21. Lain Gosip Lain Kenyataan
"Teguh Santoso?"
Eriana menyapa seorang pria yang telah menunggu kedatangannya di ruang tunggu khusus. Terletak di lantai yang sama di mana mejanya dan ruang Satria berada.
Seorang cowok yang terpaut setahun lebih muda dari Eriana, berdiri dari duduknya. Dalam balutan pakaian tiga potong yang rapi, ia menyambut jabat tangan Eriana.
"Iya."
Eriana menarik tangannya. Tersenyum dan dalam hati sontak menyeletuk.
Nama dia benar-benar nggak cocok untuk tampilan dia.
Bukan tanpa alasan. Karena ketika kali pertama Eriana mengenal nama itu maka ia berpikir bahwa Teguh adalah cowok yang terkesan kekampungan. Bahkan bila ia adalah cowok yang pintar maka kemungkinan besar akan ada kacamata berlensa tebal di atas hidungnya.
Namun, perkiraan Eriana memang salah total. Hingga ia berpikir.
Seharusnya orang tua dia ngasih nama semacam Edward, Jacob, atau eh!
Eriana mengerjap.
Kalau gitu nama aku harusnya Bella ya? Bukan Eriana.
Eriana buru-buru mendeham. Berusaha untuk mencegah tawanya menyembur. Tidak ingin membuat Teguh memberikan kesan yang buruk padanya di pertemuan pertama tersebut.
"Mari," sila Eriana kemudian. "Pak Satria sudah menunggu di ruangan."
Teguh mengangguk. Langsung beranjak dari sana dan mengikuti langkah Eriana.
Di depan ruangan Satria, Eriana mengetuk pintu sekali. Lalu membukanya dan menyilakan Teguh untuk masuk terlebih dahulu.
Eriana menutup pintu. Tepat di saat Satria menyadari kehadiran mereka dan ia segera bangkit dari duduknya. Beranjak menuju sofa yang tersedia di sana.
"Selamat siang, Pak."
Teguh dengan segera menjabat tangan Satria. Terkesan sopan, tapi tidak menampilkan kecenderungan rendah diri. Satria menyukainya.
"Silakan duduk."
Eriana meninggalkan keduanya. Tapi, tak lama. Karena sejurus kemudian ia datang kembali dengan dua cangkir kopi. Menyajikannya dan barulah ia benar-benar membiarkan Satria dan Teguh untuk berbincang-bincang.
Pada dasarnya itu hanyalah formalitas. Karena seperti yang telah diketahui bahwa Teguh adalah pilihan pertama Satria dulu ketika mencari sekretaris. Dan tentunya tidak ada banyak hal yang akan ditanyakan Satria pada Teguh.
Terbukti. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Teguh keluar dari ruang kerja Satria dengan tersenyum lebar. Ia menghampiri Eriana yang segera bangkit dari duduknya.
"Gimana?" tanya Eriana berbasa-basi.
"Pak Satria menyuruh saya untuk segera mengecek jadwal dengan Ibu. Dan saya bisa mulai kapan pun."
"Bagus," kata Eriana. "Saya akan mengurus semuanya. Sepertinya Senin depan kamu sudah bisa masuk."
"Senin depan?"
Eriana mengangguk. "Saya akan memilah beberapa pekerjaan untuk kamu. Dan selain itu saya juga akan melihat beberapa pertemuan Pak Satria yang sekiranya bisa turut kamu hadiri juga."
Mata Teguh tampak berbinar-binar. "Terima kasih banyak, Bu."
"Sama-sama."
Kepergian Teguh siang itu membuat Eriana mengembuskan napas lega. Ia segera mencoret satu pekerjaan yang telah selesai ia tuntaskan.
"Sekarang tinggal kirim surat pemberitahuan wawancara buat aspri Satria."
Eriana memastikan bahwa surat pemberitahuan sudah diketik dengan rapi dan tanpa cela. Pun ketika ia mengirim surel tersebut, ia melakukannya dengan amat teliti.
Yes! Bentar lagi aku resign.
Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan Intan yang kembali mengajaknya makan siang keesokan harinya, tampak tak percaya dengan kebahagiaan Eriana yang satu itu.
"Untuk ukuran cewek yang dari sekolah selalu aktif dalam organisasi dan kegiatan apa pun itu," komentar Intan. "Aku nggak ngira kalau kamu bakal sesenang ini buat resign."
Eriana mengiris potongan daging sapi di piringnya dengan anggun. Pun ketika ia menyuapnya ke dalam mulut. Ia tersenyum dengan penuh kebahagiaan.
"Simpel, Tan. Kalau kehidupan aku terjamin walau aku nggak kerja," balas Eriana mendengkus geli. "Ngapain aku harus capek-capek kerja?"
Intan melongo ketika Eriana kembali menikmati potongan daging sapinya.
"Ya ya ya. Bagus buat kamu, Ri. Sebentar lagi kamu bakal leha-leha sementara temen kamu masih harus berburu berita seleb."
Eriana terkekeh samar. "Tapi, percaya deh, Tan. Walau aku resign dari kantor, bukan berarti aku nggak kerja. Dan aku yakin kamu udah tau soal ini luar dalam."
"Ah," lirih Intan menahan ringisannya. "Aku lupa. Kamu istri dari cowok turunan ningrat. Pasti banyak yang harus kamu urus."
Membuang napas, Eriana tidak ingin membahas soal itu. Terakhir kali Masdar menyerahkan beberapa proposal yang harus ia baca dan keesokannya ia merasa pusing. Sepertinya membicarakan kehidupan selebritas lebih ringan ketimbang membicarakan pekerjaan yang telah menanti hari-harinya ke depan.
"Btw ... ada berita seleb apa lagi? Ehm biasanya kamu selalu cerita sama aku. Tapi, akhir-akhir ini kayaknya kamu nggak cerita apa pun ke aku."
"Gimana aku mau cerita soal seleb sama kamu, Ri? Sementara kamu itu sebenarnya udah masuk golongan seleb? Mana selebnya beda kelas lagi."
Sepertinya Eriana tidak menganggap benar perkataan Intan. Buktinya, ia mengangkat bahunya sekilas.
"Jadi ..."
Eriana berusaha mengingat nama aktor yang sering disebut Intan. Sulit memang. Karena ternyata Eriana lebih mudah menghapal pasal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ketimbang nama artis.
"... gimana kabar Zacky? Dia beneran pacaran sama Margaretta yang umurnya dua kali lipat dari dia?"
Mendengar pertanyaan Eriana sontak membuat mata Intan membesar. Ia pun menaruh sendok dan garpunya. Menguarkan ekspresi serius, ia pun menjawab dengan penuh serius.
"Kayaknya sih nggak. Soalnya kapan hari Margaretta justru kepergok sama pengusaha gitu."
Eriana manggut-manggut. "Ah."
"Cuma masalahnya di acara itu, Zacky ada juga. Dan yang buat kami heran, dia nggak bareng Margaretta. Tapi, dia malah kumpul sama om-om circle pengusaha itu."
"Hah?"
Spontan, Eriana terkesiap. Sesuatu langsung berpijar di benaknya.
"D-dia belok?"
Intan menjentikkan jari. "Itulah yang sekarang lagi hangat jadi pembicaraan orang-orang. Karena kalau dia beneran belok, jadi benang merahnya benar-benar dapat."
"Zacky belok. Dan dia nggak mungkin ngebiarin publik tau. Maka dari itu dia sengaja buat gosip sana-sini. Biar publik terkecoh."
Kali ini Intan yang takjub. Ia bertepuk tangan walau tanpa suara.
"Wah! Lulusan LPDP emang nggak kaleng-kaleng."
Eriana meringis. "Bahas gosip nggak ada urusannya sama kepintaran. Semua orang udah pintar bergosip dari lahir."
Perkataan Eriana membuat Intan terkekeh. Merasa geli dan ia memutuskan untuk melanjutkan makan siangnya. Sementara Eriana justru berhenti menikmati potongan daging sapi terakhirnya.
"Ehm ...."
Dehaman Eriana menarik perhatian Intan. Cewek itu tampak berpikir seraya mengusap dagunya.
"Aku rasa Zacky nggak belok, Tan."
Intan bergeming. Bola matanya berputar dengan heran.
Kenapa mendadak dia tertarik banget dengan gosip Zacky? Tumben.
Eriana mendeham lagi. Kali ini kepalanya meneleng ke satu sisi.
"Karena aku udah ada pengalaman."
Intan mengerjap bingung. "Pengalaman?"
"Iya. Pengalaman berhadapan dengan gosip yang ngomong seorang cowok ganteng itu belok," ujar Eriana serius. "Tapi, nyatanya? Dia lurus banget."
"Lurus?"
Eriana mengangguk.
"Banget?"
Kembali, Eriana mengangguk. "Banget. Saking bangetnya lurus, eh sampe mentok."
Intan bergeming. Tidak yakin bahwa ia bisa mengerti maksud perkataan Eriana. Dan ia hanya menggerutu di dalam hati.
Wajar sih. Aku kan bukan alumni LPDP.
*
Keluar dari kamar mandi, Satria merasakan ada aura asing yang menyambutnya. Berasal dari atas tempat tidur. Di mana ada Eriana yang duduk bersandar seraya bersedekap tengah memandang tajam pada dirinya.
Satria mengerjap. Semula ia ingin menuju ke meja rias sang istri. Tapi, baru dua kali kakinya melangkah, sesuatu membuat ia mengurungkan niatnya.
Sumpah! Cara Eriana melihatnya tak ubah seperti hujan meteor yang membuat tengkuknya meremang.
Satria memutar tubuh. Menyadari bagaimana Eriana yang menatapnya dengan amat serius.
"Ri?"
Eriana mengerjap sekali. Tapi, ekspresi aneh di wajahnya tetap bertahan.
"Kamu baik-baik aja?"
Tak menjawab dengan kata-kata, Eriana mengangguk demi memberikan jawabannya.
"Ehm."
Jawaban itu tidak membuat Satria merasa lega. Malah sebaliknya.
"Ngomong-ngomong ... kamu kenapa?" tanya Satria lagi. "Apa ada yang aneh sama aku?"
Menanyakan hal tersebut, Satria menyerah. Alih-alih menuju ke meja rias sang istri, akhirnya ia melangkah mendekati tempat tidur. Dan tepat setelahnya Eriana justru dengan amat mendadak bangkit dari duduknya. Merangkak dengan cepat demi menghampiri Satria.
"Ya Tuhan."
Satria kaget hingga memejamkan mata. Rahangnya tampak bergerak samar.
"Kamu persis kayak Sadako keluar dari tv, Ri."
Eriana mengabaikan hal tersebut. Alih-alih ia bangkit berdiri di atas kedua lututnya. Tangannya naik dan bertahan pada pundak Satria. Sontak membuat cowok itu membuka mata.
"Sat."
Satria mengerutkan dahi. Jelas merasa ada yang aneh dari nada suara Eriana.
"Apa?"
Eriana menatap Satria. "Aku mau nanya sesuatu."
"Apa?" tanya Satria lagi. "Tanya aja."
"Kamu tau nggak kalau di kantor ada gosip tentang kamu?"
Bola mata Satria berputar abstrak untuk beberapa saat. "Gosip tentang aku?"
"Iya," angguk Eriana. "Katanya kamu itu suka cowok."
Wajah Satria berubah kaku seketika. Pun tampak merah.
"Dari awal aku masuk, aku langsung dengar gosip itu. Soalnya orang-orang banyak yang ngucapin selamat ke aku. Katanya keajaiban dunia bisa lihat cewek jadi sekretaris kamu. Karena ...."
Sungguh Eriana dengan amat pintar menjeda perkataannya di bagian yang tepat. Hingga membuat Satria penasaran. Tanpa sadar bertanya dengan satu kata.
"Karena?"
"Karena katanya kamu sengaja nyari sekretaris cowok," lanjut Eriana dengan penuh irama. "Sekalian buat jadi ..."
Satria meremang. Buru-buru menutup mulut Eriana dengan tangannya. Dan ia seketika meradang. Lantaran mata Eriana yang berubah menyipit. Jelas sekali sang istri tengah menahan tawa.
"Wah! Ada yang nyebarin gosip kayak gitu di kantor?"
Eriana menarik diri. Duduk di kasur dan tersenyum geli.
"Kayaknya udah lama. Entah siapa yang pertama nyebarin aku juga nggak tau."
Satria berkacak pinggang. "Dan kamu percaya?"
"Setelah kejadian di hotel waktu itu? Setelah kita nikah? Setelah pinggang aku salah baut?" tanya Eriana tanpa menunggu jawaban Satria. "Tentu saja aku nggak percaya sama gosip itu. Lagipula ..."
Eriana mendekap dadanya. Menukar senyum geli dengan satu senyum anggun. Yang bukannya membuat Satria terpesona, eh malah membuat ia merinding.
"... sebagai istri yang berbakti, aku lebih percaya suami aku sendiri."
Yang dikatakan oleh Eriana memang membuat Satria lega. Tapi, bukan berarti ia tidak kesal mendengar hal tersebut.
"Kamu nggak kepikiran kalau aku kanan kiri oke?"
Menggerutu, Satria beranjak dari sana. Kali ini ia benar-benar menuju ke meja rias Eriana. Demi mengambil satu obat di sana. Untuk goresan kecil yang muncul di rahangnya akibat bercukur tadi.
"Mana mungkin kamu kanan kiri oke?"
Satria melihat Eriana melalui pantulan cermin. Cewek itu tampak merebahkan tubuh dengan santai. Sangat santai ketika perkataan yang ia lontarkan kemudian justru membuat Satria membeku jiwa raga.
"Orang baru diremas bokongnya aja udah jerit-jerit kayak perawan mau diperkosa."
Tuntas mengatakan itu, Eriana tertawa terbahak-bahak. Sementara Satria? Oh, wajah cowok itu sudah aneka rupa bentuknya. Pun warnanya. Dan ia hanya bisa menggeram.
"Eri!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro