Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Hanya Pelepas Dahaga

Halo, semuanya. Setelah dua bulan hiatus, akhirnya kita berjumpa lagi di cerita Miss V. Yang penuh rasa, yang buat nagih.

Btw. Ini jadwal aku selama bulan September 2022. Please, baca semua cerita yang aku tulis ya. Sebelum aku ngambek dan hiatus lagi. Hahahaha.

1. Farrel! "Setiap hari"

2. Tuan Vampir dan Darah Kesayangannya "Setiap hari"

3. [Masih] Sekantor Tapi Menikah "Senin-Jum'at"

4. SEXY LOVE "Senin-Rabu"

Keempat cerita itu bakal update di Wattpad setiap pkl 12.00 WIB. Dan ada satu cerita yang aku update di KaryaKarsa:

1. Pernikahan Warisan "Senin, Rabu, & Jum'at"

Untuk di KaryaKarsa bakal gratis kok ya. Berbayarnya ntar pas udah tamat. Jadi sekarang, selamat membaca cerita Couple Kyot-Kyot kita :)

*

Untuk sekelas keluarga Djokoaminoto, semua fasilitas yang digunakan tentu saja tidak main-main. Jangankan untuk rumah, bahkan sehelai kaus kaki pun pasti akan melewati tes kualitas. Maka tentunya hunian mewah itu memberikan semua apa yang diharapkan oleh sepasang suami istri itu.

Ketika tawa berderai, baik Satria maupun Eriana tidak perlu merasa khawatir sedikit pun. Gelak yang membahana itu teredam dengan amat sempurna. Tidak mengizinkan sepasang telinga pun untuk mampu mendengarnya di balik pintu itu.

Hening. Seolah tak ada yang bicara. Begitulah yang akan mereka simpulkan ketika melewati kamar pengantin baru itu. Padahal yang terjadi justru sebaliknya.

Eriana dalam gendongan Satria tertawa lepas. Tatkala sang suami berjalan, ia mengangkat wajahnya. Membiarkan tawanya untuk semakin berderai.

"Kalau aku pikir-pikir ..."

Suara Satria terdengar saat mereka keluar dari ruang pakaian. Eriana seketika menundukkan wajah. Melihat pada Satria yang menatapnya seraya geleng-geleng kepala.

"... sepertinya kelas etika dan tata krama kamu benar-benar nggak ada guna."

Tawa Eriana meledak. Matanya menghilang.

"Kalau begini ... sepertinya kelas kamu memang harus diulang lagi."

Membuka mata, tentu saja Eriana tidak ingin mengulang penderitaannya. Dan ketimbang menolak secara terbuka, ia tentu saja sangat pintar untuk memutar strategi.

"Ssst."

Eriana menaruh jari telunjuknya di depan bibir Satria. Dengan nakal, ia mengedipkan satu mata. Lalu berkata lirih tepat di depan wajah pria itu.

"Nggak boleh membicarakan isi kamar ke orang lain. Nanti kelas etika kamu dipertanyakan juga."

Satria tidak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa melongo dengan tatapan tak percaya.

"Wah! Kamu benar-benar ...."

Tuh kan. Satria tidak bisa meneruskan perkataannya. Alih-alih mengomentari ucapan Eriana tadi, Satria akhirnya hanya bisa berdecak dan geleng-geleng kepala.

Eriana kembali tergelak. Jarinya meninggalkan bibir Satria dan memilih untuk mendarat di pundak kokoh itu. Memberikan satu usapan yang sukses membuat geraman Satria menggema di tenggorokannya.

"Coba lihat. Aku bahkan nggak sempat pake baju dulu."

Sedikit, Eriana beringsut dalam gendongan Satria. "Untuk apa pake baju kalau akhirnya bakal dilepas lagi?"

Pertanyaan itu membuat Satria meneguk ludah. Bahkan tanpa diperjelas bukankah semua memang sudah jelas? Untuk kategori mereka yang baru menikah belum sampai dua minggu lamanya, apa ada hal lain yang lebih diinginkan setelah siklus menstruasi itu selesai?

Tentu saja jawabannya tidak ada. Hanya ada satu keinginan yang sama-sama mereka harapkan.

Hanya saja Satria tidak mengira bahwa Eriana akan bertindak seperti itu. Mendatangi dirinya yang tengah berpakaian. Berlari dan melompat ke arahnya. Dan bahkan ketika ia sudah berada di dalam gendongan Satria, Eriana pun tak berhenti menggoda. Walau hanya dengan satu usapan ujung jari telunjuk di atas dadanya.

"Eri."

Satria menggeram. Tepat ketika pada akhirnya mereka tiba di tempat yang seharusnya.

Tempat tidur yang empuk itu dengan pasrah menerima kehadiran tubuh Eriana dan Satria yang tiba-tiba. Yang membuat ia melesak dan memantul berulang kali dengan diiringi oleh kikik mereka berdua.

Namun, tawa itu tak berlangsung lama. Karena ketika tubuh Eriana dan Satria sudah mendarat dengan posisi atas-bawah, tatapan keduanya dengan cepat berubah menjadi lebih intens. Melenyapkan setiap geli dan lucu yang ada. Menggantinya dengan hasrat dan gelora yang menuntut untuk segera diluapkan.

Dua bibir bertemu tanpa ada basa-basi sama sekali. Dalam sentuhan pertama yang membuat mata mereka mengerjap sekali. Hanya untuk memberikan tatapan terakhir sebelum pada akhirnya tak ada lagi yang memenuhi indra penglihatan keduanya.

Mata terpejam. Semua menggelap ketika pertemuan bibir berubah menjadi pergerakan intim yang amat mendebarkan.

Itu adalah ciuman pereda dahaga. Tak ubahnya seperti penuntasan untuk semua haus yang membuat sesak dan serat di dada. Untuk kerinduan tak masuk akal yang tercipta hanya dalam beberapa hari saja.

Hanya sehari. Dua hari. Praktis tidak sampai sebulan. Tapi, entah mengapa kehampaan itu benar-benar nyata dan nyaris membuat Satria gelap mata.

Ehm ... atau memang itulah yang terjadi? Ketika Satria terus bersikeras meminta Eriana pulang ke rumah, bukankah itu sudah menjadi pertanda? Bahwa ada sesuatu yang kosong akan tercipta bila sang istri tidak berada di sampingnya?

Karena mungkin hanya itu satu-satunya alasan paling masuk akal untuk semua yang terjadi. Ketika Satria tidak merasa keberatan sama sekali dengan Eriana yang menghambur padanya. Terlebih ketika wanita itu menggodanya maka Satria justru menyambutnya. Dan sekarang tanpa berpikir dua kali, ia pun membalas dengan hal yang serupa.

Berupa ciuman yang menyublim semakin dalam seiring dengan detik yang terus berganti. Membawa sentuhan pelepas rindu untuk berubah menjadi luapan hasrat yang tak terkendali.

Bibir Satria bergerak. Dalam irama yang menggetarkan Eriana hingga ke ujung kaki. Dalam perpaduan aneka kesan yang tak akan pernah ia mengerti.

Ciuman itu terasa membuai. Bergerak perlahan. Tapi, penuh kekuatan. Sarat dengan intimidasi yang membuat Eriana tak berkutik. Terdiam. Bergeming dalam sesak yang membuat tubuhnya seolah ingin menjerit.

Maka ketika Satria melumat bibir atasnya, Eriana merintih. Tak ubahnya seperti pesakitan yang mengharapkan mukjizat datang menghampiri. Memberi obat dalam bentuk pagutan yang membuat darahnya berdesir.

Tangan Eriana berpindah. Jemarinya bergerak perlahan. Melepaskan leher Satria yang sedari tadi ia rengkuh. Merayap dan mendarat di pundaknya yang kokoh. Berpegang di sana ketika kecupan yang Satria berikan di sudut bibirnya membuat jiwanya terombang-ambing.

Rasanya makin sesak. Eriana tak sanggup bernapas. Udara menolak masuk ketika hasrat memenuhi dadanya dengan aneka percikan gairah.

Dan ketika pada akhirnya ada sentuhan hangat menyapa bibirnya, Eriana yakin dirinya tak lagi berdaya. Pada satu belaian yang lidah Satria berikan, ia tak mampu melakukan apa-apa. Hanya bisa pasrah. Membuka diri dan menyilakan Satria untuk masuk sesuka hati.

Mendapatkan kehangatan yang serupa, geraman Satria menggema di dalam mulut Eriana. Tatkala lidahnya masuk dan mendapatkan sambutan yang tak kalah antusiasnya. Berupa sapaan lidah Eriana yang menggoda.

Ia menyentuh. Ia menjamah. Layaknya seorang penari nakal, ia memikat dalam keintiman yang tak pernah Satria bayangkan seumur hidupnya.

Dua lidah bertemu untuk saling rayu-merayu. Membelit satu sama lain dalam simpul yang amat sensual.

Meronta tanpa kata.

Meminta tanpa ucap.

Berharap dalam sentuhan yang kian berani. Mendamba untuk keinginan yang makin tak terungkapkan.

Dalam bentuk isapan yang dengan sukarela Eriana berikan. Ia biarkan Satria menyesap lidahnya. Mencecap demi menikmati tiap rasa yang ia sajikan di dalam sana.

Manis.

Hangat.

Candu.

Tiga rasa yang berputar-putar mengisi indra perasa Satria. Yang datang silih berganti. Hadir bergiliran. Memabukkan dirinya dalam kesan yang membuat ia ketagihan.

Tak cukup sekali. Satria tidak akan puas hanya dengan sekali isapan. Kemarau yang membuat kerontang itu menuntut pembalasan yang lebih lagi.

Maka Satria kembali mengisap. Kembali menyesap. Hingga pegangan Eriana di pundaknya berubah menjadi cengkeramannya.

Upaya pertahanan Eriana ketika isapan demi isapan tak ubahnya seperti tarikan yang membuat jiwanya berontak. Rohnya bergejolak. Berantakan dalam gelombang gairah yang semakin menggetarkan.

Satria menggigit lidah Eriana. Dalam geraman dan hasrat yang kian mendesak, ia makin tak mampu mengendalikan diri. Apa pun itu akan ia lakukan demi memenuhi keinginan setiap antrean gairahnya. Demi memuaskan setiap geloranya yang meminta untuk segera ditunaikan.

Tangan Satria bergerak. Tepat ketika ia menyadari desakan itu kian menyesakkan dadanya. Ironis, tapi Satria khawatir akan menyakiti lidah Eriana bila ia terus mengikuti candu itu.

Membiarkan Eriana terbebas dari cumbuan bibir dan giginya, Satria tidak keberatan sama sekali untuk melampiaskan hasratnya dalam bentuk lain. Berupa kecupan basah yang ia berikan di sepanjang garis wajah Eriana misalnya.

Rayuan yang terus berpindah seiring dengan jemari Satria yang tanpa segan melakukan penjelajahannya. Ia mengusap lengan telanjang Eriana. Bergerak dalam sentuhan ringan yang membuat Eriana meremang.

Eriana menutup mata ketika mulutnya justru membuka. Membiarkan desahan itu untuk menggema dan mengisi tiap udara di antara mereka. Dalam lantunan sensual yang membuat kecupan Satria semakin berani meninggalkan jejaknya.

Basah nan hangat. Layaknya prasasti yang menjadi saksi nyata. Tertinggal di sepanjang kulit leher Eriana. Yang terus tercipta seiring dengan cumbuan yang kian melaju.

"Sat ...."

Desahan Eriana kembali mengalun. Sepuluh jarinya kembali mencengkeram. Ketika Satria membuka mulut dan menggoda leher jenjang Eriana, percikan gairah itu semakin menjadi-jadi.

Satria mengisap kulit leher Eriana. Puas ketika jejak merah tercipta di sana. Dan ia mengusapnya. Ujung lidahnya membelai tanda sensual itu. Tak ubahnya seperti stempel untuk mematenkan. Bahwa Eriana memang miliknya. Hanya miliknya.

Karena entah disadari atau tidak. Sedikit pertengkaran yang terjadi membuat ego Satria tersentil. Dirinya dan kekuasaan yang tak pernah membiarkan orang mengganggu miliknya, terusik.

Satria mungkin tidak menyadarinya. Tapi, bara yang sempat memercik di dadanya tadi jelas bukan hal main-main. Dan layaknya kobaran maka ia pun perlu dipadamkan.

Itu adalah pemasrahan Eriana pada dirinya. Yang sama persis seperti kucuran air es demi ketidaktenangan Satria. Karena kebersamaan mereka saat ini jelas lebih dari sukses untuk meredam semuanya.

Tangan Satria merayap. Puas menggoda, ia naik kembali. Menyasar pada sehelai tali tipis yang berada di pundak Eriana.

Tali itu tak berdaya. Sama pasrahnya dengan Eriana. Yang tak melakukan apa-apa ketika Satria menariknya turun.

Tak hanya satu. Melainkan keduanya sudah Satria tarik demi memberikan kesempatan yang ia inginkan.

Eriana menggeliat. Persetujuan tanpa kata untuk keinginan Satria. Membiarkan sang suami menyingkirkan penghalang tak seberapa itu.

Tak ada bra di baliknya. Tak ada apa-apa lagi di balik gaun tidur berbahan tipis itu. Maka ketika pakaian itu turun hingga ke seputaran perut Eriana, mata Satria seketika menggelap.

Ada dua payudara dengan putingnya yang menegang menyambut kehadiran Satria. Tanpa malu-malu memamerkan godaan feminin yang tak mampu Satria tolak. Alih-alih ia dengan segera menerima rayuan itu dengan suka hati.

Satria menyapa. Dengan mulutnya membuka. Melenyapkan satu puting itu dalam kehangatan yang membuat Eriana mendesah.

Nama Satria menggema dalam gairah yang membuat Eriana kian sulit bernapas. Dadanya makin sesak saat mulut Satria menggoda putingnya. Dalam lumatan. Dalam pagutan. Dalam gigitan dan juga kecupan yang datang silih berganti.

Tak hanya itu. Satria pun memastikan dirinya tidak akan abai pada payudara Eriana yang lainnya.

Tangan Satria bergerak. Merayap pelan-pelan. Dengan amat sengaja memberikan siksaan yang membuat Eriana mengerang tak tahan.

Jari-jari besar itu tiba. Mendarat dan menangkup payudara Eriana. Meremasnya. Dan Eriana meronta. Merintih ketika jemari Satria mengusap putingnya. Mencubitnya. Hanya untuk memberikan godaan-godaan yang membuat ia kelimpungan.

Eriana gelisah. Kedua kakinya bergerak tak tentu arah. Membuka dan pada akhirnya membiarkan Satria untuk mendapatkan posisi yang memang ia suka.

Berada di antara kedua tungkai yang jenjang itu, Satria menggeram. Merasakan dengan jelas kelembaban yang menembus kulit perutnya. Kehangatan yang membuat Satria mengulum puting payudara Eriana dengan semakin beringas.

Pasrah. Tak berdaya. Puting payudara Eriana seakan menyerahkan nyawa ketika cumbuan Satria kian tak terbendung.

Satria melumat. Mengulum puting payudara Eriana kian kuat. Mencecapnya. Memagutnya. Hingga desakan itu semakin mendorong akal sehatnya, Satria memberikan gigitan di sana.

Satu godaan yang membuat Eriana semakin menggila. Kedua kakinya naik. Melingkari pinggan Satria. Menariknya. Seolah ingin mengatakan bahwa dirinya menginginkan yang lebih lagi.

Tentu saja. Satria akan mengikrarkan diri sebagai suami paling pengertian di seluruh dunia. Karena permintaan Eriana akan ia berikan dengan suka hati.

Satria melepaskan puting itu dari mulutnya. Dalam satu detik yang amat singkat, ia meneguk ludah melihat hasil karyanya di sana.

Puting Eriana mengilap. Membengkak dalam tampilan yang amat sensual. Bentuk erotis yang membuat ia ingin melakukan hal serupa pada puting lainnya. Dan itulah yang Satria lakukan sedetik kemudian.

Mulut Satria melahap puting lainnya. Yang dengan sabar hati menunggu giliran dalam pemujaan yang jari-jarinya berikan. Usapan dan cubitan dengan segera berganti. Berupa lumatan dan gigitan yang membuat Eriana mengerang.

Tangan Eriana berpindah. Meninggalkan pundak kokoh itu. Ganti meremas helaian-helaian hitam rambut Satria.

Karena ketika Satria menggoda puting payudaranya yang lain, Eriana mengangkat tubuh. Ia tak berdaya dalam dorongan hasrat itu. Ia pasrah. Membusungkan dada. Menyerahkan diri dalam cumbuan yang Satria berikan.

Penyerahan diri yang Eriana lakukan membuat akal sehat Satria menghilang. Lenyap begitu saja. Bagai debu yang tertiup angin. Tak ada apa-apa. Tak berarti sama sekali.

Satria menggeram. Melepaskan payudara Eriana. Sedikit bangkit. Menciptakan secercah celah seadanya. Hanya cukup untuk ia menarik napas dan menatap pemandangan sensual itu di bawahnya.

Bulu mata lentik itu bergoyang. Ketika si empunya mengerjap dan mata bening itu membuka, ada kabut gairah yang menatap pada Satria.

Jakun Satria naik turun. Meneguk ludah. Menarik napas dan bertanya-tanya di dalam benaknya. Bisakah ia bertahan?

Eriana terlihat berantakan. Tapi, itu adalah kekacauan yang amat seksi. Dengan rambut yang acak-acakan, gaun tidur yang kusut, dan dada yang naik-turun, Satria mengumpat di dalam hati.

Bahwasanya hanya Satrialah yang tau betapa ia ingin bertahan sedikit lagi. Ia masih belum puas. Ia ingin menikmati tiap jengkal kulit wangi itu. Merasakan kehalusan dan kelembutannya. Mencicipinya dengan bibir dan tangannya.

Layaknya penjarah yang tak ingin kehilangan sedikit pun harta benda mangsanya, Satria pun ingin begitu. Tapi, gairah itu sudah memenuhi dadanya. Rasanya amat penuh. Ia sesak. Dan kejantanannya sudah terasa ngilu sedari tadi.

Satria putus asa. Antrean panjang itu ingin ia tuntaskan. Tapi, ia tak bisa.

Maka Satria menggeram. Membuat Eriana mengerjap ketika menyadari ada perbedaan di wajah sang suami. Tampak memerah, air muka Satria berhasil membuat dirinya bergeming.

"Sat?"

Satria kembali meneguk ludah. Tak mengatakan apa-apa ketika pada akhirnya ia menyerah. Tapi, nanti. Tunggu saja nanti. Akan ada masanya semua antrean dan penantian itu terbayar lunas olehnya.

Untuk sekarang, setidaknya Satria harus mengakui kekalahannya. Ia bangkit. Menarik gaun tidur Eriana dan membuangnya ke sembarang arah.

Pun begitu pula dengan Satria. Yang tanpa basa-basi turut melepaskan satu-satunya pakaian yang ia kenakan sedari tadi.

Eriana menahan napas. Menatap Satria, ia menunggu dengan jantung berdebar. Dan ketika Satria kian mendekatinya maka makin berdebar pula jantungnya.

Satria merasa berdosa. Hanya Tuhan yang tau persis bagaimana ia ingin memuja Eriana lebih lama lagi. Masih banyak bagian di diri sang istri yang ingin ia cicipi. Tapi, dahaga dan lapar selalu menjadi pemenang untuk kewarasannya yang tak seberapa.

Lantas Satria mencukupkan hati dengan satu kecupan yang ia berikan di tungkai kaki Eriana. Tepat sebelum ia menghampiri Eriana. Menaungi Eriana. Membiarkan bobot tubuhnya memberati Eriana.

Dua pasang mata saling menatap. Eriana membiarkan Satria meraih tangannya. Menggenggamnya dalam kesan keintiman yang hanya dimiliki oleh mereka.

Itu jelas bukan hanya sekadar hubungan badan semata. Lebih dari sekadar pemenuhan hasrat seksual. Karena ketika kejantanan Satria memasuki kewanitaan Eriana, ada percikan-percikan yang mengisi seluruh indra keduanya.

Tak hanya fisik mereka yang lantas menyatu. Alih-alih ada keterikatan yang tersimpul di sana. Yang membuat mata mereka kompak memejam dan Satria mendaratkan dahinya di dahi Eriana.

Untuk beberapa detik, tak ada yang bergerak di antara mereka. Satria bergeming ketika Eriana diam. Layaknya mereka yang memberikan kesempatan bagi waktu untuk bergulir. Berpindah dalam kesyahduan rasa yang tercipta.

Satria mulai bergerak. Menarik pinggangnya. Membawa kejantanannya keluar dalam pergerakan pertama. Tatkala ia yakin Eriana sudah menerimanya, ia pun memulai percintaan itu.

Bergerak layaknya seorang penari yang handal, Satria menciptakan lantunannya sendiri. Berirama dalam ketukan-ketukan yang menggetarkan jiwa. Terasa membuai, tapi juga penuh dengan penuntutan.

Kejantanan Satria keluar. Menarik diri dan menciptakan kehampaan sesaat yang membuat Eriana merasa kosong. Tapi, hanya satu detik waktu yang Satria perlukan untuk kembali mengisi kekosongan tersebut.

Eriana terasa penuh. Satria mengisi dirinya tanpa ada kekurangan sama sekali. Dalam kesan kuat dan tangguh, Eriana tak berdaya dalam setiap pergerakan yang Satria ciptakan.

Keluar.

Masuk.

Menarik.

Mendorong.

Satria kerap mengingatkan dirinya untuk ingat pada dunia. Tapi, tatkala kehangatan itu membungkus kejantanannya, semua pemikiran tersebut menghilang dari benak Satria. Lenyap.

Maka tidak aneh rasanya bila topeng penuh kesabaran yang Satria kenakan, runtuh seketika. Tergantikan oleh wajah asli pria itu. Yang tak sabaran. Menggebu. Dan tak bisa menunggu.

Satria menggeram. Terlupakan akan niatnya yang ingin menikmati percintaan itu dengan waktu yang lama. Karena pada akhirnya ia pun menyerah dalam insting alamiahnya.

Tangan Satria bergerak. Merengkuh pinggang Eriana. Memastikan tubuh ramping nan berlekuk itu bergeming di bawah tubuhnya.

Satria menindih. Mendesak kejantanannya dan membuat Eriana terkesiap.

"Sat!"

Eriana meneguk ludah. Matanya membesar tepat ketika kejantanan Satria masuk dan mendesak dirinya di dalam sana. Menciptakan sekilas benturan yang membuat Eriana mengerjap linglung.

Satria mengabaikan keterkejutan Eriana. Ia kembali menarik diri hanya untuk mendorong lagi. Menciptakan benturan demi benturan yang membuat Eriana kerap terlonjak di tempat tidur.

Satu tangan Satria naik. Menahan pundak Eriana. Kali ini benar-benar memastikan bahwa sang istri benar-benar bergeming. Tak peduli sekuat dan sekeras apa ia menghunjam, Eriana akan tertahan pasti di bawah tubuhnya.

Eriana menggigit bibir bawahnya. Dalam desakan rintihan dan desahan yang terus menerus menggetarkan tenggorokannya, ia merasa kian terlena. Terbuai dalam percintaan yang membuat ia pasrah.

Untuk setiap hunjaman yang memenuhi kewanitaannya, Eriana mengerang. Meremas rambut Satria dan mengangkat wajahnya tinggi-tinggi.

Karena ketika kejantanannya meluncur memasuki kewanitaan Eriana, geraman itu pun tak mampu Satria tahan. Ia menundukkan wajah. Menyelinap di lekuk feminin leher Eriana. Menghirup aroma wangi yang bercampur dengan keringat di sana.

Satria menikmatinya. Mengisi paru-parunya dengan harum itu. Layaknya zat adiktif yang memicu sisi primitifnya untuk semakin membabi buta.

Keringat memercik. Bulirnya terbit di sepanjang kulit telanjang itu. Menghadirkan peluh yang membasahi tubuh keduanya.

Semakin deras. Semakin basah. Semakin merekatkan tubuh Eriana dan Satria dalam ikatan yang amat lekat.

Kian liat. Teramat dekat. Tak ada celah yang tersisa ketika sepasang insan saling merengkuh dengan amat kuat.

"Sat."

Eriana merintih. Ketika kejantanan Satria kembali menghunjam dan menyentak di dalam sana, ia meronta.

Ada desakan yang membuat Eriana kelimpungan. Membuat ia bergerak gelisah dengan racauan yang menghiasi bibirnya.

Eriana merengek. Tak ubahnya seperti seorang bocah yang meminta hadiah. Mendesak dalam keinginan yang tak mampu ia ucap.

Satria mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Rahangnya mengeras sementara kaki Eriana melingkari pinggangnya.

Eriana mengangkat pinggangnya. Dalam kobaran gairah yang semakin membakar dirinya, Eriana menyerahkan semua pada Satria. Memberikan kesempatan bagi pria itu untuk semakin menuntaskan hasrat yang mereka inginkan.

Kejantanan Satria meluncur semakin laju. Dalam jejak basah nan hangat yang kewanitaan Eriana berikan, gairah itu memukul-mukul jantungnya. Menciptakan debar yang kian menyentak Satria.

Keringat bercucuran. Membasahi wajah Satria. Berjatuhan di tubuh Eriana.

"Sat, oh, Sat."

Rengekan Eriana semakin menjadi-jadi. Seiring dengan sengatan yang tak ubahnya seperti dorongan bagi Eriana. Yang terus memaksa Eriana untuk terus mundur.

Kian mundur.

Semakin mundur.

Dan lalu kejantanan Satria menghunjam dengan amat kuat hingga Eriana terhempas. Ia melayang ke udara lepas. Menyisakan satu jeritan sebagai bukti akan kenikmatan yang membekas.

Bukan hanya untuk Eriana. Alih-alih untuk Satria pula. Yang ketika sang istri mendapatkan kepuasaannya maka Satria pun menerima dampaknya pula.

Satria kehilangan kendali. Otot-otot kewanitaan Eriana yang mengurung kejantanannya menjerat dengan amat kuat. Layaknya perangkap yang tidak akan membiarkan buruannya untuk kabur.

Satria tak berkutik. Cengkeraman itu. Liat nan hangat itu. Semuanya bersatu padu membuat pertahanan Satria hancur lebur.

Dalam satu hunjaman terakhir yang Satria berikan, ia upayakan semuanya. Kuat. Keras. Dan cepat.

Melesak.

Masuk.

Menghantam jiwa dan raga Eriana.

Hanya untuk menumpahkan semua hasrat yang terpaksa Satria pendam berhari-hari lamanya.

Oh, itu tidak lama. Sama halnya dengan percintaan yang baru saja Satria tuntaskan.

Bukan tentang ego yang menginginkan percintaan berlangsung dalam waktu lama. Bukan demi harga diri. Melainkan karena Satria menginginkannya.

Namun, untuk sekarang Satria harus mengaku kalah pada desakan insting primitifnya. Sisi liar yang harus ia suap terlebih dahulu.

Karena Satria tau. Akan ada banyak hari yang bisa ia dapatkan bersama Eriana nanti.

Karena Satria tau. Layaknya puasa yang harus segera dipecahkan, maka percintaan ini tak ubahnya seperti takjil.

Pembuka yang manis. Tapi, tentu saja bukan inti.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro