Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Satu Sisi Banyak Sisi

"Aku permisi ke belakang dulu."

Menyela pembicaraan di waktu yang tepat, Satria mengucapkan permisi pada Hadi. Pria paruh baya itu mengangguk. Sekilas ia bisa melihat gestur manis yang Satria berikan pada Eriana. Memberikan sentuhan samar di tangannya sebelum benar-benar beranjak dari sana.

Hadi menatap Eriana lekat. Hingga membuat cewek itu tersipu malu.

"Om, jangan lihatin begitu," kata Eriana mengulum senyum. "Nanti orang-orang pada curiga."

Hadi tergelak. Dengan gelas di tangannya, ia menunjuk asal pada semua undangan yang ada di sana.

"Semua orang sedang bersenang-senang. Nggak akan ada yang peduli dengan kalian."

Eriana melirik Hadi. "Seharusnya Om juga."

"Bagaimana bisa Om nggak peduli?" tanya Hadi seraya menggerling geli. "Karena sampai sekarang Om masih nggak percaya kalau kalian itu ..."

Eriana memandang berkeliling. Demi memastikan bawah mereka berdua cukup aman untuk bicara hal serahasia itu.

"... sudah menikah."

Eriana mendekati Hadi. Ia lantas berbisik dengan mimik geli.

"Sebenarnya aku juga nggak percaya kalau aku udah nikah sama Satria, Om."

Hadi tergelak. Tangannya yang bebas naik dan memberikan satu tepukan lembut di punggung Eriana. Sentuhan akrab yang kerap ia lakukan pada anggota keluarga.

Memang bukan keluarga inti dan lebih dari sekadar relasi bisnis, Hadi masih tercatat sebagai keluarga bagi Satria. Menurut silsilah yang sudah Eriana pelajari, Hadi adalah sepupu dari Mega. Maka tidak aneh bila dari awal mereka bertemu, tak ada panggilan formal yang Satria berikan padanya. Pun juga Eriana yang ketika mereka hanya berdua, mengganti panggilannya dengan yang lebih akrab.

Dan bila berbicara mengenai keluarga, maka tentu saja Hadi pun turut hadir ketika pernikahan mereka dilangsungkan. Sama seperti anggota keluarga lainnya, Hadi kaget akan pernikahan itu. Tapi, lebih kaget lagi ketika melihat interaksi di antara mereka.

"Om bisa lihat kenapa Satria akhirnya menikah dengan kamu," ujar Hadi dengan tatapan yang masih betah untuk melekat pada Eriana. "Kamu benar-benar melengkapi dia."

Eriana mengulum senyum lagi. "Aku juga ngerasa begitu, Om."

Hadi kembali tergelak. Sementara Eriana yang memasang sikap tersipu malu, justru memikirkan hal lain di benaknya.

Kayaknya keluarga dari Mama mertua memang asyik-asyik ya. Nggak cuma Om Hadi, Tante Dewi pun juga.

Itu kesan pertama yang Eriana tarik setelah undangan sarapan dadakan dulu. Ketika untuk pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah besar dan nyaris semua keluarga dari pihak Sigit memojokkannya.

Sekarang penilaian Eriana tampak semakin diperkuat. Bahkan ditinggal Satria di acara sebesar itu menjadi hal yang menyenangkan karena ada Hadi yang berbincang-bincang dengannya.

"Permisi."

Satu sapaan membuat tawa Eriana dan Hadi terjeda. Ada seorang cowok yang menghampiri mereka. Eriana menatapnya dan tersenyum.

"Selamat malam, Pak Richard."

Adalah Richard Arya Sucipto. Seorang pengusaha yang menjalankan bisnisnya di dunia infrastruktur, persis seperti Satria.

Bergantian, Richard berjabat tangan dengan Hadi dan juga Eriana. Khusus untuk Eriana, ia bahkan memberikan satu senyum menawan.

"Akhirnya aku bisa ketemu dengan kamu."

Eriana mengerjap seraya mempertahankan senyum dan sikap sopannya. "Saya, Pak?"

"Iya," angguk Richard. "Apa menurut kamu kita bisa ketemu untuk sekadar ngobrol? Besok mungkin."

"Maaf, Pak. Saya sudah ada jadwal Minggu besok."

Richard tampak kecewa. Memangnya siapa orang yang akan menolak tawaran seperti itu? Ajakan yang berasal dari orang seperti dirinya?

"Kalau begitu, hubungi aku kalau kamu ada waktu."

Sepertinya menyerah tidak ada di dalam kamus Richard. Ia mengeluarkan selembar kartu nama dan memberikannya pada Eriana.

"Baik, Pak."

Richard melirik pada Hadi sekilas. Tersenyum dalam ekspresi yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata ketika ia lanjut bicara.

"Bukannya aku bermaksud nggak sopan, tapi kamu perlu memikirkan masa depan kamu, Ri."

Eriana mengerutkan dahi. "Masa depan saya, Pak?"

"Iya. Semua orang tau bagaimana Satria," ujar Richard seraya kembali melihat pada Hadi. "Aku bukan bermaksud nggak sopan, Pak. Tapi, semua orang tau gimana karakter Satria."

Hadi mengulum senyum sambil manggut-manggut. Tampak seolah setuju dengan perkataan Richard hingga cowok itu kembali berkata pada Eriana.

"Nggak ada yang tahan jadi sekretaris dia."

Lirihan samar nan penuh irama mengalun dari bibir Eriana. Tentu saja ia paham maksud ajakan Richard dan kartu nama yang ia dapatkan kala itu.

"Jadi aku kasihan aja kalau sekretaris cantik yang kompeten seperti kamu harus kerja sama dia. Apalagi kamu udah dengar kan gosip itu?"

Mengernyit, Eriana tidak berani menebak.

Masa sih gosip bisa sampe lintas kantor dan perusahaan?

Sayangnya, dugaan Eriana benar sekali. Lantaran itulah yang dikatakan Richard di detik selanjutnya.

"Kabarnya Satria itu belok. Dia suka cowok."

Kali ini wajah Hadi berubah. Walau ia memasang sikap santai, tapi agaknya sekarang Richard menyinggung sesuatu yang sensitif.

"Ah, gosip itu."

Hadi beralih pada Eriana. Di luar dugaan, cewek itu justru tersenyum lebar.

"Saya juga sempat dengar, Pak. Bahkan katanya sekretaris terdahulu mengundurkan diri karena nggak tahan digoda Pak Satria."

Mata Richard membesar. Tangannya menjentik. Dan ia berkata pada Hadi.

"Benar kan, Pak? Aku nggak asal ngomong. Semua orang udah tau gosip itu."

Hadi menarik napas dalam-dalam. Memang, Satria hanya keponakan. Tapi, tentunya ia tidak ingin keponakannya digosipkan seperti itu.

"Yang Pak Richard bilang memang benar. Gosip itu sudah sering berembus," ujar Eriana tenang. "Dan sebenarnya karena gosip itulah yang membuat saya justru betah kerja sama Pak Satria."

Richard melongo. "Eh?"

"Karena berkat gosip itu saya yakin kalau Pak Satria bukan tipe bos mata keranjang yang bakal melihat rok pendek sekretarisnya."

"A-apa?"

Richard mengerjap dengan ekspresi kaku ketika Hadi justru tampak mencair mimik wajahnya. Untuk Eriana sendiri, ia malah mendekati Richard dan terus bicara.

"Seumur saya jadi sekretaris, Pak Satria nggak pernah muji saya cantik. Dan itu nggak buat saya tersinggung, malah buat saya bangga. Karena yang dinilai beliau ternyata adalah kinerja saya."

Kali ini Richard megap-megap. Bukan hanya tidak bisa bicara lagi. Alih-alih nyaris tidak bisa bernapas pula.

Wajah Richard tampak merah dan kaku. Ia melihat bergantian pada Eriana yang tersenyum dan Hadi yang pura-pura melihat lampu seraya mendeham berulang kali.

Tidak bisa tidak. Perkataan telak Eriana berhasil menampar Richard bahkan tanpa suara dan sakit. Walau demikian, rasa malu yang ia dapatkan adalah hal yang pasti.

Richard menggeram. Dan akhirnya ia memilih untuk segera pergi dari sana. Menyelamatkan mukanya tanpa merasa perlu mengucapkan basa-basi sekadar untuk permisi.

"Hahahaha. Eri, kamu benar-benar."

Eriana tersenyum lebar saat Hadi tertawa padanya. "Nggak masuk akal kan, Om? Masa dia jelek-jelekin suami di depan istrinya?"

"Bener banget," ujar Hadi. "Inilah kenapa Om bilang kamu bisa melengkapi Satria. Nggak aneh kalau Mbak nyuruh kalian cepat menikah."

Menyembunyikan senyumnya yang makin lebar di balik tangan, Eriana menahan geli yang berbeda. Lantaran sesuatu yang jelas tak diketahui oleh Hadi.

Om nggak tau aja penyebab asli kenapa Mama mertua nyuruh kami cepat-cepat nikah.

Tidak akan membicarakan fakta itu, Eriana kembali meladeni gurauan Hadi. Dengan begitu santai dan terkesan amat hangat. Tanpa memedulikan keadaan sekitar. Bahkan bila itu termasuk dengan dua pasang mata yang sedari tadi terus menatap padanya.

"Nggak salah lagi, Lih. Pasti ini mah pasti."

Galih meneguk ludah. Matanya tak berkedip melihat ke seberang sana. Di mana Eriana dan Hadi tampak begitu menikmati suasana. Mereka berbincang, tertawa, dan terkesan saling menggoda satu sama lain.

"Y-ya Tuhan," lirih Galih dengan suara bergetar. "Aku nggak ngira kalau selera Bu Eri itu om-om rambut putih."

Teguh bergidik. Ia sampai merinding seolah ada hantu yang baru lewat di belakangnya.

"Itu namanya cinta, Lih. Kalau udah cinta, rambut putih juga masih kelihatan cakep."

Galih berpaling. "Tapi, Bu Eri sudah berapa lama jadi sekretaris Pak Satria? Kenapa Bu Eri nggak naksir Pak Satria saja?"

Pada saat yang bersamaan, tepat ketika Galih melayangkan pertanyaan itu, Satria baru saja kembali dari toilet. Bermaksud untuk kembali menghampiri Eriana dan Hadi, pembicaraan yang ia dengar membuat kakinya sontak berhenti melangkah.

Satria menoleh. Melihat ada Teguh dan Galih yang berada tak jauh darinya. Tapi, kedua cowok itu terlalu fokus dengan pembicaraan hingga mereka tidak menyadari keberadaan Satria. Lantaran itulah satu-satunya alasan mengapa Teguh dan Galih meneruskan pembicaraan penuh dugaan mereka.

"Bener banget," timpal Teguh. "Harusnya Bu Eri naksir Pak Satria saja kan?"

Galih mengangguk. Membenarkan hal tersebut dan memperkuatnya dengan satu kalimat.

"Pak Satria kan ganteng banget."

Ya Tuhan.

Satria sontak memejamkan mata. Rambut di tengkuknya serasa berdiri semua dan ia mendadak ingin kembali lagi ke toilet.

K-kenapa aku mendadak mules?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro