia berteriak kencang dengan air mata yang mengalir deras.

"DRACO!"

Dan Lyra menghilang, meninggalkan sosok Draco sendirian di padang itu, dengan buku berjudul ' Marie Antoinette Syndrom ' terjatuh dari genggaman tangan kecil Draco yang diikuti dengan tangisannya.

4 years later...

"Ayo kita ke Ollivanders dulu, dear, kau pasti sudah tidak sabar mendapatkan tongkat milikmu sendiri,"ucap seorang wanita berambut putih dengan bagian ujung berwarna kebiruan.
"Tentu saja, Mum," balas sang putri yang memiliki rambut putih seluruhnya.

Di sebelah mereka sang ayah berdiri dengan senyuman hangat di bibirnya, membukakan pintu toko untuk istri dan putrinya.

" Mum, bagaimana kalau Mum dan Dad membeli cauldron dulu? Aku bisa mencoba tongkatnya sendiri,"saran sang putri, yakni Lyra, dengan senyuman lembut di bibirnya.

Kedua orang tuanya berpandangan, kemudian mengangguk setuju, keduanya menyuruh Lyra agar berhati-hati sebelum keluar dari toko.

Seorang anak laki-laki sedang mencoba tongkatnya, membuat Lyra menunggu sambil melihat wajah yang terlihat familiar itu. Begitu anak lelaki itu mendapatkan tongkat yang sesuai untuknya, ia beralih menuju pintu keluar, di dekat tempat Lyra berdiri.

Matanya sedikit membelalak ketika melihat Lyra, membuatnya mengernyitkan dahinya bingung.

"Lyra?"tanya anak lelaki itu.
"Ya, bagaimana kau bisa tahu namaku?"tanya Lyra balik dengan kernyitan heran di dahinya.

Anak lelaki itu terlihat sedikit sedih, sekaligus kecewa ketika mendengar jawaban Lyra. Tak lama, kepalanya kembali terangkat angkuh seperti sebelumnya.

"Daily Prophet," balas anak berambut pirang platina itu sebelum keluar toko.

'Anak yang aneh,'pikir Lyra sebelum mencoba tongkatnya.

***

Draco merasa sangat sedih ketika Lyra melupakannya, tapi ia juga merasakan bahwa Lyra yang tadi berdiri di hadapannya bukanlah Lyra yang sama dengan Lyra empat tahun yang lalu. Rasanya, ada yang berbeda.

Ia kemudian berjalan menuju Toko Madam Malkin dan melihat sesosok anak lelaki berambut hitam berantakan.

"Hogwarts?"

Setidaknya ia akan mencoba mendapatkan teman sebelum berangkat ke Hogwarts.

***

Draco terkejut ketika mengetahui anak lelaki berambut hitam berantakan yang ia temui di Madam Malkin adalah Harry Potter, The Boy Who Lived. Dan yang makin membuatnya terkejut adalah sosok Lyra yang berdiri di dekatnya, mengobrol sambil tertawa dengan salah satu dari keluarga Weasel.

Draco tahu, tawa itu hanyalah topeng semata, salah satu trik yang ia ajarkan pada Lyra supaya bisa terlihat tertawa secara alami di depan orang-orang. Ia kemudian berinisiatif mengajukan pertemanan dengan The Boy Who Lived, dengan begitu ia bisa berteman dengan Lyra secara perlahan.

Ia sedikit menghina keluarga dari si Weasel itu, jujur saja, Draco sedikit kesal Lyra malah menghabiskan waktu dengan Weasel itu dan malah melupakan dirinya.

Tapi, betapa terkejutnya dirinya ketika mendapati jawaban itu keluar dari mulut Harry Potter.

"I think I can tell the wrong sort of myself, thanks."

Ah, hancur sudah impian pertemanan kembalinya dengan Lyra.

Mulai detik itu juga, ia membenci Harry Potter dan teman-temannya lebih dari apapun karena berhasil menjadi sahabat Lyra.

***

"Well, apa yang dilakukan Primadona Gryffindor di sini?"

Draco mengganggu Lyra seperti biasanya, tentu saja, Lyra memasang wajah pura-pura terkejut, lalu memasang wajah termanis yang ia miliki.

Draco menahan diri untuk tidak memutar bola matanya, toh, ia tahu jelas wajah Lyra yang 'sebenarnya'. Mereka sedikit mengobrol, meski Draco masih sedikit stres tentang masalah Death Eater, ia merasa sangat senang bisa mengobrol dengan sahabat lamanya lagi, yang selama bertahun-tahun, ia cintai diam-diam. Ia tanpa sadar berakhir pada topik mengenai ketika sahabat baru Lyra.

"Menganggap diri mereka paling benar dengan menganggap Slytherin berisi penyihir gelap semuanya,"ucapnya datar.
"Well, aku sedikit setuju denganmu. Hm, apakah kita bisa jadi teman?"tanya Lyra.

Draco berjengit karena terkejut, menatap Lyra dengan tatapan 'Apa-Kau-Serius', yang dibalas dengan uluran tangan Lyra. Draco merasa sangat sangat senang di dalam hatinya, ia dan Lyra bisa kembali bersama. Harapan mulai tumbuh di hatinya.

"Baiklah, kita berteman." Draco menjabat tangan Lyra, menandakan bahwa mereka sekarang teman.

Draco tersenyum di dalam hatinya.

'We will start it again.'

End of Interlude

A/N : Well,aku ga tahu ini Interlude apa bukan, tapi seriusan, ini penting banget buat nutupin plot hole yang nanti muncul :(

Maaf nih kalau misalnya kepanjangan, ini words-nya jauh lebih panjang daripada chapter yang biasa aku tulis..

Oh iya, ini semacem flashback gitu ya, jadi kalo kalian mau, kalian bisa baca ulang lagi dari chap 1, hehe.

By the way, maaf bangettt T~T
Tadi aku ga sengaja kepencet publish, padahal masih belom selesai sama sekali :( Kali ini udah selesai nih, hehew UwU

Untuk chapter reguler bakalan up 4-5 hari lagi yaa!!!

See You~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro