9. Belum Rezeki
Ada tangan Ryan yang bebas. Dan dengan itulah kemudian ia pelan-pelan menarik kursi yang diduduki oleh Vanessa. Membiarkan kaki kursi yang berbentuk lingkaran itu bergesekan di lantai. Tak peduli bila nantinya akan timbul goresan di sana. Karena yang ia pedulikan hanyalah satu. Yaitu bagaimana ia bisa membawa Vanessa sedekat mungkin pada dirinya. Demi memperdalam sentuhan yang ia labuhkan di bibir itu. Secara tiba-tiba. Terkesan mendadak. Hingga menimbulkan kesiap kecil di sana.
Vanessa terkejut. Jelas ia tidak mengira bahwa satu panggilan bernada lirih dari Ryan berujung pada satu ciuman yang langsung mendarat di bibirnya. Tanpa aba-aba sama sekali. Hingga ia nyaris terlonjak dari duduknya.
Namun, satu rengkuhan yang mendarat di pinggangnya, membuat Vanessa bertahan. Tetap melekat pada kursi. Tak bisa melepaskan diri. Walau Vanessa sendiri ragu apa itu akan ia lakukan.
Mengerjapkan matanya beberapa kali, Vanessa seolah masih gamang dengan keadaan itu. Beberapa saat yang lalu ia kelaparan. Kemudian ia merasa gusar lantaran cemburu. Selanjutnya ia justru tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Lantaran ada Ryan yang melumat kedua belah bibirnya. Dengan penuh irama.
Dan di saat itu, di mana Vanessa masih berusaha untuk mengumpulkan kesadarannya yang tergadai lantaran ciuman itu, Ryan justru semakin menarik dirinya. Menelengkan wajahnya ke satu sisi dan lantas memperdalam ciumannya. Sekarang, dengan sentuhan itu, Vanessa merasa dirinya justru tidak waras kalau ia sampai tidak terbuai.
Maka layaknya seorang cewek yang waras, pelan-pelan Vanessa pun memejamkan matanya. Pun menyingkirkan niatannya yang semula ingin menikmati cupcake selanjutnya. Karena sekarang, justru adalah dirinya yang tengah dinikmati oleh Ryan.
Rasanya manis. Vanessa memang selalu manis. Itu adalah ketetapan yang ada di benak Ryan. Namun, ketika ada baluran krim yang menggoda di sepanjang garis bibir Vanessa, maka rasa manis itu semakin menjadi-jadi.
Diperciki kesan licin dan lengket, layaknya menyediakan bermacam alasan untuk Ryan meneruskan invansinya terhadap bibir Vanessa. Yang pasrah. Membuka dan merekah. Memberikan kuasa padanya untuk melakukan apa pun yang ada di benaknya.
Jakun Ryan bergerak naik turun, dalam irama yang menuntut. Meneguk rasa manis dan mendapati dorongan untuk merasakan yang lebih. Hingga ia pun mendobrak pertahanan Vanessa. Meloloskan lidahnya. Demi memasuki rongga mulut itu dan merasakan kehangatan di dalam sana.
Tubuh Vanessa terlonjak. Seperti roh di dalam tubuhnya tersedot keluar. Tepat ketika ia merasakan bagaimana Ryan menggoda dirinya di dalam sana. Mengajak lidahnya saling melilit. Untuk kemudian melenyapkannya dalam satu isapan yang terasa meluluhlantakkan seluruh tulang belulang Vanessa.
Vanessa mengerang. Memutuskan untuk berpegang pada kedua pundak Ryan yang kokoh ketika ia merasa dirinya makin tidak berdaya. Dengan lumatan yang Ryan lakukan pada lidahnya, dengan gigitan-gigitan kecil itu, dan juga dengan kecupan-kecupannya, Vanessa merasa kepalanya yang mendadak langsung pusing.
Sepuluh jari tangan yang panjang nan lentik itu bergerak. Dalam bentuk dua cengkeramannya yang terasa menusuk-nusuk. Menembus dasar kemeja yang ia kenakan. Lalu mencapai kulitnya. Menghantarkan rasa sakit yang justru menerbitkan sensasi sensual di sana.
Ryan menyukainya. Dari cara Vanessa meremas pundaknya. Dari cara Vanessa memasrahkan dirinya. Atau bahkan ketika Vanessa turut memberikan buaian yang serupa padanya. Tatkala bibir lembut itu membalas ciumannya. Melakukan kecupan yang serupa. Hingga balik mengisap lidahnya di salam sana.
Mempertahankan tubuh Vanessa di rengkuhannya dengan satu tangannya, Ryan lantas melarikan tangannya yang lain. Menjelajahi lekuk tubuh sang istri yang masih berbalut jas semi formalnya. Pelan-pelan naik. Untuk kemudian mencapai tekuknya. Hanya demi mencapai satu jepit yang berada di kepalanya.
Jepit terlepas. Rambut terurai. Dan Ryan membawa helaian-helaian beraroma wangi itu untuk menyusup di antara jari-jari tangannya. Demi merasakan kehalusannya. Tepat sebelum pada akhirnya, jemari itu berpindah tempat. Menuju pada satu kancing yang terletak tepat di bawah dada Vanessa. Bermaksud ingin mengenyahkan jas itu dari tubuhnya, Ryan justru mendapati bibir Vanessa yang semula membalas ciumannya, mendadak kaku seketika. Dan tak hanya itu, tangannya pun langsung ditahan oleh jemari yang semula mencengkeram pundaknya.
Vanessa menarik diri. Mengurai ciuman yang melibatkan bibir mereka berdua. Dengan napas terengah-engah dan bibir yang sedikit membengkak. Pipinya tampak memerah. Dan matanya yang berkabut, terlihat menyiratkan rasa bersalah.
Menatap sepasang bola mata itu, Ryan meneguk ludah. Dengan rasa tersiksa yang tidak terima karena akhir yang di luar kehendaknya itu.
"Kenapa?"
Dan Vanessa balas menatap Ryan. Ekspresi wajahnya menyiratkan ketidakberdayaan. Untuk sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.
Vanessa menarik udara. Dalam-dalam. Demi memenuhi kebutuhan metabolismenya dan juga demi mendamaikan gejolak di dalam dadanya.
"Tadi siang ... sebelum praktikum ..."
Ryan menunggu. Untuk kata-kata yang Vanessa ucapkan dengan amat perlahan. Seolah memang sengaja mengulur waktu.
"... aku dapet."
Dooong!
Ryan melongo. Dengan jari tangannya yang sedikit lagi bisa meloloskan kancing jas dari lubangnya. Tapi ....
"Be-bentar. Kamu ngomong apa?" tanya Ryan terbata. "Kamu dapet? Ehm ... dapet apa? Undian berhadiah? Atau dapet apa?"
Jujur saja, tidak akan sulit menerka akhir seperti apa yang menjadi tujuan untuk ciuman mereka tadi. Lagipula mereka masih tergolong pengantin baru. Yang masih diselimuti euforia untuk berduaan. Tapi ....
Dapet?
Hingga Ryan sontak saja menanyakan hal itu dengan tampang bodohnya. Seperti ia yang ingin menolak kenyataan yang sedang terjadi. Bukankah Vanessa memang sering mengerjai dirinya ya?
Namun, sepertinya kali ini Vanessa benar-benar serius. Karena kikik cewek itu terlihat begitu natural. Tanpa dibuat-buat. Dan alih-alih menjawab, ia justru menarik jari cowok itu dari kancing jasnya. Dengan mengernyitkan hidungnya dalam ekspresi menggemaskan, Vanessa lantas berkata.
"Ini ... anggap aja sebagai hukuman buat suami yang sok kegatalan mau bantuin cewek lain."
Wajah Ryan seketika tampak nelangsa. "Eh? Kamu yang benar-benar aja, Sa. Kan aku nggak jadi bantuin, Sa." Lalu matanya membesar. "Eh? Kamu bohong ya? Lagi nggak dapet kan?
"Hahahaha. Beneran. Aku lagi dapet. Aku nggak bohong," jujur Vanessa dengan geli. "Dan kayaknya emang Tuhan sengaja banget ngebuat aku dapet hari ini. Biar kamu dapat hukuman. Lagian ... kamu nggak jadi bantuin dia kan gara-gara aku. Coba kalau aku nggak ada, kamu pasti mau bantuin dia kan?"
"Wah!"
Ryan tak mampu menahan kesiapnya. Benar-benar takjub dengan kata-kata yang Vanessa lontarkan padanya. Hingga ia tak mampu menahan rasa penasarannya. Akan satu hal yang sebenarnya memang jujur ia tanyakan tadi. Bukan hanya demi menggoda saja.
"Hukuman hukuman. Ck. Emang segitunya kamu cemburu, Sa? Apa itu artinya aku emang nggak boleh bantuin cewek mana pun?"
Memegang jari Ryan di genggamannya, Vanessa mengembuskan napasnya. "Bukannya nggak boleh sih. Tapi, selagi aku bisa turun tangan, kenapa harus kamu? Kamu tau kan? Cewek dan cowok yang sering deket-deket itu ... bisa kena hasut se-tan!"
Bahkan Vanessa memberikan penekanan untuk kata yang satu itu. Dan wajahnya pun menunjukkan keseriusan yang tak main-main.
"Kalau kamu nolong siapa gitu, kalau dia cewek dan bisa diwakili aku, kenapa harus kamu?" tanya Vanessa sedikit cemberut. "Lagian ... kebun jagung aku aja kemaren rusak gara-gara hujan badai aku minta tolongnya sama kamu. Bukan sama cowok lain."
Bola mata Ryan berputar sekali, berpikir. "Tapi, kan itu konteksnya beda, Sa."
"Sama," delik Vanessa. "Intinya adalah aku nggak kepikiran buat minta tolong sama cowok lain. Jadi, kamu jangan kepikiran buat nolongin cewek lain. Gimana? Atau kamu keberatan?"
"Nggak," jawab Ryan cepat seolah tanpa perlu berpikir lagi. Seraya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Nggak keberatan sama sekali."
Karena sebenarnya pun semua orang tau bahwa Ryan itu seperti yang abai dengan sekelilingnya. Jangankan orang minta tolong, bahkan perkara ada junior yang jatuh hati padanya saja tidak ia hiraukan. Dan itu bukan berarti Ryan adalah orang yang tidak suka membantu, hanya saja sepertinya yang ada di benak cowok itu saat ini memang hanya satu nama.
"Dan jujur aja sih, Sa. Yang tadi itu aku juga emang nggak niat buat bantuin dia. Bukan karena kepikiran ke mana-mana sih. Cuma karena aku rasanya mageran. Apalagi sekarang aku harus ngebut buat wisuda. Belum lagi harus kelonan sama kamu."
"Ryan!"
"Hahahaha. Ya ... sebenarnya aku makasih juga sih karena kamu justru nolongin aku," ujar Ryan tergelak. "Cuma ya ... aku kayak ngerasa yang masih ajaib banget."
Kali ini, Vanessa mendapati bagaimana bukan dirinya yang memegang tangan Ryan. Alih-alih cowok itu yang menggenggam tangannya. Sambil sesekali meremasnya. Bahkan mengangkatnya. Demi mencium buku-buku jarinya.
"Ajaib? Ajaib apaan?"
Memberikan tepukan-tepukan pelan di tangan Vanessa, Ryan mengulum senyumnya. "Ajaib sih ... ngeliat kamu bisa cemburu juga ngeliat aku sama cewek lain. Kirain aku aja yang sering cemburu."
Vanessa diam. Nyaris benar-benar tertegun selain fakta bahwa ia masih bisa merasakan sentuhan-sentuhan Ryan di tangannya. Matanya mengerjap pelan.
"Kadang kalau mau dipikir-pikir," lanjut Ryan kemudian. "Kayak yang mustahil banget sih kamu sampe ada perasaan sama aku."
Vanessa mengembuskan napasnya. "Nyadar ya?"
"Hahahaha. Ih, malah digituin. Hahahaha. Tapi, aku tuh serius loh, Sa. Ehm ... ini gara-gara Abid sih. Kamu tau nggak? Dia sering banget ngomong kalau yang mustahil banget kalau aku bisa dapetin kamu."
Senyum geli terbit di bibir Vanessa. Membiarkan Ryan untuk melanjutkan perkataannya. Setelah didahului oleh satu tarikan napas panjangnya.
"Makanya kadang aku kayak yang nggak percaya aja kalau kamu beneran cinta sama aku. Ya ... mungkin karena itu sih aku happy kalau ngeliat kamu cemburu."
"Ckckckck. Kayaknya cuma kamu cowok yang senang ngeliat pasangannya cemburu," decak Vanessa tak percaya. "Lagian juga ... untuk apa aku ngomong aku cinta kamu kalau sebenarnya nggak. Bukan tipe aku banget."
Memang. Tentu saja. Ryan paham itu. Vanessa memang bukan tipe wanita yang akan mengatakan sesuatu bila itu tidak ada.
"Walau sih ..."
Ryan mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk untuk beberapa detik. Menatap pada Vanessa yang tersenyum geli.
"... yang diomongin Abid kayaknya emang bener. Kamu itu emang mustahil banget bisa dapetin aku. Kalau ... kalau aja kita nggak dijodohin."
Tidak tersinggung. Sama sekali tidak. Yang ada justru sebaliknya. Dengan penuh kesadaran, Ryan mengangguk. Membenarkan perkataan itu.
"Dan karena itu, aku yakin banget sama petuah orang lama," kata Ryan penuh rasa percaya diri. "Kalau jadi anak yang berbakti sama orang tua, rezekinya bakal lancar. Buktinya, aku ketiban rezeki berupa kamu."
Vanessa tergelak. Menikmati rasa geli di perutnya lantaran ekspresi wajah Ryan yang benar-benar tampak natural sekali. Seperti ia yang sedang takjub pada takdir Tuhan. Hingga ia angguk-angguk kepala, seraya berdecak.
"Ck. Emang sih. Nggak kaleng-kaleng rizkinya anak Bu Lastri yang satu ini. Hahahaha."
Turut tertawa, lalu Vanessa menukas. "Iya dong. Saking nggak kaleng-kaleng rizkinya, sore ini kepaksa deh gigit jari."
Dooong!
Sontak saja tawa Ryan menghilang. Tergantikan longoan yang membuat Vanessa justru semakin terbahak. Dan cewek itu menarik tangannya. Turun dari kursi.
"Dah ah. Aku mau mandi dulu ah."
Namun, sebelum Vanessa beranjak, ia justru terkesiap. Seolah melupakan sesuatu. Dengan sorot mata yang tampak polos, ia bertanya.
"Atau ... bukannya kamu ya yang harusnya mandi?"
Ups!
Hahahaha.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro