50. Hormon Keanehan
"Hahaha."
Tak ada hujan tak ada angin, mendadak Eriana tertawa seorang diri. Bertempat di pantri dengan secangkir teh yang baru saja ia buat.
Ehm imutnya. Satria kenapa imut banget ya?
Sama sekali tidak berniat untuk mengingat, tapi bagaimana lagi? Mendadak saja kejadian semalam berkelebat di benak Eriana. Saat Satria yang kembali mengenakan celana dan langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Menarik selimut dan memejamkan mata dengan cemberut.
Usut punya usut, Eriana akhirnya tahu apa yang terjadi. Tak perlu ditanya, tawanya meledak dan Satria makin uring-uringan.
Namun, setidaknya Eriana bersyukur. Mungkin karena itulah mengapa Satria tidak mendebat keinginan Eriana untuk menuntaskan dua minggunya. Bahkan Satria pun meyakinkan keluarga mereka.
Jadi rasanya wajar sekali bila Eriana kerap teringat kejadian itu. Apalagi ia pun tidak keberatan sama sekali untuk terus tersenyum geli seorang diri. Bagaimana ya? Bagi Eriana, itu benar-benar kejadian langka yang akan selalu ia ingat sepanjang masa.
"Jangan kelelahan. Jaga makan dan istirahat. Langsung pulang kalau merasa nggak enak."
Tuntas mengatakan itu, Satria membuang napas. Lalu balik badan. Membelakangi Eriana yang susah setengah mati untuk menahan tawa.
Tentunya Eriana tidak akan memanfaatkan kesempatan langka tersebut. Alhasil ia beringsut. Mendekati Satria, memegang pundaknya, dan berbisik.
"Jadi ... nggak apa-apa kalau delapan jam?"
Cuma suara decakan Satria yang terdengar. Ia menggerakkan tangan hingga sentuhan Eriana bergeser.
Kikik Eriana terdengar lagi. Namun, ia belum berhenti.
"Apa menurut kamu ... sekali-kali kita perlu pake kostum gitu?" tanya Eriana seraya mengulum geli. "Aku pura-pura jadi pasien deh. Biar bisa lilit-lilit seksi sama selang infus."
Di lain waktu, tentunya itu akan menjadi imajinasi yang menggairahkan. Namun, bukan sekarang. Nyatanya bukan hasrat yang memercik. Alih-alih geli makin membuat perutnya tergelitik.
Satria tidak mengatakan apa-apa. Masih memasang mode ketus yang sama sekali tidak membuat Eriana merasa takut atau apa, malah sebaliknya.
Tak hanya memegang pundak Satria, sejurus kemudian Eriana malah mendaratkan kepalanya di sana. Teramat sengaja memanggil dengan suara yang mendayu-dayu.
"Sat."
Satria berdecak samar. "Aku mau tidur."
"Ih, jangan ngambek ah," ujar Eriana geli. "Kan aku nggak salah."
Tentu saja bukan salah Eriana. Pun bukan salah Satria bila cowok itu berpikir ke mana-mana. Lagi pula memang begitu kan Eriana? Kerap memikirkan hal mesum dan apa pun bisa saja mengarahkannya pada hal-hal bernuansa intim.
Satria hanya belajar dari pengalaman. Walau sayangnya, ia keliru.
"Aku nggak ngambek."
Eriana kembali mengulum senyum. Khawatir kalau tawanya akan meledak kembali.
"Kalau nggak ngambek," lirih Eriana kembali. "Kenapa boboknya gini?"
Ih! Eriana sudah hampir melupakan kosakata yang satu itu. Bobok? Astaga! Ia dan Satria bukan lagi ABG labil yang sok-sok imut. Namun, sepertinya kali ini ada pengecualian.
"Nggak mau peluk Dedek, Kak?"
Sudahlah! Eriana tak tertolong lagi. Tawanya kembali meledak dan membuat Satria membuka mata.
"Kamu mau tidur nggak sih, Ri? Katanya besok mau kerja?"
Eriana jatuh kembali ke atas bantal. Dengan mata memejam dan mulut membuka, ia biarkan tawanya untuk terus mengalun hingga membuat Satria melihatnya kesal.
"Ha ha ha. Aku senang karena istri aku yang lagi hamil kelihatan bahagia. Katanya penting sekali untuk menjaga kebahagiaan ibu hamil."
Eriana makin terpingkal. Ia memegang perut dan susah payah mencoba untuk menghentikan tawa. Demi bisa membuka mata dan melihat Satria yang gusar.
"Makasih ya, Sat."
Mengulurkan tangan, Eriana menangkup satu pipi Satria. Ia memasang mimik terharu yang amat dibuat-buat.
"Kamu benar-benar suami idaman aku."
Sudut bibir Satria berkedut. Tak perlu ditanya, wajah cowok itu benar-benar merah dan kaku.
"Iya, tentu saja aku suami idaman kamu."
"Saking idamannya ... sampe buat kamu langsung mau kasih walau aku nggak minta."
Sepertinya Satria akan mempertimbangkan tidur di kamar lain saja. Bukannya apa, tapi Eriana jelas tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
"Kalau gitu ..."
Suara Eriana membuat Satria mengerjap. Cewek itu sudah berhenti tertawa. Sorot geli di matanya pun menghilang.
Satria bersiaga. Terlebih karena usapan Eriana di pipinya memberikan kesan yang tak asing.
"... abis pulang kantor besok, kita langsung konsul gimana?"
Mata Satria menyipit. "Buat apa?"
"Buat tau aku kuat nggak selama delapan jam."
"Masih bahas soal delapan jam?"
Eriana tergelak sepintas. "Ini bukan delapan jam buat di kantor, tapi beneran delapan jam buat kita."
Satria tidak akan terjebak. Tidak akan terulang kedua kali ... masuk jebakan!
"Kamu lagi hamil," delik Satria. "Jadi pikirkan kehamilan kamu. Nggak usah macam-macam."
"Nggak bakal macam-macam. Kita semacam aja."
Mata Satria makin membesar. Namun, Eriana langsung bertindak sebelum ia sempat membalas perkataannya.
Eriana bangkit. Dua tangannya mendorong pundak Satria, membaringkannya. Memberikan kesempatan untuk Eriana menaungi wajah maskulin itu.
"Aku yang nggak bakal tahan kalau kita nggak macam-macam selama hamil, Sat. Ya walau tadi kita bahas soal delapan jam yang lain, tapi ..."
Rahang Satria mengeras. Sisa malu masih membekas di wajahnya.
"... sekarang aku beneran bahas soal delapan jam kita."
Satria mengerjap. Eriana tersenyum.
Senyum yang berlanjut hingga sekarang. Tepatnya ketika Eriana mengangkat cangkir teh dan ia menghirup aroma wangi yang menguar.
Tentu saja, sesuatu yang manis menutup percakapan Eriana dan Satria semalam. Mereka berciuman, saling melumat dan memanggut. Namun, hanya sampai di sana. Setidaknya Satria bersikeras bahwa mereka harus menemui dokter terlebih dahulu.
"Hihihi. Dia mah gitu. Jadi buat gemes aja. Ih! Rasa mau aku remes-remes."
Tentunya remas-remas Eriana bukan sekadar omongan belaka. Itu jelas adalah perkataan yang bisa menjadi kenyataan kapan saja.
Eriana membuang napas. Memutar tubuh. Berniat untuk kembali ke meja, tapi ia sontak kaget.
"Ya ampun, Guh!" kesiap Eriana. Untung cangkir teh tidak lepas dari tangannya. "Kamu buat saya kaget."
Teguh tersenyum kaku. "S-saya juga kaget sih, Bu."
"Loh? Kenapa kamu ikut-ikutan kaget?"
"Eh?" Teguh mengerjap, lalu menggeleng. "N-nggak, Bu, nggak."
Eriana mengerutkan dahi. Tampak aneh melihat sikap Teguh yang tak seperti biasanya. Namun, ia memutuskan untuk tidak menghiraukannya.
"Ehm ya udah. Kamu mau buat minum?" tanya Eriana basa-basi. "Saya duluan."
Eriana melangkah menuju pintu. Ingin keluar dari pantri, tapi mendadak saja Teguh mengadang jalannya dengan dua tangan yang terkembang.
"Ibu mau ke meja?" tanya Teguh tanpa menunggu jawaban Eriana. "Sini biar saya yang bawakan teh Ibu."
"Eh?"
Eriana bingung. Namun, sedetik kemudian cangkir tehnya sudah berpindah tangan. Teguh memegangnya dan seolah ia adalah kepala pelayan di Kerajaan Inggris abad pertengahan, ia berkata.
"Silakan, Bu."
Menahan rasa bingungnya, Eriana hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya. Ia beranjak dan Teguh mengikutinya. Lagi-lagi persis seperti kepala pelayan di Kerajaan Inggris abad pertengahan.
B-bentar.
Eriana mengusap tengkuk. Kepalanya meneleng ke satu sisi dan berpikir.
Ini hormon kehamilan yang mulai bekerja atau memang gitu kenyataannya? Kenapa Teguh jadi kayak Pak Masdar yang ikuti aku ke mana-mana?
Eriana merinding. Menggeleng demi mengusir pemikiran itu di benaknya. Ia duduk dan tersenyum pada Teguh setelah cangkir teh mendarat di atas meja.
"Saya permisi, Bu," ujar Teguh. "Kalau ada apa-apa, Ibu panggil saya."
Melirih pelan, Eriana mengangguk kaku. "I-iya, makasih sekali lagi."
Selepas kepergian Teguh, Eriana mengerutkan dahi. Sikapnya yang tak biasa membuat Eriana bertanya-tanya.
Apa dia keracunan makanan di kafetaria kantor ya?
Sempat meragukan kemungkinan itu, Eriana malah mendapat kenyataan lain yang memberatkan dugaannya. Bukan dari Teguh, kali ini berasal dari Galih.
Kala itu Eriana ingin ke ruangan Satria. Ia membawa beberapa map. Berjalan seraya memeriksa isinya, tanpa sengaja ada beberapa lembar berkas yang melayang. Jatuh dan mendarat di lantai.
Eriana baru akan menunduk demi mengambil berkas tersebut. Namun, suara Galih terdengar.
"Tunggu, Bu!" cegah Galih seraya berlari ke arahnya.
Eriana urung menunduk. Ia melihat Galih menghampirinya. Lalu ia berkata.
"Biar saya yang mengambilnya."
Eriana melongo. "Hah?"
Pada kenyataannya Galih benar-benar mengambil berkas itu dan memberikannya pada Eriana dengan tersenyum. Sementara Eriana tentu saja kebingungan.
Eriana melihat meja Galih yang ada di seberang sana. Lalu ia melirih pelan.
"M-makasih. Kamu sudah mau repot-repot lari dari meja kamu ke sini demi bantuin saya."
Galih mengangguk dengan penuh takzim. "Nggak merepotkan, Bu. Sudah sewajarnya saya membantu Ibu. Ehm kalau ada apa-apa, Ibu bisa panggil saya."
Setelah mengatakan itu, Galih kembali ke mejanya. Melanjutkan pekerjaan sementara Eriana semakin yakin akan sesuatu.
Kayaknya Satria harus nyuruh orang buat sidak makanan di kafetaria kantor deh.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro