Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. [Masih] Sekantor Tapi Menikah

Ini season 2 ya, Guys. Jadi sebelum baca ini pastikan kamu sudah baca season 1 yang berjudul: Sekantor Tapi Menikah 🥰

=============================================

"Selamat pagi, Pak. Hari ini ada pertemuan dengan Tuan Kim Ra Won di jam setengah sembilan. Selanjutnya ada pertemuan dengan Departemen Perencanaan dan Pengembangan terkait dengan ajuan proposal pembangunan laboratorium Rofnus. Kabarnya dalam waktu dekat, Pak Marcel selaku CEO akan membuka secara resmi tender tersebut."

Seorang cewek berpenampilan rapi dalam balutan pakaian kantor –perpaduan antara kemeja putih lengan panjang dan rok selutut, tampak berjalan dengan sigap di atas sepatu setinggi tujuh sentimeter. Rambutnya yang bewarna coklat gelap tampak apik dalam tatanan khas yang menjadi ciri wanita karir abad ini. Di satu tangannya, ia membawa tas kerja yang terkesan maskulin. Cukup menjadi tanda bahwa itu bukanlah tas kerjanya. Alih-alih milik seorang cowok yang berjalan di depannya. Yang dengan fokus mendengarkan setiap uraian susunan jadwalnya yang tengah dibaca melalui bantuan satu tab di tangan lainnya.

Berperawakan gagah, besar, dan tinggi, cowok berwajah tampan itu mengenakan stelan jas yang tentu saja buah karya desainer ternama. Bahkan hanya dalam sekejapan mata melihat, kehalusan dan kemewahan kain yang dikenakannya tak mungkin bisa diragukan lagi. Memiliki garis wajah yang tegas, sepasang mata hitam itu terlihat tajam dan dinaungi oleh bulu mata yang lebat. Sama lebatnya dengan rambut hitam yang tersisir rapi itu.

Sekilas, cowok itu melirik. Walau tidak benar-benar bisa membuat ia melihat pada cewek itu, yang senantiasa menjaga mereka dalam jarak yang aman. Seperti ada batasan tak kasat mata yang harus ia perhatikan ketika keduanya melewati pintu masuk khusus yang tersedia. Mengabaikan beberapa orang yang menyambut kedatangan mereka dengan sopan. Hingga di saat mereka tiba di lift, cowok itu menoleh.

"Ah, yang lokasinya di Bogor?"

Lift membuka. Menyilakan cowok itu untuk masuk terlebih dahulu. Barulah kemudian disusul oleh si cewek. Dan berkat panggilan yang sopan serta cara ketika mereka berjalan, sudah barang tentu bisa dipastikan bahwa dua anak manusia berbeda gender itu memiliki posisi yang berbeda. Si cowok adalah sang bos, sementara si cewek adalah sang sekretaris.

Beberapa saat setelah sekretaris itu menekan tombol di dekat pintu lift, benda itu pun perlahan bergerak. Dan ia tidak lupa untuk menjawab pertanyaan bosnya.

"Benar, Pak. Untuk hal tersebut kita juga sudah mempersiapkan tenaga ahli untuk membantu secara langsung meninjau dari segi keamanan limbahnya."

"Bukankah ini proyek pembangunan laboratorium kita yang pertama?"

Satu anggukan mengawali jawaban itu. "Sebenarnya sekitar dua puluh tahun yang lalu, Aksa Bhumi pernah membangun laboratorium saat pengadaan satu kampus swasta. Tepatnya laboratorium kultur jaringan. Namun, kali ini berbeda. Rencananya laboratorium yang akan dibangun adalah laboratorium bioteknologi dan molekuler. Sepanjang pengetahuan saya, laboratorium ini memiliki limbah-limbah tertentu yang berbahaya. Untuk manusia dan juga lingkungan."

"Ah. Tapi, kamu sudah mengurusnya kan? Tenaga ahli tadi?"

"Benar, Pak. Departemen Perencanaan dan Pengembangan sudah berkoordinasi. Membentuk tim sendiri untuk menjadi staf konsultasi khusus untuk pembangunannya nanti. Jadi nanti perencanaan pembangunannya juga akan memerhatikan aspek keamanan dan kepraktisan kebutuhan para pengguna laboratorium itu. Tidak hanya berpusat pada bagusnya bangunan saja."

Suara denting halus terdengar ketika sedetik setelah laju lift berhenti dan pintunya pun membuka. Memberikan jalan untuk mereka berdua keluar dari sana. Melangkah di lantai tertinggi di gedung itu. Berjalan. Melewati sofa tunggu.

"Oke. Selanjutnya?"

Mereka terus berjalan. Hingga tampak di depan sana, satu pintu besar yang menguarkan aura kemegahan. Pertanda jelas bahwa itu adalah ruangan orang penting.

"Pak Andika mengajak bapak untuk makan siang. Beliau mengatakan bahwa ada hal penting yang ingin dibicarakan"

Seraya membuka pintu itu, sang sekretaris menjawab pertanyaan bosnya. Mempersilakan cowok itu untuk masuk, diikuti olehnya.

"Ck, Andika lagi. Batalkan saja, dia memang selalu ada hal penting yang bisa dibicarakan. Ah, jangan-jangan. Biar saya saja yang bicara ke dia."

"Baik, Pak."

Tas kerja berpindah tempat. Mendarat di atas meja kerja yang besar dan rapi itu. Untuk kemudian, ia kembali bertanya.

"Oh iya. Jadi, untuk makan siang Bapak nanti ...."

"Kamu mau kita makan di mana?"

Tanpa diduga, cowok itu sudah berpindah tempat. Berdiri di hadapan sekretarisnya. Menundukkan mata dan melayangkan tatapan tajamnya. Nyaris membuat cewek itu terlonjak kaget. Hanya untuk menyadari bagaimana sudah ada satu tangan yang menahan pinggangnya. Tidak memberikan kesempatan untuk dirinya mengekspresikan rasa kagetnya tadi. Simpul, cewek itu tersenyum.

"Bapak ...," lirihnya dengan nada manja di sana, berbeda jauh sekali dengan cara bicaranya beberapa waktu yang lalu. Kesan sopan dan profesional dalam bekerja, menghilang. Lenyap tak tak berbekas. "Jangan mancing-mancing di kantor ah. Ntar saya kan jadi pengen ...."

Tangannya yang bebas, bergerak. Menyusup ke belakang tubuh sang bos. Dan kemudian mendarat di satu permukaan yang terasa penuh di telapak tangannya yang kecil. Lantas kelima jarinya bergerak. Dalam pergerakan teratur ketika memberikan remasan di bokong bosnya.

Kyot! Kyot!

Mata cowok itu seketika memejam. Rahangnya tampak bergerak-gerak samar. Lalu geraman terdengar dari tenggorokannya. Terkesan mengerikan. Namun, justru membuat senyum simpul itu mengembang.

"Eri...," geram cowok itu. "Kamu loh ya yang mancing-mancing aku di kantor."

"Kok aku sih, Sat?" tanya cewek itu. "Kamu loh yang pertama megang-megang aku."

"Kenapa?"

Cowok bernama lengkap Satria Pramana Putra yang merupakan CEO di Aksa Bhumi bertanya. Seraya memanfaatkan keberadaan tangannya di lekuk pinggang itu, ia pun melakukan pergerakannya. Menarik tubuh ramping tersebut. Mengikis jarak yang ada di antara mereka.

"Kamu nggak suka?"

Eriana Dyah Pitaloka, sekretaris berlipstik merah muda itu mengedipkan mata. berulang kali. Menjawab.

"Suka nggak suka. Tapi, ini di kantor loh, Sat. Kalau pun emang mau mancing-mancing ... ya jangan tanggung-tanggung dong."

Sreeet!

Kedua tangan Eriana langsung naik. Berpegang pada pundak Satria sebagai pegangan. Agar ia merasa aman ketika memaksa diri untuk menjinjit. Lalu mengecup bibir Satria sekilas.

Melayangkan senyum menggoda, Eriana lantas berbisik di telinganya.

"Sabar, bentar lagi bulanan aku selesai. Udah itu beres deh. Aku siap diajak untuk mengarungi bulan madu. Hihihihi."

Membalas godaan itu, Satria lantas meremas singkat pinggang Eriana. "Bulan madu?"

Eh?

Bulan madu?

Ah, kembali ke belakang sejenak, semoga Tuhan menolong Eriana dan Satria. Bos dan sekretaris yang tidak hanya terikat dalam hubungan profesionalis kerja di kantor. Alih-alih, lebih dari itu. Ada satu ikatan yang teramat sakral yang telah mengikat mereka. Menyatukan keduanya di dalam satu dunia yang bernama pernikahan. Namun, dengan terpaksa mereka harus merahasiakan sejenak hal tersebut lantaran keadaan yang tidak memungkinkan.

Pernikahan ini adalah pernikahan yang tak terencana. Yang tidak pernah diduga oleh keduanya. Tapi, sepertinya kali ini Tuhan ingin membuktikan satu hal mutlak. Yaitu, ketika takdir telah berkehendak, sememalukan apa pun awalnya, sepasang anak manusia tetap akan bersama.

Itulah yang terjadi pada Eriana dan Satria. Diawali oleh tragedi memalukan –sepertinya tidak akan ada tragedi yang lebih memalukan ketimbang yang menimpa mereka. Berhubungan dengan pesta amal, remasan di bokong, dan kesalahpahaman orang yang melihat. Hiks.

Saat itu, Satria yang merupakan korban justru menjadi tersangka yang harus bertanggungjawab. Tapi, seperti yang terlihat. Sekarang tampaknya Satria adalah tersangka yang dengan senang hati mempertanggungjawabkan hal yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Hihihihi.

Hingga sekarang, saat pernikahan mereka baru berjalan di bulan pertama, baik Eriana maupun Satria terkadang masih tidak percaya. Ternyata mereka sudah menikah loh. Padahal kalau melihat bagaimana menakutkannya hubungan mereka dimulai, rasa-rasanya tidak akan ada orang yang mengira kalau kedua orang yang berbeda sifatnya itu bisa saling mencintai.

"Ih, nggak usah pura-pura sok polos deh, Sat," ujar Eriana geli. "Ntar aku doain biar bulanan aku belum berenti."

Mata Satria langsung membesar seketika. "Eri, kamu nggak diajari di kelas etika kalau ucapan adalah doa? Makanya harus ngomong yang baik-baik?"

"Hahahaha. Ada sih. Tapi, itu nggak berkaitan dengan periode bulanan."

Tertawa, Eri memang cerminan yang berbeda dengan Satria. Cewek itu memang lebih ekspresif. Jelas kebalikan dengan Satria sehari-hari. Tapi, ketika mereka berdua, tentu saja ada pengecualian.

"Kalau gitu, ya kaitkan."

Eriana kembali tertawa. "Udah deh. Ini nggak bakal berenti ntar," ujarnya seraya menarik napas sekilas. "Gara-gara ntar kamu ada janji temu sama Tuan Kim Ra Won, gimana kalau siang ntar kita makan rawon, Sat?"

Tidak menjawab pertanyaan itu, Satria justru mempertanyakan hal lainnya. "Namanya memang Ra Won?"

"Hahahaha. Aku juga ragu sih awalnya. Aku pikir Park Ci Mol. Atau Park Sio May. Hahahaha."

Satria berdecak, geleng-geleng kepala. "Aku nggak tau kalau sesenang ini kamu ngomongin nama orang."

"Hahahaha. Tapi, itu belum sesenang aku dengan satu nama ini."

Dahi Satri mengerut. "Nama siapa?"

Eriana kembali menjijitkan kakinya. Membiarkan tubuhnya dan tubuh Satri bertemu. Dengan niat yang terselubung, Eriana sedikit menelengkan wajahnya. Membiarkan embusan napasnya sedikit menerbangkan rambut-rambut halus kulit Satria, di bawah telinganya. Kemudian, dengan suara yang setengah melirih menggoda, ia berbisik.

"Kang ... Boo ... Kong."

Selesai membisikkan itu, Eriana tak lupa menutup godaannya dengan satu kecupan samar di bawah rahang Satria. Ia tersenyum seraya menarik diri. Menepuk-nepuk dada Satria.

"Dah, aku balik ke meja dulu," kata Eriana sembari mengedipkan satu matanya. "Ntar kalau mereka udah pada datang, aku langsung kasih tau. Bye!"

Ya Tuhan.

Eriana persis seperti penjagal terdakwa hukuman mati. Benar-benar tidak berperasaan. Dia tau kan apa yang dia lakukan? Oh, yang benar saja. Mereka pengantin baru dan Satria harus menahan diri lantaran cewek itu yang sedang mendapatkan periode bulanannya. Tapi, ia justru dengan teramat sengaja malah menggoda?

Ck.

Satria tidak terima.

Maka sebelum Eriana melangkah lebih jauh lagi, Satria menyusul. Menarik tangan cewek itu. Hingga ia seolah melayang hanya untuk mendarat di dalam rengkuhan Satria. Dan ketika ia terkesiap, mata Eriana hanya sempat mengerjap sekali. Tepat sebelum pada akhirnya ia justru menutup matanya rapat-rapat lantaran satu kecupan yang menyusup di antara kedua belah bibirnya.

Berlama-lama, Satria tau dengan pasti bagaimana ciumannya bisa membuat kegilaan Eriana menjadi berkali-kali lipat parahnya. Ia membuai. Melumat. Memanggut. Tidak benar-benar membiarkan Eriana menarik napas. Hanya mengizinkan cewek itu untuk bertahan dengan udara miliknya. Berganti-gantian. Saling bertukar rasa. Saling bertukar udara.

Eriana menggeliat. Berusaha balas merengkuh. Dengan mengalungkan tangannya di leher Satria, namun ciuman berhenti. Seketika saja Eriana membuka mata dengan ekspresi kesal. Hal yang justru membuat Satria menyeringai.

"Lanjut? Tunggu kamu udah selesai ya ...," bisik Satria di atas bibir Eriana. "Jeong Me Soom."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro