7. Tanpa Kewarasan
Rasa tidak enak seketika menggelayuti hati Vanessa. Ketika ia dengan terpaksa menolak permintaan Ersya. Bagaimana pun juga, ia tidak bisa berbuat banyak. Toh penolakannya memiliki dasar profesional yang jelas. Matematika dan statistika bukan bidang keahliannya. Ia tidak bisa melanggar aturan yang sudah tertulis.
Menarik napas dalam-dalam, Vanessa lalu beralih pada Tiara. Tersenyum tipis. Memanggilnya.
Tiara bangkit. Langsung duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Ersya. Berjabat tangan sejenak untuk kemudian berkata.
"Saya rencananya mau nyusun proposal PKM, Bu. Sudah ada kelompoknya. Tinggal mencari dosen pembimbingnya, Bu. Jadi, seandainya bila Ibu berkenan untuk membimbing kami."
"Aaah ...."
Lirihan singkat adalah respon pertama Vanessa ketika mengetahui niatan Tiara untuk menemuinya siang itu. Yang ternyata berhubungan dengan kegiatan tahunan yang selalu diselenggarakan oleh pihak universitas. Bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan kreatif mahasiswa. Dalam acara yang dikenal dengan nama Program Kreativitas Masyarakat.
"Siapa saja kelompok ka---"
"Yan! Tolongin aku dong."
Vanessa mengerjapkan mata. Ucapannya sontak terhenti di udara ketika mendengar suara Ersya. Seperti tengah memanggil seseorang yang membuat ia menerka, alih-alih langsung menyambung perkataannya. Karena di depannya, Tiara jelas menunggu.
Yan?
Maksudnya Ryan?
Namun, ketika ia masih meragukan hal itu, suara selanjutnya yang terdengar seolah memberikan jawaban untuknya.
"Eh? Datang-datang langsung minta tolong? Aku bukannya tim SAR ya."
Loh?
Kan!
Beneran Ryan.
Lalu, mata Vanessa membesar. Ketika ia teringat apa yang dikatakan oleh Ersya tadi.
A-a-apa tadi dia bilang?
Tolongin aku?
Maksudnya ....
Sementara Vanessa sibuk dengan pikirannya yang mendadak meliar ke mana-mana, dengan dugaan-dugaan itu, Tiara di hadapannya justru mengerutkan dahinya. Menunggu dalam beberapa detik lamanya, tapi Vanessa tak kunjung mengatakan apa-apa lagi. Hingga Tiara pun memberanikan diri untuk bicara dengan pelan.
"Bu ...."
Mata Vanessa mengerjap. Seolah baru menyadari bahwa ada Tiara di sana. Dan ia meminta maaf.
"Maaf, tadi saya kepikiran se---"
"Yan, tolong bantuin aku belajar dong. Untuk mk Matematika 2, Statistika, dan Rancangan Percobaan. Kan kamu pinter, Yan. Pleaseee!"
Tuh kan!
Ternyata bener.
Dia mau minta tolong sama Ryan!
Dan Tiara kembali bingung. Karena lagi-lagi Vanessa menggantung ucapannya. Terutama dengan ekspresi wajah sang dosen yang tampak aneh di matanya. Sekali pun ia tidak pernah melihat mimik muka Vanessa seperti itu. Tampak seperti tengah ... gusar.
Eh?
Bu Vanessa bukannya mendadak marah sama aku kan?
Yang mana tentu saja tidak. Karena di benak Vanessa saat itu hanya ada satu hal. Yaitu, mendengarkan dengan saksama percakapan yang terjadi di luar sana.
"Pinter sih pinter. Tapi, otak aku bisa rusak juga kalau dipake buat mikir tiga mk hitung-hitungan sekaligus."
Dan menyambung perkataan Ryan, adalah Abid yang kemudian bersuara.
"Jangan deh, Er. Dia nggak ngajarin kamu aja udah gila, apalagi kalau disuruh mikir 3 mk hitung-hitungan sekaligus. Khawatir aku dia malah wisuda di poli jiwa beneran."
"Asem! Tapi, beneran deh, Er."
Mendengar itu, Vanessa tanpa sadar mengembuskan napas leganya. Bahkan refleks juga memejamkan matanya sejenak. Dan itu membuat Tiara mengerutkan dahinya.
Eh?
Bu Vanessa kenapa sih?
Tadi kayak lagi kesal, eh ... sekarang kayak orang yang ngerasa lega gitu.
Di saat seperti itu, sejurus kemudian, Tiara merasa kebingungan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi. Melihat bagaimana ekspresi wajah Vanessa yang kembali berubah. Tampak gusar lagi. Tepat setelah terdengar suara Ersya di luar sana.
"Please, Yan. Tolongin aku. Ya ya ya? Kamu mau imbalan apa? Ntar aku usahakan deh. Tapi, please. Bantuin aku. Ntar aku nggak lulus-lulus, Yan. Please ...."
"Emangnya kapan kamu mau belajar? Terus belajarnya di mana?"
"Secepatnya, Yan. Kita belajarnya di kos aku aja. Gimana?"
Kali ini bukan lagi gusar, namun Vanessa sontak mengangkat wajahnya dengan mata melotot. Dengan berbagai rutukan syok yang berputar-putar di kepalanya
A-apa?
Belajar di kos?
Berdua?
Seketika saja hal tersebut menjelma menjadi imajinasi yang membayang di benak Vanessa. Menampilkan Ryan dan Ersya yang duduk di meja yang sama –persis seperti yang sering ia lakukan bersama Ryan. Lalu mereka membahas materi kuliah –lagi-lagi persis seperti yang sering ia lakukan bersama Ryan. Dan kemudian, mungkin saja mereka akan bercengkerama membicarakan banyak hal lainnya yang bahkan tidak berkaitan dengan kuliah. Sial! Itu persis sekali seperti yang sering ia lakukan bersama Ryan.
Maka entah bagaimana jadinya, mungkin dorongan akibat imajinasi menakutkan itu, mendadak saja Vanessa bangkit dari duduknya. Terburu-buru hingga menimbulkan suara gesekan kaki kursi dengan lantai yang membuat Tiara terlonjak kaget. Namun, belum begitu kaget sampai ia menyadari bahwa Vanessa sudah menghilang dari hadapannya.
Vanessa keluar. Bertahan pada kusen pintu dan langsung berbicara. Tanpa ada pendahuluan atau basa-basi sedikit pun.
"Ersya, setelah saya pikir-pikir, mungkin saya bisa sedikit membantu. Tiap hari Rabu dan Jum'at, saya nggak ada kelas. Mungkin saya bisa menyiapkan modul khusus untuk kamu belajar. Ya walau saya emang nggak bisa ngajar di kelas, tapi saya bisa kok membantu di luar kelas. Gimana? Kamu mau?"
Vanessa tersenyum. Melihat pada Ersya dan menunggu jawaban dari mahasiswi itu. Namun, tidak ada sepatah kata pun yang ia terima. Alih-alih adalah longoan yang membuat ia perlahan membolakan matanya. Pelan-pelan. Perlahan. Hingga kemudian kesadaran seperti baru kembali menjamah akal sehat dan sisi kewarasan Vanessa.
Y-y-ya Tuhan.
Senyum manis di wajah Vanessa seketika menghilang. Tergantikan oleh senyum kaku dengan wajah yang terasa membeku. Tepat ketika ia menyadari bahwa bukan hanya Ersya yang melihatnya dengan sorot aneh itu. Melainkan juga Abid dan ... Ryan!
Lantas sebagai pelengkap, ketika Vanessa menoleh ke belakang, ia baru menyadari bahwa dirinya sudah meninggalkan Tiara! Dan cewek itu juga tampak melongo melihat padanya.
Tangan Vanessa seketika gemetaran. Beruntung, ada kusen pintu yang bisa ia jadikan sebagai pegangan. Sebelum kakinya melemas karena rasa malu dan berakhir dengan merosot di lantai!
Berusaha untuk tetap santai, Vanessa masih berusaha tetap tersenyum. Dan kembali berkata.
"Ehm ... ke-ketimbang kamu belajar sama Ryan, ya ... lebih baik belajar sama saya kan?"
Di depan para mahasiswa itu, Vanessa tentu saja berusaha untuk tetap tenang. Mencoba menjaga sedikit martabat yang masih tersisa. Walau di dalam hati, ia jelas merutuki dirinya tanpa henti.
Astaga, Vanessa!
Apa-apaan kamu!
Kalau bisa, ingin sekali rasanya Vanessa langsung menghilang dari sana. Bahkan bila perlu, ia langsung mengajukan surat pengunduran diri saja. Lantaran rasa malu yang menderanya tidak tanggung-tanggung.
Jangan liat Ryan, Sa, jangan.
Pokoknya jangan liat Ryan.
Menguatkan diri, Vanessa memaksa matanya untuk tetap melihat pada Ersya. Yang sepertinya syok. Seperti tidak percaya bahwa pada akhirnya sang dosen bersedia untuk membantu dirinya.
Ersya bangkit. Dengan mata yang berbinar-binar, ia menghampiri Vanessa.
"Ibu beneran mau bantuin saya?" tanya Ersya dengan suara bergetar. "Beneran, Bu?"
Ah, setidaknya pertahanan diri Vanessa sekarang terbantu. Tindakan Ersya jelas membuat ia bisa pelan-pelan keluar dari situasi memalukan itu. Hingga ia pun mengangguk.
"Saya nggak bisa jadi dosen di kelas, tapi di luar jam itu kan nggak ada larangan."
Sontak saja jawaban Vanessa membuat Ersya menyambar tangannya. Menciumnya seraya mengucapkan terima kasih.
"Makasih banyak, Bu. Makasih banyak. Ibu emang dosen paling baik sekampus. Ehm ... nggak. Tapi, dosen paling baik sedunia."
"Ha ha ha ha."
Vanessa tertawa kaku. Untuk beberapa saat, ia membiarkan Ersya mengucapkan berbagai kata sebagai bentuk ucapan syukurnya. Hingga di waktu yang tepat, Vanessa berkata.
"Oke, kalau gitu nanti hubungi saya untuk nentuin jadwalnya ya? Sekarang ... ada Tiara yang mau bimbingan."
Ersya mengangguk. "Baik, Bu. Terima kasih banyak."
Menarik tangannya dari Ersya, Vanessa kemudian langsung membalikkan badan. Masuk kembali ke ruangannya. Walau aneh, ia seperti merasakan punggungnya terasa panas. Layaknya ia yang tau bahwa di belakangnya ada Ryan yang menatapnya tanpa kedip.
Ya Tuhan!
Apa aku nggak usah balik ke unit hari ini?
*
Abid yakin ada yang tidak beres dengan Ryan.
Eh?
Tunggu dulu. Akan diralat. Maksudnya adalah ... Abid yakin ada yang semakin tidak beres dengan Ryan.
Abis dari ruangan Bu Vanessa, kenapa Ryan kayak Ehsan yang mendadak diare gara-gara salah makan?
Karena bukan tanpa alasan Abid mengatakan itu. Melainkan karena perilaku Ryan yang persis seperti orang menahan diare –di mata Abid.
Ryan mengulum bibirnya. Dan di mata Abid, itu seperti Ryan yang sedang menahan mulas perutnya.
Ryan tampak menahan napas berulang kali seraya menengadahkan kepalanya. Dan di mata Abid, itu seperti Ryan yang berusaha agar kentutnya tidak meledak di sana.
Ryan meremas-remas tangannya berganti-gantian. Dan di mata Abid, itu seperti Ryan yang berusaha agar diarenya tidak terlepas di celana.
"Fix!" tukas Abid kesal. "Buruan kamu ke apotek, Yan! Beli obat sana. Entah untuk diare kamu atau untuk kejiwaan kamu!"
"Eh?"
Langkah kaki Ryan sontak berhenti, begitu pun dengan Abid. Sedetik, mereka sama-sama diam. Dengan Abid yang menebak-nebak, kira-kira apa yang akan dikatakan oleh Ryan padanya. Dan itu adalah ... jreng jreng jreng!
"Aku nggak tau kalau Bu Vanessa bisa cemburu sama mahasiswinya sendiri loh, Bid. Beneran nggak nyangka aku tuh."
Dooong!
Abid menarik napas dalam-dalam. Mengusap dagu dengan satu tangan sementara tangannya yang lain berkacak di pinggang. Ia tampak memandang ke sekitar. Seperti memperkirakan motor mana yang kira-kira akan ia lemparkan pada temannya itu.
Biar sekalian saja gegar otak.
Biar sekalian saja masuk ruang operasi otak.
Siapa tau dokter bisa memperbaiki itu otak.
"Yan, astaga. Aku beneran nggak tau kalau segininya efek lama jomlo buat kamu," kata Abid kemudian dengan penuh simpatik. Walau jelas, perutnya terasa mual-mual. "Tapi, ya ampun. Yang tadi itu bukannya Bu Vanessa yang cemburu sama Ersya. Bukan. Sama sekali bukan. Melainkan karena Bu Vanessa yang emang baik hati. Nggak tega buat ngeliat Erysa beneran dapat E-."
Namun, sepertinya perkataan Abid tidak terdeteksi oleh sistem saraf pendengaran Ryan. Karena alih-alih menanggapinya, ia justru mengatakan hal lain. Setelah kedua tangannya mengusap wajahnya dengan ekspresi yang tampak syok dengan kenyataan itu.
"Astaga. Aku beneran nggak nyangka."
Abid melongo. Hingga di titik itu, ia merasa bahwa percuma bicara dengan orang yang sistem kerja otaknya sudah terganggu. Tidak akan dihiraukan.
"Ehm ... kalau gini ceritanya, aku jadi pengen cepat-cepat balik ah."
Perkataan yang tidak berhubungan sama sekali dengan pembicaraan mereka sekarang, membuat Abid merasa bahwa mungkin pulang adalah solusi yang terbaik untuk temannya itu. Maka ia pun langsung mendorong Ryan. Membawanya ke tempat di mana motornya terparkir. Pun langsung menyerahkan helmnya.
"Ayo. Silakan balik. Terus jangan ke mana-mana. Di rumah aja. Makan dan istirahat yang cukup," pesan Abid. "Aku tau. Hidup emang terlalu berat untuk urusan perasaan."
Tak menolak, Ryan dengan tersenyum mengenakan helmnya. Menyeringai lebar ketika mengeluarkan kunci motornya dan langsung mengambil posisi di atas sana. Sesaat sebelum ia melaju, ia berkata pada Abid.
"Dadah, Abid! Sampai jumpa kapan-kapan."
Iiih! Merinding-merinding seluruh tubuh deh Abid gara-gara perkataan Ryan. Rasanya ingin mengumpat, namun ia mencoba bersabar.
Diem, Bid, diem.
Nggak usah diladenin deh si Ryan.
Biar dia cepat balik.
Karena ketika motor Ryan benar-benar melaju meninggalkan parkiran, Abid pun mengembuskan napas lega. Seperti ia tahanan yang baru lolos dari eksekusi mati saja. Hiks.
Sementara itu, di atas motornya, Ryan tetap tidak bisa mengusir rasa senangnya. Lantaran melihat dengan mata kepalanya sendiri mengenai sikap Vanessa tadi.
Ah, dia mah gitu.
Masa sama mahasiswinya aja cemburu.
Ryan terkekeh. Tidak peduli bagaimana beberapa pasang mata di lampu merah itu melihat padanya dengan ekspresi penuh waspada.
Kalau gitu, ntar aku harus nenangin perasaan dia.
Harus meyakinkan dia kalau aku ini hanya milik dia seorang.
Mengusap dada kirinya, Ryan mengembuskan napas panjang. Geleng-geleng kepala dengan ekspresi tak percaya.
Untuk semua yang aku lakukan, dia masih bisa cemburu coba.
Ehm ....
Kalau gitu, balik ntar aku harus nyambut dia.
Biar dia nggak kepikiran lagi soal cemburu sama Ersya.
Ryan pun merenung. Berpikir di benaknya. Apa sekiranya yang bisa ia lakukan untuk Vanessa.
Mampir ke swalayan ah, belanja sayuran.
Terus juga mampir ke toko kue ah, beli cupcake coklat.
Dan lalu, mendadak perkataan Abid terngiang di benaknya.
"Buruan kamu ke apotek, Yan!"
Yang mana, hanya itu yang ia ingat. Tidak ada tuh Ryan ingat kalau Abid menyuruhnya untuk membeli obat. Karena selanjutnya, ia pun dengan gemas memukul-mukul tangki motornya. Seraya cekakak-cekikik tanpa henti. Membuat pengendara lainnya benar-benar khawatir. Bagaimana bisa ada orang waras tertawa seorang diri?
Karena di benaknya, Ryan pun langsung bersorak.
Dan pastinya mampir ke apotek, beli helm!
Hwahahahaha!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro