Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Diagnosa Awal

Tidak perlu ditanya lagi bagaimana keadaan Ryan kala itu. Menyedihkan iya, menggelikan juga iya. Dengan posisi terjengkang di atas tanah, cowok itu jelas kaget. Lantaran sedang dalam atmosfer yang bagus, demi tujuannya ingin mencium Vanessa, eh ... yang didapatkannya justru hal yang sangat bertolakbelakang dengan apa yang ia harapkan.

Tanpa kata-kata atau peringatan sama sekali, bukannya bibir Vanessa yang mendarat di bibir Ryan. Malah kedua tangan cewek itu yang mendarat di dadanya, dengan kekuatan penuh, mendorong ia tanpa belas kasih sama sekali. Hingga ia terjengkang ke belakang dan berakhir dalam keadaan yang mengenaskan.

Mengaduh kesakitan, mengabaikan dingklik yang jungkir balik dan jatuh menimpa kakinya, Ryan mengangkat wajahnya. Ekspresinya tampak kesal, tidak terima, dan menuntut pertanggungjawaban akan musibah mengenaskan yang baru saja ia derita. Ia manyun.

"Sa! Kok tiba-tiba ngedorong sih? Mana ngedorongnya bukan dorong-dorong manja lagi. Pake kekuatan sepuluh tangan atau pake tenaga dalam kamu?" Ryan berusaha bangkit. Dengan lanjut menggerutu. "Kalau kamu mau nyuruh aku baring, yok. Nggak usah pake ngedorong gitu. Sekarang juga kita ke kamar."

Terus menggerutu, Ryan nyaris hanya fokus dengan rasa kaget dan sakit yang mendera dirinya. Hampir saja abai dengan keadaan Vanessa kala itu. Yang langsung berdiri dari duduknya. Terdiam. Layaknya ia yang sedang membeku. Dengan kedua tangan yang naik ke depan mulut dan matanya membola besar. Vanessa ... benar-benar seperti refleksi nyata seorang cewek yang sedang melihat hantu di malam Jum'at Kliwon.

Turut berdiri, Ryan mengabaikan kotoran yang menempel di bajunya. Matanya mengerjap seraya mendekati Vanessa.

"Sa?" panggil Ryan. "Kamu kenapa?"

Namun, Vanessa tidak menjawab pertanyaan itu. Jangankan menjawab, ia menoleh pada Ryan pun tidak. Layaknya ia yang terpaku pada satu titik itu. Hingga ia tidak memiliki kekuatan untuk hal lainnya, bahkan untuk sekadar berpaling.

"Y-Y-Yan ...."

Hanya itu yang mampu Vanessa ucapkan. Menyebut nama Ryan dengan lirih dan terbata. Amat samar. Hingga Ryan nyaris tidak bisa mendengar suara lembut itu.

Bingung dan tak mengerti, Ryan lantas mencoba untuk kembali mencari tau. "Dinda, kamu kenapa sih?" tanyanya lagi. Seiring dengan kepalanya yang kemudian bergerak. Berpaling ke arah yang menjadi tujuan mata Vanessa memandang. "Kayak yang lagi ngeliat setan aja---astaga!"

Kaget hingga Ryan berani bersumpah kalau jantungnya seperti mendapat sengatan arus listrik di dalam sana, cowok itu terlonjak di tempatnya berdiri. Persis seperti Vanessa, sekarang wajah cowok itu berubah ekspresinya. Tampak memucat dan mata yang melotot. Yaitu, ketika ia mendapati ada seorang cowok yang berdiri di seberang sana. Dengan satu kantung plastik di tangannya.

Sama seperti Vanessa dan Ryan yang pucat, cowok itu juga sama pucatnya dengan mereka. Pun matanya sama membesar juga. Dan ketika ia bicara, suaranya terdengar mengambang seperti tak yakin.

"A-a-aku pikir kamu mau tidur seharian. Jadi ... aku datang buat bawain kamu makan. Ta-ta-tapi ...."

*

Terlepas dari sikapnya, sebenarnya Abid itu memang teman yang baik loh. Mungkin banyak yang tidak menyadari, tapi ia adalah cowok yang benar-benar setia kawan. Dan mungkin karena itulah alasan mengapa Ryan tanpa sadar menjadikan cowok itu sebagai temannya.

Yuk mari lihat ke belakang. Ketika pada satu titik Ryan menunjukkan tanda-tanda gilanya, apa pernah Abid meninggalkan Ryan? Tidak pernah. Pun ketika Ryan putar arah demi Vanessa –entah melakukan pengintaiannya atau pura-pura datang dengan alasan konsultasi, Abid yang menggerutu nyatanya tetap menemani cowok itu. Bahkan tempo hari, Abid yang sedang makan langsung menuntaskan makannya demi mengikuti Ryan yang kembali lagi ke kampus. Padahal saat itu baru saja beberapa menit mereka duduk di warung makan itu.

Maka sebenarnya wajar saja bila kala itu Abid justru memikirkan Ryan. Yang ketika ia teringat bahwa Ryan ingin tidur seharian, ia sontak terpikirkan makan cowok itu. Hingga kemudian, berbekalkan niat mulia, Abid pun dengan sengaja pergi membeli lontong sayur. Lengkap dengan aneka gorengannya dan dengan penuh suka cita memacu motornya ke depot Ryan. Diikuti oleh satu pemikiran di benaknya.

Kasian sih sebenarnya ngeliat Ryan.

Udah kemaren dibantai di seminar hasil.

Terus juga bantuin aku ngolah data.

Ehm ....

Wajar kalau akhir-akhir ini dia makin stres.

Ketika Abid tiba di depot, ia melihat ada motor Ryan yang terparkir. Dengan kedua helm di atasnya. Yang tentu saja itu membuat Abid bingung. Lantaran dua hal.

Pertama, biasanya Ryan selalu memarkirkan motornya di samping rumah depotnya. Bukan di depan seperti yang ia lihat saat itu. Kedua, kenapa ada dua helm? Apa itu artinya Ryan datang dengan seseorang? Cewek? Apa itu pacarnya? Tapi, pacarnya yang mana? Dinda atau Nyonya Bos?

Kurang lebih, begitulah isi pikiran Abid. Ingin bertanya pada Anton dan Sahrul, ia mendapati bagaimana kedua orang karyawan temannya itu tengah sibuk diserbu sekelompok ibu-ibu sosialita yang terdengar tertawa-tawa. Hingga menyisakan satu jalan untuk Abid tempuh. Yaitu, menemui Ryan langsung.

"Yan?"

Melepas sepatunya, Abid segera masuk ke rumah depot Ryan. Celingak-celinguk dan mendapati bahwa keadaan di sana kosong. Mendorong dirinya untuk semakin masuk. Memeriksa keberadaan Ryan dan menyasar pada kamar cowok itu.

Selangkah kaki Abid masuk ke kamar Ryan, maka di saat itu pula ia tertegun di depan pintu. Lantaran melihat satu pemandangan ganjil yang ada di atas tempat tidur Ryan. Sehelai kemeja cewek.

Mata Abid membesar. Meraih kemeja itu dan memastikan bahwa dugaannya tidak salah.

"Ke-ke-kenapa ada kemeja cewek di sini?"

Kemeja terlepas dari tangan Abid. Ia menutup mulut dan matanya membesar. Tak mampu menampiknya, tapi kemungkinan itu dengan cepat terbit di benak Abid.

Ng-ng-nggak mungkin.

Nggak mungkin kan Ryan ngapa-ngapain di sini?

Tak mampu dicegah, tapi pemikiran buruk itu dengan cepat membuat tubuh Abid gemetaran. Hingga ia langsung beranjak dari sana, semakin menggebu mencari keberadaan Ryan yang entah ada di mana.

Melewati pintu belakang, Abid dengan tergesa mengenakan sepasang sandal jepit yang ada di sana. Tanpa sadar dengan tetap menenteng satu kantung plastik di tangan kirinya, ia berjalan. Melihat ke sekeliling. Mencoba menemukan Ryan. Hingga lantas, telinganya mendengar suara tawa.

"Hahahaha."

Buru-buru, Abid langsung ke sumber suara. Hanya untuk tertegun tatkala melihat pemandangan itu. Ryan yang tengah duduk bersama dengan seorang cewek yang wajahnya tampak tidak asing di mata Abid.

I-i-itu cewek siapa ya?

Kok aku berasa kenal?

Mencoba untuk berpikir, Abid justru merasa dirinya seperti tersedak jakunnya sendiri. Tatkala dengan mata dan telinganya sendiri, ia mendengar Ryan menggoda cewek itu.

"Jadi, malam ntar beneran nggak mau bobok-bobok manja?"

Cewek itu membalas cepat. Menolak, tapi dengan ekspresi tersipu. "Nggak."

"Ehm ... kalau gitu, cum sekali deh."

Ah!

Abid merasa seperti ada yang menghantam jantungnya. Hingga membuat ia membuka mulutnya. Mengap-mengap. Persis seperti orang yang sedang melihat sakaratul maut di depan mata.

"Males."

"Atau aku aja yang cum? Sini sini sini. Kanda cum Dinda."

Dinda?

Ja-jadi, ini yang namanya Dinda?

Tapi, kenapa Dinda ini mirip dengan seseorang ya?

Dahi Abid berkerut. Dalam upaya memaksimalkan kerja otaknya. Yang entah mengapa rasanya begitu sulit berjalan kala itu.

Namun, ketika Abid melihat bagaimana Ryan menarik tubuh cewek itu ke pelukannya, sontak ia tertegun. Lantaran posisi cewek itu yang kemudian berubah. Memberikan dirinya kesempatan untuk melihat wajah cantik itu dengan teramat jelas.

Mata Abid melotot. Dengan satu kemungkinan yang membuat tubuhnya seperti kehilangan tenaga dalam hitungan detik yang teramat singkat. Hingga ia merasa lututnya goyah. Nyaris ia jatuh andai tidak segera tersadar dari rasa syok yang menghantam jiwa raganya.

Abid menyenggol tanaman di belakanganya. Menimbulkan suara gemerisik. Menarik perhatian cewek itu. Untuk kemudian berpaling padanya. Dan pada saat itu, kengerian terpancar nyata di wajah Abid.

I-i-itu ... Bu Vanessa?

Tepat pemikiran itu menggema di benaknya, Abid melihat bagaimana Vanessa mendorong Ryan. Astaga! Dosennya yang cantik itu mendorong mahasiswanya sendiri. Seraya menjerit. Yang diikuti oleh aduhan Ryan tatkala ia terjengkang. Dan ditutup oleh atraksi dingklik yang terbalik.

Abid syok! Wajahnya pucat seperti mayat. Antara sadar atau tidak, ia mengangkat kantung plastik di tangannya.

"A-a-aku pikir kamu mau tidur seharian. Jadi ... aku datang buat bawain kamu makan. Ta-ta-tapi ...."

Tapi, apa yang aku lihat?

Apa saat ini aku berhalusinasi?

Tidak bergerak sama sekali di tempatnya berdiri, Abid bahkan tidak berkedip sekali pun. Tak peduli bagaimana Ryan dan Vanessa yang sama-sama kelojotan. Panik. Bingung. Takut.

Ryan meneguk ludah. Menatap bergantian pada Vanessa dan Abid yang sama-sama memucat pasi wajahnya. Persis seperti tidak ada lagi darah yang mengalir di tubuh mereka berdua.

"Sa .... Kamu tenang dulu," lirih Ryan pelan. Lalu perlahan ia beranjak pada Abid. "Bid, kamu jangan negative thinking dulu."

Sekali, pada akhirnya Abid mengedipkan matanya pula. Saat itu, pelan-pelan tampak fokus kembali memenuhi sorot mata Abid. Tapi, ia terlihat tidak berdaya. Teramat syok dengan apa yang ia saksikan barusan.

"Yan ...."

Ryan menguatkan hatinya. "Bid, ini nggak seperti yang kamu pikirkan. A-a-aku bisa jelaskan semua. Aku dan Vanessa---"

Ucapan Ryan sontak terhenti di tengah jalan. Dengan dramatis, ia memejamkan matanya. Jelas menangkap sekilat sorot yang berbeda di mata Abid ketika ia menyebut nama itu.

"Maksudnya," ralat Ryan kemudian. "Aku dan Bu Vanessa---"

"Yan ...."

Suara Abid terdengar. Memotong perkataan Ryan. Dan membuat cowok itu menunggu, alih-alih lanjut bicara.

Hening sejenak, Ryan jelas menyadari bagaimana anehnya situasi sekarang. Menguarkan aura mengerikan dan menegangkan. Dengan Vanessa yang tak bersuara dari tadi, Ryan bisa menebak. Betapa syok Vanessa kala itu.

Tentu saja. Tidak akan ada cewek waras yang tidak jantungan ketika tertangkap dalam situasi seperti saat itu. Dilihat oleh mahasiswanya sendiri di saat ia akan berciuman dengan mahasiswanya yang lain? Waw! Dijamin, Vanessa dan Abid sama-sama syok. Hingga Ryan sendiri merasa aneh dan takjub juga sih sebenarnya.

Kok bisa mereka nggak langsung jantungan ya?

Wah!

Emang nggak kaleng-kaleng jantung buatan Tuhan.

Menyingkirkan pemikiran konyol yang tidak tau waktu dan tempat yang tepat itu dari benak Ryan, adalah suara Abid yang kemudian terdengar lagi. Ia berpaling pada Ryan. Menampilkan ekspresi menderita yang teramat tak berdaya.

Abid meringis. Tampak ingin menangis. Lalu, ia terdengar berkata lirih dalam rintihan. Terasa amat sangat menyayat hati.

"Yan, anterin aku ke poli jiwa yuk?"

Ryan melongo. Menganga melihat Abid yang terduduk seketika di atas tanah dengan memegang kepalanya.

"Karena temenan sama kamu," lirih Abid mengiba. "Kayaknya aku beneran ketularan gila." Ia tampak frustrasi. "Kayaknya aku baru aja ngalamin halusinasi, Yan."

Astaga!

"Halusinasi ... itu tanda gila, Yan?"

Memejamkan matanya sekilas, Ryan lantas menghampiri Abid. Menampilkan ekspresi penuh simpatik. Menepuk pundak cowok itu. Dan ia mengangguk.

"Iya, Bid. Syukurlah kalau kamu udah sadar," ujar Ryan dengan mimik serius. "Kamu emang udah gila."

Lalu, Abid meraung.

"Mama! Aku gila!"

Dan Ryan ... hanya geleng-geleng kepala.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro