eleven: Empty Spaces
original: 28 Juli 2020
minor revision: 14 Nov 2021
***
"Untuk apa aku bercanda, Mione? Lagipula sejak awal aku hanyalah mencari keuntungan mendekati mereka, terutama Harry."
Hermione memandang Lyra dengan marah, kemudian menampar Lyra hingga pipinya kemerahan.
"I don't understand why you do this. I'm so dumb cause I believe you!"
Tepat setelah itu, Hermione meninggalkan Lyra di Aula Besar. Lyra kemudian tersenyum dan hendak kembali ke kamarnya. Di Ruang Rekreasi, Harry, Ron dan Hermione menatap tajam Lyra. Jangan lupakan kata-kata tajam yang diucapkan Harry dan Ron padanya. Lyra hanya tersenyum, kemudian kembali ke kamarnya.
Begitu sampai di kamar, tubuh Lyra merosot jatuh. Ia dapat merasakan air mata mengalir dari pelupuk matanya. Tak ada isakan, hanya air mata yang terus mengalir.
"Semuanya sudah selesai. Dengan begini, segala yang seharusnya terjadi sudah terjadi.."
***
Pagi itu, Lyra mendapatkan lirikan tajam dari sahabat-sahabatnya. Entah mereka masih menganggap Lyra sahabat atau tidak, yang jelas, Lyra masih menganggap mereka sahabatnya. Pagi itu Lyra duduk di tempat paling ujung meja Gryffindor, ia duduk sendirian. Beberapa anak lelaki juga anak perempuan hendak menemaninya, tetapi Lyra hanya menolak halus.
Ia pantas mendapatkan semua ini, begitulah pikirnya. Masalah yang ini sudah selesai, dan hanya tinggal masalah membuka topeng saja yang belum ia lakukan. Lyra mengumpulkan keberanian demi melaksanakan semua hal itu. Masa seorang Gryffindor seperti Lyra tidak berani berkorban demi sahabat-sahabatnya?
Setelah mengawali hari dengan sarapan yang suram, Lyra beranjak untuk mengambil buku dan bersiap untuk kelas favoritnya, Ramuan. Sebenarnya Lyra memfavoritkan hampir seluruh pelajaran, ya, hampir. Kecuali Ramalan, Lyra mengambil kelas itu hanya demi easy O untuk O.W.L dan N.E.W.T. yang akan ia lalui.
"Hello, Lyr! Tumben tidak bersama Hermione?" tanya Parvati yang ternyata juga sedang mengambil buku.
"Hm, sedikit bertengkar," balas Lyra acuh kemudian segera pergi menuju kelas Ramuan, meninggalkan Parvati yang melihatnya dengan tatapan bingung.
Hari ini kelas Ramuan digabung bersama Ravenclaw, dan Lyra sangat bersyukur karena ia tak harus menemui Draco yang membuatnya mengingat kejadian malam itu di Menara Astronomi. Astaga, Lyra bahkan masih mengingat jelas sensasi ciuman di keningnya.
"Hello, Lyra. Para Nargles memperhatikanmu sejak tadi."
Lyra menengok dan menemukan Luna Lovegood berdiri di sebelahnya. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menunggu Professor Slughorn. Matanya melirik-lirik gelisah, berharap Professor Slughorn akan segera datang dan membebaskannya dari berbagai ucapan ambigu dari Luna, yang menurut prediksi Lyra adalah seorang seer. Mata Lyra kemudian menangkap kaki Luna yang tak terbungkus sepatu, lalu iseng bertanya pada Luna.
"Dimana sepatumu?"
"Dicuri para wrackspruts yang nakal," balas Luna sambil tersenyum kosong.
Lyra hanya mengangguk sekilas, lalu hendak kembali melamun sebelum Luna menepuk pundaknya.
"Para Nargles bilang, kau harusnya mementingkan kebahagiaanmu juga."
Lyra tersentak mendengar perkataan Luna, dan setelah itu, banyak siswa yang datang diikuti oleh Professor Slughorn, membuat Lyra sadar dari keterkejutannya, lalu bertingkah seperti biasa.
***
Setelah kelas Arithmancy, Lyra punya waktu senggang hingga makan malam. Awalnya, Lyra mau mengerjakan essay Arithmancy bersama Hermione di perpustakaan, tapi ketika melihat tatapan tak bersahabat dari Hermione, ia baru ingat kalau sekarang ia dan Hermione sedang bertengkar. Bahkan mungkin tidak akan pulih kembali, tapi Lyra tak terlalu peduli. Hal yang terpenting, teman-temannya bahagia, lagipula ini adalah konsekuensi dari keegoisannya selama ini.
Karena itu, Lyra memutuskan untuk pergi ke Danau Hitam seperti biasanya. Begitu sampai disana, ia langsung mendudukkan dirinya di bawah pohon rindang.
"Langitnya indah sekali sore ini," bisik Lyra pelan.
Sama sekali tak terasa natal akan tiba bulan depan. Lyra tak terlalu suka dengan natal, bahkan ia ingin sekali menghabiskan natalnya di Hogwarts. Akan tetapi, kalau ia tidak pulang, ia yakin, orang tuanya akan memberikan hukuman berat. Bahkan meski ia sudah beranjak remaja, orang tuanya tetap memberikan hukuman yang mengerikan. Lyra yakin, saat pulang nanti, ia akan mendapatkan hukuman 'ringan' karena bermusuhan dengan 'The-Boy-Who-Lived'.
"Kalau saja bisa memilih, aku memilih jadi muggle saja daripada lahir di keluarga White," gumam Lyra sembari menatap langit dengan tatapan kosong.
Okay, Lyra merasa dia terlalu melankolis sekarang. Ia menggelengkan kepala pelan, mencoba mengalihkan pikiran negatifnya dengan menikmati pemandangan danau sore itu sembari membaca buku yang selalu ia bawa dalam sakunya, ukuran bukunya sudah disusutkan tentu saja.
***
Malam telah tiba lagi. Segalanya berjalan dengan monoton. Harry, Ron dan Hermione akan menatap Lyra penuh permusuhan, sekaligus kata-kata tajam dari Ron dan Harry. Draco akan menghilang entah kemana, dan Lyra akan sendirian lagi di kamar.
Terus seperti itu, setiap hari. Jujur, Lyra mulai merindukan teman-temannya. Saat-saat ketika mereka mengobrol setiap malam, saat-saat ketika Lyra curhat dengan Hermione, atau ia yang mengobrol dengan Harry agar tidak menggangu kebersamaan Ron dan Hermione.
"Harusnya, aku menerima saja emosi itu," gumam Lyra di atas tempat tidurnya.
Matanya terpejam, berusaha untuk tidur, tapi sayangnya, usahanya gagal. Ia tak bisa tidur, yang ada malah berakhir memikirkan kejadian belakangan ini.
Lyra kemudian bangkit dari tidurnya, memang masih terlalu pagi untuk tidur. Ia menghela napas pelan lalu mengambil tongkatnya.
"Wingardium Leviosa"
Salah satu buku yang berada di meja belajarnya segera melayang ke arahnya. Lyra menangkap buku itu lalu menyimpan kembali tongkatnya. Ia segera membaca buku yang berjudul "How to Be A Good Friend" dengan cepat. Well, ia tidak benar-benar membacanya, hanya melihat pokok-pokok intinya.
Lyra malah semakin tertekan setelah membaca buku itu, jadi ia kembali meletakkannya di meja belajarnya. Ia turun dari tempat tidurnya kemudian duduk di kursi meja belajarnya. Memandang ke luar jendela sembari melihat beberapa anak yang masih berkeliaran di luar kastil meski jam malam sudah hampir tiba.
"When I was a little girl, I ask my mother, what will I be? Will I be pretty? Will I be rich? Here's what she said to me~Que sera sera~Whatever will be will be~The future's not ours to see~Que sera sera..What will be will be"
Tanpa ia sadari, air mata mulai mengalir dari kedua pelupuk matanya. Lyra terkesiap ketika melihat bukunya basah oleh tetesan air matanya. Segera, ia mengusap air matanya yang mengalir.
"Hmm, ibumu kan tidak seperti itu, Lyra. Kalau saja aku bisa berbuat seperti lagu muggle itu..." bisiknya entah pada siapa.
Lyra merasa air matanya malah mengalir semakin deras. Ia sama sekali tidak tersenyum, tidak cemberut, tidak terisak. Hanya air mata yang terus mengalir dengan deras.
Padahal, baru sehari ia sendirian. Mengapa ia bisa secengeng ini? Ia sudah hidup sendirian selama 11 tahun, kenapa ia bisa secengeng ini hanya karena ditinggalkan seorang sahabat?
Tanpa ia sadari, seseorang tengah mengamati Lyra dari luar jendela kamar dengan wajah yang tak bisa diartikan.
"I hope I can too, Lyr," bisik suara itu sebelum membelokkan sapunya menjauh dari jendela kamar Lyra.
To be Continue>>>
Aduh, kenapa jadi alay nan kesinetronan begini ya? Sorry bangettt, saia lagi kehilangan ide :( maaf banget juga kalau words-nya cuma 1k pas :(
Maap yak agak lama up-nya, aku bener-bener ga punya waktu buat buka watty, ini baru sempet buat up makanya huhu T~T
Makasih banget buat yang udah nungguin and see you next chapter, bye-bye~ (。•̀ᴗ-)✧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro